Day 5 : His... What?

Sepanjang perjalanan kembali menuju cottage dari kantor jaga, Holly membisu. Dia bersyukur baik Sarah maupun Chris tak ada yang mencoba mengajaknya berbicara, atau melontarkan pertanyaan apapun padanya. Kedua temannya seperti memahami keinginan Holly yang belum ingin berbicara, itu benar-benar membuatnya merasa berterima kasih.

Setibanya di cottage, Chris disambut dengan pekikan ngeri Pat dan Vera, umpatan kaget Gary dan Zach, serta pelototan tak percaya dari Timmy.

"KAU HABIS NGAPAIN?!" kelima temannya mengajukan pertanyaan yang sama. Maka Sarah, yang masih dalam kondisi baik, harus rela diinterogasi tiada habisnya. Sementara perhatian terpusat pada Sarah dan Chris, Holly menyelinap naik ke kamarnya. Ketika Vera naik sepuluh menit kemudian untuk menanyai apakah Holly butuh sesuatu, dia berpura-pura tidur.

Pukul tujuh malam, Holly terbangun dan berpikir bahwa sudah kewajibannya untuk menyiapkan makan malam dan merasa sangat keterlaluan apabila membiarkan teman-temannya mencari makan sendiri di luar. Dia menuruni tangga pelan-pelan, berusaha tidak menarik perhatian, dan memasak di dapur dengan suara seminimal mungkin.

Chris tidak turun untuk makan malam. Menurut Gary dia tidur setelah meminum obat penghilang nyeri tadi siang dan belum bangun hingga sekarang. Holly, dengan amat terpaksa, sekali lagi menjelaskan kronologi insiden pergulatan Tom-Chris kepada semua orang di meja makan. Semuanya mendengarkan dengan amat hening. Dan setelah Holly menyudahi penjelasannya, Gary mengepalkan tinjunya.

"Sori saja Holly, dia boleh adik tirimu." dia berkata, "Tapi itu nggak akan mencegahku mematahkan hidungnya jika aku bertemu dengan anak itu."

"Siapa dia, berani-beraninya menghajar Chris-kita?" timpal Zach, "Cuma aku yang boleh menghajarnya!"

Semuanya menatap Zach. Dia nyengir salah tingkah, "Sori, lelucon payah."

"Setuju." Timmy memutar bola matanya.

Pat mengusulkan agar seseorang mengantarkan makanan untuknya ke atas, sambil berkata itu bola matanya tertuju pada Holly.

Setelah piring-piring bersih, teman-temannya—Holly punya kecurigaan mereka sengaja melakukannya—ngobrol berlama-lama di meja makan. Entah mengapa tak satupun dari mereka menatap atau mengajak Holly ikut serta perbincangan. Maka dengan nampan berisi makanan dan jus, Holly terseok-seok naik ke lantai dua rumah hijau. Di puncak tangga dia masih dapat mendengar yang lain mengobrol di bawah dengan nada antusias berlebihan. Bahkan dia bersumpah samar-samar mendengar Pat berseru padanya, "Jangan buru-buru ya!"

Mengingat dia baru pertama kali naik ke sini, Holly mengetuk dulu pintu kamar pertama demi keamanan.

"Room service. Aku bawa makan malammu."

Terdengar gumaman mengiyakan dari dalam. Holly membuka pintu. Chris sedang duduk selonjor di kasurnya sambil membaca majalah. Matanya tampak segar walaupun kondisinya agak menyedihkan. Lebam-lebam di wajahnya sudah mulai berubah keunguan.

"Kenapa kau nggak turun saja kalau sudah bangun?" Holly ngedumel sambil menaruh nampan di meja sebelah ranjang Chris. Lalu dia menatap sekeliling dan mengernyit, "Astaga, kamar cowok di mana-mana menjijikkan."

Chris mendongak dari majalahnya, namun tidak berkomentar. Ekspresinya sulit ditebak.

"Kenapa sih kau?" Holly tak bisa menyembunyikan kecemasannya. Tidak biasanya Chris bersikap serba-diam seperti ini.

