FRONTIER KALIMANTAN

Matahari senja menyaksikan kedatangan Edward Sutomo, sang monopoli sawit Kalimantan Timur pada halaman rumah kami. Dia datang membawa lima orang berseragam marinir. Mereka semua berdiri siap membawa laras panjang. Edward berdiri di depan mereka menggenggam pistol.

Abangku dan aku berdiri di hadapan mereka, membentuk pagar yang memisahkan mereka dari kebun sawit kami.

"Kalean mau apa ke sini lagi?" ucap abangku tegas.

"Kamu sudah tahu apa yang kami inginkan, Pak Hutahayan. Kamu sudah sangat menyusahkan usahaku.

"Aku sudah menawarkan banyak hal padamu, namun kau menolaknya."

"Tawaran apa? Pertama kau sudah menuduh kami mencuri tanah kau. Saat kita bawa ke sidang, ternyata tanah pabrik kau tidak ada bersilangan dengan tanahku. Bahkan, ada jarak dua hektar dari tanah kau dan tanahku.

"Kau mencoba mengirim preman untuk mengusir kami, membakar buah-buah kami untuk mengusir kami.

"Terakhir, kau datang menawarkan kami uang agar kami pergi. Dan sekarang kau berharap apa? Kau ingin mengusir kami dengan paksa? Persetan!" tegur abangku meluapkan amarahnya kepada Edward. Kemudian, dia menutup dengan melepeh ke tanah.

"Kau hanya berkata-kata hampa nak. Memang —"

Sebelum Edward bisa menyelesaikan kata-katanya, abangku melemparkan tiga barang kepada kakinya. Sebuah cincin bergambarkan banteng dan pistol, sebuah ponsel tempur, dan brevet keamanan pabrik milik Edward.

Kemudian abangku mengambil ponselnya dan memanggil ponsel pribadi Edward. Dan kita semua mendengar ponsel Edward berdering di udara Tepian Langsat yang sepi.

"Aku mendapatkan nomor kau dari ponsel temanmu," ucap abangku dengan kesal.

Edward tersenyum, namun senyuman yang diberikan memiliki paras yang tidak enak dilihat oleh mata. "Jadi, apa yang anda mau Pak Hutahayan?"

"Kau sudah tahu Pak Sutomo. Kalau kau ingin bekerja sama denganku atau membeli buah sawitku dengan murah pun tidak masalah. Tetapi, kau tidak dapat membeli tanahku. Titik.

"Jika kau tidak punya tanggapan terhadap tawaranku, aku akan kembali kepada kegiatanku," tutup abangku sambil membalikkan punggungnya dan berjalan kepada truk yang parkir di hadapan rumah kami.

"Hilman, lanjut bantu abang mengangkut cangkang sawit kita ke atas truk."

"Baik bang!" tanggapku kepada abangku sambil mengikuti dia berjalan.

Seiring kami berjalan, aku mendengar Edward terkekeh dengan suara yang dimulai pelan hingga mengeras. "Aku senang kejadiannya seperti ini!"

BLARR!!!

"AAARRGH!"

"Bang Otto!" teriakku kepada abangku yang tersungkur merintih. Sendi bahu kanannya pecah karena tembakan pistol Edward.

"Kamu kira kamu siapa!? Kamu kira kamu bisa seenaknya membelakangiku!?" bentak Edward menghina kami. "Kalian bukan siapa-siapa!"

Aku menatap sinis kepada Edward sambil mencoba untuk menggotong abangku ke dalam rumah. Luka abangku mengucur deras membanjiri lenganku yang memeluk dadanya.

"Apa maumu menatap aku seperti itu?" ucap dia melanjutkan untuk menghina kami. "Tidak ada yang peduli dengan kalian. Kita jauh dari ibu kota. Tidak akan ada yang melindungi kalian. Kalaupun ada, mereka hanya membantu kalian agar mendapat dukungan politik," ucapnya kepada kami.

Seiring dia melanjutkan monolog hinaannya, aku bergegas menarik tubuh abangku yang terduduk lemas di atas tanah.

Dia melanjutkan untuk menembaki aku dan abangku dengan pistolnya. Dia dengan sengaja menembak secara sembarang, mempermainkan aku bagai cacing di atas aspal yang panas.

