Day 7 : Forgiveness
"Silahkan."
Seorang pelayan wanita meletakkan segelas limun dingin tepat di meja di hadapannya. Dia tersenyum sekilas.
Holly tak tahu apa yang dipikirkannya sampai-sampai nekat mengendap-endap ke pantai sendirian seusai mandi. Dia hanya sedang malas di cottage seharian penuh, melihat wajah-wajah yang sama.
Setelah meneguknya dia mengawasi sekeliling. Suasana pantai pagi hari itu tidak terlalu ramai. Langit cerah dan anginnya tidak terlalu kencang. Ombaknya maju mundur seolah malu-malu. Di kejauhan Holly dapat melihat kios minuman dekat semak-semak, tempat Chris dan Tom pernah bergulat.
Holly meneguk limunnya lagi banyak-banyak.
"H-Holly?"
Minuman di mulutnya tersembur keluar saking kagetnya. Holly terbatuk-batuk dengan limun yang masih menetes-netes dari bibirnya dan mendapati cowok itu berdiri terperangah. Bajunya basah.
"So-sori! Aku nggak bermaksud menakutimu ..." dia buru-buru meminta maaf.
"Tom?!" Holly tergagap-gagap. Tom nyengir bersalah.
"Boleh aku duduk di sini?"
"Ah-ah, tentu, tentu." Holly menjambret tisu makan dari atas meja dan mengelap sisa-sisa semburannya yang muncrat ke mana-mana, termasuk t-shirt Tom. "Sori soal ini, kupikir kau siapa..."
Tom tersenyum lemah, "Nggak usah, aku oke. Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Jujur saja, sambutan seperti ini masih jauh lebih baik dari yang aku perkirakan."
Holly menghentikan kegiatan-mengelapnya sejenak, "Apa?"
"Yah, pertemuan kita yang terakhir... aku kan memperlakukanmu dengan sangat kurang ajar. Kukira jika melihatku lagi kau akan menempelengku atau apa."
Holly menarik tangannya kembali, "Sudahlah. Kau sudah bicara dengan ayahmu?"
"Yeah," Tom mengangguk.
"Baguslah."
Keduanya diam. Holly diam-diam memperhatikan wajah Tom. Bekas perkelahiannya dengan Chris masih terlihat jelas di sana. Rahang dan sebelah matanya membiru. Di alisnya terdapat bekas luka yang sudah mau sembuh. Tom dengan canggung memilin-milin ujung t-shirtnya—yang sekarang bebercak basah—sebelum akhirnya membuka suara.
"Dad... sudah menceritakan semuanya padamu?"
Holly mengangguk.
Tom tak mampu membalas pandangan Holly, dia menundukkan kepalanya, memilin-milin ujung kausnya lagi dengan gusar.
"Dad bilang dia menyayangiku dan ibuku, sama seperti dia menyayangimu dan ibumu. Dan aku tahu ketika mengatakan itu, dia jujur sepenuhnya."
Dia mendongakkan kepalanya untuk mencegah matanya berair lebih banyak, membuatnya terlihat seperti sedang ngobrol dengan langit. "Selama ini kupikir Dad menganggapku hanyalah sebuah kesalahan, kesia-siaan. Selama bertahun-tahun tinggal dengan kami, aku selalu mendapatinya memandangi fotomu dan ibumu setiap malam sebelum tidur, sembunyi-sembunyi. Tentu saja itu semakin meyakinkanku bahwa Dad menyesali kehadiranku dan ibuku. Dan itu memupuk rasa benciku."
Tom menarik napas dan meneruskan, "Mom juga menyadari itu. Mereka berdua mulai bertengkar. Kemudian pisah ranjang. Aku masih pura-pura nggak tahu dan nggak peduli, namun pada akhirnya aku nggak tahan juga dan memutuskan kabur dan pergi ke tempat temanku. Berita yang kuterima setelahnya benar-benar membuatku nyaris gila. Aku nggak menyangka, Mom yang selama ini kukenal tegar dan kuat, menenggak pil tidurnya."
Tangan Tom mengepal.
"Aku sangat membenci diriku, Holly." katanya, "Aku ini nggak lebih dari seorang idiot."
