02. ALFA | Pertemuan di Penghujung Agustus

"Sekarang masuk ke bagian yang kalian tunggu-tunggu."

Hanya dengan satu kalimat darinya, ruangan itu mendadak hening. Puluhan pasang mata menatap harap-harap cemas, seperti tengah mengira-ngira hal gila macam apa yang akan disampaikannya kali ini. Alfa menumpukan kedua tangan di atas meja dan mengulum senyum tipis. Beberapa orang sontak mengalihkan tatapan ketika tanpa sengaja beradu pandang dengannya.

"Tenang, ini bukan kuis."

Kalimat selanjutnya membuat wajah-wajah itu merileks.

"Maaf, Pak." Seorang gadis yang duduk di deretan paling depan mengangkat tangan. "Tapi firasat saya masih buruk."

"Dan sejak kapan kuis jadi hal yang ditunggu-tunggu?" Rekannya yang duduk di deret pertengahan ikut menyeletuk. Tampangnya berubah memelas. "Sudah ya, Pak. Tolong izinkan saja kami pulang dengan tenang. Kan masih pertemuan pertama."

Mendengar itu, Alfa nyaris tidak bisa menahan tawa. "Baik. Kalau begitu, kita cukupkan sampai di sini." Alfa mengubah posisinya jadi berdiri tegak dan bertepuk tangan sekali. "Tapi nanti jangan lupa cek portal akademik. Ada empat artikel yang saya unggah. Baca dengan seksama, lalu buat review-nya. Minggu depan saya tunjuk empat orang untuk presentasi secara acak."

Ruangan itu diisi koor kecewa dalam sekejap. Mengabaikan reaksi yang sebenarnya sudah bisa diprediksi ini, Alfa melepas kacamata dan mulai mengemasi barang-barangnya.

"Pak?"

"Ya?" Alfa tidak menoleh. Tangannya masih sibuk menutup beberapa dokumen yang terpampang di layar laptop.

"Review-nya tulis tangan?"

Satu pertanyaan terkesan polos itu memancing reaksi protes seantero kelas.

"Ssttt, diam!"

"Buset! Kenapa malah ditanyain?"

"Laporanku buat minggu depan belum selesai! Jangan menambah-nambah kerjaan!"

Mereka berkata dengan suara yang pelan, tapi tetap saja Alfa bisa mendengar semuanya.

"Laporan pengamatan meteor, ya?" Alfa menyeletuk. Teringat dengan tugas mata kuliah lain yang diajarnya di kelas yang sama. "Ah, saya yakin kok kalian bisa." Dia mengibaskan tangannya sekali dan lanjut menutup layar laptop yang baru saja di-shut down. "Lagian laporan itu sudah bisa dikerjakan sejak empat hari lalu. Harusnya sih, sekarang hampir selesai."

"Bapak kayak nggak tahu saja."

Kalimat tersebut diikuti anggukan dan gumaman setuju dari sebagian besar isi kelas.

"Deadliner, ya?" Satu sudut bibirnya terangkat ke atas. "Buat saya terserah kalian mau pakai metode apa pas bikin tugas. Mau pakai SKS* juga boleh. Asalkan selesai. Oh, sama jangan pakai ChatGPT. Sip?"

(*Sistem Kebut Semalam)

Setiap orang punya caranya sendiri untuk menyelesaikan sesuatu dan berjuang di dekat garis mati terbukti efektif bagi beberapa oknum. Tidak bisa dipungkiri, terkadang hasrat untuk "berenang-renang ke hulu dan berakit-rakit ke tepian" memanglah sangat sulit untuk ditahan.

"Dan review-nya ditulis tangan," tambahnya. Sekali lagi memancing sorakan kecewa para mahasiswa.

"Pak, jangan sadis-sadis, atuh. Nanti jodohnya makin jauh."

