03. MILA | Lagu Lawas, Bunga-Bunga, dan Rasi Bintang
Mila selalu merasa kepekaannya menurun drastis saat sedang merangkai bunga. Apalagi kalau ditambahi alunan musik favorit, niscaya dia tidak akan sadar apa pun yang terjadi di sekelilingnya.
Makanya bayangkan betapa kagetnya dia ketika mendadak mendengar suara bariton menyapa dan dilanjutkan dengan tampaknya sesosok pria asing di ambang pintu ruangan. Teledor sedikit saja, dia pasti sudah menjatuhkan vas di tangan.
Pria itu terlihat salah tingkah. Gelagat itu membuat Mila mengingat-ingat apa saja yang dilakukannya tadi. Dia hanya sibuk menata bunga, sambil sesekali minum kopi, lalu ... bersenandung.
Tiba-tiba Mila merasakan hasrat yang kuat untuk bersembunyi di bawah meja.
Wajahnya memanas. Tidak hanya menunjukkan sikap tidak profesional karena terlambat membukakan pintu, dia juga memperlihatkan perilaku sembrono pada orang yang kemungkinan besar adalah kliennya.
"Maaf, saya tidak dengar." Dia harus memastikan sudah selama apa pria itu berdiri di sana. "Hmm, sejak kapan ...?"
"Baru saja, kok."
Mila ingin bernapas lega, tapi bisa saja pria itu hanya berbasa-basi, bukan?
Diamatinya pria berkemeja maroon lengan panjang itu. Tubuhnya tinggi, puncak kepalanya bahkan hanya berjarak beberapa senti dari bagian atas pintu. Dandanannya necis, dengan rambut hitam apik yang ditata belah samping ala ivy league style. Mila mengangguk-angguk samar.
Citranya di mata pria itu mungkin sudah berantakan, tapi kesan awalnya terhadap pria itu bisa dibilang baik. Dia sopan, seems like a real gentleman, cukup mani--oh, apa yang baru saja Mila pikirkan tentang calon suami orang?
Namun, mendadak pria itu menghancurkan semua penilaian positif yang Mila berikan sepenuh hati.
"Mamanya ada, Dek?"
Senyum Mila langsung terpatah. Sebagian hati kecilnya ingin melempari pria itu dengan vas bunga, tapi itu tidak mungkin. Di ambang pintu, si klien masih mempertahankan senyum sopannya, sama sekali tidak sadar dengan ranjau macam apa yang baru saja dia injak.
"Maaf, Mas." Mila memberikan senyumnya yang terbaik. Sebelah tangannya beralih ke speaker portable yang sejak tadi mengalunkan lagu dan mengecilkan suaranya. "Tapi Milana itu saya."
Pria itu terdiam sesaat. "Eh? Gimana?" Dia mengulum bibirnya, terlihat lebih salah tingkah dibanding sebelumnya. "Astaga ...."
Mila tidak menyangka sang klien akan langsung menghampiri dengan langkah tergesa. Ada sesuatu pada caranya berjalan, tapi belum sempat Mila menyadari apa itu, sosok tersebut sudah berdiri menjulang tepat di hadapannya.
"Astaga, Mbak! Maaf! Saya benar-benar minta maaf. Saya kira ...." Dia memandangi Mila sesaat dan menggeleng, tidak melanjutkan kalimat sebelumnya. "Sekali lagi saya minta maaf."
Mila tertawa kecil, ikut-ikutan merasa salah tingkah atas permintaan maaf bertubi-tubi barusan. "Nggak apa-apa."
Dia mundur selangkah, memberi sedikit jarak agar tidak terlalu memaksakan lehernya menengadah secara ekstra. Sumpah, kliennya yang satu ini tingginya sungguh menyiksa. Dia beberapa senti lebih tinggi dari Rion. Puncak kepala Mila bahkan tidak sampai sebahunya. Diam-diam Mila merindukan heels tujuh senti yang beberapa saat lalu dia ganti dengan sandal jepit kantor.
