21. Masih sama Brengseknya
"Ngampus?"
Sekarang Rena lagi otw balik ke apartemen. Udah pasti sama Bian yang sekarang duduk di kursi pengemudi. Dengan Rena pas banget ada di sebelah Bian. Abangnya itu keliatan santai banget nyetir sambil tatapannya fokus ke jalan.
Sementara itu, mobil Rena ada di belakang lagi ngebuntutin mereka. Iye, sayang. Ini tuh idenya Bian. Sok-sokan banget pengen semobil sama Rena. Rena udah bilang dengan sangat teramat jelas kalau mereka bakal ketemu juga pas udah nyampe apart. Nggak perlu banget lah pake segala nyuruh asisten part time Hera buat ngemudiin mobil Rena terus Rena-nya nangkring sama Bian.
Kayak buat apa gitu lho. Bukannya Rena mau ngueng kabur juga.
Cuma ya Bian tetep aja kekeh. Mana kekehnya tuh santai banget lagi. Nggak meledak-ledak, tapi gerak-geriknya jelas nggak bakal ngelolosin Rena. Jadilah sekarang Rena ada di mobil Bian.
"Nggak. Kalau ngampus pun mager gue, Bang," sahut Rena.
Bian ngangkat bahu. "Terserah lo, Dek."
"Demen banget keknya lu ngomong terserah, njeng," seloroh Rena. "Habis disakitin cewek mana lagi lu, Bang?"
"Saran gue jarang didenger." Bian nyeringai. "Buat apa maksain pendapat ke orang lain."
"Nggak gitu elah, bangsat." Rena nonjok pundak Bian main-main. "Lo jangan baperan gitu, dong. Udah cukup Hera sama Olla aja."
"Bukan soal baper atau nggak, Renata." Bian senyum tipis. "Lo bakal ngerti kalau udah saatnya."
"Perasaan lo selalu aja gitu." Rena nyender.
"Apa?"
"Ngomong setengah-setengah. Bilang gue nggak perlu tau sekarang, kalau udah saatnya bakal ngerti, nggak usah mikirin bla bla," tutur Rena. "Di mata lo, gue masih bocil ape gimana?"
Bian nggak langsung nyahut. Dia diem dulu agak lama sambil muter setir pas Rena ngarahin buat belok. Bikin suasana di mobil jadi hening senyap, kecuali desau tipis-tipis dari pendingin mobil yang alus banget suaranya.
"Re," panggil Bian.
"Ngapa?"
"Lo bakal ngerti, tapi bukan sekarang."
"Gitu aja lah terus, babik!" Muka Rena jadi masam kayak ketek keringetan belum dibilas. "Serah lo deh, Bang! Capek gue."
"Ada beberapa hal yang lo nggak perlu tau," kata Bian lagi. "Gue nggak mau kalau pandangan lo entah ke Hera, Olla, atau bokap sama nyokap jadi bias gara-gara gue."
"Bias gimana?"
"Prinsip hidup, pilihan buat ngejalanin, pressure dari orang-orang terdekat lo, itu hal yang bakal lo hadepin nanti." Bian senyum lagi.
Rena kediem. Dia bingung mau ngerespons apa. Ucapan Bian barusan nggak tau kenapa berasa nusuk Rena dalem-dalem pas banget di ulu dada. Bikin Rena jadi gimana gitu jadinya, wak. Antara linglung sama ketohok.
Masalah yang Rena hadepin sekarang cuma soal si bangsat Joshua itu. Selebihnya, Rena punya support system yang, jujur aja, selalu ada buat dia. Para geboy meskipun akhlak mereka setipis kulit bawang merah yang udah kering merontang, terus belum lagi kakak-kakaknya.
Rena tau kalau hubungan para kakaknya emang nggak gitu bagus satu sama lain. Kayak yang Bian bilang tadi, mungkin itu faktornya. Belum lagi masalah pribadi yang bisa jadi nggak pernah mereka ceritain ke Rena atau satu sama lain.
"Bang?" Rena ngelirik Bian.
"Hm?"
"Siapa orang yang lo hubungin pertama kali kalau lagi ada masalah?"
Bian ngehela napas. Tatapannya mungkin fokus ke depan, tapi Rena bisa liat kalau Bian mikir agak keras pas Rena nanya gitu.
Barulah habis beberapa saat berlalu, Bian ngerespons. "Lo punya orang yang kayak gitu?"
"Sohib lo?" Rena nyoba ngorek.
Bian ngegeleng. "Adanya teman kerja, client, relasi."
"Hera atau Olla?"
"Renata." Bian ketawa. "Lo serius?"
"Babik! Apa gue keliatan kayak lagi ngelawak?" Rena nampol pipi Bian.
Bian ngaduh bentar. "Mereka juga punya masalah masing-masing."
"Terus?"
