Day 8 : In Love With The Heel?

"Holly aku nggak bisa menemukan sikat gigiku, apa kau melihatnya?"

"Pat! Jangan berdiri saja, bantu carikan gaun hitamku!"

"Kau meminjamkannya padaku semalam." Holly meneriaki Sarah yang berlalu, "Dan Pat, sikat gigimu sudah kau masukkan ke ranselmu setengah jam yang lalu."

"Oh, kau memang penyelamat!" Pat berbalik dan menaiki tangga sambil menggumamkan sesuatu yang kedengaran seperti "Sandal...di mana sandal?"

Berkat acara ekstra di pinggir pantai semalam, mereka semua—anehnya—serempak terbangun pukul dua siang dan hanya punya waktu tiga jam untuk mengepak barang sekaligus berangkat ke bandara. Ditambah perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam. Jika mereka sampai pukul enam tepat, itu sudah merupakan keberuntungan.

Arloji Holly sudah menunjukkan pukul empat. Ruang tamu sekarang dipenuhi koper dan tas. Pat, Sarah, dan Holly sibuk bolak-balik datang membawa sesuatu untuk dimasukkan dan pergi untuk mencari sesuatu lagi. Di tengah kekacauan dan kepanikan setiap orang, Timmy dan Vera duduk-duduk di teras belakang, mengobrol.

"Kenapa kalian begitu santai?" Sarah—yang jadi emosian di tengah kepanikannya berberes-beres—menanyai mereka.

"Aku sudah mengepak sehari yang lalu. Timmy juga. Lagipula dia kan nggak bawa barang sebanyak kita..."

"Kenapa kau nggak mengingatkanku?!"

"Aku sudah ribuan kali menyuruhmu darling, kau hanya bilang sesuatu yang kedengaran seperti 'santai saja, Vera!' sebagai sahutan."

Holly memutar bola mata dan meneruskan kegiatannya mencoreti daftar barang-barang bawaannya yang sudah tergeletak aman di dalam kopernya.

"Di mana alas bedakku?" Sarah berteriak lagi.

"Aku melihatnya di kamar mandi." Pat berseru dari puncak tangga, "Kau meletakkannya di sebelah cincinmu."

"Ah, aku bahkan melupakan cincinku!"

Seolah ada sebongkah besar batu es meluncur ke perut Holly ketika dia mendengar kata itu. Tanpa sadar Holly berdiri dan berteriak.

"Kau melupakan sesuatu? Mau kubantu carikan?" Sarah balas berteriak dari lantai atas.

"Ye-yeah... maksudku, nggak. Nggak, aku ingat sudah memasukkannya ke tas." kata Holly sambil geragapan meraba-raba saku celananya.

Di mana benda itu?

Dia membongkar-bongkar ranselnya hingga dia nyaris mengeluarkan separuh isinya namun tetap tidak menemukannya.

Kapan terakhir kali aku memakainya? Kuletakkan di mana?

"Cari apa sih? Kau kayaknya panik banget." tanya Timmy yang kebetulan hendak kembali ke rumah hijau.

"Ci..."

Holly langsung diam karena Chris baru saja memasuki ruangan. Melihat wajahnya perasaan Holly langsung campur aduk.

Bagaimanapun 'Vannessa anjingku' masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Cari apa?" Chris menghampiri Holly yang sedang dalam posisi membongkar isi ransel. Cowok itu melihat barang-barang Holly yang berserakan.

"Eh...."

Timmy benar. Kenapa aku panik? Itu cuma cincin mainan!

"Bukan apa-apa. Nggak terlalu penting." jawab Holly sembari merapikan kembali barang-barangnya terburu-buru.

"Apa kau yakin kau nggak mau bilang?" entah kenapa nada bicara Chris terdengar puas.

Dia kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan benda yang kelihatan seperti karet tipis berwarna ungu elektrik.

"Kayaknya kau kebanyakan cuci piring. Tadi pagi aku menemukannya di wastafel dapur." dia menyerahkan cincin itu, "Kau sama cerobohnya sepertiku."