"Silakan duduk, Mas." Mila menunjuk kumpulan sofa di pojok ruangan. "Saya cuci tangan sebentar." Kali ini dia memperlihatkan tangannya yang kotor dengan bekas tanah.
Pria itu mengangguk. Setelah bilang "permisi", Mila keluar dari ruangan. Tidak lupa dia menyambar jas blazernya yang tersampir di lengan kursi sambil lewat. Di toilet dia buru-buru mencuci tangan. Sementara itu, tatapannya terpaku pada pantulan wajahnya di cermin dan sontak mengembuskan napas berat.
Rambut yang tadi dia ikat ekor kuda karena kepanasan tampak acak-acakan. Poninya tidak lagi tertata rapi dan beberapa anak rambut tampak mencuat ke sana-sini. Mila menepuk keningnya dan mendesah frustrasi.
Dia tampil begini di hadapan klien? Tidak salah pria itu menganggapnya anak-anak. Ditambah dengan kemeja putih dan rok selutut yang kebetulan berwarna abu-abu, Mila pasti terlihat seperti anak SMA yang baru pulang sekolah dan mampir dulu ke kantor ibunya.
Setelah mengenakan blazer dan menggerai rambut sebahunya, Mila kembali mematut bayangannya. Kali ini dia mengerutkan kening. Wajahnya membutuhkan touch up ulang, tapi tas make up-nya ada di kantor dan tidak mungkin dia membuat klien menunggu lebih lama.
"Sudahlah," ujar Mila pada pantulan wajahnya sendiri dan membetulkan posisi kalungnya yang agak miring untuk sentuhan terakhir. "Sudah terlanjur malu."
Sekembalinya ke ruangan, ternyata sang klien tetap bergeming di tempat terakhir Mila meninggalkannya. Dia masih menunjukkan ekspresi sungkan begitu melihat Mila masuk.
"Mas? Nggak duduk?" Mila melangkah duluan menuju sofa dan mengarahkan tangan pada sofa lain di hadapannya. "Santai saja, Mas. Nggak apa-apa."
Lagian hari ini kita sama-sama malu, kok. Mila menambahkan dalam hati.
Pria jangkung itu akhirnya melangkah mendekat dan lagi-lagi Mila menyadari ada yang aneh dengan caranya melangkah. Jalannya tidak terlalu tegap. Terkesan agak pincang, tapi tidak begitu kentara. Lagi-lagi dia gagal memperhatikan lebih detail, karena pria itu keburu mengulurkan tangan ke arahnya. Kali ini yang menarik perhatian Mila adalah sebuah bekas luka berwarna putih pucat yang melintang di punggung tangan kanan.
"Saya Alfa," ujarnya. "Salam kenal, Mbak Milana."
Mila buru-buru menyambut uluran tangan tersebut. "Salam kenal." Dia menyadari tatapan pria itu juga tertuju ke tangan kanannya yang diperban. "Saya kira Mas yang namanya Neil Hartadi."
"Neil lagi di jalan." Pria bernama Alfa itu akhirnya duduk. "Mungkin sebentar lagi sampai."
Tadinya Mila juga ingin langsung duduk, tapi dia teringat sesuatu ketika hidungnya menghidu aroma kopi miliknya--yang sekarang pasti mulai mendingin. "Mas, mau minum apa? Kopi? Teh?"
"Teh saja. Terima kasih."
Mila menuju meja kerjanya yang ada di sudut lain ruangan, meraih telepon, dan menghubungi Siska untuk mengantarkan teh. Setelah meraih tablet yang ada di atas meja, dia kembali ke tempat Alfa.
"Jadi, kita langsung saja atau ....?"
"Tunggu Neil dulu ya, Mbak." Alfa tersenyum tipis. "Saya nggak mungkin memutuskan semuanya sendiri."
"Oke." Mila mengangguk dan kembali mematikan layar tabletnya.
Otaknya mulai berkecamuk.
