5 - Senjata Makan Tuan

Rani mengelap meja dalam diam.

Kemarin, amplop cokelat yang disodori kepadanya seperti penghinaan.

Walaupun ia bukan orang kaya yang bisa menyewa supir untuk mengantarinya ke mana-mana, ia masih bisa bekerja.

Lagi pula, ia bukan pengemis. Meminta saja tidak.

Lalu Alvan mengkasihaninya karena ia bekerja dengan otot seperti ini di kala ia sibuk juga sebagai pelajar? Ia tidak akan berterima kasih karena persepsi seperti itu.

Namun subyek itu kembali hadir di kafe tempatnya bekerja.

"Espresso satu,"pesannya menunjuk papan menu kemudian beralih memandangnya.

Rani menekan tombol di layar sesuai order Alvan. Ia tidak lagi sepanik waktu awal mereka bertemu. Ya, tidak panik namun merasa terganggu.

Sambil menunggu biji kopi terolah dengan halus, ia menunggu sesekali mengecek ponselnya. Tepat saat itu ia juga menerima panggilan.

"Halo. Rio, laporan kita mau dikumpul besok kan? What, hari ini? Emang udah kelar sih cuman gue lagi di kafe,"

Rani menuangkan secangkir mini kopi pesannya tepat di hadapan Alvan. Alvan menyadari hal itu namun merentangkan tangan di hadapan Rani, memintanya menunggu.

"Lo bilang kafe yang gue datangi dekat sama dosen Pak Umar? Tapi mesti pakai kendaraan lima belas menit kan? Eh, gue kirim aja lewat e-- oi?" Alvan menekan layar ponselnya dengan tatapan sebal.

Partner tugas laporannya, Rio mengakhiri panggilan lebih dulu. Inilah yang menjengkelkan dari tugas kelompok dan sekaligus membuatnya merangkap menjadi ketua--memegang kendali atas tugas laporan itu sendiri. Rani menatap Alvan penuh selidik.

"Cepat ambil, masih ada yang antri!"Rani mendengus sambil berkacak pinggang.

Alvan mengambil espresso miliknya namun belum beranjak dari tempatnya mengantri. Ia menopang dagunya, "Eh, di sini biasa ada taksi lewat ngga?"

Rani memutar bola matanya malas menjawab asal, "Nggak ada. Adanya ojek sama angkot, tuh."

Persetan kalau pun memang ada, Rani tidak mau tahu urusannya. Alvan berdecak kemudian menghampiri meja yang menampung tasnya. Dikeluarkannya laporan yang sudah dijilid rapi.

Rani yakin kalau Alvan tidak mau pakai dua transportasi umum yang ia tawari. Namun Alvan kembali menghampirinya di meja kasir.

"Oke, lo bisa panggilin ojek atau angkot sekitar sini?"

Memang kafe saat itu sudah mulai sepi dan waktu shift kerja Rani sudah hampir habis. Rani menatap arlojinya. Hadir sebuah ide yang membuatnya tertantang untuk berbuat jahil.

"Em, lo nggak harus pakai kendaraan yang gue tawari tadi, kok. Pakai sepeda aja."

Alvan mengernyitkan dahi, "Se-sepeda? Ngapain 'kan lelet."

Rani tersenyum lebar melepas apron cokelat dan topi yang dikenakannya begitu melihat karyawati yang lewat menggantikan waktu shift-nya, "Iya. Mau nggak? Hemat lagi."

Terlihat raut kebingungan di wajah Alvan, "G-gue..."

Malas melihatnya mengulur waktu, Rani langsung menarik Alvan keluar dari kafe. Dihadapkannya sebuah sepeda tua yang jarang dipakai tapi masih 'cukup' berfungsi.

"Naik, gih,"perintah Rani menepuk jok sepeda hitam mengkilat. Iseng, ia menekan bel sepeda yang masih bisa berbunyi.

Alvan menggaruk tengkuknya, "Gue pake ojek atau angkot deh. Seriusan."

Rani menghalangi langkahnya, "Ih, lo udah gue tawarin masih aja nolak! Lagian ini ge-ra-tis, oke? Lo ga perlu bayar ongkos kok! Sekali ada yang dekat malah ditolak!"

Alvan akhirnya menyerah berkat bujukan Rani menuju sepeda itu. Ia mengenggam stang sepeda dengan kaku, goyah ke kanan dan ke kiri.

"Ternyata dia emang nggak bisa,"Rani terkikik kecil.

Namun Rani jadi menatap ngeri ketika sebuah sepeda motor bebek melaju melintasi di sisi kanan Alvan yang sedang mengayuh terlalu dekat segera ditegur dengan klakson.

Alhasil, Alvan jatuh terjerembab di trotoar plus sepeda tua itu. Kejadian itu cukup menarik perhatian pejalan kaki. Pria paruh baya yang menekan klakson beruntun akhirnya turun dari motornya sambil berkacak pinggang.

"Aduh! Anak jaman sekarang sukanya cari kelahi ya? Minta diserempetin hah?"bentak pria paruh baya mengenakan helm kerupuk menatap tajam Alvan.