Alih-alih tersinggung, Alfa tersenyum pada pemuda berambut agak gondrong yang baru saja bicara. "Ya sudah. Biar nggak jauh-jauh banget, salah satu dari kalian bolehlah jadi jodoh saya." Tentu saja dia tidak serius.

"Saya juga ada kesempatan, Pak?" Sekarang yang bertanya adalah laki-laki yang duduk paling belakang. Seisi kelas ribut mendengar pertanyaan absurd barusan.

"Memangnya kamu mau sama saya? Ayo saja." Alfa memutuskan untuk memberikan jawaban yang juga konyol.

"Nggak, Pak." Si penanya menggeleng tegas. "Saya nggak seputus asa itu."

Suasana kelas langsung pecah. Bersamaan dengan itu, Alfa selesai mengemasi barang bawaannya. Setelah memasangkan ritsleting, dia menyorongkan sebelah tali tas di bahu, dan berjalan keluar. "See you next week."

Diiringi ucapan sampai jumpa dan terima kasih, Alfa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Hampir jam tiga lewat seperempat. Melihat itu, dia semakin mempercepat langkah menuruni tangga dan menyusuri koridor yang membawanya ke sayap barat gedung fakultas, tempat ruangan dosen berada.

Di persimpangan koridor lantai satu, dia bertemu sosok berkemeja putih dan berambut pendek yang juga tampak tergesa-gesa.

"Sore, Mas." Pria itu menyapanya duluan. "Sudah selesai?"

"Iya, Vin. Dari mana?"

"Ketemu teman." Rekannya sesama dosen itu tertawa dan menyejajarkan langkah dengannya. "Buru-buru ke sini karena ada jadwal sore. Untung keburu."

"Begitu." Alfa mangut-mangut. "Duluan ya, Vin," tukasnya ketika mereka sampai di depan ruangannya. Lawan bicaranya mengangguk dan melangkah cepat ke ruangan miliknya yang hanya berjarak tiga pintu dari tempat Alfa.

Setibanya di dalam, Alfa buru-buru berkemas. Mengabaikan meja kerjanya yang berantakan oleh beraneka diktat tebal dan berlembar-lembar kertas, dia mendekati lemari yang ada di samping pintu dan meraih beberapa buku untuk dibawa pulang.

Ketika sedang mengunci pintu, ponsel yang ada di sakunya bergetar. Nama "Neil Gatot" terpampang di layar benda pipih tersebut.

"Di mana?" Pemilik suara berat di seberang telepon bertanya tanpa basa-basi.

"Masih di kampus," jawab Alfa sambil tetap fokus pada jalan. "Otw ke parkiran."

"Al, aku dapat kerjaan tambahan." Lawan bicaranya mengembuskan napas berat. "Tapi kuusahakan jam empat sudah sampai di sana."

Untuk yang kesekian kalinya, Alfa kembali mengecek jam tangan. "It's okay. Masih ada waktu."

"Oke. Sampai ketemu."

"Neil, sebelum ituㅡ"

Telepon diputus secara sepihak.

"Pak Alfa? Sudah mau balik?"

Sapaan lembut itu membuat Alfa mengurungkan niat untuk balas menelepon Neil. Ketika melihat siapa yang barusan mengajak bicara, dia segera memaksakan senyum. Hal terakhir yang ingin dihadapinya sekarang adalah sosok yang ada di depannya ini. Perempuan muda berambut pendek dengan blazer cokelat formal itu masih tersenyum, terlihat menanti jawabannya.

"Sore, Mbak Dhea." Demi menjaga profesionalitas, Alfa membalas sopan. "Iya, baru saja selesai."

"Pak Alfa!" Belum selesai usaha ramah tamahnya dengan staf fakultas yang dipanggilnya 'Dhea', pintu ruang dekanat di sampingnya mengayun membuka dan seorang wanita paruh baya menongol dari baliknya.

"Kenapa, Bu Sri?" sapanya pada kepala staf bagian akademik itu. Diam-diam berharap ini adalah rintangan terakhir yang harus dihadapinya sore ini atau dia benar-benar akan terlambat.

