Day 6 : A Glimpse Of The Past

"Holly, aku bisa bilang kau nggak ada." ujar Sarah cemas.

Sarah, Pat dan Vera megerumuni Holly dengan wajah gusar. Masih di hari yang sama, keempat cowok sepakat untuk berkeliling Torquay sepanjang siang itu untuk mencari peralatan olahraga—mungkin satu pak CD software komputer terbaru untuk Timmy—sehingga di cottage hanya tertinggal cewek-cewek. Sepuluh detik yang lalu terdengar suara ketukan dari pintu dan Sarah—yang mengintip lewat jendela paling dulu, heran karena menurutnya cottage-nya belum pernah kedatangan tamu sebelumnya—tergopoh-gopoh mendatangi Holly.

Karena Edward Garreth ada di pintu depan.

"Kau bisa sembunyi di kamar anak cowok di rumah sebelah." usul Pat.

Holly, sementara itu, hanya berdiri mematung. Tidak menyangka bakal menghadapi ayahnya secepat ini.

"Holly." hanya Vera yang mampu bersuara tenang dan berpikir jernih saat ini, "Aku nggak mau mencoba menghalang-halangimu menemui Mr. Garreth atau apa, tapi kau punya hak untuk nggak menemuinya jika kau belum siap."

"Nggak. Aku akan menemuinya." kata Holly tegas. Kemudian dia, dengan wajah penuh tekad, berjalan menuju ruang depan dan membukanya. Wajah lelah ayahnya menyambut.

"Hai, Holly." sapanya, ragu-ragu tersenyum. Holly tak membalas.

"Dari mana kau tahu ini cottage temanku? Tom yang memberitahumu?"

"Aku sudah menjaga pantai selama delapan tahun Holly, aku hafal segalanya di daerah sini. Dan aku sedikit mengharap kebaikanmu supaya kita bisa... ngobrol sebentar."

Holly menunjuk kursi di teras. Setelah Edward duduk, Vera muncul dari balik pintu.

"Er... Holly? Kami ada di rumah sebelah jika kau eh, jika ada apa-apa." kemudian dia menggamit lengan Sarah dan Pat agar mengikutinya. Pintu ditutup.

Beberapa menit kemudian, cangkir berisi teh telah tersedia di depan Edward. Dia menyeruputnya sambil sesekali melirik Holly yang duduk bergeming di depannya.

"Aku yakin kau pasti bertanya-tanya untuk apa aku kemari."

"Dan itu benar." ujar Holly. Edward tersenyum gugup, kerut-kerut di sekitar matanya muncul. Holly memperhatikannya dan benci mengakui ini: ayahnya masih setampan dulu, walaupun sedikit tersembunyi di balik betapa kurusnya dia sekarang.

"Baiklah, tak usah basa-basi. Aku secara pribadi meminta maaf kepadamu soal perilaku Tom yang kurang ajar terhadapmu dan temanmu kemarin. Dia benar-benar sedang kalap."

"Oh, ya. aku yakin dia sedang kalap. Dia menghina ibuku dan itu memang hanya bisa dilakukan bocah enam belas tahun yang sedang kalap." kata Holly sedingin es. Edward menelan ludah.

"Aku sudah menyanyainya tentang apa yang kalian pertengkarkan kemarin..."

"Yah. Dia menghina ibuku, jadi aku menghina ibunya, sesederhana itu."

"Begini Holly, kupikir Tom sudah cukup dewasa untuk mengetahui segalanya, namun aku keliru. Dia masih begitu... begitu emosional dan labil. Dia tak dapat begitu saja menerima kenyataan bahwa aku memiliki... keluarga lain."

Tom yang malang, Holly membatin sinis, diberitahu bahwa Dad-nya ternyata pernah punya keluarga. Dia terpaksa harus menerima kehadiran saudari tirinya dan mantan-istri Dad-nya yang mengganggu. Dia diberitahu. Sedangkan aku? Aku nggak ingat Edward pernah memberitahuku bahwa dia punya selingkuhan dan menghasilkan anak di luar nikah. Benar-benar Tom yang malang.

Holly diam saja. Maka Edward melanjutkan.

"Dia masih begitu terpukul, jadi maukah kau memaafkannya?"

"Apa kau pikir dengan memberitahuku hal ini, kau bisa menarik simpatiku?"

"Aku mengenalmu, Holly."

"Nggak, kau sama sekali nggak mengenalku. Kau berubah sejak bertahun-tahun yang lalu. Kau selalu menghilang seusai makan malam untuk mengerjakan entah-apa di kantormu yang mewah itu sejak umurku dua tahun. Dan belakangan aku mengetahui ternyata delapan tahun itu kau sibuk mengurus keluarga barumu."

"A-aku... apa Tom yang..."

"Ya, dia yang bilang padaku. Dia menceritakan semuanya. Dia bilang kau lebih memilihnya dan ibunya, lalu menyuruhku agar menjauh dari keluarga kecilnya yang bahagia karena menurutnya, kami-lah si perusak suasana. Mungkin dia pikir aku dan ibuku akan mengemis-ngemis di depan pintu kantor jagamu agar menerima kami kembali? Apa dia pikir..."

