Day 3 : Mischief Managed
Setelah sejenak meninggalkan Holly di ruang televisi—yang masih tak percaya karena barusan diajak Chris kencan—tak lama kemudian Chris kembali dari kamarnya di rumah sebelah, menenteng-nenteng tas jinjing besar yang sepertinya terisi barang-barang berat.
"Kita jalan-jalan." putusnya semena-mena.
"Jalan ke mana? Apa kita nggak ganti baju? Dan ngapain kau bawa-bawa tas besar itu?" tanya Holly beruntut.
"Oh aku tahu tempat yang bagus nggak terlalu jauh dari sini! Dan isi tas ini adalah yang terpenting." jawab Chris ceria, menggoyang-goyangkan sedikit tasnya. "Kalau kau mau ganti baju dulu aku tunggu."
Holly memperhatikan Chris dari atas ke bawah. Dia hanya memakai t-shirt sehari-harinya, celana pendek santai dan kets.
"Nggak usah deh. Aku pakai sepatu dulu."
"Oh, ya...kupikir akan baik kalau kita membawa beberapa kotak jus dan keripik..."
"Untuk a—?"
"Sudahlah," Chris menyela tak sabar, "...nurut saja."
Sepuluh menit kemudian mereka berdua sudah berjalan menyusuri jalan setapak menuju pantai. Suasana sepi dan agak gelap, mengingat tak ada lampu yang dipasang di sepanjang jalan itu. Beruntung bulan bersinar terang dan langit cerah malam ini, sehingga Holly tak begitu kesulitan melihat ke mana kakinya harus melangkah.
"Wah, langit sedang bagus-bagusnya, seolah mendukung rencanaku saja." Chris nyengir misterius. Holly mau tak mau jadi bertanya-tanya sendiri. Kenapa dia mau saja diajak jalan-jalan ke suatu tempat (yang Holly duga adalah pantai), disuruh membawa sekotak jus untuk masing-masing pukul sembilan malam oleh cowok jangkung nyentrik yang sekarang memimpin jalan di depannya, sambil membawa-bawa tas jinjing besar berisi sesuatu yang terlihat sangat berat dan mencurigakan.
Jalan setapak berakhir. Mereka tidak lagi melangkah di atas tanah yang solid dan dikelilingi pepohonan rimbun, tapi di atas pasir lembut dan udara terbuka. Pemandangan pantai di malam hari benar-benar mengagumkan. Lautnya yang hitam terlihat misterius dan tak tersentuh. Jejak sepatu mereka membekas di atas pasir, semakin lama jejaknya semakin panjang dan tak bisa lagi dihitung Holly. Jika mendongak, bulan dan bintang terlihat begitu jelas dan dekat, tak terhalang apapun.
Tapi bukannya membawa Holly ke arah pantai yang kemarin mereka kunjungi, Chris berbelok ke kanan dan terus memimpinnya menyusuri garis pantai yang berbeda. Sepuluh menit hanya menikmati embusan angin malam dan suara deburan ombak, Holly tak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
"Kita mau ke mana sih?" tanya Holly agak terengah, suaranya agak ditingkahi deru ombak. "Dan apa sih sebenarnya isi tasmu?"
Namun dia harus puas hanya dengan jawaban 'lihat saja nanti' dari cowok itu yang menyebalkan.
Akhirnya pemandangan tak lagi hanya terdiri dari ombak, Chris, dan pasir saja. Di kejauhan Holly mulai melihat petak-petak cahaya yang bermunculan dari rumah-rumah penduduk lokal di sekitar pantai, beberapa sudah padam. Kemudian Holly menangkap bayangan besar tak jauh darinya yang menjorok ke laut. Setelah diteliti, ternyata yang dilihatnya adalah semacam dok. Namun tak seperti dok pada umumnya yang terbuat dari kayu, yang ini terdiri dari batu-batu besar yang tersusun rapat sedemikian rupa sehingga memungkinkan mereka untuk berjalan di atasnya. Jelas dok itu tidak dimaksudkan untuk tempat berlabuh kapal.
