04. ALFA | Jangan Mengusik Orang yang Sudah Mati

"Apa kubilang? Suatu saat pasti ada yang salah paham." Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan, tampak berusaha keras menyembunyikan tawa. "Lagian ke mana-mana berdua melulu, sih!"

Alfa tidak bisa berbuat apa-apa saat gadis di sebelahnya kembali tergelak. Kali ini dia bahkan sampai terbungkuk-bungkuk memegangi perut dan Alfa sama sekali tidak ingin tahu bayangan macam apa yang baru saja singgah di pikiran gadis itu.

"Kamu pikir kenapa aku bela-belain ke sana bareng Neil?" Tidak tahan lagi, Alfa mengalungkan lengan kanannya di leher si gadis, menariknya mendekat, lalu mengacak-acak surai hitamnya gemas. "Demi siapa, hm?"

"Demi aku." Yang ditanyai memberikan cengiran. "Makasih, Kak. Love you pokoknya!"

Kali ini Alfa sengaja berlama-lama memandangi sosok itu dan lagi-lagi perasaannya terasa campur aduk. Rasanya bahagia, tapi tak rela. Lega, tapi juga was-was. Dia tahu ini hal yang benar, tapi jauh di lubuk hatinya dia masih belum siap melepas sang adik semata wayang ke pelukan pria lain.

Alfa agak bersentak saat sebuah tangan berkulit putih pucat terangkat di depan wajahnya dan memegang pipinya dengan sentuhan seringan bulu. Sepertinya tanpa sadar dia terdiam cukup lama.

"Kak?" Gadis itu memiringkan kepala dengan ekspresi penuh tanya. Netra beriris cokelat madu itu tertuju ke Alfa. Seperti biasa, sinar matanya terkesan dingin dan arah pandangannya tampak tidak fokus. "Melamun, ya?"

Alfa menggeleng. Dia tahu adiknya itu tidak akan bisa melihat gestur barusan, tapi dengan tangannya yang masih bertengger di pipi Alfa, pergerakannya pasti terasa.

"Aku mau tanya sekali lagi." Alfa melepas rangkulannya dan kembali menyandarkan punggung ke sofa. "Kamu benar-benar yakin, Ray?"

Orang yang dipanggilnya "Ray" mengangguk tanpa ragu. Sebelah tangannya terangkat ke depan dengan gestur menggapai sesuatu yang tak kasat. Menyadari itu, Alfa segera memberikan tangan kanannya.

"Yakin," jawabnya seraya menggenggam tangan Alfa erat-erat. Bibirnya melengkungkan senyum. "Aku yakin kak Neil yang terbaik yang dikirimkan Tuhan untukku."

"Glad to hear that."

Hanya itu yang ingin Alfa dengar. Tidak apa-apa kalau orangnya Neil. Sejujurnya Alfa pun tidak yakin ada pria yang lebih baik dari Neil untuk berada di sisi adiknya.

"Jangan berubah pikiran ya, Rayaku. Ngomong-ngomong, WO-mu titip salam."

"Orangnya seperti apa, Kak?" Raya mengulum bibir bawah, kebiasaannya kalau sedang gugup. "Sudah lama aku nggak ketemu orang baru."

"Dia ...." Tanpa sadar Alfa terkekeh saat mengingat pertemuan tadi sore. "Tenang saja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Kalau orangnya seperti Mila, dia yakin Raya bisa langsung akrab tanpa masalah.

"Oh?" Kali ini Raya memasang wajah penuh minat. "Ada hal menarik lagi? Selain dia mengira kalian berdua homo-an?" Gadis itu tampak siap melanjutkan tawa.

"WO-nya digodain sama Alfa." Suara berat terdengar dari arah dapur. Tidak lama kemudian, Neil muncul sambil membawa nampan berisikan tiga cangkir teh. Sungguh calon adik ipar yang berbakti. Sayang sekali mulutnya ember.

"Entah kenapa aku nggak heran." Raya menyeringai. "Lalu?"

Neil menaruh nampan di atas meja dan memperbaiki letak kacamatanya yang agak melorot ke hidung. "Intinya Alfa bilang, 'Nggak mungkin aku belok, padahal ada orang secantik Mila di depanku'."