"Amanda sudah meninggal, Holly." Edward memotong dengan suara pelan, "Dia bunuh diri tiga tahun yang lalu."

Seolah ada bongkahan karang besar runtuh dari langit tepat menimpa kepala Holly.

"Amanda... bunuh diri?"

Edward menarik napas berat dan mengangguk.

Holly memutuskan untuk meninggalkan sikap pura-pura tidak pedulinya dan bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Banyak hal." Edward tertunduk menatap gelas tehnya, "H-Holly, kau yakin ingin mendengarkan ini?"

Anggukan Holly tampaknya membuat Edward semakin kikuk. Dia menyeruput tehnya lagi dan mulai bercerita.

"Semenjak Tom lahir—ya, saat itu kau baru berumur dua tahun—Amanda menjadi begitu posesif. Dia menuntutku agar selalu di sampingnya. Aku begitu merasa bersalah. Akhirnya... yah, aku mulai sering meninggalkan kalian dan memutuskan sebisa mungkin terus di sisi Amanda, tahun ke tahun. Ibumu sudah curiga, tentu saja. Hubunganku dengannya makin buruk sampai akhirnya kami memutuskan bercerai.

"Setelah itu aku pindah bersama Amanda dan Tom ke Australia. Aku meninggalkan pekerjaanku di Memphis dan melamar pekerjaan sebagai penjaga pantai. Di luar dugaanku, kehidupan kami sama sekali tidak bahagia. Aku dihantui penyesalanku karena meninggalkanmu dan ibumu. Aku dan Amanda terus menerus bertengkar. Tom menyaksikan, dan dia bukan balita lagi. Dia tak tahan dan kabur dari rumah. Kondisi Amanda semakin parah. Ketika aku pulang bertugas, aku menemukannya tergeletak di samping ranjang dengan botol pil tidur yang sudah kosong di sebelahnya."

Tak ada setitikpun kegoyahan dalam suara Edward saat dia mengatakan itu, namun ekspresinya getir.

"Tom pulang beberapa hari kemudian. Saat Tom tahu, dia seperti orang gila. Dia meraung menerjangku dan kami bergulat sampai keributannya membuat tetangga memanggil polisi. Dia terus-menerus berteriak padaku bahwa ini salahku. Tapi semua kekacauan itu tak berlangsung lama. Aku pelan-pelan berusaha menjelaskan segalanya. Kami menjual rumah itu dan tinggal di kantor jaga. Dengan upaya keras, Tom akhirnya menyerah. Kukira dia sudah benar-benar melupakannya, namun dengan kejadian kemarin, aku yakin dia belum dapat menerimanya."

Edward mendongak. Mata cokelatnya yang sayu memandang Holly tak berdaya.

"Aku yakin dia masih membenciku."

Langit di balik jendela cottage sudah menjadi gelap. Seseorang menyalakan lampu ruang tamu tempat Holly dan Edward duduk, sehingga masing-masing jadi memandang satu sama lain dengan lebih jelas.

"Aku membuat semua orang membenciku. Tom, Amanda, ibumu, kau." kata Edward lagi, "Aku idiot yang benar-benar hina."

Holly diam saja. Dia merasa tak perlu membantah atau berusaha membuat Edward berpikir bahwa dia sama sekali bukan orang idiot yang hina. Kenyataannya, dia memang begitu.

"Holly? Maukah kau memaafkanku?"

Hening sejenak.

"A-aku tidak sanggup memikirkannya." Edward kembali berkata, "Aku selalu teringat saat aku mendorongmu di karang itu. Wajahmu ketika melihatku bersama Amanda... itu membuatku menderita selama bertahun-tahun. Maukah kau memaafkan ayahmu yang hina ini?"

Lucunya, perkataan Edward sama sekali tak membuat Holly terkejut atau apa. Dia yakin inilah sebenarnya tujuan ayahnya datang. Kejadian ini malah membuatnya agak geli, entah mengapa mengingatkan Holly pada Sarah yang tempo hari memintanya untuk memberi semacam 'kesempatan' pada cowok.

Tanpa sadar, tangan kanannya mengelus bekas luka di lengan kirinya. Ayahnya sama sekali tak tahu akan ini.

"Aku akan coba." Holly akhirnya menjawab. Sorot mata Edward kontan berubah berbinar-binar.

"A-aku tak bisa mengharapkan kebaikanmu lebih dari itu." katanya, terbata-bata saking senangnya. "Well, sudah malam. Aku tak bisa lama-lama. Aku harus tugas jaga sebentar lagi. Maaf karena sudah mengganggumu selarut ini, aku... aku... terima kasih Holly."

Dia bangkit, diikuti Holly. Mereka berdua berjalan ke teras depan. Edward berbalik.

"Nah, selamat malam."

Edward menuruni undakan batu. Belum jauh dia berjalan, Holly memanggilnya.

"Kau sebaiknya bicara dengan Tom."

Pria itu terperangah sejenak, kemudian senyumnya timbul lagi.

"Sudah seharusnya aku bicara dengannya dari dulu."

---

Sosok ayah yang sudah lama absen, tiba-tiba hadir kembali.

What do you think? Mohon vote & comment-nya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top