"Yeah, memang." sahut Holly cepat tanpa ampun, "Kau idiot. Dan kadar idiotmu itu semakin parah karena kau nggak juga mengerti bahwa kau seharusnya nggak menyalah-nyalahkan orang lain atas meninggalnya ibumu. Dan kau juga harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri."
Tom menatap Holly terkejut. Mulutnya membuka-menutup hendak mengatakan sesuatu, namun yang terdengar hanyalah suara parau tak jelas.
"Ya, aku memang idiot karena aku menyalahkan Dad, kau, juga ibumu. Tapi aku membuat Mom makin parah dengan kabur dari rumah. Dia pasti semakin tertekan mengira anaknya juga nggak menginginkannya, seperti suaminya." kata Tom akhirnya, suaranya bergetar marah. "Jadi katakan, apakah aku nggak pantas disebut bersalah?"
"Ibumu bunuh diri, nggak ada yang patut disalahkan atas itu." ujar Holly. Rasanya aneh, membicarakan masa lalu Tom, dengan Tom sendiri di hadapannya, di bawah cahaya mentari yang hangat dan di antara keriuhan suara deburan ombak dan suara nyaring burung-burung yang lalu lalang jauh di atas mereka, "Bagaimanapun juga itu keputusannya sendiri. Kau tahu itu."
"Dia nggak akan membuat keputusan itu bila aku nggak kabur dari rumah!" suaranya meninggi, "Tidakkah kau mengerti itu?"
Holly memutar bola mata, "Ya... baiklah, itu salahmu. Kau penyebab segalanya. Lalu sekarang apa? Kau ingin menyuruh semua orang yang kaukenal agar memaki-makimu? Atau memohon pada Tuhan agar menukar nyawamu dengan nyawa ibumu saat ini juga?"
Kalimat Holly sukses membuat Tom terpojok. Dia mengerjap-ngerjap salah tingkah.
"Aku sadar itu nggak mungkin, tapi..."
"Tapi apa? Nggak ada yang bisa kaulakukan!" Holly hilang kesabaran, "Satu-satunya yang bisa kaulakukan Tom, adalah berhenti menyalahkan dirimu sendiri dan mulailah kehidupan yang lebih baik dengan ayahmu. Ibumu pasti menginginkan hal itu."
Serombongan turis bising melewati meja mereka. Hal itu dimanfaatkan Tom untuk mengelap matanya yang basah ke kausnya. Holly langsung berpura-pura sedang fokus memainkan sedotan.
"Beberapa hari yang lalu Sarah membujukku agar mencoba membuka hatiku terhadap cowok, aku bilang padanya aku akan mencoba. Kemarin ayahmu meminta maaf padaku dan aku janji pada diriku sendiri aku akan mencoba." Holly sengaja memalingkan wajahnya ke arah turis-turis agar Tom tak merasa diperhatikan, "Aku tahu hal ini sama sekali nggak mudah bagimu, tapi kau juga harus mencoba."
Angin di pantai semakin sejuk, namun Holly justru merasa matanya memanas. Tiba-tiba Tom berkata.
"Aku akan mencoba, tapi hanya jika kau juga berjanji mau memaafkanku karena sikapku kemarin."
Holly tersentak.
"Apa-apaan itu? Aku bahkan nggak perlu mencoba, aku sudah memaafkanmu. Toh aku sudah menyemburmu dengan limun tadi."
Selama beberapa detik mereka hanya saling berpandangan, hingga akhirnya keduanya mendengus.
"Trims." Tom nyengir, "Kau baik sekali."
"Aku senang percakapan kita lancar. Setidaknya nggak ada yang tiba-tiba menerjang dan menonjokmu atau apa." Holly mengaku.
"Ah." Tiba-tiba raut Tom serius lagi, "Aku juga harus minta maaf pada cowokmu... si rambut putih itu."
"Namanya Chris. Dan dia bukan cowokku. Lagipula dia—"
Holly terdiam. Well, dia punya Vannessa kan?
"Oke. " kata Tom, namun tatapannya jahil. "Sepertinya aku melihat benang merah di sini. Ngomong-ngomong tentang cowok... aku penasaran kenapa Sarah menyuruhmu ng... apa tadi kau bilang? 'Membuka hati terhadap cowok'? Memangnya apa masalahmu dengan cowok?"
"Oh, itu."