Ketika mengatakan itu, Neil sengaja melembutkan suaranya dan memasang senyum manis yang kesannya dibuat-buat. Alfa tahu pria itu sedang berusaha menirukan gayanya berbicara. Namun, alih-alih terdengar charming seperti dirinya, Neil justru mirip om-om yang sedang menyaru jadi banci dengan suaranya yang ngebass itu.

Aksi tersebut ditanggapi berbeda oleh Raya. Tawa gadis itu malah semakin keras dan kali ini ditambahi bumbu sindiran yang ditujukan spesial untuk Alfa. "Sudah pakai 'aku'? Biasanya sama orang baru suka sok formal pakai 'saya'."

"Nah, kan!" Neil menambahkan dengan berapi-api. Dia membungkuk untuk menata cangkir-cangkir di atas meja. "Padahal aku cuma telat 16 menit loh, Ray. Si Alfa gercep banget."

"Sekarang kenapa lagi, Kak? Mbak Milana penggemar Stephen Hawking? Atau jangan-jangan dia tertarik sama mekanisme hujan meteor?"

Alfa menjawab apa adanya. "Dia tahu tentang Orion."

"What a weird kink."

Mendengar tuduhan nyeleneh nan semena-mena itu, Alfa meraih bantal kursi dan melemparnya ke kepala Neil. Untungnya tepat sasaran. Neil sudah bersiap untuk membalas, tapi disela pertanyaan lain dari Raya.

"Terus gimana reaksinya mbak Milana?" Raya mendadak antusias. Sambil mengatakan itu, tangannya terulur ke depan dan perlahan meraba-raba pinggiran meja.

"Dia cuma ketawa," Neil meraih tangan kanan Raya, mengarahkannya ke cangkir, dan membantu gadis itu memposisikan jemari di bagian pegangannya. "tapi kentara banget dia mau melempari Alfa pakai tablet. Kasihan. Mukanya sudah merah padam gara-gara salah paham masalah per-homo-an, malah lanjut digodain Alfa."

"Iya, yang digoda banyak banget sampai pada baper, tapi nggak ada satu pun yang jadi!"

Suara itu membuat Alfa mengembuskan napas berat. Sejurus kemudian, dia menoleh ke samping, mengubah ekspresinya jadi lebih ceria, dan memberikan senyum terbaiknya pada wanita paruh baya yang baru saja bergabung dengan mereka. Dia siap untuk berdiri, tapi ternyata keduluan Neil yang sudah menempatkan diri di belakang kursi roda yang diduduki wanita itu.

"Aku nggak bermaksud menggoda siapa-siapa, Bunda. Tapi kan kadar toleransi baper tiap orang beda-beda. Kalau mereka menganggap sikapku yang sebenarnya biasa-biasa saja sebagai sesuatu yang lebih," Alfa mengangkat bahu dan mendesah dramatis. "aku bisa apa? Itu di luar kendaliku."

"Oh, God. Ngelesnya makin lihai."

Bundanya mendesah lelah dan menangkup pipinya dengan sebelah tangan, membuat bekas luka bakar di wajahnya menjadi sedikit terhalang jemari. Neil--sang calon menantu terbaik dekade ini--mendorong kursi roda Bunda dan jelas sekali sengaja menempatkannya tepat di samping sofa yang diduduki Alfa.

"Kamu nggak belok kan, Al?"

Lagi-lagi pertanyaan yang satu itu.

"Love is universal, Mother."

"Ya, Tuhan! Alfa!"

Dan Alfa pun mendapat hadiah cubitan di bahu.

"Alfa, kamu masih lurus kan, Nak? Enggak belok? Masih suka cewek? Malam tadi Bunda mimpi kamu kawin lari sama cowok berotot dan brewokan. Itu nggak bakal kejadian, kan? Perempuan masih menarik buatmu, kan? Sekarang coba pilih satu. Chris Hemsworth atau Scarlett Johansson?"

