3 - Digangguin
Rani tidak bisa melihat foto yang dipegang ibunya. Usai mengakhiri panggilan itu, ibunya menatap Rani dengan senyuman lebar. Entah apa yang dibahas oleh ibunya dalam panggilan telepon kabel itu, Rani mencium sesuatu yang mencurigakan mengenai kakaknya.
"Mau makan? Ibu panasin sayur lodehnya ya?"
Rani mengangguk. Sambil menunggu sayur lodeh dipanaskan, ia duduk menopang dagu di meja. Kehilangan Rina yang antisosial membuat rumah yang dihuni tiga orang terhitung dirinya terasa sunyi. Rani merasakan kehilangan. Biasanya Rina sudah semangat menyendok nasi. Rani merindukan kakaknya. Ia ingin kakaknya kembali. Walaupun banyak orang yang mencemooh kakaknya.
○○○○○
"Selamat pagi, dek." Ibu Rani mengawali hari dengan membukakan pintu.
Sapaan itu bukan untuk Rani. Gadis itu belum mandi, tepatnya masih mengenakan atasan kaus abu-abu dan celana training hitam keluar dari kamar tidurnya. Disangkanya ada tetangga sebelah memberikan makanan kepada mereka. Yang dilihatnya di ruang tamu adalah seorang laki-laki yang lebih dewasa.
"Maaf menganggu bibi karena datang kepagian. Ini titipan dari keluarga kami, ada parsel."
Rani menatap laki-laki itu sinis sambil bersandar di dinding. Rani menatap wajah laki-laki yang terlihat dipaksakan tersenyum itu diyakini cukup menyebalkan.
"Ran, kenapa diam saja? Bawain teh ke dia, dong," pesan ibu Rani memerintah anaknya.
Rani mendecak cuek segera berbalik menuju dapur. Dituangkan teh itu ke dalam cangkir putih dengan malas. Menganggu hari paginya saja sebelum berangkat ke sekolah.
"Nama saya Alvan Praditya. Orang tua saya tidak bisa datang karena bekerja. Jadi, saya datang memberi parsel sekaligus menyampaikan titipan salam dari mereka."
Rani tidak tertarik untuk bergabung di dalamnya. Keadaan ini mirip sesi perkenalan mertua-menantu padahal ia tidak sudi merestui hal itu. Rani bukan orang yang senang berbasa-basi dengan hal sepele.
"Bi, kalau begitu saya pamit dulu ya," Alvan menggeser pagar kemudian dibukakan pintu oleh supir sedan hitam metalik.
"Buset, kaya amat tu cowo sampe ada yang nganterin segala," Rani akhirnya angkat bicara. Ibu Rani menghela napas.
"Kamu nggak seharusnya jutek sama kakak ipar masa depanmu,"
Rani merasakan dahinya berdenyut, "Ha? Masa depan? Idih, amit-amit. Udah ah, aku siap-siap dulu ke sekolah."
Sebelum Rani masuk ke dalam kamar mandi, muncul sebuah pemikiran yang membuatnya yakin bisa direncanakan dan bisa ia lakukan. Sebuah seringai tertarik di kedua sudut bibir Rani.
Rani akan menggagalkan rencana perjodohan ini.
○○○○○
Walaupun Rani optimis meyakini rencana itu, dia mengalami kendala. Ibunya terlanjur suka dengan Alvan yang tampil sopan hari ini.
Jujur, Alvan bisa terbilang tampan. Rambut lurus hitam di bawah kerah kemeja jeans yang dibiarkan terbuka dua kancing dari atas, celana panjang hitam, dan sepasang converse hitam menunjukkan tampilan yang fashionable. Matanya berwarna cokelat terang. Warna kulit Alvan berwarna kuning langsat sedangkan Rani berkulit sawo matang.
Kesimpulan bagi Rani, Alvan mirip aktor yang lagi berpartisipasi dalam acara bagi-bagi uang di stasiun televisi nasional. Tapi kalau memang kenyataannya seperti itu terjadi kepada keluarganya, Rani bahkan tidak sudi bersujud syukur. Walau Alvan ini tampan, dialah yang menyebabkan Rina menghilang sampai sekarang.
"Kok lo diem-diem gitu sih? Serem,"
Suara berisik itu hanya berani dilontarkan oleh cowok bernama Dava. Cowok yang Rani yakin merasa kegantengan kalau bisa mendekati gadis jutek sepertinya.
"Lo berisik. Mau gue tabok?"
Dava menyeringai, "Seriusan. Lo ada masalah?"
Rani bukan tipikal yang akan menceritakan masalah hidupnya. Dia selalu menampung beban sendirian. Dan itu membuatnya terbiasa menjadi pribadi yang tahan banting.
