Day 7 : The Girl
Holly terbangun Sabtu pagi dengan mata bengkak. Bukan karena menangisi kerendahan hati ayahnya yang pada akhirnya meminta maaf. Semalam dia menceritakan semua tentang pertemuannya dengan Edward kepada Sarah, Pat, dan Vera sambil mencuci piring. Itu membuatnya begadang hingga pukul dua malam. Dan sebagai satu-satunya koki di rumah ini, dia tidak bisa seenaknya molor sampai jam sembilan seperti ketiga sahabatnya. Dia harus memasak.
Setelah menggosok gigi dan berganti pakaian, dia turun ke dapur dan mendapati—oh, kenapa sih harus dia?—Chris tengah sibuk membuat kopi di konter. Dia menoleh menyadari kedatangan Holly.
"Masih pukul tujuh, kau biasa bangun sepagi ini di hari libur?" sapa Chris sambil menambahkan susu pada kopinya.
"Nggak juga. Aku hanya merasa nggak enak misalnya, aku bangun pukul dua belas nanti, teman-temanku akan kelaparan."
Mata Chris membulat berlebihan, "Oh, benar juga. Sang Master Sandwich yang hebat!"
Holly memutar bola mata, "Kau sendiri? Kenapa nggak pakai dapur rumah sebelah? Kau kan tidur di sana, jauh lebih dekat."
"Oh, entahlah." Chris menyeruput kopinya, "Sudah kebiasaan."
Alis Holly terangkat, namun dia memutuskan untuk tidak menyuarakan pendapatnya tentang jawaban Chris yang aneh dan mulai mengeluarkan telur dari kulkas.
"Mau dadar atau ceplok?" tanyanya.
"Dadar saja."
"Oke. Sana buat sendiri."
"Hei!"
Holly mendengus, "Aku cuma bergurau."
Dia mengambil mentega dan roti yang masih terbungkus di dalam plastik dan mulai bekerja. Di tengah kesibukannya, dia yakin ekor matanya menangkap pandangan Chris terhadapnya yang tak putus-putus.
Holly meletakkan pisau rotinya dan menoleh.
"Apa?"
"Matamu bengkak. Apa semalam pertemuannya..."
"Aku bukannya menangisi dia. Pertemuannya baik-baik saja, kalau itu yang kau tanyakan." potong Holly sebal.
"Well, hanya khawatir. Soalnya aku ingat kau pernah berlari sambil menangis waktu kita bertengkar di pantai... ah, topik sensitif, sori." Chris meringis.
Pipi Holly memerah, "Aku nggak cengeng-cengeng amat."
Holly mengabaikan Chris dan meneruskan mengolesi roti. Chris lalu menyodorkan wajan padanya. Holly berbalik dan menyalakan kompor, masih merasakan pandangan Chris yang menyengat punggungnya. Syukurlah tiba-tiba suara ponsel Chris memecah kesunyian yang tidak enak. Holly diam-diam mengawasi. Chris tampak heran sedikit ketika melihat layar ponselnya sebelum menjawab telepon.
"Mom?"
Holly mengulum senyum, si kecil Chris dicemaskan Mom-nya.
Chris beberapa kali menggumam bosan dan berkata, "Yeah, aku baik-baik saja di sini. Cottagenya luar biasa, pantainya indah dan..." Holly merasa Chris sempat melirik ke arahnya selama sepersekian detik sebelum meneruskan, "Teman-temanku hebat."
Mungkin hanya tipuan cahaya.
Holly kembali sibuk dengan telur-telur dadarnya ketika sahutan-sahutan Chris pada ibunya semakin membosankan. Dan setelah Holly yakin sebentar lagi percakapan di telepon akan berakhir, Chris tiba-tiba berseru.
"Vannessa!"
Telur dadar di sodet Holly nyaris tegelincir jatuh.
"Hei!" suara Chris langsung terdengar ceria dan bersemangat, "Aku kangen sekali padamu... kau terdengar ceria..."
Terburu-buru Holly mematikan kompor, meletakkan telur-telur dan rotinya di piring dan membawanya keluar dapur. Dia merasa tidak perlu menguping terus-menerus pembicaraan Chris dengan Vannessa.
Yeah, ceweknya itu.
Holly meletakkan piring ke meja agak terlalu keras. Vera dan Sarah yang baru turun langsung menghentikan kuapnya dengan kaget.