Neil Hartadi. Mila yakin itu nama laki-laki. Dua laki-laki mendadak datang menemuinya .....
Sambil memikirkan itu, dipandanginya Alfa sekali lagi dan jalan pikirannya mendadak liar. Demi mengusir prasangka yang menghampiri, Mila mengalihkan pandangan ke jendela. Sesuai perkiraan, hujan mulai turun. Mila berharap Rion tidak ketiduran dan mengingat pesannya untuk bantu angkat jemuran.
"City of angels."
"Ya?" Mila kembali menoleh ke Alfa yang baru saja bicara.
"Lagu ini." Alfa tertawa renyah. Dilihat dari dekat begini, Mila menyadari mata pria itu agak menyipit membentuk bulan sabit tiap kali tertawa. "Judulnya 'City of Angels', benar? The Miracles?"
Ternyata yang dimaksud Alfa adalah lagu bertempo sedang yang mengalun dalam volume pelan. Mila mengangguk. Dia baru sadar belum sempat mematikan speaker.
"Maaf sebelumnya." Pria itu menyatukan telapak tangannya di depan tubuh, sementara sepasang matanya yang beriris cokelat madu tertuju lurus pada Mila. "Tadi pas mendengar 'Fly Me to The Moon', saya langsung beranggapan Mbak seangkatan sama ibu saya."
Kali ini Mila tersenyum. Tidak. Dia tidak tersinggung. Sebenarnya Alfa bukanlah orang pertama yang mempertanyakan selera musiknya. "Sejujurnya saya juga kagum Mas bisa tahu 'City of Angels'."
'Fly Me to The Moon'-nya Frank Sinatra memang sangat terkenal. Namun, sepengetahuan Mila, sepertinya 'City of Angels' tidak memiliki impact yang sama.
"Old but gold, isn't it?" lanjutnya.
"Sure." Alfa kembali tertawa. Pria itu sepertinya memang suka tersenyum dan tertawa. "Many legendary things born to be timeless."
Mila tertegun mendengar kalimat barusan. Bukan karena betapa bijaknya kata-kata tersebut, melainkan karena british accent yang sekonyong-konyong muncul dan menyapa telinganya begitu saja. Terdengar jelas dari nada bicara, penekanan di beberapa kata, dan cara Alfa mengucapkan kata yang mengandung huruf "R".
Dia memiringkan kepala dan memandangi Alfa penuh arti. Tidak hanya enak dipandang, sopan, dan terlihat mapan, orang di hadapannya juga dilengkapi atribut aksen Inggris yang memabukkan. Pria ini dianugerahi begitu banyak hal yang bisa membuat wanita bertekuk lutut dan Mila jadi semakin penasaran dengan sosok calon istrinya.
Neil Hartadi. Neil Hartadi. Neil Hartadi.
Nama itu kembali menari-nari di pikirannya.
"Mas juga suka dengar?" Mila bertanya. Kalau sampai jawabannya "iya", betapa kecewanya dia karena sosok langka yang nyaris punah ini bakalan sold out sebentar lagi.
Untunglah Alfa menggeleng.
"Biasa saja. Saya familier sama lagunya gara-gara ibu."
"Beliau punya selera yang bagus," puji Mila apa adanya.
"Ngomong-ngomong," Alfa mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Mbak suka bunga?"
Bicara tentang bunga ... lagi-lagi Mila diingatkan dengan kejadian memalukan sebelumnya. Sampai saat ini dia masih berharap Alfa memang tidak mendengar senandung suara sumbangnya.
"Suka." Mila mengiyakan. "Kebetulan banyak sisa dekorasi pesta tadi pagi. Dari pada dibuang, mending saya bawa ke sini."
"Untuk ditanam lagi?"
"Seandainya bisa ditanam lagi," Mila tergelak. "tapi bukan. Saya suka iseng merangkai bunga." Tatapannya tertuju pada vas kaca kecil di atas meja di hadapannya. Bunga beraneka warna di dalamnya masih terlihat segar dengan air yang mengisi setengah bagian vas. "Seenggaknya mereka bakalan tetap hidup buat sementara. Beberapa lainnya saya keringkan supaya bisa bertahan lebih lama."