Sekarang Alfa jadi bertanya-tanya. Sebenarnya film apa saja yang ditonton ibunya belakangan ini? Genrenya pasti sangat random.

"Oh iya, Bun. Mengenai acara minggu depan--"

"Jangan mengalihkan pembicaraan!"

Raya terkikik di tempatnya.

"Masih. Nggak. Masih. Nggak. Masih. Dan aku lebih suka Elizabeth Olsen." Semua ini tidak akan selesai sampai Alfa memberikan jawaban yang diinginkan Bunda. "But you're still the winner in my heart, Queen."

"Sampai bundanya sendiri digombalin." Neil kembali menyeletuk.

"Sstt, Kak." Raya menegurnya. "Kayak nggak tahu saja. Diam dan nikmati dramanya."

Well, sepertinya situasi Alfa benar-benar menjadi tontonan yang menarik bagi dua sejoli tersebut. Padahal mereka berdua juga memiliki andil dalam menempatkannya di posisi sulit ini. Sejak Neil melamar Raya dua minggu lalu, sejak itu jugalah keseharian Alfa tidak bisa lepas dari pertanyaan "kapan menyusul". Biasanya desakan itu memang menghantuinya kapan pun dan di mana pun, tapi kali ini intensitasnya meningkat sangat signifikan. Pusingnya juga jadi bertambah berkali-kali lipat.

"Pokoknya sebelum kamu genap 30 tahun, Bunda harus punya calon menantu perempuan." Bunda memberi penekanan pada kata 'perempuan'. "Titik. Bunda nggak mau tahu!"

Dan Alfa pun melancarkan jawaban andalan yang sudah terbukti keampuhannya. "Amin. Do'akan saja ya, Bun."

Diam-diam Alfa sangsi sendiri. Peluangnya tipis. Nyaris tidak mungkin. Sebelum dia berumur tiga puluh? Mari lihat keajaiban macam apa yang bisa terjadi dalam waktu kurang dari empat bulan.

Meskipun sejujurnya Alfa lebih berharap keajaiban itu datang dalam bentuk lain dan bukannya dalam wujud jodoh.

***

Bunda tidak lagi mengungkit perihal "lurus atau belok" sampai beberapa saat setelahnya. Alfa pikir dia sudah aman untuk sekarang. Namun malamnya, sekitar sejam sebelum jadwal tidurnya yang biasa, Bunda meminta diantarkan ke kamar. Alfa cukup peka untuk tahu bahwa itu hanyalah alasan buat mengajaknya bicara empat mata, tetapi tentu saja dia tidak bisa menolak, bukan? Neil sudah pulang, sementara Raya masih mengobrol di ruang tengah bersama MaiㅡART yang bekerja di keluarga mereka.

"Tahun ini Profesor Morgan jadi keynote speaker di seminar dies natalis."

"Gilbert Morgan dari Stanford? Jadi kali ini temanya 'Space Technology?'"

"Aku tahu Bunda bakalan tertarik." Alfa sudah menduga ibunya akan bereaksi begini ketika nama teman lamanya disebut. Mereka sudah sampai di depan kamar. Dia membukakan pintu, lalu kembali mendorong kursi roda. "Tema seminarnya 'Space Science and Technology'. Not my specialty actually, but I have you! Ada saran apa saja yang harus kupelajari supaya nggak malu-maluin banget pas jadi moderator?"

Tidak ada salahnya meminta saran tambahan dari orang yang lebih ahli di bidang yang bersangkutan.

Bunda manggut-manggut sesaat. "Kayaknya dia baru saja publish jurnal baru, tapi besok saja deh kita bahas."

Dan dengan begitu, berakhirlah usaha Alfa untuk membelokkan pembicaraan ke arah pekerjaan.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia memberhentikan kursi roda di samping tempat tidur dan menggendong bundanya ke atas kasur. Setelah memastikan posisinya nyaman, dia balik ke belakang kursi roda dan memindahkan benda tersebut ke samping nakas. Sehabis ini dia cuma perlu menyalakan lampu tidur, mematikan lampu utama, dan--

"Al."

Alfa refleks menelan ludah berat. Nah, ini dia.