"Kebetulan banget ketemu Pak Al di sini." Ibu itu memandangi Alfa dan Dhea bergantian sebelum akhirnya menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa kecil. "Saya mengganggu, ya?"

Alfa menggeleng.

"Bisa ikut sebentar, Pak?"

Sambil berdo'a agar urusan ini cepat selesai, Alfa mengikuti wanita itu masuk. Setibanya di meja paling kiri ruangan, ibu Sri mengambil sebuah amplop cokelat dan menyerahkannya ke Alfa.

Alfa mendapati logo Universitas Adyatama dan nama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di bagian depan amplop.

"Ini tentang seminar dies natalis bulan depan." Bu Sri menyuguhinya dengan informasi. "Kira-kira Pak Al bisa jadi moderator? Di sana sudah terlampir tema seminar dan latar belakang para narasumber."

Alfa membalik kertas paling depan dan mendapati lampiran yang dimaksud bu Sari.

"Oke, siap!" serunya seraya kembali melipat kertas-kertas tersebut dan mengembalikannya ke amplop. "Nanti saya baca lagi."

"Lagi buru-buru banget, Pak?" tanya bu Sri.

"Begitulah."

"Kalau begitu tunggu sebentar, Pak Al." Bu Sri mengangkat sebelah tangannya dan melongok pada sosok di meja seberang. Di sana ada gadis yang ditemuinya di pintu depan tadi. "Jadi ke rektorat?"

"Iya, Bu. Ini mau berangkat." Dhea menunjukkan map yang baru saja diambilnya dari laci meja.

"Pak Al sekalian pulang, kan?" Bu Sri kembali fokus ke Alfa, kali ini dengan senyum penuh arti menghiasi bibirnya. "Dhea ikut sampai rektorat, boleh? Ada surat yang harus ditandatangani pak rektor."

Alfa tertawa miris dalam hati. Seharusnya dia sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Nggak perlu kok, Bu. Saya bisaㅡ"

"Boleh." Alfa menyela perkataan Dhea dan tersenyum pada gadis itu. "Biar sekalian. Ayo."

Dhea terlihat tertegun sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Lalu tentu saja Alfa tidak melewatkan senyum sumringah bu Sri yang saat ini terang-terangan ditujukan padanya. Wanita paruh baya itu kembali mengajaknya bicara sementara Dhea mempersiapkan berkas yang akan dibawa menghadap rektor.

"Langsung ke rumah, Pak?

"Enggak, Bu. Sudah ada janji." Alfa menjawab apa adanya.

"Begitu? Sama siapa?"

Alfa memberikan senyum terbaiknya.

"Sama wedding organizer."

Bu Sri langsung memperlihatkan senyum salah tingkah.

***

Butuh sekitar lima menit untuk mencapai gedung rektorat yang ada tepat di balik gerbang utama. Selama itu pulalah, Dhea hanya duduk membisu di sampingnya. Bukan masalah bagi Alfa. Baginya begini jauh lebih baik dibanding usaha ramah tamah yang tidak ada gunanya.

"Sudah sampai." Alfa memberhentikan mobil di depan sebuah bangunan besar berlantai empat.

Namun, Dhea tetap bergeming. Jari-jarinya perlahan mencengkeram erat pinggiran map yang ditaruhnya di atas paha.

"Nanti pak Budianto keburu hilang, loh." Alfa mencoba mengingatkan Dhea mengenai tabiat rektor super sibuk mereka yang jarang berada di tempat.

Oke. Sejujurnya itu cuma cara halus untuk membuat gadis itu cepat-cepat turun dari mobilnya.

"Mas." Akhirnya Dhea bicara tanpa sama sekali melihat ke Alfa.

"Kenapa?"

"Urusan kita masih belum selesai loh, Mas."