"Nah kita akan ke situ dan jalan ke ujungnya." jelas Chris setelah melihat arah pandangan Holly.
"Kelihatannya menyeramkan." kata Holly, sekarang telah tiba persis di depan batu-batu, mengamati ujungnya yang gelap.
"Oh kau bakal berubah pikiran setelah melancarkan aksi kita." Chris tak bisa menyembunyikan kegirangannya, "Hanya saja hati-hati, batunya besar-besar dan licin."
Mereka berdua kemudian memanjat naik ke atas batu terdekat. Benar saja, baru beberapa detik berjalan, Holly sudah terpeleset-peleset dan kewalahan mencari-cari selah di antara permukaan batu yang tidak selalu mulus—banyak sekali yang ujungnya tajam atau berlubang-lubang—agar dapat berpijak dengan mantap. Holly sesekali memperhatikan kaki-kaki panjang Chris yang bergerak gesit di atas batu.
"Kau... sudah... pernah... ke sini... sebelumnya?" kata-perkata Holly ucapkan seraya melompat-lompat rendah diantara batu, menyusul Chris. "Kayaknya... kau... sudah... biasa—AH!"
Holly tak sengaja melompat ke lumut yang sangat licin dan terhuyung ke depan. Tetapi refleks Chris luar biasa, dia berbalik cepat dan menangkap lengan Holly, sebelum kepalanya sempat menghantam batu tajam.
"Sudah kubilang, hati-hati!" Chris tampak jengkel.
"Sori." Holly menegakkan diri gugup dan buru-buru melepaskan lengannya dari genggaman Chris.
"Apa yang kau pikirkan?" Chris keheranan melihat sikapnya dan meraih tangan Holly lagi, "Aku nggak bakal membiarkanmu gegar otak sepulangnya kita dari sini. Ketiga temanmu bakal mencincangku sampai jadi serpihan-serpihan kecil untuk dijadikan pelengkap sup."
Holly merasa seluruh pembuluh di tubuhnya serentak mengalirkan darah ke wajahnya, membuatnya terasa panas padahal dia sedang berdiri di tengah-tengah hempasan angin laut dingin pukul sembilan malam. Dia hampir-hampir tak menyadari bahwa mereka telah sampai di ujung dok—sulit berkonsentrasi bila jari-jari tangan Chris menggenggam tangannya semakin erat sekarang—dan akhirnya ketika Chris melepaskan genggamannya, Holly baru bisa bernapas lega.
"Nah. Ini saatnya aku bilang padamu apa sebetulnya rencana kita." kata Chris sok dramatis.
"Rencanamu, sampai sedetik yang lalu." ralat Holly.
"Terserah. Jadi ini persisnya yang akan kita lakukan." dia menaruh tasnya di bebatuan dan mengeluarkan isinya. Sejenak Holly mengira yang ditunjukkan Chris padanya semacam pensil kayu raksasa yang biasa dibeli anak-anak, sebelum Holly membaca tulisan yang tertera di bungkusnya yang warna-warni dan menganga.
"Kembang api?" tanya Holly tak percaya, "Kau membawaku ke sini untuk menyalakan kembang api?"
"Ini bukan kembang api murahan, tahu." Chris merengut, kecewa melihat reaksi Holly yang tak antusias. "Ini kembang api yang biasa digunakan untuk perayaan tahun baru, bukan yang sekedar mengeluarkan bunyi-bunyi bising... well, aku bawa beberapa sih yang seperti itu. Hanya untuk menarik perhatian."
"Menarik perhatian?" ulang Holly jelas curiga, "Kau ngapain sih? Kita kan bisa menyalakan kembang api di halaman belakang cottage..."
"Oh, ayolah Holly... itu kan nggak seru! Sudahlah, bantu aku menyusun ini dan kau akan lihat kalau ini asyik."
Mereka berjongkok, Chris mengeluarkan semacam penyangga dan memasang kembang apinya di situ agar tetap tegak di atas bebatuan.
"Apa ini semua punyamu?" tanya Holly.
"Yep. Tadinya kurencanakan untuk dinyalakan di hari terakhir kita di sini..."
"Bagaimana kau bisa menyimpan semua ini?"
