2 - Dia siapa?
Aku mengeratkan jaketku untuk kedua kalinya. Menggosok kedua telapak tangan, lalu meniupnya. Tak kusangka udara malam ini benar-benar menusuk.
Sudah dari sore tadi aku keliling mencari Kakakku, namun nihil. Tidak ada yang tau dimana dia.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah, karena aku belum mandi.
Saat aku membuka pintu rumah, kudapati ibuku yang berada tepat di depanku. Sepertinya dia menunggu ku.
Tapi, peduli apa aku?
Aku langsung berjalan melewatinya, tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
Tiba-tiba saja, dia memegang tanganku, membuatku menghentikkan langkah.
"Kamu ... marah sama Ibu?"
Aku mendengus, "Enggak."
"Lalu ... Kamu udah ketemu Kakakmu?"
"Kalau aku ketemu kakak, aku udah bawa dia pulang sekarang."
Aku melepaskan tangan Ibu dari tanganku, lalu meninggalkannya dan menuju Kamar.
Saat aku menaiki tangga, suara Ibu menginterupsiku untuk mengurungkan niat untuk masuk ke kamarku.
"Ibu punya alasan ... buat jodohin kakakmu."
Aku terdiam di tangga, mencengkram pegangan tangga yang ada di sebelahku dengan erat.
"Kamu, bisa turun sebentar dan dengarin Ibu?"
○○○○○
Aku tidak bergerak dari kursiku satu senti pun semenjak bel istirahat pertama dibunyikan. Aku lebih memilih untuk diam di kelas, perutku juga tidak terlalu berisik untuk diberi makanan. Jadi biarlah.
"Ibu khawatir sama masa depannya."
"Ibu benar-benar yakin, cowok yang di jodohkan sama kakakmu itu orang yang baik dan bisa membuatnya berubah."
Mendengarnya saja sudah membuatku kesal. Kenapa harus dijodohkan?
Sebagai seorang ibu, seharusnya ia berpikir kalau Kakak juga punya kisah cintanya sendiri.
Aku gak bisa bayangin, kalau dia tahu perjodohan ini dilakukan untuk memperbaiki masa depannya.
Memangnya, sesuram itukah masa depan Kak Rani, sampai Ibu menjodohkannya?
Aku menggeleng. Kayaknya enggak sesuram yang kubayangkan.
Aku terlalu sibuk dengan pikiranku, tanpa sadar ada seseorang yang meletakkan kantong plastik putih begitu saja di atas mejaku, membuatku mengerjap. Mendongak, mendapati seorang lelaki dengan jaket hoodie abu-abu berdiri di depanku dan tersenyum.
"Halo~"
Dia menarik kursi di dekatnya lalu duduk berhadapan denganku. Aku menatapnya bingung.
Aku menunjuk-nunjuk kantong plastik yang berada di depanku.
"Ini ... sampah?"
"Makanan tauk!"
"Sampah makanan?"
Lelaki itu menggeleng.
Dia mengangkat kantong plasti tersebut, lalu membaliknya dan berbagai macam snack terjatuh tepat di mejaku.
"Buat lo, semuanya."
Aku menatap semua makanan di atas meja ku. Untuk apa dia membelikan semua ini padaku? Dia pikir aku gak bisa beli gitu?
Aku berdiri dari kursi, lalu memukul mejaku.
"Lo pikir gue gak bisa beli snack sebanyak ini?!"
Dia mengerjap, lalu mengibaskan kedua tangannya di depan dada.
"Bu-Bukan itu maksudnya--"
Semua orang menatap kami bingung. Aku mendecih. Sungguh, aku benci tatapan mereka yang seperti itu.
Aku berjalan keluar kelas. Entah kemana tujuanku, yang penting aku meninggalkan lelaki itu.
Ngomong-ngomong...
Dia siapa ya?