Sementara cowok itu berbalik dan pergi ke ruang tengah, Holly masih terbengong-bengong memandangi cincin yang sekarang tergeletak di telapak tangannya. Tak sengaja pandangannya beralih ke jari-jari tangan Chris, yang ternyata juga mengenakan cincin mainan miliknya.

Kau sama cerobohnya sepertiku.

Akhirnya Holly tahu apa yang dicari-cari Chris di dalam taksi kemarin malam.

***

"APA?!" Sarah yang baru turun dari lantai dua beberapa menit kemudian dan mendengar kata-kata Timmy lantas berteriak, Holly dan Timmy sampai terlonjak. "Apa dia sudah gila? Mengajak Holly minum limun di pantai sementara setengah jam lagi taksi kita akan datang?! Kau nggak usah ke sana!" tambahnya ketika melihat Holly sudah bangkit.

"Aku hanya menyampaikan pesan." kata Timmy, kentara sekali jengkel karena diteriaki Sarah. "Chris bilang dia menunggu di jalan setapak."

"Tenanglah Sarah..." Pat tiba-tiba muncul, masih menenteng-nenteng plastik baju kotornya. "Untuk apa taksi-taksi itu dibayar? Mereka bisa menunggu kan?"

Kemudian Pat mendekatkan bibirnya ke telinga Sarah dan berbisik-bisik menyebalkan.

"Oh." ekspresi Sarah langsung berubah pengertian, "Baiklah, Holly kau boleh pergi."

"Kenapa pula aku harus dapat ijin darimu untuk bisa pergi?" Holly mendelik jengkel dan keluar lewat teras belakang. Matanya langsung menangkap rambut putih cowok itu di kejauhan, sedang berdiri menyandar pagar pembatas jalan. Dengan pikiran yang masih dipenuhi cincin, Holly menghampirinya.

"Trims, cincinnya." kata Holly.

Chris hanya nyengir.

"Ada apa? Kalau ini soal Tom, dia bakal ke bandara jadi kau bisa ketemu dengannya nanti."

Seperti biasa, alis Chris naik tinggi.

"Siapa bilang aku ingin menemui bocah itu?"

Holly terpaku, "Eh, kukira..."

Chris memutar bola mata, "Aku hanya ingin mentraktirmu limun. Hitung-hitung ini terakhir kalinya kita bisa melihat pantai dan ombaknya..."

Mereka berdua bersama-sama memasuki jalan setapak. Hari ini langit Australia tidak terlalu terik dan anginnya sejuk. Pepohonan di sekitar mereka bergemerisik pelan.

Cuaca sebagus ini justru datang pada hari terakhir, batinnya ironis.

"Kupikir kau ingin meledekku lagi tentang ketidaktahuanku soal Vannessa." celetuk Holly. Chris mendengus. Angin menyibakkan rambut putih Chris dari dahinya. Rambut cowok itu kelihatan lembut sekali.

"Komentarmu tentangku selalu bersifat negatif." katanya, "Haruskah aku selalu menemuimu dengan suatu alasan? Nggak bisakah aku cuma... menemuimu saja?"

Jantung Holly serasa anjlok.

"Jadi, bagaimana limunnya?" tanya Chris.

"Eh... apa?"

"Bagaimana limunnya?" ulang Chris, tampaknya senang melihat sedikit kegugupan di mata Holly.

"Asal kita tidak terlalu lama membuat Sarah menunggu, oke-oke saja." Holly mengangguk-angguk seperti orang tolol.

Mereka kembali berjalan. Sepanjang jalan mereka berdua saling diam. Holly berjalan di belakang Chris sehingga tak ada pemandangan lain yang dia bisa nikmati selain pepohonan di kiri-kanannya dan punggung cowok itu. Aku baru sadar punggungnya besar dan tegap.

"Kau mau yang mana?" Chris menoleh padanya. Tak sadar Holly sudah berada di depan kios minuman.