"Gue lebih milih mendam masalahnya sampai gue lupa," jawab Bian akhirnya. "Lagian, apa faedahnya cerita masalah gue ke orang lain?"
"Mereka bakal ngebantu kan?"
Bian ngegeleng lagi. "Nggak di dalam sirkel gue, Re."
"KASIAN AMAT LU, BANG!" Rena masang ekspresi dramatis.
"Gue nggak perlu dikasihani." Sebelah tangan Bian ngacak-ngacak rambut Rena. "Ini pilihan gue sejak awal. Nggak selalu mudah, tapi gue menikmati semuanya."
"Bahkan hal-hal yang lo nggak suka?"
"Itu nggak bisa dihindari, Dek." Bian ngulum senyum. "Masalah bakal selalu ada. Tinggal gimana lo ngelihatnya."
"Lo bilang kalau lo lebih milih mendam sampai lo lupa," Rena ngingetin.
"Itu hanya satu dari sekian banyak cara yang gue pilih." Bian memelankan laju mobil pas mereka udah nyampe di kawasan apartemen Rena. "Nggak selalu gitu, tapi kadang itu cara yang nggak buruk buat dilakuin."
"Menurut lo—"
"Apakah itu opsi yang bagus buat masalah lo sama Joshua?" Bian akhirnya menghentikan mobil saat udah stay di area parkiran. "Menurut lo sendiri gimana?"
Rena ngangkat bahu. "Nggak tau."
"Pendam saat lo nggak bisa mikir jernih. Omongin pas udah tau apa yang lo bakal bilang ke dia." Bian melepas seatbelt. "Itu menurut gue."
Rena terpaku. Tatapannya tertuju ke Bian yang sekarang udah ngebuka pintu mobil dan turun duluan. Nggak butuh lama buat Bian jalan ke sisi lain terus bukain pintu buat Rena.
"Masih belum bisa mikir dengan jernih?" tanya Bian sambil ngajak Rena turun.
Rena nyambut uluran tangan Bian dan hap! keluar mobil. Angin kering plus sinar matahari yang udah agak ninggi langsung ngenain kulit.
"Gue bingung, Bang." Rena ngaku. "Gue nggak tau apa yang gue pikirin."
Mereka jalan menuju gedung apartemen. Masuk terus jalan ke arah lift yang pintunya masih ketutup.
"Lo nggak harus buru-buru ngomong ke dia," jelas Bian.
"Maunya gitu." Rena ngehela napas panjang. "Tapi, gimana coba? Gue bahkan tinggal sebelahan sama dia. Gue nggak tahan sama situasi kayak gini, Bang."
Pintu lift kebuka. Habis beberapa orang yang make lift barusan keluar, barulah Rena sama Bian yang masuk terus mencet lantai di mana Rena stay.
"Lo yakin nggak mau gue bantu tonjok si Joshua?" Bian nawarin sekali lagi.
Rena ngedelik. "Lo yang bakal gue tonjok sampai mampus, Bang."
"Caring, hm?"
"MALU GUE YANG ADA, NTAR!" Rena nendang betis Bian kuat-kuat. "Bukan soal caring atau gimana. Asbun banget lo, bajeeeeng!"
"Malu karena punya abang yang sayang sama lo?"
"Gue hargain usaha lo, Bang, tapi gue nggak sudi sampai ada scene tonjok-menonjok." Rena noyor kepala Bian. "Cuma gue yang boleh nonjok Joshua."
"Apa kata lo aja, Dek." Bian terkekeh.
Beberapa saat nunggu, lift berenti juga akhirnya. Lamat-lamat, pintu lift kebuka. Rena sama Bian nggak pake banyak bacot langsung keluar. Jalan menuju apart Rena.
"Lumayan juga." Bian ngeliat sekeliling.
"Nggak nyampe milyaran kayak Hera," seloroh Rena.
"Ya jelas," sahut Bian. "Jangan bandingin dia sama lo."
"MAKSUD LO!?"
Perdebatan mereka nggak berlangsung lama soalnya udah hampir nyampe ke depan pintu apart Rena. Tinggal beberapa langkah lagi, dan—
—pintu apartemen Joshua kebuka pas langkah Rena dan Bian tinggal beberapa lagi.
Diiringi sama si empu apart yang keluar.
Rena ngerjap. Nggak bisa buat nggak bertemu tatap sama Joshua.
Joshua kelihatan tenang meskipun awalnya sempat ada perubahan air wajah pas ngelihat Rena nggak sendirian.
"Re," sapa Joshua. "Gue nunggu lo semalam."
Rena ngelirik Bian. "Gue nginep di tempat Hera."
"Oh?" Joshua ngangguk. Tatapannya beralih ke Bian. "Lama nggak ketemu, Bian."
"Josh." Bian senyum tipis. "Lo masih sama brengseknya dari terakhir yang gue ingat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top