"Ini Kalimantan," lanjut Edward sambil menembakan peluru dari pistolnya. "Ini adalah pulau frontier. Pemerintah tidak tahu apa yang terjadi di sini dan mereka tidak akan pernah tahu. Kita yang menentukan aturannya. Yang berkuasa yang menentukannya. AKU, yang menentukannya.

"Aku adalah sang hakim. Dan hasil penghakimanku menyatakan kalian adalah jahat. Kalian —"

Kalimat dia aku potong seiring aku membanting pintu rumah kami. Abangku berhasil aku amankan.

Aku menarik tubuh abangku kepada sofa ruang tamu. Aku memposisikan dia jauh dari pintu agar dia tidak menjadi target mudah.

Aku ingin menggeser lemari untuk menghadang pintu. Namun, tenagaku hilang  dengan seketika, panik mulai menyelimuti benak pikiranku. "Kenapa ini terjadi bang!? Apa yang bisa kita lakukan? Aku tidak tahu. Bagaimana. Bagaimana. Bagai —"

"Hilman!" bentak abangku menyadarkanku.

"Aku tahu kau tidak terbiasa dengan ini. Tetapi, kenyataannya seperti ini, sss arrh. Mereka sudah di ujung tanduk. Selama 50 tahun ayah menghadang dia untuk mengambil kebun kita. Dan aku, abangmu, sudah menghadang dia selama 20 tahun.

"Pandemi tahun lalu pun membakar rasa putus asa Edward. Dia merugi karena krisis ekonomi. Dan dia merugi karena kita yang menolak tawarannya. Sekarang, pilihan termurah dia adalah dengan 'menghilangkan' kita."

"Terus, kalau abang tahu itu, kenapa abang tidak terima saja?" pintaku sambil menahan tangis. "Kalau a —"

"Hilman, kau tahu ini hidup kita. Kalaupun aku menerima uang itu, mau kita apakan? Hm? Kita berlari ke kota yang hanya menerima orang-orang berijazah.

"Ditambah lagi, ini titipan ayah kita Hilman. Paham? Kita bertanggung jawab kepada mereka yang sudah berpulang."

Mendengar argumen abangku, aku paham maksud dia. Dia sudah terlalu tua, dia sendiri pun diujung tanduk karena seumur hidup dia adalah kebun ini.

"Baiklah bang," ucapku mengalah dan menangis melihat abangku berlaga kuat untukku.

"Sudahlah, jangan kau nangis, errgh. Sekarang, tolong ambilkan 'Si Jugul' di belakang, argh."

"Ya bang," balasku. Namun, seiring aku berdiri, jendela rumah kami pecah.

PRANG!!!

"Kalian masih akan bersembunyi di dalam kah? Pengerat parasit!?"

Aku merunduk takut akan terkena tembakan Edward.

Abangku yang melihat aku takut, menatapku tenang. Dia memberikan anggukan yang berkata "Aku percaya padamu dek."

Dengan itu, aku merayap dengan gesit dan terus beranjak lari. Aku melesat menyeberangi dapur dan menuju teras belakang rumah.

Pada dinding yang menghadap arah matahari terbit, tergantung sebuah senjata, sebuah crossbow. Senjata itu dibangun oleh abangku menggunakan sebalok kayu ulin, per suspensi truk dan rel laci dapur. Di atasnya, dibuat sebuah engkol agar senjata itu dapat menembak panah secara berulang. Di sisinya, terlukis nama 'Si Jugul'.

Aku mengambil senjata itu dari dinding dan melesat kembali ke tempat aku meninggalkan abangku.

Saat aku tiba di ruang tamu, aku melihat ada jejak darah dari sofa kepada pintu. Aku menemukan abangku berbaring tengkurap memandang keluar dari celah pintu.

"Kau sedang apa bang?!" bisikku dengan nada sangat khawatir.

"Aku sedang mengukur jarak bajingan itu. Kau sudah bawa 'Si Jugul'?"

Aku memberikannya kepada abangku tanpa sepatah kata. Aku terdiam, berusaha keras untuk tidak bertingkah karena panik.