"Terserah kau saja."

Chris memilihkan dua limun ukuran besar dan membayar.

"Masih ada waktu sedikit. Mau jalan-jalan sebentar?" Chris bertanya lagi.

"Mm-hm." Holly sibuk menyeruput minumannya.

Pantai ramai sekali sore itu. Cowok itu, seolah membaca pikiran Holly, melalui pusat keramaian dan membawanya berjalan menuju dok batu yang tempo hari mereka datangi. Di sekitar situ sepi pengunjung. Hanya terlihat beberapa turis sedang berbelanja suvenir.

"Sayang kali ini aku nggak bawa stok kembang api untuk dinyalakan." canda Chris. Holly nyengir.

"Aku nggak jamin kali ini penjaganya membolehkan."

Mendengar kata penjaga, Chris secara otomatis melihat kantor jaga milik Edward yang terletak tak jauh dari situ.

"Apa kau ingin menemuinya? Ayahmu maksudku."

Holly terdiam sejenak. Mau tak mau dia jadi ikut memandangi kantor jaga, lalu menggeleng, "Kurasa nggak sekarang. Aku ingin tahu apakah dia bisa menepati janjinya untuk datang nanti. Dan kau? Apa ingin menyelesaikan urusanmu dengan Tom sekarang?"

"Tom?" piercing Chris berkilat, "Memang ada urusan apa antara aku dengannya?"

"Yah... kau kan belum secara resmi berdamai dengannya sejak insiden pemukulan itu."

Mata biru gelap Chris menatapnya tajam, "Kukira kau senang aku membelamu."

"Yeah, memang. Itu baik sekali, Chris, tapi segala kesalahpahaman antara aku dan Tom sudah diatasi dan keadaan sudah berubah sekarang. Tom juga bilang ingin minta maaf padamu."

Chris menyerah. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menghembuskan napas, "Baiklah, tapi aku akan menemuinya nanti saja. Kalau ini bukan demi kau, aku nggak akan mau melakukannya."

Mereka sudah tiba di ujung dok.

"Ngomong-ngomong aku senang kau bilang aku baik." suara Chris lagi-lagi terdengar puas, "Kau juga memanggilku 'Chris' lagi. Dengan begitu perjuanganku selama ini nggak sia-sia."

"Jangan norak. Kita kan baru saling kenal liburan ini." Holly berusaha mengabaikan jantungnya yang lagi-lagi seolah mau jatuh.

"Kau yang baru mengenalku selama liburan ini. Aku sudah mengenalmu jauh sebelum ini, Holly Fadden."

Holly keheranan. "Apa?"

Chris menunduk memandangnya lurus-lurus. Lagi-lagi Holly merasa terintimidasi tatapannya karena tubuh cowok itu yang begitu menjulang.

"Kau nggak ingat pernah bertemu denganku?"

Mungkin ini sebabnya Holly merasa samar-samar mengingat rambut putih Chris yang pernah dilihatnya dulu di suatu tempat. Dia sama sekali tak ingat di mana, namun cowok ini sepertinya ingat. Jujur saja hal ini mengherankan. Chris yang nyentrik seharusnya lebih mudah diingat kan, dibanding penampilan Holly yang normal dan tak mencolok?

"Rambut putihmu itu pernah kulihat entah di mana. Aku nggak ingat, dan aku nggak tahu itu kau."

"Tentu saja. Waktu itu kau kan belum mengenalku. Aku melihatmu di rumah Sarah pada acara ulang tahunnya tahun lalu. Dan kau mungkin melihat... eh, rambutku di situ."

"Astaga." Holly menekap mulutnya, "Mustahil kau mengingatku! Waktu itu kan rambutku masih panjang, aku baru memotongnya seperti ini ketika musim panas kelas dua belas..."