"Nggak kenapa-napa, cuma... duh."

Chris meringis ketika berbicara. Tidak mengherankan, luka sobek di bibirnya tampak menyakitkan.

"Tunggu sebentar."

Holly turun, melewati lorong dan melewati ruang makan—syukurlah semua orang telah pindah ke ruang televisi sehingga ruangan ini kosong—lalu naik ke kamarnya, membuka kopernya dan meraih kotak P3K. Ibunya selalu berpesan agar Holly membawa kotak ini ke mana-mana, syukurlah. Dia kembali lagi ke kamar Chris.

Setelah duduk bersila di hadapan Chris, dia membuka kotak obatnya dan mulai menggunting-gunting kain perban. Chris cuma memperhatikan. Untung Holly menunduk dan punya sesuatu untuk dikerjakan karena pandangan intens dari Chris tampaknya akan sanggup melumerkan es batu.

"Kukira kau marah padaku." kata cowok itu tiba-tiba.

Holly mendongak.

"Setelah aku menerjang adikmu? Tidak ada reaksi?" kata Chris lagi.

Holly mendengus sambil menempelkan perbannya di bagian lengan Chris yang terluka, "Aku lebih suka kau menyebutnya 'pilot brengsek' atau 'Pilot-Serba-Oke'."

Chris terkekeh lalu meringis kesakitan lagi.

"Nggak ada alasan buat marah." Holly melanjutkan, menggunting perban jadi kecil dan meneteskan antiseptik di atas kapas, "Kalau aku boleh sombong, kau kan menonjoknya karena membelaku. Itu kuhargai. Ini bakal perih."

Holly mendongak dan menutul-nutulkan kapasnya di sudut bibir Chris, lalu setelah bersih, dia menutupnya dengan perban yang sudah diberi obat. Cowok itu berjengit sedikit.

"Gimana?" tanya Holly.

"Lumayan, trims." dia menyentuh lukanya yang sudah tertutup, lalu terkesiap melihat menu yang ada di nampan makanannya. "Hei, kau membuatkanku steak!"

"Itu memang menu makan malam ini kok. Kenapa memangnya?" tanya Holly heran.

"Kupikir aku akan dibuatkan semacam makanan lunak dan hambar khas orang sakit. Ibuku selalu melakukannya walaupun aku cuma terkena flu ringan dan sudah berkali-kali kularang."

Holly terbahak sambil menuangkan obat pada kapas, "Aku juga pernah sakit, aku tahu itu menyebalkan. Makanan lunak memang terkadang bermanfaat, tapi siapa sih yang mau belepotan bubur atau sup kalau mulutnya sedang berdarah? Menu untuk orang sakit harus disesuaikan dengan sakit yang diderita, tahu."

Holly menutul-nutulkan memar Chris, yang sedang menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.

"Yeah. Kau benar." katanya tersenyum, "Ngomong-ngomong, apakah ini hanya perasaanku atau memang kau sudah sangat terbiasa menghadapiku?"

Chris mengaduh saat tangan Holly menekan memarnya terlalu keras, "A-apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?"

Mulut Chris melengkung membentuk senyum menyebalkan, "Wah, apa ya? Coba kita telaah. Seperti yang sudah pernah kubilang, kau tidak lagi meloncat jika aku mendekat. Di samping itu, kau tampaknya—betulkan jika aku salah—sudah tak ragu-ragu lagi merawatku dalam jarak seperti ini. Yang terakhir, kau akhirnya memanggilku 'Chris'."

"Apa?!"

"Kubilang 'Chris'. Kau tahu, C-H-R...."

"Bukan itu." tukas Holly tak sabar, "Memangnya kapan aku memanggilmu 'Chris'?"

"Barusan saja." Chris nyengir makin menyebalkan.

"Maksudku..." Holly menahan godaan untuk mencekik leher cowok itu, "...sebelum ini."

"Saat aku menerjang Tom, kupikir aku mendengar suaramu meneriakkan namaku."