Holly mengelus lengan kirinya lagi, tidak ada yang tahu tentang ini selain ibunya, Sarah, dan Chris.
"Nggak apa jika kau nggak ingin menjawab." ucap Tom buru-buru, "Seharusnya aku nggak ngorek-ngorek privasimu..."
"Memang bukan apa-apa." Holly tersenyum, "Hanya bagian dari masa lalu yang perlu kulupakan."
Selama satu jam berikutnya, Holly dan Tom tak bisa menyudahi obrolan. Dan segera saja Holly merasa akrab dengan adik tirinya yang selama enam belas tahun ini tidak dikenalnya. Tom rupanya benar-benar berbeda dari yang semula Holly bayangkan. Dia lumayan periang dan penuh semangat. Dan—dia jadi teringat julukan yang konyol yang diberikan Chris pada Tom—anak ini memang memiliki semacam kebiasaan mengatakan 'oke' di berbagai kesempatan. Namun selera humornya payah, persis seperti ayahnya. Holly tertawa hanya untuk menghargainya. Mereka bicara tentang hobi dan pekerjaannya di Tiger Moth. Dari situ Holly berhasil tahu bahwa keputusan Tom untuk tidak meneruskan kuliah adalah karena dia ingin membantu ayahnya.
Benar kan? Holly membatin puas, Dia nggak pernah membenci Edward.
"Menurutmu..." kata Tom, ketika pelayan mengantarkan limun pesanannya. "...apakah ibumu akan terkejut jika dia tahu siapa yang kau temui di sini?"
"Kupikir iya."
"Apakah... apakah menurutmu dia akan memaafkan Dad seandainya Dad menemuinya?"
Holly mengangkat bahu, "Itu urusan mereka. Tapi bagaimanapun juga aku nggak bisa munafik. Aku ingin hubungan mereka membaik."
Yah, soalnya segalanya menjadi lebih baik di hari terakhir ini kan? pikir Holly.
"Hei... ngomong-ngomong aku punya ponsel." Holly teringat.
Tom cemberut, "Kau bilang kau nggak punya."
"Yah... habis kau mencurigakan. Coba, mana ada pilot biplane yang menanyai nomor ponsel seorang cewek hanya beberapa menit setelah berkenalan? Kenapa sih waktu itu kau sok akrab padaku?"
"Aku kan sudah tahu kau kakak tiriku." jawabnya, "Sebenarnya aku ingin mempermainkanmu sedikit sebelum mengungkapkan segalanya... tapi ternyata kau sudah tahu dan langsung mencecarku waktu kita bertemu lagi."
"Mempermainkanku sedikit?!" Holly melotot, "Kau pikir aku ini enak dibodoh-bodohi? Lagipula jika kau ingin mempermainkanku ngapain kau repot-repot memberi Chris kartu namamu? Untunglah dia cepat tanggap dan langsung memberitahuku kecurigaannya."
"Kupikir cowokmu tidak tahu apa-apa tentangku!" Tom gagal membuat wajahnya terlihat serius, "Kau yang memberitahunya?"
"Nggak juga." sergah Holly, pipinya memerah. "Dia hanya kebetulan bersamaku ketika aku bertemu Edward, jadi otomatis dia tahu. Dan ngomong-ngomong dia bukan cowokku. Harus berapa kali kubilang sih?"
"Oke-oke! Aku hanya sulit membayangkan seseorang yang bukan cowokmu repot-repot memberitahumu tentang kecurigaannya terhadapku dan rela lebam-lebam demi membelamu."
"Dia cuma teman baikku, jelas? Berhenti meledekku. Aku nggak mau kita bermusuhan lagi sepulangnya aku dari sini."
"Apa?" Tom kaget, perhatiannya sepenuhnya teralihkan "Memangnya kapan kau akan pulang?"
"Besok malam. Kami disini sudah seminggu. Makanya aku bilang padamu aku punya ponsel, supaya kita masih bisa saling kontak."
Tampang Tom ketika mendengar itu seolah Holly baru saja memberitahunya bahwa dia telah menjual biplane kesayangan Tom.
"Oh, sial. Aku nggak punya kesempatan ngobrol langsung lebih lama."
"Kau masih bisa menghubungiku." hibur Holly.