Chris mengangkat bahu, "Oh, aku beli di daerah dekat sini kemarin. Teman-temanku terima saja saat kubilang isinya hanya perlengkapan surfing."
Segera saja Holly menyadari mengapa tas jinjing itu terlihat begitu berat. Chris tidak hanya membawa satu atau dua kembang api, dia membawa belasan... tidak, mungkin puluhan kembang api yang sekarang sudah tersusun rapi pada penyangga-penyangganya.
"Kau tahu apa artinya ini?" Holly sudah tak bisa menyembunyikan nada kekhawatiran dalam suaranya, "Ini mungkin akan cukup untuk membangunkan penduduk sekitar dan membuat mereka menenggelamkan kita ke dasar laut karena membuat kebisingan."
"Nah, kau sudah mengerti maksud dari 'menarik perhatian' yang tadi kusebut. Yang ini..." Chris tampak tak peduli, lalu menunjuk-nunjuk beberapa kembang api yang berukuran lebih kecil. "Untuk dinyalakan duluan. Pembukaan. Baru setelah kita rasa mereka telah melakukan pekerjaannya dengan baik, kita nyalakan yang besar-besar ini."
Mata Chris berbinar-binar bersemangat di tengah kegelapan yang semakin pekat. Holly menelan ludah ngeri. Kemudian, dengan gaya dramatis dia mengeluarkan dua pemantik dari kantongnya. Dia menyerahkan satu pada Holly.
"Siap untuk memulai kehebohan?" Chris nyengir.
Holly mendesah ragu-ragu.
"Entah deh."
Chris membungkuk dan menyalakan sumbu kembang api kecil yang terdekat dan buru-buru menjauh. Api kecilnya menjalar dengan cepat ke pangkal sumbu dan saat itu juga Chris menyenggolnya dan berseru, "Tutup kupingmu!"
Holly langsung menurut dan detik berikutnya kembang api melesat ke atas dengan bunyi psiuuu keras dan meledak di langit, sekilas menebarkan cahaya terang di pantai yang gelap. Bunyinya sanggup merontokkan tulang.
"Lagi." Chris menyulut dua kembang api sekaligus dan suara psiuuu kembali terdengar, diikuti ledakkan-ledakkan dan kilatan cahaya.
Merasa sedikit lebih berani karena Chris telah memulai duluan, tak perlu dikomando, Holly segera membungkuk dan menyalakan empat kembang api sekaligus, berturut-turut dengan jarak waktu beberapa detik. Efeknya spektakuler, bunyi dar-dar bersahutan dan cahaya terang di mana-mana. Chris tertawa keras.
"Lihat!" Holly menunjuk jendela-jendela rumah penduduk di kejauhan yang semula padam kini menyala terang. Kepala-kepala bermunculan dari balik pintu dan jendela, ingin tahu dari mana asal keributan.
"Pertunjukkan utamanya!" bersama-sama mereka berdua menyulut kembang api yang besar-besar dan menutup kuping. Namun sesungguhnya hal itu tak diperlukan lagi. Suara yang ditimbulkan tak sekeras kembang api kecil, namun yang dilihat Holly setelahnya amat sangat menakjubkan.
Kembang api meledak, susul menyusul menyebarkan lebih banyak cahaya-cahaya beraneka warna pada wajah-wajah mereka. Membuat langit malam seperti bertabur bunga-bunga cahaya yang luar biasa besar.
"Keren." desah Holly.
"Aku tahu." timpal Chris puas sambil masih menatap langit. Samar-samar Holly mendengar langkah-langkah kaki menginjak pasir, jauh di belakangnya. Sosok-sosok bermunculan di pantai, makin lama makin banyak. Kepala orang-orang itu juga mendongak, terpaku menyaksikan bentuk-bentuk cahaya indah di atas mereka. Chris dan Holly menyalakan kembang-kembang api lagi, lebih cepat dan lebih banyak.
"Apa ini cukup?" Holly masih memperhatikan orang-orang yang telah ramai berceloteh dan masih menunjuk-nunjuk langit penuh kekaguman.