"Kenyataannya, aku ingat tuh." Chris mengangkat bahu, "Waktu itu kau pakai gaun sederhana warna biru, Vera yang bolak-balik mengambilkanmu makanan. Kau sendiri nggak ngapa-ngapain selain duduk di pojok ruangan, sibuk memijat kakimu."

Dalam hati Holly takjub mengetahui bahwa Chris mengingat masa itu dengan sangat mendetail.

"Yeah, waktu itu memang pertama kalinya dalam hidupku aku memakai sepatu hak tinggi. Itulah kado yang diminta Sarah dariku, 'memakai sepatu hak tinggi dan berdandan seperti selayaknya cewek' dia bilang. Tapi aku juga membelikannya sesuatu untuk hadiah, tentu saja."

Mau tak mau Holly tertawa kecil mengingat hal itu. Wajah Sarah yang dihiasi senyum senang ketika melihatnya berdandan.

"Dialah yang berhasil membuatku memperlihatkan sisi cewekku, yah walaupun cuma sedikit dan membuatku mengorbankan kesehatan tumit."

Chris tersenyum, "Berarti aku cukup beruntung melihatmu pada saat kau jadi 'cewek'."

Ketika Holly mendongak, dia mendapati Chris masih terus memandanginya. Holly buru-buru mengalihkan pandangannya, berpura-pura tertarik dengan segerombolan camar yang melintas di atas lautan, sebisa mungkin tidak balas menatap Chris. Lalu mulai menyeruput limunnya seberisik mungkin.

"Singkat cerita, Holly, mungkin aku jatuh cinta padamu sejak saat kau memijat tumitmu itu."

Pernyataan barusan bahkan lebih mengejutkan bagi Holly dibanding menemukan fakta bahwa dia punya adik tiri dari selingkuhan ayahnya yang kerja sebagai pilot biplane.

Selama beberapa detik Holly hanya berdiri mematung. Dia menelan limunnya pelan-pelan.

"K-kau yakin dengan ucapanmu barusan?" tanya Holly dengan tampang cemas dan gugup. Chris mengangkat sepasang alisnya tinggi-tinggi lagi.

"Kenapa aku harus nggak yakin?"

"Begini... aku benar-benar bingung mengapa kau bisa-bisanya eh... jatuh cinta padaku sejak saat itu. Kita bahkan belum pernah ngobrol, atau seperti banyak adegan klise yang terjadi di film-film misalnya bertemu karena salah loker atau nggak sengaja bertabrakan di koridor sekolah? Tapi itu nggak mungkin karena kita beda sekolah. Hahaha. Mak-maksudku mungkin kau hanya tertarik dengan... tumitku atau semacamnya?" Holly terkekeh gugup.

"Teori bagus, tapi entahlah." Chris menahan cengiran, "Aku tiba-tiba menjadi sangat tertarik padamu, mungkin dipicu karena kau satu-satunya cewek di pesta itu yang membawa sneakers dalam tasmu sebagai cadangan?"

"Kau juga lihat itu?! Itu kan malu-maluin!" Holly menekap mulutnya lagi.

"Sori saja, tapi aku kayaknya ingat banyak hal kalau itu menyangkut dirimu." cengiran Chris melebar.

Holly belum mengijinkan kupu-kupu untuk menggelitik perutnya, rona merah menjalari pipinya, atau semacamnya. Dia belum menyerah.

"Bukannya kau sendiri pernah bilang padaku kau masih agak menyesalkan Sarah jadian dengan Gary...?"

"Sampai tahun lalu." koreksi Chris, "Ingatanmu payah banget. Aku kan juga pernah bilang sampai tahun lalu aku baru bisa benar-benar melupakan Sarah. Tahun lalu yang kumaksud itu ketika aku datang ke pesta Sarah dan melihatmu—dan tumitmu, kalau boleh kutambahkan. Nah, mengerti sekarang?"

"Kurang-lebih... tapi nggak tahu harus bilang apa." Holly menelan ludah susah payah, mulutnya terasa kering. "Jadi... kau baru dapat kesempatan mengenalku ketika Sarah merencanakan liburan ini?"