"Aku mungkin akan mengunjungimu suatu saat. Well, jika keadaan sudah memungkinkan, tentu saja..." Tom menambahi dengan pandangan penuh arti, "Pukul berapa kau berangkat?"
"Pukul delapan."
"Keberatankah kau jika aku ke sana untuk mengantarmu? Mungkin aku juga akan mengajak Dad."
"Akan sangat menyenangkan." Holly sungguh-sungguh. Tom tersenyum. Baru kali ini Holly melihatnya tersenyum seperti itu. Dia sama sekali tidak sadar sebelumnya bahwa dia punya adik tiri yang memiliki senyum indah.
***
Holly kembali ke cottage setengah jam kemudian. Tom dan dia telah saling bertukar nomor, dia bahkan menyuruh Holly agar segera menghubunginya setibanya dia di Baltimore.
Zach, Timmy, Gary dan Chris sedang berkumpul di ruang televisi rumah biru, menyaksikan siaran ulang pertandingan sepakbola. Sementara Sarah, Vera dan Pat menyambutnya dengan tatapan cemas campur curiga. Sarah lalu mendatanginya, "Seharusnya kau bilang kalau kau mau bertemu Tom."
Holly terpaku.
"Dari mana kau tahu aku bertemu Tom?"
Sarah meringis, "Er... sebetulnya..."
Pat dan Vera saling bertukar pandangan gelisah. Mendadak Holly paham.
"Aku nggak janjian dengannya. Kami bertemu di sana nggak sengaja." tukas Holly jengkel. Suasana hatinya sudah cukup buruk ketika meninggalkan cottage tadi, tidak perlu ditambah-tambahi sikap menyebalkan teman-temannya yang mengendap-endap di belakangnya, mengikutinya ke pantai.
"Nggak perlu semarah itu, Holly. Aku yang membuntutimu." Chris bangkit dari karpetnya, perhatian ketiga teman cowoknya seketika teralihkan dari layar televisi. "Aku cuma ingin memastikan si Pilot-Serba-Oke itu nggak macam-macam lagi dengan kau."
"Tom sudah minta maaf padaku." kemudian Holly menambahkan dengan nada penuh kesinisan, "Kupikir kau sudah dengar, karena kau membuntutiku?"
Wajah Chris memerah, "Aku nggak menguping pembicaraanmu, kalau itu yang kau maksud."
"Whoa... santai man. And woman." Gary ikut bangkit lalu menepuk pundak Chris, lalu menatap Holly. "Segalanya baik-baik saja kan?"
"Yeah." jawab Holly dingin, "Pertemuan kami lancar-lancar saja. Kami bahkan tukar-tukaran nomor telepon. Untung nggak ada yang tiba-tiba menyerbu keluar dan meninjunya..."
"Kau ini terlalu baik atau apa sih?" tanya Chris gusar, emosinya makin naik. "Kau nggak ingat kemarin dia ngapain terhadapmu? Semudah itu kau memaafkannya?"
"Kau nggak punya hak mengurusi kepada siapa-siapa saja aku boleh memberi maaf. Kau yang harusnya ingat-ingat bahwa kau yang memulai perkelahian." balas Holly, suaranya meninggi.
"Bocah pilot itu memang perlu diberi pelajaran." Chris menggeram.
"Jangan memanggilnya seperti itu!" Holly mendidih.
"Hei... sudahlah..."
"Wah..." Chris memutar bola mata, "Siapa ya, yang bilang lebih suka jika aku menyebutnya pilot breng..."
"HEI! Bisa nggak sih kalian berhenti bersikap kekanakkan?!" Timmy berteriak, menatap Chris dan Holly bergantian, "Dinginkanlah kepala kalian sebelum kalian ngomong satu sama lain."
Suasana langsung senyap. Mungkin didukung fakta mengejutkan bahwa Timmy tiba-tiba meledak marah. Wajah Chris masih memerah, rahangnya mengeras. Sementara telinga Holly serasa berdering saking kesalnya dia pada cowok jangkung itu.
"Nggak usah repot-repot mengurusi masalahku. Urusi saja sikapmu yang nggak juga dewasa."
Diiringi tatapan dan tarikan napas kaget dari semua orang, Holly melangkah menaiki tangga dan membanting pintu kamarnya hingga menutup.
---
((( bocah pilot )))
Ada yang setuju sama Chris?
Atau setuju sama Holly?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top