"Mungkin itu Sarah?" Holly masih tak berhasil mengingat-ingat.

"Aku kan tidak bodoh-bodoh amat. Aku bisa membedakan mana suaramu dan mana suara Sarah."

"Well, kayaknya meluncur begitu saja. Aku kan panik melihat dua orang bergumul saling meninju di depan hidungku."

"Kau panik?" goda Chris, "Apa yang membuatmu panik? Panik aku akan terluka? Atau panik menyaksikan pertarungan Pilot Serba Oke versus Superhero Ber-piercing yang spektakuler?"

Selama beberapa detik keduanya hanya saling menatap. Kemudian mereka meledak tertawa. Mata Holly berair dan perutnya sakit saking hebohnya mereka terbahak-bahak.

"Holly, stop-stop." Chris tersengal-sengal kehabisan napas, "Kalau begini terus sampai pagi bisa-bisa kita kurus... ouch, bibirku."

"Kau ini payah banget." kata Holly di sela-sela tawanya, "'Superhero Ber-piercing'...astaga."

Chris menyeka air matanya lalu menunjuk piercing di alisnya, "Yeah, bagus kan? Ini satu-satunya yang mencolok dari penampilanku.

"Rambutmu putih." usul Holly, "Kau bisa saja menggunakan, ng...The Wonder White sebagai nama samaran. Terus kau pakai jubah berukir huruf W besar..."

"Nggak." Chris berpikir serius, "Storm di X-Men sudah melakukannya duluan. Jubahnya, maksudku. Piercing adalah trademark-ku."

Kemudian dia tertawa lagi. Untuk pertama kalinya Holly benar-benar memperhatikan wajah cowok itu saat tertawa dan terkesima akan apa yang dilihatnya.

Astaga. Sejak kapan tawa Chris bisa jadi sekeren ini?

"Kau tahu?" celetuk Chris, membuat Holly kembali jatuh ke bumi. "Kayaknya aku bakal menambahkan satu lagi tindikan di telingaku."

Ketakjuban Holly jadi hilang dan perhatiannya sepenuhnya teralih, "Memangnya kapan sih kau pasang yang itu di alismu?"

"Entahlah... seingatku sejak masuk SMA. Aku memasangnya bareng Vannessa..."

"Vannessa?"

"Yeah, cewekku."

Holly bagai tersengat listrik ribuan volt, "Apa-mu?"

"Cewekku." ulang Chris, agak keheranan melihat reaksi Holly, "Bukankah aku sudah pernah cerita padamu di pesawat waktu kita berangkat ke sini?"

"Oh..." Holly merasa otaknya macet, dia tidak ingat Chris pernah menyebutkan satu kata-pun tentang Vannessa. Memaksa agar otaknya kembali berfungsi, Holly mengingat bahwa saat itu dia pasti tertidur di pesawat dan tidak mendengarkan celotehan Chris.

"Oh... yeah. Mungkin aku ketiduran saat itu."

Chris memperhatikan Holly yang membeku. Mata biru gelapnya menenggelamkan Holly lagi.

"Kau baik-baik saja? Kau kelihatan... aneh."

"Aneh?" Holly berusaha menguasai diri, "K-kau bicara apa? Sudah ya, aku ke bawah dulu. Jangan lupa makananmu."

Dengan kikuk, Holly membereskan peralatan P3K-nya dan turun dari kasur Chris. Dia baru akan menutup pintu kamar ketika Chris memanggilnya.

"Holly?"

"Hm?"

Chris mengerutkan dahi sebelum berkata lagi, "Kalau ada masalah, aku nggak keberatan untuk mendengarkan."

"Oh, ya-ya." Holly menyahut telalu cepat dengan suara yang terlalu nyaring, "Trims, tapi aku baik-baik saja. Selamat malam."

Lalu dia menutup pintu. Sambil menuruni tangga, Holly kebingungan. Mengapa tadi dia jadi bertingkah seperti orang tolol?

---

Vannessa?

Hah? Siapa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top