"Hilman, kau bersiap di engkol. Pompa panahnya beriringan dengan aku yang menarik pelatuk. Paham?" ucap abangku dengan suara yang mulai lemas menahan sakit. Kulitnya mulai pucat karena pendarahan yang tak kunjung berhenti.

Aku mengangguk mengiyakan sambil berusaha menghentikan tangis.

"Kau tahu Hilman? Dia mungkin seorang bajingan, tetapi aku setuju dengan Edward. Kalimantan adalah pulau frontier, kita yang menentukan penghakiman kita sendiri. Kita memang bagian dari Indonesia. Tetapi kenyataannya, kita diabaikan semenjak kemerdekaan hingga sekarang.

"Dan sekarang, ini penghakimanku padamu. Edward Sutomo."

KRAK. SSSUTT! KRAK. SSSUTT! KRAK. SSSUTT!

Kami melontarkan tiga anak panah ke arah Edward yang melangkah perlahan ke arah rumah kami. Panah itu melesat dan menanamkan diri pada betis Edward. Mereka tertancap rapih bagai anak tangga dari tumit hingga ke pangkal lutut.

"EEEAAAARRRGGHH!!!"

"KAU TADI BERTANYA KAN, 'SIAPA AKU?!'" teriak abangku tiba-tiba. "AKU ORANG YANG BARU SAJA MENEMBAK KAKIMU EDWARD!"

Dari suara dia, aku tahu teriakan itu telah menghabiskan tenaga terakhir abangku. Tangannya mulai bergetar lemas. Paru-parunya mulai memompa udara dengan tidak beraturan.

Kemudian, aku mendengar dari celah pintu. Edward meneriakan perintah kepada para marinir di belakangnya, "Kenapa kalian hanya diam! Mereka hanya hama! Basmi kedua hama itu!

"Aku tidak membayar kalian untuk menjadi patung pengusir burung! Apakah kalian ingin mengecewakan pemimpin kalian karena gagal melindungi 'kepentingan masyarakat'?!"

Mereka mengangkat laras panjang dan mengarahkannya kepada kami. Aku memandang wajah mereka yang segan untuk menarik pelatuk. Namun, mereka tetap menembakkan larasnya.

Aku bergegas untuk menjauhkan abangku dari pintu depan rumah. Dia ku bawa ke dapur. Dinding kami yang terbuat dari kayu ulin memberikan aku kesempatan untuk menjauh tanpa ada ancaman.

"Hilman, dengarkan abang."

Aku menatap kepadanya, memperhatikan kata-kata dia dengan wajah memelas.

"Orang-orang ini tidak akan menyerah. Dan aku tidak yakin kita berdua akan selamat —"

"Jangan bicara seperti itu bang. Kita pasti bertahan. Kita bisa lari ke kota dan meminta bantuan polisi ata —"

PAK!!

Tangan dia yang terbuka dihantamkan kepada wajahku.

Aku terdiam dan meraba-raba pipiku yang memerah secara perlahan. 

"Dengar Hilman, kita sudah hidup bersama dan kita sudah menghadapi beragam masalah. Apakah polisi atau tentara atau keamanan masyarakat membantu kita?"

Dengan wajah berselimutkan air mata, aku hanya bisa menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan abangku.

"Kau tahu itu. Sekarang, dengarkan abang. Abang sudah lama mempersiapkan akan hari ini juga. Apakah kau masih ingat apa yang abang ajarkan setiap kita panen?"

"I-iya, hiks. Berjalan terus ke arah timur, hanya pijak jalan yang berhias sampah basah dan daun pisang. Selalu melompat setiap ingin berbelok."

Mendengar itu, dia tersenyum dan meraihkan tangannya kepada kepalaku. Dia mengusap rambutku dengan lemas.

"Bagus, ikutilah jalan itu, kau pasti aman. Mereka tidak tahu akan jebakan-jebakan yang telah aku persiapkan.

"Dan, aku ingin engkau melakukan satu hal terakhir. Ambilah jerigen bensin kita dan tumpahkan di lahan kita selama engkau berlari. Aku ingin kejadian ini menjadi pesan untuk Edward dan bajingan-bajingan seperti dia. Mengerti?"

