20. Lost and Regret: Olla

"Lo berdua juga nginap, kan?"

Hera natap Olla sama Bian gantian. Mereka lagi ngumpul di meja makan. Di luar, hari udah gelap. Cahaya petang udah blas ilang dari beberapa jam lalu. Terus, jarum di jam udah nunjukkin angka setengah delapan.

Rena ikutan ngeliat Olla sama Bian, kepo apakah kedua kakaknya itu bakal nginep sama kayak dia atau cuuus berangkat ke rumah masing-masing.

"Gue nggak." Olla ngejawab duluan. "Besok ada kerjaan."

"Lebih penting daripada ngumpul bareng kakak sama adek lo?" tanya Hera.

Olla ngehela napas. "Nggak usah sinis gitu, Her. Gue udah usahain buat hari ini."

Hera ngangkat bahu. Sekarang fokus sama Bian. "Lo gimana?"

"Gue minta kamar terpisah lantainya dari kamar lo," sahut Bian santai.

Hera nyeringai. "Whatever you want."

Kakak-kakaknya mungkin emang kadang saling sinis, tapi Rena jujur aja, dia berharap kalau mereka bisa ngumpul lengkap kek gini buat lebih lama. Minimal banget sampai besok lah. Cuma ya masing-masing ada kehidupan sendiri. Nggak bisa Rena tantrum ngelarang-larang buat Olla biar nunda perginya.

"Re, habis ini gue mau ngomong," kata Olla tiba-tiba.

Rena ngangkat wajah, bingung. "Ngomong aja sekarang. Kayak sama siapa lo."

"Berdua." Olla natap Rena lekat-lekat. "Di kamar lo nanti."

"Tersinggung pas gue bilang lo cuek bebek?" Hera nimbrung.

Olla nyender. "Nggak usah ge-er. Bukan cuma lo atau Bian yang bisa nasehatin dia."

Rena auto garuk-garuk kepala yang sebenernya nggak gatel sama sekali. Cuma habis denger nasehatin tuh rasanya dia iritasi. Gatel sekujur badan. Lebih gimana gitu ketimbang denger uh ah uh ah desahan si lontay Nami pas disodok Joshua.

AH ELAH! Rena ngejambak rambut sendiri. Kepikiran Joshua lagi. Joshua aja terus.

"Re," panggil Bian.

Rena noleh. "Ngapa?"

"Besok gue ke apart lo."

"Heh?" Rena ngerjap. "Anjing! Jangan, bangsat. Gue malu ntar."

Bian ngernyitin dahi. "Lo pikir gue mau ngehajar Joshua?"

"Emang iya, kan?" Hera nyaut padahal nggak diajak.

Rena ketar-ketir. "Lo jangan macem-macem deh, bang. Semacam aja gue udah pusing ngeliatnya."

"Seingin-inginnya gue nonjok Joshua, gue nggak mikir ke sana." Bian geleng-geleng. "Gue cuma mau ngeliat tempat tinggal adek gue. Salah?"

Olla senyum miring. "Kelihatan kibulnya."

"Seenggaknya nggak ngibulin bonyok. Bilang project kuliah, ternyata clubbing sampai pagi."

"Ada baiknya lo hitung dulu berapa cewek yang udah lo bohongin, Bi," balas Olla telak.

"Olla, Bian," tegur Hera. Suaranya kedengeran tegas. Tatapannya juga ngasih efek semi-semi mencekam. Soalnya keliatan tajem kayak pisau baru diasah gitu. "Enough."

Rena ngelirik Olla sama Bian gantian. Kerasa kalau atmosfer sekitar kayak dingin. Rena yang duduk di sebelah Bian diem-diem nowel rusuk kakaknya itu, ngasih kode biar Bian diem mingkem nggak usah banyak omong.