"Yang terakhir..." kata Chris. Holly menikmati ketika kembang api terakhir—yang paling besar dan paling tinggi—yang dinyalakan Chris melesat ke langit dan meledak, menaburkan lagi cahaya-cahaya berwarna-warni. Semua orang bertepuk dengan antusias dan bersorak riuh rendah di kejauhan.
"Cheers..." Chris menyodorkan sekotak jus yang tadi dibawanya pada Holly, nyengir lebar, "...untuk keberhasilan kita membangunkan orang-orang."
"Yeah, cheers." Holly tak lagi sanggup menahan senyum gembiranya, dan ikut meneguk.
Menyadari bahwa sudah tak ada lagi yang meledak di atas, kerumunan orang itu perlahan-lahan berkurang dan akhirnya pantai kembali sesepi sebelumnya. Hanya saja kali ini petak-petak cahaya lebih banyak terlihat. Nampaknya orang-orang masih mengobrol tentang apa yang baru mereka saksikan.
Chris dan Holly sementara itu duduk di tepi batu, masih menikmati jus walaupun langit sudah kembali gelap dan hanya deburan ombak menubruk-nubruk batu di bawah mereka yang terdengar.
"Luar biasa ya." komentar Holly singkat. Chris kali ini nyengir puas.
"Ideku memang luar biasa." katanya congkak.
"Bukan, sampahnya yang luar biasa maksudku." Holly melirik taburan kertas-kertas sisa kembang api di belakang mereka. Juga penyangga-penyangga yang masih berserakan.
"Yeah, lebih baik kita membereskan sampahnya sebelum ada yang sadar..."
"Apa ini?" Holly memungut salah satu kertas dan membuka lipatannya, menemukan dua cincin karet berwarna ungu elektrik. "Oh, ada bonus cincin mainannya! Kau mau satu?"
"Bagus juga." kata Chris sembari memakai cincin itu di jari manis kanannya, "Sayang bukan putih, pasti bakal serasi dengan rambutku."
"Mm." Holly menggumam setuju. Dia mengamati cincin miliknya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak menemukan bonus mainan-mainan dari dalam kembang api. Dulu, ketika masih kecil dia selalu mengumpulkannya. Tahun baru berarti mainan-mainan plastik baru untuk dikoleksi.
"Hei, apa kau pikir Pat dan Zach akan melihat kembang api kita?" Chris menoleh pada Holly dan tersenyum lagi, sampah-sampah kertasnya kembali tergeletak terlupakan.
"Mungkin." Holly mengangkat bahu. "Mereka kan juga ke pantai. Jangan-jangan ini malah membuat rencana Pat semakin sempurna... mereka bisa saja sedang bermesraan sementara kita menyalakan kembang-kembang api untuk mereka...."
"Oh ya?"
"Siapa tahu mereka sudah jadian."
"Begitu?"
"Ya... mungkin saja begitu. Pat pasti bakal membuatku bergadang untuk mendengarkan cerita romantisnya... "
"Mm-hm..."
Holly mengernyit mendengar sahutan-sahutan Chris yang aneh. Nadanya seperti setengah-setengah dan datar. Dia menoleh dan mendapati kedua mata biru gelap Chris tengah tertuju padanya. Mereka berpandangan. Mungkin beberapa detik yang rasanya lama sekali. Mendadak saja Holly merasa hidung Chris kelihatan terlalu mancung. Dia jadi dapat melihat bintik-bintik kecil pada kedua pipi cowok itu dengan amat jelas. Bahkan Holly yakin, mata biru gelap yang mengingatkannya pada lautan itu benar-benar akan menenggelamkannya jika saja wajah Chris tak berhenti mendekat...
"Rupanya kalian penjahatnya."
Baik Holly maupun Chris sama-sama terlonjak mendengar sebuah suara dari belakang mereka. Keduanya menyipitkan mata untuk menajamkan pandangan dan melihat sesosok pria tengah berdiri dua meter dari tempat mereka, mengawasi Chris dengan senternya. Wajahnya mengernyit, campuran antara jengkel sekaligus geli.