Aku menggeleng, sepertinya aku terlalu cepat emosi. Lagipula, aku belum mendengarkan alasan dia 'kan?
Aku berbalik, lalu menabrak seseorang. Mendongak, melihat lelaki yang mengunjungiku tadi. Dia terlihat ngos-ngosan.
"Cepet banget sih lo jalannya."
Dia memeluk kantong plastik putih yang diletakkan di mejaku tadi.
Aku jadi tidak enak, memarahinya tiba-tiba seperti tadi.
"Itu ... buat gue?"
Aku menunjuk kantong plastik tersebut dengan ragu. Dia menoleh ke kantong yang dipeluknya, lalu mengangguk cepat. Memberi kantong tersebut padaku, lalu tersenyum.
"Se-mu-a-nya."
Aku membuka kantong tersebut. Iya, ini snack yang dia kasi ke aku tadi. Ya ampun, malu nya aku.
"Ma-Makasih."
"Iya."
Kami kembali diam. Aku juga tidak tau harus ngapain lagi. Mungkin balik ke kelas kali ya?
"Gue balik ke kel--"
"Makan bareng yuk."
Dia memegang tanganku, membuatku tersentak. Refleks, aku menepis tangannya lalu menggeleng.
"Enggak, makasih."
"Ayolaah~ Gue mau makan bareng sama lo."
Dia menyatukan kedua telapak tangannya dan memohon kepadaku. Ngomong-ngomong, dia teman sekelasku kah?
"By the way, lo siapa?"
"Lo enggak tau gue?! Aku menggeleng.
"Gue Dava Aldric! Sekelas sama lo!" katanya sambil mengguncang tubuhku.
"Oh," Aku memiringkan kepala. "Ada ya?"
"Ada!"
Aku ber-oh ria lagi sambil mengangguk. Ah, wajahnya terlihat kesal.
Ya wajarlah, aku mana hafal teman sekelasku. Cuma ingat wajah, gak tahu nama. Tapi, Dava itu pengecualian deh. Kayaknya dia makhluk yang dilupakan.
"Hai Dava! Hari ini lo ganteng banget deh." Ucap seorang cewek yang melintas di hadapan kami.
"Oh hai! Gitu ya? Hehe, Makasih." Dia memasang cengiran lebarnya pada cewek-cewek nista yang lewat di depan kami.
Astaga.
Gue geli.
Oke, dia pengecualian. Aku benar-benar gak tahu kalau ada orang kayak dia di kelasku.
Dava kembali menoleh ke arahku, meminta kepastian. Aku menghela napas kasar.
"Jadi, lo mau?"
"Enggak."
Aku berlalu dan meninggalkannya begitu saja. Lagipula, aku juga sudah berterima kasih tuh atas snack yang sudah dia berikan padaku.
Aku menoleh ke belakang. Kulihat dia berjalan berlawanan arah denganku. Ah baguslah, dia tidak mengejarku lagi.
○○○○○
Sepulang sekolah, aku berniat untuk mencari kakak ku lagi. Tapi ... Badanku rasanya capek semua. Mungkin karena pencarian yang tidak membuahkan hasil kemarin. Mana ntar malam ada jadwal jaga sampai jam 8 lagi.
Saat aku memasuki rumah, kulihat ibuku yang sedang menelpon di atas sofa dan membelakangiku.
Aku mendekatinya perlahan, agar tidak mengagetkannya. Kulihat dia memegang sebuah foto di tangan kanannya.
Aku membulatkan mata.
Dia ... siapa?
Menyadari keberadaanku, dia langsung berdiri dan menyembunyikan foto tersebut di belakang tubuhnya.
"Ah, kamu baru pulang ya?"
Aku hanya terdiam menatap Ibu ku yang memasang senyuman sumringah padaku.
"Kamu lapar? Mau makan apa?"
Aku mendecih. Apalagi yang mau ia sembunyikan dariku?
"Dia ... siapa?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top