"Ya, Bunda?" Tidak ada pilihan lain, dia kembali berdiri di samping tempat tidur.

"Sini." Bunda menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya. "Duduk dulu."

Alfa tetap bersikukuh di tempatnya.

"Ceramahnya bakalan lama, nih," sindirnya blak-blakan.

"It's a mother and son quality time!" Bunda menarik lengannya dan dengan pasrah Alfa mendudukkan diri di pinggir tempat tidur.

"Lebih cocok dibilang interrogation time." Alfa tertawa. "But anything for you, Mother." Dia meraih boneka Doraemon kesayangan Raya yang tergeletak di samping Bunda. "Aku siap. Topik berkualitas pertama yang akan kita bahas adalah ....?"

"Raya bakalan protes lagi kalau tahu bonekanya kamu gituin." Tatapan Bunda terpaku pada boneka yang ada di pelukannya.

"Karena Doraemonnya jadi bau parfum cowok?" Alfa mengibas-ngibaskan tangannya cuek. Hidungnya Raya yang sensitif memang tidak begitu akur dengan bebauan menyengat. Apalagi si Doraemon selalu dia peluk waktu tidur. "Sekalian saja biar nanti malam aku hadir di mimpinya Raya."

"Iseng banget." Bunda menggeleng-geleng, tapi tidak berusaha menjauhkan boneka itu darinya. "Tapi, Al." Jeda sesaat. "Bunda serius. Sebentar lagi Raya nikah. Bunda juga baik-baik saja. Waktunya kamu fokus ke hidupmu sendiri."

Satu sudut bibir Alfa terangkat ke atas. Akhirnya dimulai. "Bunda sama Raya adalah hidupku."

"Nggak." Bunda meraih sebelah lengan Alfa dan mengelus-elus lembut punggung tangannya. "Kebahagiaanmu juga penting. Selama tujuh belas tahun ini, yang kamu lakukan buat Bunda dan Raya sudah lebih dari cukup. Sekarang waktunya egois dan mementingkan diri sendiri."

"Aku lebih suka Bunda cerewet tanya-tanya tentang orientasiku seperti biasa." Alfa tidak akan pernah terbiasa dengan suasana melow seperti ini. Menghadapi Bunda yang misuh-misuh jauh lebih gampang.

"Gadis yang waktu itu gimana kabarnya? Staf dekanat di tempatmu."

Bayangan seorang gadis cantik berambut pendek muncul di benaknya. Mereka baru saja bertemu tadi sore dan rasanya aneh mendengar bundanya mengungkit sosok tersebut beberapa jam kemudian.

"Sudah kubilang, aku dan dia putus tiga bulan yang lalu." Walaupun Dhea bersikeras kalau itu hanyalah break.

Hanya saja, tidak sedikit dosen dan staf yang masih gigih mempersatukan mereka kembali. Katanya sih, kapan lagi fakultas MIPA bisa berpesta pora karena ada dua karyawannya yang "jadi". Hal itulah yang paling bikin canggung dan membuat Alfa semakin berusaha agar tidak bertatap muka dengan Dhea di kampus.

"Masalahnya nggak bisa diluruskan? Kan masih bisa balikan?"

Padahal Bunda sudah pernah menanyakan ini. Seolah jawabannya bakalan berubah kalau ditanya berulang-ulang. Lalu bisa-bisanya Bunda berharap pada gadis asing yang belum pernah dia temui sekalipun.

"Visi-misi kami enggak sejalan, Bunda." Alfa menjawab pendek, menolak untuk membahas lebih detail.

Kali ini, keheningan mengisi kamar tersebut cukup lama.

"Kamu masih sering bertemu Sai?"

Alfa tidak tahu harus lega atau panik mendengar perubahan topik barusan.

"Masih," jawabnya jujur, tapi tidak bisa mengemukakannya dengan lantang. Dia sudah tahu bagaimana tanggapan Bunda setelah ini. "Kenapa? Bunda mau titip salam buat om Sai?"

Tatapan wanita itu berubah tajam. Sesuai prediksi. "Kalian masih berusaha menyelidikinya?"