"Pantas dari ruang depan sampai sini saya melihat banyak bunga." Alfa manggut-manggut. "Tapi ini cantik." Tangannya terulur ke kelopak mawar--salah satu dari banyak bunga--yang ada di dalam vas. "Saya nggak paham bunga, but you're doing great."
"Makasih," ungkap Mila tulus. This man also has a way with words. Kombinasi yang membahayakan.
Tanpa sadar Mila lanjut memberikan penilaian terhadap lawan bicaranya.
"Saya cuma tahu mawar, melati, lalu apa lagi, ya?" Alfa mengetuk-ngetukkan jari ke dagu. "Ah, sama bunga matahari. Ini apa?" Kali ini dia menyentuh kuntum bunga daisy. "Bunga matahari mini?"
Mila nyaris tidak bisa menahan tawa. Clueless-nya Alfa dalam urusan perbungaan ternyata mirip dengan Rion. Sahabatnya itu bahkan lebih parah. Dulu dia sempat tidak tahu kalau mawar memiliki duri.
"Itu daisy. Bunga matahari bagian tengahnya lebih lebar dan berwarna gelap." Mila ikut mencondongkan tubuh ke arah vas dan menunjuk bunga lainnya yang berwarna jingga. "Kalau yang ini krisan dan yang di tengah-tengah itu mawar. Lalu, kalau Mas ingin tahu, kantor ini juga memakai nama bunga. Edelweis. Bentuknya--" Mila tersadar dia sedang bicara ngalor-ngidul. "Ah, saya jadi bicara ngawur." Dia tertawa sungkan. Tanpa sadar dia kembali mempermalukan diri sendiri.
"It's alright." Alfa mengibaskan tangannya santai. "Saya belajar hal baru. Selama ini saya cuma suka bunga bank."
Satu sudut bibir Mila terangkat ke atas. "Kalau itu saya juga suka."
"Menghapal nama rasi bintang jauh lebih gampang."
Suka melihat bintang. Mila kembali memberikan penilaian dalam hati. Tipe-tipe cowok melankolis?
"Kalau soal rasi bintang, saya cuma tahu Orion." Pada dasarnya Mila tidak tertarik dengan astronomi, tapi dulu sekali dia pernah kepo dengan asal-usul nama Rion. Pembicaraan dengan Alfa ini membuatnya berusaha mengingat halaman Wikipedia yang pernah dia baca. "Di sana ada Rigel, bintang Orion yang paling terang. Kemudian Bellatrix, Alnilam, Alnitak, lalu Betel ... Betel ...."
"Betelgeuse."
"Nah!" Mila bertepuk tangan sekali. "Cuma tahu sebatas itu. Wait, kenapa pembicaraan kita malah sampai ke sini?"
Topik pembicaraan mereka berpindah ke mana-mana. Dari lagu, kemudian bunga, dan sekarang mereka malah membahas rasi bintang. Dan si Neil Hartadi masih belum juga menampakkan batang hidungnya.
Di seberang meja, sebentuk senyum tipis terulas di bibir Alfa dan dia tiba-tiba bertanya.
"Aku boleh memanggilmu 'Mila'?" Alfa tidak lagi menyebut dirinya sebagai 'saya'. "Let's drop the formalities?"
"Tentu. Itu memang nama panggilanku, kok." Mila mengangguk. Kali ini dia ikut-ikutan mengubah kata ganti. "Senyamannya Mas saja."
"Cukup panggil 'Alfa'."
"Baiklah," balasnya tanpa pikir panjang. "Alfa."
Meskipun Mila merasa Alfa lebih tua darinya--pria itu terlihat seperti di usia 20-an akhir atau 30-an awal--tapi tidak ada salahnya. Mereka akan sering bertemu setelah ini dan menjalin komunikasi yang lancar dengan klien adalah salah satu syarat wedding organizer yang baik dan benar.