Setelahnya ia mengendarai motor itu melaju meninggalkan Alvan. Membiarkan Alvan terkapar dengan malangnya.

"Duh, om-om tadi galak juga ya. Eh, lo jatuh! Kok lo nggak bilang si-- fuhahahaha!"Rani menyusul Alvan yang jatuh meringis kemudian tertawa renyah.

Diliriknya Rani dengan sinis, "Gak usah ketawa lo! Lo yang desak gue ya jadi jatuh gini, sih!"

Rani melongo, "Loh, lagi pula lo nggak kasih tahu kalo lo nggak bisa!"

Alvan menepuk-nepuk kemeja dan celananya yang kotor. Rani terfokus melihat telapak tangan Alvan yang sedikit mengucurkan darah juga lecet. Walaupun tadi ia memang berminat iseng, ia jadi tidak tega. Rani merasa ia terlalu kejam mengerjai Alvan sampai terluka.

"Lo ikut gue ke kafe lagi yuk, buat obati luka lo tuh,"ajak Rani.

Alvan mendengus, "Nggak, gue udah buru-buru! Setengah jam lagi dosen gue mau cabut dari rumahnya! Dia gak mau terima laporan kami dari e-mail!"

Terdengar lagi deru motor yang melaju di antara mereka yang dihentikan oleh rem tangan. Rani menoleh lebih dulu. Penganggu ini juga tidak henti-hentinya menghampiri dirinya.

"Halo, gebetanku!"sapa Dava mengedipkan mata kanannya.

Dan sejak pertemuannya dengan Alvan, Dava jadi lebih kontras. Menunjukkan pernyataan terang-terangan yang tidak ditepis Rani dengan serius.

"Halo, musuhku!"sahut Rani berbalik badan. Ia mengulurkan tangan ke Alvan.

Dava mengerucutkan bibir, "Ih mbaknya judes-judes tapi tetap manis sih."

"Eh, gue obati dulu baru gue anterin pake sepeda. Seriusan, deh,"Rani menawarkan bantuan begitu melihat Alvan berjalan pincang.

Alvan berdiri mengabaikan uluran tangan Rani berkata, "Gue mending jalan kaki. Yang ada nanti lo malah racuni gue pakai sianida."

Sekali Rani mencoba serius, Rani justru dibercandain dengan sarkasme Alvan.

Dava melipat tangannya, "Koko Alvan mau ikut gue ga? Gak jauh 'kan? Pake motor juga cepet ko, mau?"

Rani menatap Alvan yang berhenti melangkah. Alvan beralih menatap Dava.

"Lo serius kan mau anterin gue? Bukan kayak cewek resek ini yang sengaja nawarin gue sepeda butut begini?"

Dava melongo ke arah Rani dan Alvan bergantian, "Ya serius dong, ko! Kok judes sih, gue tulus kok. Palingan nanti balas jasanya beritahu aja alamat rumahnya Rani."

Alvan mengangguk pelan, "Kemarikan helm buat gue. Nanti gue kasih tahu."

Dava menatap Alvan dengan tatapan berseri, "Seriusan? Asyik! Tinggal minta restu emak Rani terus minta pin BBM Rani deh."

Rani menyikut Dava, "Plis deh, bisa nggak lo diem dan nggak temui gue sehari aja?"

Dava mengedipkan mata kanannya, "Serius gue mau minta restu emakmu kok! Sekalian kenalan sama kakak lo."

Rina. Kakaknya belum juga kembali. Dava tidak tahu apa-apa namun berhasil membungkam Rani yang terus menyanggah ucapannya. Tapi, soal alamat rumahnya, Rani tidak terima. Rani mencegat Alvan. Ini sih sama saja seperti bumerang. Karena ingin menganggu, gangguan itu justru kembali kepada dirinya.

"Alamat gue itu privasi, mana lo boleh seenaknya bilang-bilang ke orang asing sih?"tegur Rani menahan helm pinjaman Dava.

Alvan tersenyum sinis, "Bocah, lo harus sadar tadi udah merugikan gue. Sedangkan kalo gue bareng Dava, nasib laporan gue beres dan dia bisa gencarin PDKT buat lo. Jadi? Oke, kan?"

Rani melengos. Oke, giginya. Dia malah dihadapi gangguan berkat Alvan.

"Gue bukan bocah! Gue ini udah SMA!"bentak Rani membantah ejekan Alvan.

Alvan memeletkan lidah, "Dengan cara lo ngerjain gue barusan, lo itu kelihatan banget childish-nya."

Dava menyeringai kaku, "Ran, nanti gue samperin lo lagi habis anter ko Alvan."

"Nggak, mendingan lo langsung cabut ke rumah,"sahut Rani menatap Dava sebal. Dava terkekeh garing mengantar Alvan, meninggalkan Rani.

Rani membunyikan sendi-sendi jemarinya penuh kekesalan. Sialan, sebuah kata untuk peristiwa yang terjadi di antara mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top