Sementara, Olla ngabisin makanannya lebih cepet. Keliatan dia nggak betah duduk lama-lama. Raut mukanya juga nano-nano nggak bisa dideskripsiin. Berasa kayak mixed feeling gitu liatnya.

Rena nyoba buat cairin suasana lagi. "Bawain oleh-oleh ntar, La."

Olla diem bentar. Terus dia senyum walaupun bentar doang. "Gue tunggu di kamar. Flight gue besok subuh-subuh."

"Oh?" Hera keliatan kaget. "Luar negeri?"

"Bukan urusan lo." Olla bangun terus pergi gitu aja.

Rena bisa liat kalau ekspresi Hera jadi kaku. Nggak lama sih. Habis itu, Hera ngembusin napas yang kedengeran banget kalau panjang bener. Kayak semi-semi frustrasi gitu, wak. Sama kayak Olla, dia juga cepetin makan.

"Gue ke kamar dulu." Hera berdiri pas udah kelar. "Tinggalin aja. Nanti ada asisten part time yang dateng buat bersih-bersih."

Rena ngelirik Bian yang nggak ngerespons. Jadi dia aja yang ngangguk sekalian wakilin abangnya. "Oke, my sweety bunny darling."

"NAJIS, RE!" Hera nimpuk muka Rena pake apel. "Simpen aja tuh panggilan buat Joshua."

"MAKSUDNYA!?"

Hera nggak bales lagi. Dia keluar dari ruang makan, ninggalin Rena sama Bian.

Rena ngehela napas. Ngeliat Hera sama Olla bikin dia jadi agak gimana gitu. Diliriknya lagi Bian yang juga udah mau kelar makannya.

"Bang," panggil Rena.

"Hm?"

"Lo sama Olla lagi ada masalah?"

"Dari dulu gue sama dia emang nggak pernah akur," sahut Bian.

Rena rolling eyes. "Terserah lo pada, deh."

Diem bentar. Pas Rena udah kelar makan, Bian nahan dia waktu Rena mau berdiri nyuci tangan.

"Kenapa?"

Bian natap Rena lekat-lekat sebelum bilang, "Respect ke Hera sama Olla. Gimana pun juga, mereka kakak lo."

Rena blas kediem seribu bahasa. Nggak paham tiba-tiba Bian ngomong gitu. "Jangan buang perangai gitu dong, sat!"

"Hubungan gue sama Hera atau Olla nggak perlu jadi urusan lo, Dek," kata Bian lagi.

Sumpah. Rena beneran ngang ngong di sini. Kek nggak ada angin, nggak ada guntur, Bian ngomong gitu. Rena mau nanya lagi tapi Bian keburu beranjak duluan. Ngedahuluin Rena yang masih kepaku dalem pikiran.

Rena auto geleng-geleng. Pas udah kelar bebersih dikit biar pun Hera bilang tinggalin aja, Rena cus ke kamarnya. Di lantai dua, sebelah kanan. Kamar paling ujung.

Pas udah nyampe, tadaaaa! Olla beneran udah nungguin dia. Olla duduk di salah satu sofa, sambil natap layar laptop di pangkuan.

Rena duduk di ujung ranjang. Ngeliatin Olla pas nyapa, "Mau ngomong apa?"

Tatapan Olla keangkat dari laptop. Nggak pake lama, tuh cewek langsung nutup laptopnya buat fokus sama Rena sekarang. "Masih galau soal Joshua?"

"Keknya udah cukup ngomongin Joshua, La." Rena ngedesah sambil mijit kepala. "Gue nggak tau mau jawab apa."

"Gimana perasaan lo ke dia?"

"La—"

"Renata." Olla motong. "Habis ini, gue nggak bisa jamin bakal ketemu sama lo lagi. Alesan kenapa gue mau ke sini itu karena lo."

Rena diem.

"Gue bakal sibuk banget. Jadi, gue mau coba bantu lo selagi masih ada waktu tatap muka gini."