Suara denting beruntun yang berasal dari tablet mengalihkan atensi Mila dari sang klien.
"Maaf, sebentar." Dia meminta izin untuk mengecek tabletnya dan langsung dipersilakan oleh Alfa.
Begitu melihat pemberitahuan yang muncul bertubi-tubi di panel notifikasinya, Mila langsung mendesah capek. Here we go again. Jarinya mengecek postingan Instagram yang dipublikasikan beberapa saat yang lalu.
.
Lambe.turrahh
Liked by alamanda_kusuma, romeoiskandar2811 and 645 others
Lambe.turrahh Adududuh sore-sore naik vespa berduaan. Mas sama mbaknya mau kemanoseeh? Kok nggak ajak-ajak 🥺 Padahal mimin ikhlas loh ikutan nyempil dekat setang
View all 152 comments
Ellaelaee oh, ini yang katanya cuma teman? Hmmmm
Orionation.id OMG OMG! AS ALWAYS KAK RION GANTENG BANGEET!!! 😭❤
@.orionalexander.ofc
Yesaanabela apa cuma aku yang nggak tau mereka siapa?
Boecinnyaqamoe wait wait, ini mbak
@.dearmilady? Dilihat-lihat mereka cocok juga tuh?
Peninggibadansuper peninggi badannya kakaak! Sehari bisa nambah 10 senti loh! Cus cek akun kita ✨
romeoiskandar2811 MENYALAA ABANGDA KAKAKDA 🔥🔥🔥
Justforion apaan sih min. Nyebar foto nggak jelas gini 😒 lagian itu cewek B aja. Nggak apple to apple sama kak rion
Lululala @.justforion Emangnya situ secantik apa sih? Yang kayak mbak @.dearmilady ini dibilang jelek? Sono pergi cek mata!
7 minutes ago
.
Mila tahu tidak seharusnya dia melihat kolom komentar. Dia paham apa yang akan ditemuinya dan Rion pun sudah mewanti-wanti agar menganggap semuanya sebagai angin lalu. Namun, tetap saja jarinya lanjut menggulir layar. Kolom komentar mulai chaos. Memang tidak sedikit yang membelanya, tapi tentu saja komentar jelek akan selalu memberikan efek berbeda. Mereka bahkan tidak segan menandai akun miliknya tiap kali berkomentar jahat.
"Terjadi sesuatu?" Suara Alfa mengalihkan perhatian Mila dari hate comment.
Mila menggeleng dan mengubah raut wajahnya menjadi senatural mungkin. "Cuma postingan nggak penting."
Notifikasi masih menghujani tabletnya. Beberapa orang bahkan sampai bertamu ke akunnya dan meninggalkan "jejak" di sana. Karena dirasa akan mengganggu, Mila memutuskan untuk log out akun.
Suara ketukan membuat Mila buru-buru menaruh tablet dan pergi membukakan pintu. Di baliknya berdiri seorang pria berkacamata dengan rambut agak basah dan bekas tetesan hujan di kemeja putihnya. Siska berdiri tepat di belakangnya seraya membawa nampan berisi teh dan kue kering.
"Maaf saya terlambat." Pria itu bicara dengan suaranya yang berat dan agak serak. Dia lebih pendek dari Alfa, dengan rambut berpotongan undercut dan kumis serta cambang yang tercukur rapi.
Mila sudah menduga kalau Neil Hartadi adalah seorang pria. Sejujurnya dia mulai tidak yakin bisa membantu banyak.
"Nggak apa-apa." Mila bergeser membukakan jalan. "Silakan masuk, Mas."
Begitu masuk, Neil segera menempatkan diri di sebelah Alfa. Siska menaruh teh di atas meja dan kemudian mohon diri untuk membuatkan secangkir teh kedua.
"Terlambat 16 menit." Alfa memandangi Neil dan jam tangannya bergantian.