Inilah yang Alfa cemaskan tiap kali Bunda mengungkit tentang orang yang dia sebut "om Sai". Alfa tidak tahu harus menjawab apa. Jadi, daripada berbohong, dia lebih memilih diam. Dia berusaha menghindari tatapan Bunda dengan memainkan tangannya si boneka Doraemon.

"Alfa. Berhenti. Oke?" Nada suara Bunda jadi jauh lebih tegas. Kali ini tidak ada lagi ekspresi jenaka yang selalu muncul tiap kali Alfa melontarkan kalimat konyol. "Kamu ada di masa sekarang. Berhenti hidup di masa lalu."

"Iya, Bunda. Aku mengerti."

"Tidak. Kamu tidak mengerti." Bunda menggeleng tegas. "Obsesimu sudah nggak sehat. Terima takdir. Live your life. Mending sekarang kamu fokus cari perempuan yang sevisi."

Alfa kontan tertawa lirih. "Seandainya ada satu bukti sajaㅡ"

"Semuanya sudah terbakar."

Kegetiran dalam suara itu membuat Alfa mengangkat kepala dan memandang sedih lawan bicaranya. Tanpa bisa dikendalikan, tatapannya terpaku pada bekas luka bakar di pipi kanan Bunda, yang terus menjalar hingga leher, lalu menghilang di balik kerah piyama. Dan itu hanyalah sebagian kecil yang tampak oleh mata.

Alfa kembali tertunduk. Kali ini beralih memandangi bekas luka miliknya. Dia perlahan mengepalkan tangan kanan, menyebabkan guratan mengerikan di punggung tangannya terpampang lebih jelas.

Mereka sudah terluka begitu banyak dan mengalami kehilangan yang terlalu besar. Tidak mungkin dia membiarkan semuanya berakhir percuma, bukan?

"Atau paling tidak aku bisa mengetahui di mana Polㅡ"

"Alfa!"

Alfa menahan lidahnya. "Maaf." Sudah tujuh belas tahun, tapi Bunda masih saja belum bisa diajak bicara tentang yang satu itu. "Aku mengerti Bunda tidak ingin berurusan dengan," Dia ragu sesaat. "hal itu lagi. Tapi aku tidak mau melihat sesuatu yang kalian perjuangkan berakhir sia-sia."

"Jangan mengusik orang yang sudah mati."

"Aku sedang berusaha menghargai usaha orang yang sudah mati." Alfa tersenyum dan bangkit dari duduknya. Dia menaruh boneka Doraemon di tempat semula dan meraih selimut sebagai gantinya. "Besok kita balik ke topik biasa saja ya, Bun. Sebenarnya aku agak bohong waktu bilang lebih suka Elizabeth Olsen. That Thor guy is quite cool, to be honest."

Kali ini Bunda tidak mengatakan apa-apa. Kemungkinan dia menangkap usaha Alfa untuk mencairkan suasana atau memang sudah terlalu capek untuk melanjutkan perdebatan. Namun, setidaknya malam ini mereka tidak perlu lagi membicarakan masa lalu. Bunda masih belum siap untuk itu.

"Selamat tidur, Bunda." Setelah menyelimuti wanita itu sampai sebatas pinggang, Alfa memberikan satu kecupan di pipinya. "Dream of me."

"Nite, Son." Bunda akhirnya tertawa, walaupun jelas sekali terkesan dipaksakan. "Semoga petunjuk tentang jodohmu datang lewat mimpi."

Alfa mengangkat sebelah alis dan memberi bundanya tatapan tidak percaya. "Seriously?" Namun, akhirnya dia ikut tertawa.

Padahal dibanding jodoh, dia lebih berharap memperoleh petunjuk yang bisa membantunya mengabulkan harapan orang-orang mati.

***
.
.
.

Mutiateja's Note:

Dilihat dari POV-nya bunda, kebayang nggak betapa capeknya punya anak macam Alfa? Mari kita lihat apa Alfa berhasil ketemu jodoh dalam waktu 4 bulan.

(Ketemu jodoh atau ngabulin harapan orang-orang mati dulu, nih? 👀)

27 Juli 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top