Alfa mengetuk-ketukkan jemarinya di roda kemudi. Lagi-lagi pembicaraan ini. Pertanda luruh sudah semua sikap profesional yang berusaha mereka tampakkan sejak tadi.

"Kita cuma break, tapi bisa-bisanya Mas langsung dapat yang baru. Jangan-jangan selama ini memang sudah ada orang lain?"

Sepertinya Dhea ikut mendengar rencana Alfa untuk bertemu wedding organizer.

"Tapi buatku semuanya sudah selesai." Alfa tersenyum tipis. Padahal dia sudah menekankan ini berkali-kali sejak tiga bulan yang lalu. "Buatku nggak ada yang namanya break, Dhea. Di titik kamu bilang ingin ada jeda dalam hubungan kita, saat itu juga aku tahu kalau kamu mulai ragu. Jadi, kenapa nggak sekalian saja kita sudahi--"

"Mas!" Dhea meninggikan suaranya. "Aku cuma perlu waktu berpikir."

"Sekarang kutanya. Kapan kamu kepikiran buat mengakhiri yang kamu bilang break ini?"

"Itu ...." Dhea tampak gelagapan. Namun, pada akhirnya dia tidak mengatakan apa-apa.

Melihat itu, Alfa hanya tersenyum tipis. Dia sudah tahu akan seperti ini.

"Pak Budianto mau pergi, tuh." Betapa leganya Alfa karena menemukan cara untuk membuat gadis itu turun dari mobilnya.

Pak rektor kesayangan mereka muncul di waktu yang tepat. Dhea langsung kelabakan saat melihat sosok tambun itu keluar dari pintu lobi. Dia membuka pintu mobil dan menatap Alfa sesaat. Namun, seolah tidak tahu hendak berkata apa, dia turun dan membanting pintu mobil.

Ponsel yang ditaruh di dasbor bergetar. Awalnya Alfa mengira itu adalah telepon lainnya, tapi tulisan yang berkedip-kedip di layar langsung membuatnya terdiam. Dalam sekejap semua pembicaraan dengan Dhea pun terlupakan.

[ August 30th
SELENE'S BIRTHDAY 🎂 ]

Setelah mematikan pengingat tersebut, dia menghubungi Neil.

"Ya? Sudah sampai?"

"Tadi belum sempat bilang, aku mampir ke pemakaman sebentar."

"Kenap--oh." Neil berseru, seolah baru saja menangkap maksud perkataan Alfa barusan. "Oke. Hati-hati."

Alfa mematikan layar ponsel dan mengembalikan benda tersebut ke dasbor. Sebelum pergi ke kantor wedding organizer, ada satu tempat yang harus dia kunjungi terlebih dahulu. Tempat seseorang yang hari ini tengah berulang tahun.

***

Dalam perjalanan menemui wedding organizer, Alfa malah melihat hal yang tidak seharusnya di sebuah perempatan lampu merah.

Hitung mundur sebelum lampu berganti hijau masih berada di angka 60-an. Sambil menunggu, tatapan Alfa jatuh pada satu titik. Genggaman tangannya pada roda kemudi spontan menguat dan pandangannya tidak bisa lepas dari sebuah motor yang diparkir di pinggir jalan.

Rangka luar motor tersebut masih agak berasap dan dihiasi warna hitam jelaga. Permukaannya belum kering, menandakan apinya baru saja berhasil dipadamkan. Seorang supir ojek berhenti di samping mobilnya dan memperhatikan arah yang sama. Alfa mengambil kesempatan itu untuk bertanya.

"Pak, itu motornya kenapa?"

Si bapak berjaket hijau menoleh ke arahnya. "Ah, itu, Mas. Katanya terbakar. Orang yang punya teledor menyimpan HP di jok. Meledak, deh."

Mendengar satu kata itu, Alfa mendadak merasa tidak nyaman. Bekas luka di tangan kanannya terasa berkedut pelan.

"Untung nggak makan korban," lanjut orang itu.

Mendengarnya, Alfa mengangguk. "Syukurlah. Makasih infonya, Pak."