"Aku sangat mengerti gairah masa remaja yang meluap-luap dan sebagainya, tapi jangan lupakan sampahnya yang juga meluap-luap." dia menunjuk ke arah kakinya, tempat sisa kertas-kertas kembang api. "Dengan begitu kalian nggak akan perlu membayar denda."
"Maafkan kami." Chris buru-buru bangkit, "Kami baru akan mengumpulkannya. Apakah Anda penjaga pantai?"
Holly tak dapat melihat ekspresi si pria dengan jelas, karena kegelapan di sekitar mereka, ditambah lagi cahaya senternya yang masih menyorot wajah Chris agak menyilaukan mata.
"Aku kepala penjaga, ya benar. Oh, dan lain kali..." tambahnya, "...jika kalian ingin mengadakan semacam pesta dadakan, lebih baik melapor dulu kepadaku. Aku jadi tak perlu tergopoh-gopoh berlari ke sini untuk menangkap si pembuat onar."
"Anda akan menangkap kami?" ulang Chris khawatir.
"Oh, tidak... tidak. Untuk apa?" kumis hitamnya yang lebat bergerak-gerak ketika dia tertawa, "Yang penting sampahnya dibereskan. Lagipula sudah lama tak ada yang melihat pertunjukkan kembang api hebat."
Chris mendesah lega. Saat wajah si pria sekilas terkena cahaya senter yang dipegangnya sendiri, Holly membeku. Namun sepertinya Chris dan si kepala penjaga tak menyadari ekspresinya yang aneh.
"Nah, kantorku di situ, yang kedua setelah kios minuman." dia menunjuk salah satu gedung, "Jika saja ada pertunjukkan dadakan lagi, kau tahu ke mana harus menemuiku."
"Terima kasih banyak." Chris tampak salah tingkah.
"Oh, dan aku Edward. Edward Garreth. Kusarankan kalian segera pulang, tak baik terlalu lama terkena angin malam."
Kemudian setelah tersenyum sekilas, Edward Garreth berbalik dan melangkah melewati batu. Sama gesitnya dengan Chris sehingga dia tiba di atas pasir dengan cukup cepat. Chris masih mengawasi punggung pria itu sampai akhirnya menghilang dibalik pintu kantor jaganya. Lalu dia bersiul pelan.
"Untung deh kita nggak didenda." katanya, "Nah, bisakah kau sekarang berhenti mematung dan membantuku berbe... hei, kau kenapa?"
Chris akhirnya menyadari ekspresi di wajah Holly yang aneh. Holly tak mendengarkan Chris sama sekali. Matanya masih terpaku pada pintu kantor jaga, tempat punggung Edward Garreth menghilang beberapa saat yang lalu. Ketika akhirnya Holly berhasil menemukan baik napas maupun suaranya, dia berbisik tak percaya.
"Dad?"
***
Holly hampir-hampir tak menyadari bagaimana dan pukul berapa dia dan Chris kembali ke cottage, bahkan tak peduli saat mendapati bahwa belum ada yang pulang selain mereka berdua.
Fakta bahwa dia baru saja bertemu secara tak sengaja dengan Edward Garreth, ayah kandungnya, benar-benar mengejutkan dan menguasai pikiran Holly. Dia jadi mengerti mengapa sosok paruh baya berbahu tegap itu seolah sudah sangat dikenalnya. Gaya berbicara dan berjalannya masih seperti dulu. Kerut-kerut di sekitar matanya ketika dia tertawa, matanya yang berwana cokelat gelap, tak ada yang berbeda. Holly malah agak heran mendapati dirinya masih amat mengingat detail-detail kecil pada ayahnya, setelah lebih dari tujuh tahun tak bertemu.
Dehaman keras Chris-lah yang menyentakkannya kembali ke bumi.
"Perlu kubuatkan minuman? Mm... teh?" tanyanya.
Holly mengerjap dan memandang Chris dengan seksama, seolah baru menyadari cowok jangkung itu sedari tadi berdiri di sebelahnya.
"Eh... nggak usah, trims." Holly menjawab, sedikit kikuk menghadapi Chris yang mendadak menawarinya teh.