"Kau baik-baik saja?" tanya Vera bingung.
"Hah? Oh... tanganku licin." Holly menjawab sama bingungnya. Kenapa dia jadi uring-uringan begini?
"Haaaaah! Ini hari terakhir kita di sini!" Sarah meregangkan tangannya, tampak lesu. "Kita ke bandara besok malam pukul delapan."
Holly sama sekali lupa tentang hal ini. Mereka sudah seminggu berada di Australia dan seharusnya mereka memang pulang hari Minggu.
"Aku belum membereskan koperku." Vera mendesah.
Holly dan dua temannya sudah separo menghabiskan sarapan ketika Chris keluar dari dapur dan bergabung dengan mereka.
"Lama sekali." komentar Holly tanpa mendongak dari piringnya.
"Vannessa nggak mau melepaskan teleponnya. Ibuku sampai mati-matian membujuknya..."
"Vannessa?!" Sarah memekik, "Astaga, aku sudah lama sekali nggak menemuinya. Bagaimana kakinya?"
Holly tersedak pelan. Untungnya tidak ada yang menyadari karena Pat baru turun. Dia menggerutu seraya membatin tak percaya.
Sarah selama ini sudah tahu tentang Vannessa?! Bagaimana mungkin dia tidak memberitahuku dari dulu? Begini. Jelas-jelas Chris bilang Vannessa itu ceweknya. Dan Sarah—dinilai dari kalimatnya barusan—sudah tahu dan kenal cewek itu. Lalu kenapa kemarin-kemarin Sarah ngotot menyuruhku 'memberikan kesempatan' pada cowok ini?! Dia lupa atau memang berniat membodoh-bodohiku?!
Holly melirik Sarah dengki, namun temannya itu rupanya sedang tidak memerhatikan.
"Kaki?" Pat nimbrung penasaran sambil menyendok telur.
"Dulu kaki Vannessa pernah terkilir karena terperosok ke sungai waktu kami jalan-jalan." jelas Chris, "Sekarang sudah sembuh."
"Oh, aku kangen sekali padanya..." kata Sarah.
Sarah bahkan tidak merasa bersalah padaku! Holly semakin syok.
"Kau pernah bertemu dengannya?" Pat bertanya pada Sarah.
Pat juga sudah tahu!
"Waktu aku dan Gary main ke rumah Chris. Dia sedang makan saat itu."
Orangtua Chris bahkan sudah mengundangnya makan malam!
"Pat, kau sudah mengumpulkan barang-barangmu? Jangan lupa besok kita pulang."
"Oh! Ya ampun bagaimana aku bisa nggak ingat?! Ooooh... sayang sekali padahal aku masih betah di sini..." Pat tiba-tiba mengernyit, "Huek!"
"Ada apa?" Sarah mengawasinya heran.
"Telurnya asin sekali! Holly apa kau melamun waktu menga... Holly?"
Holly tersentak.
"Y-yeah?"
"Kau sudah membuat telurmu jadi serpihan-sepihan kecil." Vera menunjuk piring Holly.
Holly menatap telurnya yang memang sudah tak berbentuk. Chris mendengus.
Sarah bertanya khawatir, "Apa kau baik-baik saja? Kau kelihatan banyak pikiran..."
Banyak pikiran? Hah!
"Memang." sahut Holly asal saja kepada Sarah, "Terutama memikirkan perkataanmu yang 'coba berikan dia kesempatan' itu padahal kau sudah tahu faktanya namun entah mengapa nggak berpikiran untuk memberitahuku dan aku jadi kelihatan tolol. Aku nggak ngerti tujuanmu."
Keempat orang di meja makan itu menganga.
"A-apa?" Sarah yang pertama kali membuka suara. Tampangnya jelas sangat bingung.
Holly menghela napas panjang lalu bangkit, "Sudahlah. Lupakan saja. Mau cuci piring dulu."
"Wah, apa aku ketinggalan sarapan?" Zach yang baru datang mengawasi Holly yang lewat di depannya dengan alis terangkat. Timmy berdiri mengawasi keheranan.
Bahkan ketika Holly sudah menghadapi piring-piringnya di wastafel dapur, dia masih dapat merasakan pandangan semua orang yang tertuju padanya.
---
A big-ugly monster called jealousy?
Jangan lupa vomment :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top