Aku hanya mengangguk sedih.

"Berangkatlah."

"Tapi, a —"

"Berangkat kau kubilang!"

BRAK!!!

Pintu kami dihantam terbuka oleh kelima marinir. Mereka mulai menembaki kami dari ruang tamu, menyilang ke dapur.

Aku segan, namun kakiku menarik aku keluar rumah dan melompati teras belakang. Aku melesat ke dalam kebun kami. Aku pun menyempatkan untuk mengambil jerigen bensin yang berada di bawah teras.

Dari kejauhan, aku mendengar abangku mengambil sisa tenaganya dan berteriak, "MAJU KALIAN! MAJU, PELAWAK-PELAWAK YANG BERLAGA PELAYAN MASYARAKAT!"

Kalimat terakhirnya ditutup oleh dentuman pistol dari dalam rumah.

Aku membeku di tempat. Rasa bersalah, sedih, dan amarah meluap dan bergejolak di dalamku. Tetapi, aku memaksa untuk menutup mata dan berusaha untuk menghormati perintah abangku.

Seorang marinir mendapati aku berdiri menghadap kepada rumahku. Dia mengangkat larasnya dan menembakkannya padaku.

Aku merunduk dan berlari ke dalam hutan. Aku memastikan langkahku sama seperti yang diajarkan abangku, sejajar dengan rute panen kami. Aku juga memenuhi perintahnya untuk menumpahkan bensin di atas lahan kebun kami.

Walaupun aku berlari dengan sekuat tenaga, fisik para marinir lebih kuat lagi. Mereka melesat mendekati aku. Rekan-rekannya menghujani aku dengan tembakan untuk menakut-nakuti dan satu fokus hanya untuk mengejarku.

Saat aku tiba di perempatan kebun, 720m dari rumah, aku tidak mendengar derapan langkah dia lagi. Hanya suara angin yang mengeras sementara, lalu kembali tenang.

Saat aku berbalik badan, semua sarafku membeku. Aku memandang kepada tubuh marinir yang menatap kosong kepadaku. Sebuah batang pohon menahan badannya tegak dari pinggang. Sebagian isi perutnya dan darah menyarungi batang pohon.

Perutku tidak tahan lagi. Aku muntah di saat itu juga. Aku menopang diriku sambil menatap ke permukaan tanah.

Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku merasa lega setelah muntah. Seakan, gejolak emosi yang ada di dalamku terbuang bersama isi perutku.

Ketenangan itu tidak bertahan lama. Keempat marinir yang mengejarku mulai mendekat dan mereka tidak berhenti untuk menembaki aku.

Aku lanjut berlari mengikuti rute panen dan tidak akan memandang ke belakang. Aku tidak ingin melihat 'bantuan' abangku bekerja.

Langkah demi langkah aku berlari. Jarak demi jarak aku lalui. Dan, raungan demi raungan marinir yang kesakitan karena disambut oleh jebakan-jebakan yang disisakan oleh abangku.

Hanya sisa seorang marinir yang mengejarku. Langkah dia tidak laju, namun terkendali. Dia mulai perhatian akan jebakan-jebakan yang berada di dalam kebun ku.

Aku yang telah hafal rute memompa tenaga kepada kakiku sekuat mungkin. Aku melesat dan memperluas jarak dari sang marinir.

Tiba-tiba..., aku mengantam suatu permukaan yang lembut namun padat. Aku terjatuh, terduduk di atas gundukan dedaunan.

ROOOAAARR!!!

Mataku memindai permukaan itu hingga ke puncaknya. Aku memandang kepada muncung yang mengeluarkan raungan keras itu. Kedua cakarnya diangkat, bersiap untuk mencabik. Sebuah beruang hitam berdiri di hadapanku.

Aku berteriak "YYAAARHH! YYAAARHH! YYAAARHH!" seiring aku mengangkat jerigen untuk menjadi pelindung dari gigitan beruang itu.

Aku berhasil menghadang mulutnya. Namun, aku gagal menghadang dia dari mencabik-cabik aku dengan cakarnya.

Aku merintih kesakitan saat kulitku teriris. Aku bisa merasakan tulang rusukku retak saat lengannya menghantam dadaku.