"Ng... pertanyaan itu perlu diralat sedikit. Tepatnya aku yang merencanakan liburan ini agar aku bisa bertemu denganmu lagi."

"Yang benar saja." Holly melongo, "Jadi kau yang menghasut Sarah untuk mengajakku ke sini?!"

"Dia nggak perlu kuhasut. Toh dia sudah tahu aku naksir berat padamu selama ini." cowok itu nyengir, "Aku dapat dukungan penuh."

Mata Holly membulat sebulat-bulatnya, dia merasa sangat jengkel. Dan malu. "Kau bersekutu dengan Sarah. Itu menjelaskan segalanya."

"Nah. Kau sudah tahu semuanya sekarang." alis Chris naik lagi seperti kebiasaannya, "Apa interogasinya sudah selesai Ma'am?"

"Satu hal lagi." Holly ragu-ragu sebelum meneruskan, "Jika benar kau sudah... well, tertarik padaku sejak tahun lalu, lantas kenapa kau nggak melakukannya sejak dulu? Maksudku... kau kan bakal punya banyak kesempatan bertemu atau mengontakku misalnya. Sarah toh mengetahui semuanya, termasuk nomor teleponku."

Chris diam sebentar. Kemudian akhirnya menjawab, "Aku perlu waktu untuk tahu aku betulan suka padamu atau nggak. Aku nggak mau ini hanya karena aku nggak bisa dengan Sarah, kalau kau paham maksudku."

"Oh." Holly menggumam. Cukup adil.

"Jadi? Aku lulus tes?" Chris kembali nyengir. Matanya berkilat-kilat bersemangat.

"Aku hanya mengajukan pertanyaan yang kepingin kutahu."

Menatap mata Chris saat ini merupakan siksaan batin bagi Holly. Di satu sisi dia ingin sekali meloloskan diri dari tatapan Chris. Namun, dia tidak mungkin mengalihkannya lagi ke burung camar atau lautan. Karena jujur saja, mata Chris lebih memikat dari apapun saat ini. Lautan dan burung camar sekalipun.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Chris menangkap kerutan kecil di dahi Holly.

"Laut dan burung camar."

"Hah?"

"Entahlah." gumam Holly, terkunci dalam sepasang mata itu. Mata biru gelap yang sekali lagi mencoba menenggelamkannya, "Aku sendiri nggak tahu."

Cowok jangkung itu kemudian meraih tangan Holly yang sedang tidak memegang gelas limun.

"Aku sudah bisa memegang tanganmu. Bahayakah jika—"

Chris tidak meneruskan perkataannya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Holly. Saat bibir mereka baru bersentuhan, Holly sedikit terlonjak. Chris ikut tersentak, namun kemudian tersenyum dengan ekspresi geli.

"Jangan tersinggung ya. Tapi kau ini mengingatkanku pada binatang liar yang baru ditangkap."

"Refleks, sori." Holly nyengir malu campur bersalah.

"Jadi..." Chris meraih wajah Holly lalu menatapnya hangat dengan mata birunya, "...sudah aman?"

Kali ini pada akhirnya Holly membiarkan mata biru gelap itu menenggelamkannya. Dia membiarkan kupu-kupu dan sebagainya menggelitiki perutnya ketika bibir mereka bertemu. Dia juga tak keberatan walaupun jantungnya saat ini anjlok dalam kondisi terparah. Yang dia tahu saat itu, ciuman lembut Chris seolah merupakan titik balik di mana dia akhirnya dapat mengalahkan trauma masa lalunya, menjalarinya dengan kehangatan. Seperti mengisi kembali kekuatan yang selama ini seolah mengering di dalam diri Holly.

"Ternyata sudah aman." Holly tersenyum saat Chris menjauhkan wajahnya. Cowok itu balas tersenyum. Senyuman terindah yang pernah dilihat Holly.

Terdengar berlebihan mungkin, tapi begitulah faktanya.

---

:*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top