Risih, Rani menatap Dava penuh selidik, "Lo seharusnya pergi sama cewek-cewek lo sana. Jangan gangguin gue mikir. Gue lagi ada proyek penting,"
Yup, Rani sedang berada dalam proyek-penggagalan-perjodohan-Rina-dan-Alvan.
"Wow, proyek. Tapi kok lo kayaknya santai aja tuh? Lo capek? Sini gue pijitin. Tunggu, lo cemburu ya gue dikenali banyak cewek?"
Euwh. Big no bagi Rani.
Rani mendelik sebal. Semakin diladeni, semakin bacotlah laki-laki yang duduk berhadapan dengannya.
"Lo coba sentuh gue? Besok gue jamin lo ada di rumah sakit!"
Rani sudah berdiri mengepalkan tangan, memasang aksi ingin menonjok Dava. Tapi bel kelas berdering. Dava pun langsung kabur, memasang cengiran bodoh.
"Gue berani kok. Gue rela masuk rumah sakit karena lo. Seengaknya gue bahagia dengan tuntutin lo jengukin gue tiap hari,"
Belum ada aksi perencaan proyeknya berjalan, Dava malah hadir menganggu hidupnya. Mencari perhatian dengan sengaja tanpa rasa takut akan diserang olehnya yang disegani seisi sekolah. Satu kata untuk Dava meskipun kemarin sempat berbaik hati membelikan snack kepada Rani. Menyebalkan!
○○○○○
Sepulang sekolah, Rani sudah mengubah seragam sekolah menjadi seragam kerja. Ia bekerja di sebuah kafe. Dilihatnya durasi waktu yang sempit untuk sampai ke kafe. Walau menggunakan ojek menguras biaya lebih dibandingkan menggunakan angkot, Rani harus bisa tepat waktu. Rani mendengar deru kendaraan roda dua yang bertengger di dekat pagar sekolah.
"Ran, lo udah ganti baju? Ke mana?"
Lagi-lagi, Dava.
"Bawel. Hush," Rani berdecak kesal mengusirnya. Dava tidak menanggapi, malah menopang dagu. Ia tetap bergeming.
"Minggir atau gue teriak?" Rani berkata lagi dengan mengancam. Biasanya manjur.
Dava terkekeh menepuk jok motor di belakangnya, "Lo kerja 'kan? Sini gue anterin. Gratis,"
Justru kata 'gratis' itu yang bikin Rani makin ragu. Rani melipat tangannya.
"Gue udah buru-buru. Gue pake gojek," Rani mengambil ponsel di saku celana dan malah direbut Dava.
"Dav, resek lo! Cepet balikin hape gue!" Rani berseru. Tidak peduli jika pihak sekuriti akan menganggapnya orang gila karena berteriak, yang jelas Dava sungguh terlalu ikut campur dalam kehidupan Rani sekarang.
Dava tersenyum lebar menyelipkan ponsel Rani di balik saku jaket cokelat kulitnya, "Gue nanti balikin kok. Beritahu gue lokasi kerja lo di mana dulu. Lumayan kan hemat duit sama gue sekitar belasan ribu. Cukup buat makan lamongan."
Lelah berdebat, Rani mengulurkan tangan.
"Mana helm? Gue gak mau ditilang meskipun lo ngotot gratisan,"
Dava mengambil helm di dalam jok sambil terkekeh, "Yes, coba lo nurut dari tadi, kek,"
"Awas kalo lo coba-coba gadai hp gue!"
Sebenarnya ponsel Rani tidak cukup menarik untuk digadaikan. Ponsel berukuran tiga inci yang sedikit retak di bagian backscreen seharga setengah juta itu dibelinya sejak dua tahun lalu. Rani bukan khawatir soal ponselnya namun dikejar oleh waktu tidak dapat lagi berpikir dengan jernih. Lusa lalu dia sudah izin tidak bekerja. Dia tidak ingin dipotong gaji.
○○○○○
Padahal Dava bilang cuma mau mengantar Rani.
Tapi Dava malah berdiri di hadapannya sebagai kasir.
Dava mengusap dagu, tampak berpikir, "Em, gue mau pesen frapuccino latte dengan topping choco chip. Less sugar, ukuran gelasnya 16 oz. Oh ya, gue mau dessert-nya itu Madeleine,"
Rani yang bekerja di kafe sebagai kasir sekaligus mencatat pesanan menatap Dava sinis. Tertantang, Rani mengulangi pesanan barusan.
"Frapuccino latte less sugar pakai gelas ukuran 16 oz. Madeleine 1 pcs."
Dava terpukau karena Rani paham dalam sekali berkata pun mengangguk. Ia segera duduk setelah membayar pesanannya.
Saat Rani sedang meletakkan gelas di atas mesin pengolah biji kopi, ia melihat eksistensi yang familier sedang menarik pintu kaca kafe. Eksistensi yang sangat Rani tidak harapkan.
Yaitu kehadiran Alvan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top