Bapak itu mengangguk dan melaju duluan ketika lampu lalu lintas berganti hijau. Alfa menyempatkan diri untuk menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sebelum pergi, sekali lagi matanya melirik motor nahas tersebut.

Sekitar lima menit kemudian, Alfa tiba di sebuah bangunan dua lantai bercat cokelat muda. Di atasnya terdapat papan besar bertuliskan "Edelweiss Wedding Organizer" yang dicetak dengan huruf berlekuk indah, membuat Alfa yakin dia tidak salah tempat. Setelah memarkirkan mobil, dia kembali menelepon Neil.

"Aku sudah sampai."

"Aku baru mau jalan!" Pria itu terdengar panik. "Masuk duluan deh, Al!"

"Yang benar saja!"

"Nggak enak, Al. Kita janjian jam 4 pas. Nanti kesorean."

Mereka sudah menelepon sebelumnya dan sempat kesulitan menentukan jadwal. Agenda Alfa semester ini cukup padat dan Neil hampir tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Untunglah yang punya kantor masih bisa ditemui sore, dua jam sebelum kantornya tutup.

"Tapi masa' aku masuk sendiri?" Alfa memandangi pintu masuk gedung tersebut ragu-ragu.

"Nggak apa-apa. Anggap saja latihan." Bukan Neil namanya kalau tidak mengejeknya dalam kesempatan sesempit apa pun.

"Apa hubungannya?" Walau bilang begitu, akhirnya Alfa keluar dari mobil. "Ya, sudah. Cepat. Hati-hati, jangan ngebut."

"Cepat, tapi jangan ngebut." Terdengar suara tawa.

Tidak ingin mendengar celotehannya lebih lama, Alfa memutus sambungan telepon dan melangkah menuju pintu depan. Di kacanya terpampang gantungan bertuliskan "OPEN" yang ikutan bergoyang ketika Alfa mendorong pintu. Hal yang menyambutnya ketika melangkah masuk adalah aroma manis lavender dari pewangi ruangan dan penampakan banyak bunga yang tersebar di penjuru ruangan.

"Selamat datang." Gadis jangkung yang duduk di balik meja segera berdiri dan tersenyum sopan. "Ada yang bisa saya bantu?" Selain gadis itu, di sofa paling sudut hanya ada dua orang yang tampak sibuk melihat-lihat katalog.

Alfa melangkah menghampiri. "Saya ada janji temu dengan ibu Milana."

"Atas nama 'Neil Hartadi'?"

Alfa mengangguk.

"Silakan, Mas." Siska mengarahkan tangannya pada sebuah lorong yang ada di samping. "Lewat sini. Pintu putih sebelah kiri. Langsung masuk saja. Sudah ditunggu, kok."

Setelah mengucapkan terima kasih, Alfa menyusuri koridor pendek yang dilapisi karpet merah itu. Sama seperti ruang depan, dinding di sana pun juga dihiasi foto-foto pernikahan yang ditata apik. Pintu yang dimaksud Siska sangat mudah ditemukan. Berhubung hanya itu satu-satunya pintu di sisi kiri.

Alfa mengetuk tiga kali, tapi tidak kunjung mendapat sahutan. Dari suara musik yang sayup-sayup terdengar, dia yakin memang ada orang di dalam. Ketukan keduanya juga tidak mendapat tanggapan. Tadinya dia berniat untuk bertanya ke Siska, tapi tiba-tiba teringat kalau gadis itu bilang untuk langsung masuk. Alfa akhirnya memutar gagang pintu sambil bilang permisi.

Begitu pintu terbuka, tercium aroma kopi yang mengalahkan wangi lavender yang sejak tadi mendominasi. Musik yang tadi didengarnya mulai membentuk melodi dan lirik yang familier.

