15 : KEKURANGAN REMY

Lukas tertegun mendengar permintaan Nesia yang sepertinya serius. Padahal, Lukas pikir semalam hanyalah isapan jempol belaka, tapi nyatanya hari ini Nesia mengulang kembali keinginannya untuk menyertakan pasal tanpa seks dalam perjanjian mereka.

Tidak tahukah gadis ini berapa banyak perempuan yang ingin bergelung manja setelah bercinta dengan Remy?

"Apakah ... Anda yakin, Nona Nesia?" Lukas menatap mata Nesia dengan ragu.

Tentu saja bukan karena meragukan ucapannya sendiri, melainkan meragukan permintaan Nesia. Namun, gadis itu menjawab dengan tegas tanpa keraguan, "Ya. Tentu saja saya yakin, Tuan Lukas. Apakah ada yang salah dengan permintaan saya?" Nesia balik bertanya.

"Oh, tidak! Tentu saja tidak salah. Hanya saja mungkin Anda akan menyesalinya jika Anda melewatkan sesi bercinta dengan Tuan Remy." Lukas bertanya dengan terus terang. Diamatinya wajah gadis di depannya itu, yang tiba-tiba terlihat menggemaskan.

Blush! Seketika wajah Nesia memerah.

Mana mungkin Nesia menyesal jika melewatkan kesempatan bercintanya dengan lelaki arogan itu? Dia berjanji dalam hati untuk tidak tertarik sama sekali dengan suaminya itu, apalagi sampai bercinta.

Nesia tersenyum masam sambil melangkah menuju ke kursi ruang makan ini.

"Satu-satunya penyesalan saya adalah harus terdampar di rumah besar dengan segala macam aturan yang tidak masuk akal ini, Tuan Lukas," tegas Nesia mendongak untuk menatap Lukas yang mengikuti langkahnya.

Lukas tersenyum melihat ketajaman omongan Nesia.

"Baiklah, Nona. Mungkin Anda memang perlu sarapan pagi dengan segera agar mood Anda menjadi lebih baik. Saya permisi karena harus menemui pengacara pagi ini," pamit Lukas kemudian meninggalkan Nesia untuk menikmati sarapannya sendirian.

Menatap menu-menu itu membuat Nesia bingung. Mau dihabiskan sendiri jelas dia tidak akan mampu, tetapi membiarkannya hanya untuk dibuang jelas bukan hal bijak. Karena di luar sana, bahkan kehidupan Nesia sebelumnya juga sangat sulit mendapatkan makanan enak dan bergizi cukup seperti ini.

Maka ketika mendapatkan ide bagus, gadis itu tersenyum. Dia berdiri dan bergegas menuju ke dapur untuk mencari Bu Maryam dan mbak Ani.

"Bu Maryam? Mbak Ani?" Nesia berjalan ke arah dapur untuk mencari Bu Maryam dan Ani.

Kedua perempuan yang sedang bekerja di dapur itu menoleh bersamaan.

"Ya, Nyah," jawab bu Maryam segera mengelap tangannya dan mendekati Nesia.

Nesia terkejut mendengar bu Maryam menyapanya dengan sebutan 'Nyah' yang artinya jelas nyonya.

"Sini, Bu Maryam, Mbak Ani. Saya bilangin." Nesia meminta kedua pembantu itu untuk mendekat dengan senyum ramah. Sangat berbeda dengan ekspresinya ketika mengkonfrontasi Remy beberapa saat tadi, membuat Bu Maryam dan Ani bingung.

Kedua perempuan itu akhirnya mendekat.

"Jadi begini, Bu Maryam dan Mbak Ani, ya. Mungkin, selama beberapa waktu kedepan, saya akan tinggal di sini. Kalian tentu bertanya mengapa saya menetapkan beberapa waktu kedepan, kan?" tanya Nesia menatap kedua pembantu itu.

Bu Maryam dan Mbak Ani saling pandang kemudian mengangguk.

"Kalian tahu, kan, bahwa calon istri Tuan Remy melarikan diri? Nah, saya hanya menggantikan dia secara tertulis saja. Jadi nanti kalau perjanjian ini selesai, saya akan keluar dari sini. Jadi, sebaiknya kalian berdua tidak bersikap formal sama saya. Karena saya bukan nyonya rumah yang sebenarnya. Mengerti?" Nesia menatap pada kedua pembantu itu.

Mbak Ani dan Bu Maryam saling pandang dengan ekspresi bingung.

"Bagaimana bisa begitu, Nyah? Nanti Tuan marah kalau kami tidak formal sama Nyonya," Bu Maryam terlihat tidak setuju dengan permintaan Nesia.

"Ck. Sudah abaikan saja dia. Anggap saja saya ini juga pekerja seperti kalian. Dan memang kenyataannya seperti itu, kan? Hanya ada sedikit perbedaan saya sama kalian. Kalian digaji, kan? Saya juga digaji untuk berpura-pura menjadi istri beliau, kan?" Nesia mencoba meyakinkan kedua pembantu itu.

Bu Maryam dan Ani semain heran mendengar hal ini.

"Memangnya ada nikah seperti itu, Nyah?" Ani menatap Nesia dengan tatapan penasaran.

"Tentu saja ada. Buktinya Tuan Remy menikahi saya dengan perjanjian, kan?" tanya Nesia.

Kedua perempuan itu manggut-manggut.

"Nah, jadi mulai sekarang kalian jangan bersikap terlalu formal sama saya." Nesia kali ini berhasil meyakinkan Bu Maryan dan Ani.

"Nanti kalau Tuan Remy marah bagaimana? Nanti dikiranya saya tidak menghargai Nyonya." Bu Maryam masih belum bisa menghilangkan keraguannya.