Dia kembali mencoba untuk menggigitku, tetapi dia kembali menggigit jerigen bensin yang aku bawa. Dan, di saat itu juga jerigen bensin itu bocor dan menyengat penciumannya.

Pada kesempatan itu, aku berlari kembali ke arah datangnya marinir. Aku tidak berpikir panjang. Aku hanya tahu untuk melesat secepat mungkin, menjauh dari beruang itu.

Adrenalin memberikan aku tenaga baru, semua terasa lambat dibandingkan aku yang melesat. Dia pun membutakan aku akan marinir yang menembaki aku. Dia menopangku berlari menuju dan meninggalkan marinir yang ingin membasmi aku.

Tetapi, dukungan dia tidak bertahan lama. Aku jatuh seketika tanpa menyadari apa yang terjadi di dalam badanku. Aku merasa lemas walaupun mataku masih kuat terbuka.

Aku tergeletak di atas tanah. Wajahku memandang kepada sang marinir. Aku melihat apa yang terjadi padanya bagai cuplikan-cuplikan. Pada satu gambar dia menembaki beruang hitam itu. Lalu, gambar selanjutnya menunjukan beruang hitam itu sedang memakan dia.

Aku terbaring di atas tanah menatap biru gelap petang menyongsong, menyelimuti langit. Malam telah tiba di Tepian Langsat. Aku ingin rehat.

"Kau belum selesai Hilman. Kau tidak menghormati pengorbanan abangmu kah? ..., hormati abangmu? ..., abangmu. ..., ab —"

"Abangmu bangsat Hilman! Eeeargh!"

Aku terbangun sementara dan memandang Edward tergopoh-gopoh berjalan ke arah aku terbaring. Dia menodongkan senjatanya dan menarik pelatuknya.

"Maafkan aku bang, aku gagal."

KLIK. KLIK. KLIK.

"Pistol tak berguna," ucap Edward sambil melemparkan pistolnya ke tanah. "Aku akan membasmi hama ini sendiri."

Dia melangkah tergopoh-gopoh kepada tubuhku yang terbaring lemas, lalu dia berlutut.

Kedua tangannya dia bungkuskan kepada leherku. Dia menguatkan genggamannya secara perlahan, mempersulit udara untuk mengisi paru-paruku.

"Kalian hanya hama! KALIAN HANYA HAMA! BERANI-BERANINYA KAMU MENGURAS UANGKU! TIDAK ADA YANG BISA MELANGKAHI KEHORMATANKU!"

Aku merasakan dia kembali. Dia kembali memompa semangat ke dalam tubuhku. Kakiku mulai menendang-nendang tanpa arah.

Kemudian, aku mulai merasakan genggaman Edward mulai mengendur. Aku melihat dengan samar wajahnya yang sedang menahan sakit. Dia menarik bahunya ke arah datangnya rasa sakit.

Aku mendapati kakiku sedang menginjak salah satu anak panah yang tertanam di dalam kaki kiri Edward.

Dengan dukungan dia, aku kembali menendang luka pada kaki Edward. Berulang aku lakukan seiring aku merogoh saku, mencari benda keras.

Lalu..., THWANG!

Aku menghantamkan sebuah korek besi kepada pelipis Edward. Darah mengucur dari sebelah matanya.

"Kenapa kau masih berusaha hama!?" teriak dia menahan sakit dengan meraba luka di wajahnya.

Aku tidak membalas dia dan mengumpulkan tenaga untuk bergulat dengan dia. Dia tidak mendengarnya, namun aku mendengar. Beruang hitam itu akan kembali.

Lenganku menggeliat untuk mengikat lengan Edward. Edward membalas gulatanku untuk melepaskan diri. Aku gagal berulang kali, namun aku tidak bisa menyerah. Aku terus berusaha hingga akhirnya...,

RROOAAARRHH!!! ROAARH!!!

"Apa itu?" ucap Edward panik. Aku bisa melihat warna kuning kulitnya semakin terang.

Aku langsung bergegas menendang kakinya untuk melengahkan Edward. Lalu, aku melilit kedua lengan dia ke permukaan dadaku, menghadapkan perutnya ke udara. Kakiku menahan kaki Edward yang terluka oleh panah.