[ Fill my heart with song
Let me sing for ever more ]

Itu salah satu lagu lawas kesukaan ibunya dan Alfa langsung bisa menebak judulnya hanya dari suara saksofon dan dua baris lirik yang sedang dinyanyikan. Alfa tidak menduga akan disambut "Fly Me to The Moon" di tempat ini. Besar kemungkinan si wedding organizer ini seumuran dengan ibunya.

Di dalam ruangan, tepatnya di samping jendela, berdiri seorang gadis berperawakan mungil yang tengah berkutat dengan bunga-bunga. Meja di depannya dipenuhi berbagai jenis daun, kembang, dan vas. Tidak hanya itu, ketika Alfa memperhatikan, ruangan tersebut memang terkesan "ramai". Di samping pintu, di dekat jendela, di samping sofa, di atas meja kerja, semuanya penuh bunga. Beberapa sudah tertata apik dalam vas kaca berbagai ukuran. Sebagian lainnya masih ditaruh sembarang dalam beberapa ember kecil.

"Permisi?" Alfaㅡmasih sambil berdiri di ambang pintuㅡkembali bersuara.

Namun, satu-satunya orang dalam ruangan tampak begitu fokus. Kedua tangannya lincah menggunting, memotong, dan menata bunga-bunga di dalam vas. Sesekali dia membongkar bunga yang sebelumnya sudah tertata, mengamatinya sebentar, kemudian menyusunnya lagi dengan hati-hati.

Dan Alfa mulai salah tingkah. Dia merasa seperti seorang pengintip. Gadis itu terlihat sangat serius, sampai-sampai dia merasa sungkan untuk mengganggu.

Sesekali didengarnya gadis itu bersenandung mengiringi suaranya Frank Sinatra. Kepalanya bergerak mengikuti irama, membuat rambut kecokelatannya yang dikuncir ekor kuda ikut bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Alfa menyentuh tengkuknya gugup.

[ In other words, in other words ]

Dua kalimat "in other words" berulang. Alfa berdehem. Setelah ini dia hanya perlu menunggu sebaris lirik terakhir dan lagu pun selesai. Itulah saat yang tepat untuk bicara.

[ I love ... you ]

Musik berhenti dan Alfa langsung bersuara.

"Permisi?"

Gadis itu terkesiap dan nyaris menjatuhkan vas bunga di tangannya. Dia memutar tubuh menghadap pintu dan sepasang matanya melebar begitu mereka saling bertatapan. Alfa mendadak merasa tidak enak karena sudah membuat kaget.

"Maaf. Saya sebenarnya sudah ketuk pintu, tapiㅡ"

"Oh? Tidak! Tidak apa-apa!" Gadis itu bicara terburu-buru. Kembali ditaruhnya vas tersebut di atas meja, kemudian tangannya beralih membersihkan kemeja putih dan rok abu-abu selututnya dari dedaunan yang menempel. Dia kembali melihat Alfa, kali ini sambil memberikan senyum yang lebih menyerupai ringisan. Wajahnya agak memerah. "Maaf, saya tidak dengar. Hmm, sejak kapan ...?'

Mengerti maksud gadis itu, Alfa menjawab. "Baru saja, kok."

Terdapat jeda yang cukup lama. Lagu selanjutnya mulai mengalun lembut. Kali ini yang berputar adalah "Close to You"-nya Carpenters. Sementara itu, si gadis masih mengamatinya seksama.

"Benarkah?"

Alfa mengangguk cepat.

"Sebenarnya saya ada perlu dengan ibu Milana." Alfa menyuarakan alasannya datang. Kembali dipandanginya gadis mungil berpakaian putih abu-abu itu. "Apa ... kamu anaknya?" tanyanya ragu-ragu, sambil tetap mempertahankan senyum sopannya. "Mamanya ada, Dek?"

Gadis itu tersenyum masam dan Alfa mulai yakin kalau dia baru saja salah bicara.

***
.
.
.

Mutiateja's note:

Akhirnya selesai juga chapter perkenalan kedua tokoh utama kita!


14 Juli 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top