"Gue nggak tau." Rena akhirnya luluh juga. "Gue sama Joshua udah temenan lama. Dia paham sama sifat gue, gue juga tau kelakuan dia."

"Then?" tanya Olla lagi.

Rena natap Olla tepat di mata. "Gue nggak tau."

"Habis ciuman itu, apa lo pernah bayangin dia ciuman sama cewek lain?"

"Please." Rena ngerang ketahan. "Dia udah punya cewek."

"Dan lo nggak suka sama ceweknya."

Rena mau kaget tapi somehow dia nggak bisa. Kakak-kakaknya ini emang seolah punya bakat buat ngebaca sebagian pikiran Rena. "Gue punya alasan buat nggak suka sama si lontay."

Olla malah ngasih smirk. "Lontay?"

Rena ngangkat bahu. "Dia problematik. Intinya, Joshua goblok bisa-bisanya pacaran sama dia."

"Itu pilihan Joshua," sahut Olla. "Kenapa lo yang permasalahin?"

"Lo nggak bakal ngerti," jawab Rena.

Alih-alih kesinggung apa gimana, Olla malah senyum sambil terus natap Rena.

Rena tau maksudnya apa. Olla mungkin nggak kayak Hera yang meledak-ledak atau Bian yang protektif mampus, tapi Olla juga nggak bakal berhenti sampai dia dapetin apa yang dia mau.

Jelas sekarang yang diincer Olla adalah jawaban jujur Rena.

"Gue kesel," ungkap Rena. "Kenapa cuma gue yang jadi berantakan gini? Kuliah nggak fokus, sembunyi-sembunyi mulu biar nggak ketemu dia, diinterogasi sama geng gue. Sementara dia adem ayem seolah nggak terjadi apa-apa."

"Dan?"

"BANGSAT!" Rena nutup muka pake telapak tangan. "Gue panas kalau bayangin dia ngewe sama ceweknya. Puas lo?"

"Akhirnya." Olla nyender ke bantalan sofa. "Lo nggak rela?"

"Lebih ke bisa-bisanya dia nganggep ciuman itu seolah bukan apa-apa. Gue sumpahin kontolnya jadi croissant!"

Olla malah ketawa. "Bengkok dong."

"NGGAK USAH PORNO!"

"Lo udah omongin ini sama dia?" tanya Olla lagi.

"Gue udah cerita kan?" Rena ngernyit. "Joshua bilang anggap aja itu nggak pernah terjadi."

"Lo berharap apa kalau ngomong meledak-ledak gini ke dia?" Olla merespons santai. "Udah pasti dia bakal nganggap lo sepele."

Rena buang muka. "Dia nyebelin."

"Pernah mikir lo sendiri nyebelin apa nggak?" Olla jujur aja. "Lo sering deeptalk sama dia kan?"

Rena ngangguk. "Udah lama, tapi."

"Ajak dia ngobrol persis kayak lo deeptalk," saran Olla. "Jangan meledak-ledak di depan dia. Bicara yang jelas. Kasih tau perasaan lo yang sebenernya gimana."

"Jangan bilang lo ngedukung Hera," keluh Rena.

Olla ngegeleng. "Gue percaya apa yang lo rasain lebih dari sekadar lo kurang belaian atau demen sama Joshua."

"Thanks." Rena ngehela napas. "Jadi, saran lo gue ngomong lagi ke dia?"

"Turunin ego lo. Bicara baik-baik. Komunikasi yang bener." Olla bangun terus ngacak-ngacak rambut Rena. "Itu saran gue."

Rena nyemburin napas lewat bibir. "Gue nggak yakin."

"Lo cuma perlu yakin sama satu hal."

Rena ngedongak. Natap Olla buat nunggu jawaban

"Kalau lo terus-terusan gini, cepet atau lambat, lo bakal dihadapin sama pilihan yang lebih sulit."

".... maksudnya—"

"Kehilangan Joshua atau kejebak penyesalan."


















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top