"Kau tampak sedikit pucat." kali ini Chris tak lagi dapat menahan diri, "Sepertinya eh, pertemuan tadi membuatmu sedikit terguncang."
Tak mampu berkata-kata, Holly hanya menghembuskan napas panjang. Jika tidak dalam situasi seperti ini Holly yakin dirinya pasti nampak macam orang idiot.
"Yeah, sudah lama nggak pernah bertemu." Holly mendengar dirinya menggumam pada Chris, kemudian berupaya meneruskan dengan nada yang terdengar tegas dan normal. "Aku hanya ingin tidur."
Wajah Chris jelas menyiratkan kecemasan. Mata biru gelapnya menyipit menatap Holly, namun akhirnya dia menyerah.
"Baiklah." katanya.
Holly sudah menaiki anak tangga pertama hendak menuju kamarnya di lantai atas, kemudian dia teringat dan berbalik.
"Oh ya..."
Chris yang juga sudah membuka pintu lorong menuju rumah sebelah, menyadari Holly memanggilnya dan berbalik juga.
"Yeah?" sahutnya dengan agak terlalu cepat.
Holly bimbang sejenak, "Bisakah kau... merahasiakannya? Maksudku... aku nggak tahu harus bagaimana menghadapi reaksi teman-temanku jika mereka tahu aku baru saja bertemu... ayahku."
"Tentu." Chris mengangguk. Kemudian, dengan sedikit ragu-ragu, perlahan dia maju tiga langkah ke arah Holly.
Sudah menjadi semacam refleks bagi Holly untuk melakukan hal ini. Dia mundur, menaiki satu anak tangga di belakangnya. Melihat itu Chris mendengus.
"Kenapa?" tanya Holly keheranan. Ketika Chris menaikkan alis, piercing nya ikut naik ke balik rambut putih yang sedikit terurai acak-acakan di dahinya.
"Harusnya aku yang tanya." dia menatap Holly, setengah sebal setengah geli, "Kenapa? Kau selalu menjauh, mundur, atau melonjak. Aku jadi curiga jangan-jangan kau mengira aku ini berpenyakit menular."
"I-itu otomatis!" Holly membela diri dengan tergagap-gagap, "Terjadi begitu saja sejak... yah. Sejak ayahku... kau tahu, membuat ini."
Holly menyentuh lengan kirinya tepat di mana bekas lukanya berada. Selama beberapa detik tak ada yang berbicara. Holly menunduk menatap sepatu ketsnya, sangat malu, sementara dia dapat merasakan tatapan Chris terfokus padanya.
Mungkin kasihan melihat cewek delapan belas tahun yang dicampakkan ayahnya, menyebabkannya jadi anti-cowok selama bertahun-tahun karena tak sanggup mengusir traumanya yang menyedihkan? batin Holly.
"Dimengerti." komentar Chris singkat. Kemudian sebelum Holly dapat mundur lebih jauh, tangan Chris terulur dan dia mengacak rambut Holly lembut. Dia melakukannya dengan cepat, lalu menarik kembali tangannya dan menikmati efeknya pada ekspresi yang muncul di wajah Holly.
"Nah." kata Chris penuh nada kemenangan, berusaha tidak nyengir melihat mata Holly yang membelalak shock. "Sudah kubuktikan bahwa kontak-langsung kita barusan nggak membuatmu luka. Cobalah untuk langsung tidur, oke? Dan jangan pikirkan apa-apa dulu. Selamat malam, Holly."
Terkaget-kaget akan perlakuan hangat Chris yang tiba-tiba, Holly mematung. Cowok jangkung itu tersenyum sekilas dan kembali membuka pintu lorong, namun kali ini Holly tidak memanggilnya. Punggung Chris langsung menghilang di balik pintu, persis seperti punggung Edward Garreth yang menghilang di balik pintu kantor jaganya, bermenit-menit yang lalu.
Holly berbalik dan menaiki tangga, sambil masih berpikir.
"Bukankah dia biasanya memanggilku 'Fadden'?" Holly baru tersadar.
---
First name basis ;)
Maaf chapter ini kepanjangan ><
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top