Nesia tersenyum.

"Kalian bisa panggil saya kalau ada Tuan Remy saja, bagaimana?" Nesia menawarkan solusi lain untuk menghilangkan kesenjangan antara dirinya dengan para pembantu itu.

Sejujurnya karena Nesia merasa risih dan tidak seharusnya diperlakukan dengan demikian istimewa. Bukankah semua ini hanya sementara?

Bu Maryam dan Mbak Ani saling pandang dengan senyum kemudian mengangguk setuju.

"Nah, karena kalian sudah setuju, maka mari temani saya sarapan. Sayang, kan, sarapan pagi yang kalian siapkan tidak disentuh sama Tuan Remy?" pinta Nesia.

"Sarapan?" Bu Maryam takjub mendapat tawaran seperti itu. Bertahun-tahun bekerja di rumah ini, tak sekalipun pemilik rumah ini mengajak mereka makan bersama karena memang beda posisi. Bahkan, teman perempuan Remy sekalipun sangat mengkotakkan diri jika berurusan dengan pembantu di rumah ini.

"Iya, sarapan. Apakah tawaran saya ada yang salah?" Nesia bingung karena sepertinya Bu Maryam canggung dengan tawarannya.

"Tidak, Nyonya. Tidak ada yang salah dengan sarapan. Hanya saja, sepertinya tidak lazim jika Anda mengajak kami makan bersama." Mbak Ani menjawab dengan senyum canggung.

Bu Maryam mengangguk untuk menimpali.

"Sarapan yang kalian siapkan itu akan sia-sia kalau tidak dimakan. Lagian Tuan Remy tidak ada di rumah, kan?" Nesia menatap kedua perempuan itu.

Meski bimbang, namun keduanya mengangguk setuju.

"Nah, biar tidak canggung, kita bawa saja makanan itu di dapur. Kita bertiga sarapan di dapur, bagaimana?" tanya Nesia dengan ceria.

"Tapi, Nyah?" Bu Maryam terlihat ragu. Namun, Nesia tak mau tahu. Diraihnya tangan mereka untuk diajak ke ruang makan. Meski jelas kedua perempuan pembantu itu ragu dan ingin menolak, tetapi mereka merasa tak berani menolak ajakan bernada perintah dari nyonya baru di rumah ini.

"Kalau kalian tidak mau makan di sini, mari kita bawa makanan ini ke dapur dan kita akan sarapan bertiga. Oke?" Nesia kemudian mengambil menu sarapan yang tersaji sia-sia itu dan mengajak keduanya untuk melakukan hal yang sama.

Keunikan Nesia membuat Bu Maryam dan Tutik tersenyum geli sekaligus was-was kalau-kalau Remy tidak menyetujui apa yang dilakukan Nesia. Bisa saja mereka terkena dampak amarahnya, bukan?

***

Kantor tempat Remy memusatkan segala aktivitas usahanya sudah mulai ramai dipenuhi oleh pekerja. Beberapa pekerja yang berpapasan dengannya menyapa dengan santun. Namun tidak sedikit yang kasak-kusuk melihat kedatangan Remy di kantor pagi ini.

Bukankah kemarin baru saja dia menikah? Mengapa sudah tiba di kantor sepagi ini?

Namun, jelas bahwa Remy akan mengabaikan semua hal tak penting itu. Toh tidak ada yang benar-benar berani bertanya padanya, kan?

Tiba di ruangannya yang sudah bersih, Remy berdiri menghadap ke arah jendela yang mengarah pada pemandangan kota. Kabut tipis yang menyelimuti langit kota membuat suasana sedikit suram. Mendung yang menggayut kemungkinan akan menurunkan hujan hari ini. Remy masih berusaha melupakan sikap menantang yang dilakukan Nesia tadi pagi di ruang makan. Ada yang terasa mengganggu pikiran Remy, karena seumur hidup dia tak pernah ditentang sedemikian terang-terangan. Biasanya semua orang tunduk dan patuh padanya.

Tapi mengapa perempuan yang satu ini justru melakukan hal yang bertolak belakang?

"Hei, halo, Pengantin Baru." Sebuah suara terdengar membuat lamunan Remy mendadak berhamburan.

Tanpa menoleh pun Remy tahu siapa yang begitu berani memasuki ruangannya tanpa permisi itu. Remu membalikkan tubuhnya dan melihat si pemilik suara. Sebuah senyum penuh cibiran langsung terlihat oleh Remy.

"Apakah sekarang kamu begitu miskin sehingga masa bulan madu pun kamu isi dengan bekerja?" tanya Edo, teman yang juga manajer di perusahaan miliknya ini.

Remy hanya tersenyum masam, tak menjawab sama sekali. Remy terlalu hafal dengan tingkah dan perangai teman lamanya ini.

"Apakah kamu tidak punya pekerjaan sehingga harus merusuh ke ruanganku sepagi ini?" tanya Remy dengan datar.

Edo tertawa. Remy selalu seperti itu. Bersikap terlalu kaku dalam menjalani hidupnya.

"Jangan terlalu formal dalam menjalani hidup, Remy. Jadi bagaimana malam pertamamu? Apakah sesuai ekspektasimu? Apakah dia cukup memuaskan? Apakah penyakitmu teratasi?" Wajah Edo terlihat serius ketika dia bertanya mengenai penyakit yang diderita Remy.

Remy terdiam.

Edo tak salah jika menanyakan hal ini, karena memang hanya Edo yang mengetahui kekurangan Remy. Kekurangan yang cukup meresahkan bagi kamu pria. Kekurangan Remy itu adalah ....


***



NOTES:

Nah, kalian penasaran apa kekurangan Remy?

Tetap simak kelanjutannya, ya? Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top