"Ya ampun, Al! Ini gara-gara om Sai! Mana di jalan tiba-tiba hujan. Aku nggak bawa mantel."
Mila menyimak interaksi dua orang di hadapannya. Diam-diam dia mengigit bibir bawah tidak nyaman. Enggak heran populasi jomlo jadi makin banyak dari hari ke hari. Bagaimana tidak? Saingan dengan sesama cewek saja belum tentu menang. Ini ditambah lagi dengan fakta bahwa di zaman sekarang beberapa lelaki tampan justru lebih memilih lelaki tampan lainnya. Namun, ya sudahlah, everybody has their own choice.
"Kan sudah kubilang, cuaca lagi nggak jelas. Bawa mobil saja. Ini serius mau nikah nggak, sih?"
Bisikan cukup keras dari Alfa membuat Mila terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri. Perhatian kedua pria itu tertuju padanya.
"Mas Neil." Mila akhirnya menyapa. "Benar?"
Pria berkacamata itu mengangguk. Dari segi usia, sepertinya dia sepantaran dengan Alfa. "Sekali lagi maaf ya, Mbak. Saya telat dari jadwal janjian."
"Nggak apa-apa, tapi …." Mila menggaruk pipinya yang sama sekali tidak gatal. Dipandanginya Alfa dan Neil bergantian. "Aduh. Gimana ya bilangnya? Itu ... aku nggak yakin bisa nge-handle pernikahan ini."
"Eh, kenapa, Mbak?" Neil bereaksi duluan. "Tadi Alfa ngomong macam-macam, ya?"
"Bukan. Bukan begitu." Mila buru-buru membantah sebelum menimbulkan kesalahpahaman. "Itu karena aku nggak paham teknisnya. Aku belum pernah merancang pernikahan sesama jenis, jadi ... I'm really sorry. Oh, tapi aku tidak men-judge pilihan kalian, kok! Tenang saja!"
Kedua laki-laki di depannya saling berpandangan sebentar, hingga akhirnya mereka serentak menggeser duduk dan menjauhkan diri dari satu sama lain.
"Mbak, bukan begitu!" Neil melambai-lambaikan tangannya heboh. "Ini nggak seperti yang terlihat! Sumpah!"
"Hah?" Mila masih tidak bisa memahami situasi.
"Mila, kalau pun berniat pindah jalur, aku pasti cari yang lebih keren dari dia." Berkebalikan dengan Neil, tampang Alfa masih santai. "Kayak nggak ada orang lain saja."
Sekarang Neil menghujani pria itu dengan tatapan tidak terima. "Harusnya aku yang bilang begitu!"
"Jadi ...." Mila gelagapan. "Ini sebenarnya bagaimana?"
"Yang mau menikah itu saya, Mbak." Neil menaruh tangannya di dada. "Calon istri saya nggak bisa ke sini dan sebagai gantinya," Kali ini dia beralih menunjuk Alfa. "kakaknya yang datang."
Mila refleks mengangkat tablet untuk menutupi wajahnya yang kembali memanas. Dalam hati, dia merutuki kebodohannya sendiri. Sebenarnya harus berapa kali lagi dia berbuat bodoh hari ini?
Ya Tuhan, bisa nggak sih, hari ini segera berakhir saja?
"Begitulah." Suara Alfa terdengar sarat akan tawa. "Nggak mungkin aku belok ke cowok jorok macam Neil, padahal jelas-jelas masih ada orang secantik Mila di depanku. Jadi, jangan salah paham, ya."
Betapa Mila berharap ada lubang besar yang mendadak muncul di bawah kakinya. Serius, dia akan dengan senang hati melompat ke dalamnya dan berharap lenyap dari muka bumi untuk sementara waktu.
***
.
.
.
Mutiateja's note:
Pertemuan pertama yang berkesan(?)
Fake instagram di atas enggak terlalu menggambarkan hal yang sebenarnya. Aku cuma pake foto yang mirip. Seenggaknya di foto mrk pake scoopy hitam //heh
20 Juli 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top