"Apa yang kau lakukan hama!? Lepaskan! LEPAS!" pintanya penuh amarah. Dia pun menggeliat sekuat tenaga untuk melepaskan diri.

Aku merasakan tenagaku mulai habis dengan perlahan. Tetapi, aku harus bertahan.

Rasa amarah Edward pun pudar dalam sekejap.

HUURRH..., HUURRH..., HUURRH...

Beruang itu benar kembali. Ritme Edward menggeliat mulai tidak terkendali. Dia merasakan takut yang amat sangat.

"Hei nak, lepaskan aku. Lepaskan," ucapnya dengan suara yang mulai bergetar. "Aku bisa membuatmu kaya, penguasa Kalimantan Timur ini. Lepaskan. Ayo, lepaskan."

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya tercengang akan perubahan wataknya. Inilah watak orang berkuasa saat dia mengetahui keterbatasannya.

Aku mendengar derapan kaki beruang itu yang semakin melaju ke arah kami. Lalu, beruang itu mulai berdiri, bersiap untuk mencabik kami.

Edward tersenyum risih, berharap aku akan menerima tawarannya. Namun, aku hanya menutup mata dan membuang muka. Aku menyembunyikan kepalaku di balik punggungnya.

"Tidak, tidak, TIDAAAAK!!! EEEARRRGHH!!!!

"AAAARRGGH!

"HHHARRGH!"

RRROAAARHHH!!!

Aku menutup mata dan berdoa agar Tuhan ataupun arwah abangku melindungiku. Aku bisa merasakan kekejaman beruang itu saat mencabik-cabik Edward. Tenaga beruang itu sangat terasa hingga ke tulang-tulangku.

Salah satu lengan beruang itu menimpa kakiku yang mengekang kaki Edward. Tulangku tidak kuat menopang berat beruang itu. Aku merasakan tulang keringku patah. "Hrmph..., tahan Hilman."

Seruan Edward sudah tidak terdengar lagi. Hanya deruan nafas dan kecapan mulut yang menikmati Edward tersisa.

Dengan tenaga terakhirku, aku memberanikan diri untuk menjauhkan diri dari sang beruang hitam. Aku tahu dia akan melihatku, tetapi aku harus mengambil kesempatan ini.

Aku menarik badanku yang telah rusak tercabik dari bawah badan Edward. Aku menatap sang beruang hitam dan sang beruang hitam menatapku.

Dia melesat kepadaku dan aku bergegas melemparkan korek besi yang telah aku nyalakan. Mancis itu bertemu dengan leher beruang itu dan membakar bulunya. Apinya merambat dan menyalakan bensin yang terlumur di wajahnya.

Beruang itu berlari dengan panik. Panas api yang memeluk wajahnya membutakan arah dia. Dia berlari menabrak ke segala arah. Seiringan, dia menyalakan bensin yang telah aku tumpahkan di permukaan kebun.

Aku menggunakan tenagaku yang tersisa untuk merayap ke timur. Kakiku terseret lemas di atas permukaan tanah, meninggalkan tubuh-tubuh Edward dan kroninya.

Lidah api menjilat kebunku dengan cepat. Mereka mengepung aku yang merangkak lemah di bawah langit malam.

Aku mengabaikan mereka dan terus menarik badanku. Aku tahu aku tidak memiliki tenaga lagi. Badanku hanya bergerak dengan sendirinya, membawaku hingga menyeberangi sungai yang membatasi ujung lahan kami.

Saat aku sampai di seberang sungai, aku menarik badanku dan menyandarkan diri kepada sebatang Pohon Ketapang. Aku menatap kepada kebunku yang terbakar.

Mataku mulai basah, terbasuh air mata. Aku merasa bersalah dan berterima kasih kepada abangku. "Aku janji akan menghormati engkau Bang Otto.

"Sekarang, aku harus istirahat dulu untuk mengumpulkan tenaga sebelum aku melaksanakan tugasmu."

======================================¤¤¤=======================================

VOTE, COMMENT, AMA FOLLOW YA!

Dah mampir masa ga ngucap salam.

Makasih dah mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top