1 - Perjodohan

Hidup itu tidak adil.

Itulah yang dipercayai oleh gadis tomboy kelas dua SMA bernama Rani.

Berbekal nasib ekonomi seadanya, setiap harinya dia selalu pergi ke sekolah dengan transportasi umum.

Lima menit tersisa sebelum bel berdentang, Rani mengencangkan sikap kuda-kuda untuk menerobos masuk ke dalam gerbang sekolah.

Rambut sebahunya dia kuncir asal dengan karet gelang. Tubuhnya dicondongkan ke depan sambil mengambil langkah cepat.

Teng. Teng. Teng.

Tapi bukan Rani namanya, kalau dia masuk lewat gerbang depan di saat kondisi terjepit. Dia memilih melompat dari pagar belakang. Masa bodoh dengan anggapan penyusup, monyet ulung, dan semacamnya.

Yang penting dia lolos dari hukuman pungut sampah.

Rani bersyukur memilih disekolahkan di SMA negeri-- berseragam mengenakan celana panjang abu-abu sebagai bawahan cukup memudahkan Rani untuk melompat pagar sekolah.

Ya, dia sangat yakin untuk lolos dari jeratan hukuman kali ini.

"Rani? Kamu lagi?"

Sebelum Rani menanggapi sosok yang memanggilnya, Rani berusaha untuk mengambil ranselnya yang tadi dilempar asal ke semak-semak.

"Pagi, Pak. Bapak ganteng deh hari ini. Kepala bapak yang licin itu bak lampu disko ajeb-ajeb mantulnya, terus ku--" sapanya mengelap keringat dingin yang mengucur di pelipis sambil melontarkan gombalan payah.

Padahal Rani yakin, kalau guru ini sudah masuk kelasnya namun pria paruh baya berbalut kemeja batik itu--Pak Harjono menatap sinis karena berhasil menangkap basah dirinya.

"Kamu ini menghina saya ya? Mentang-mentang saya tidak pakai wig hari ini!" Pak Harjono pun berkacak pinggang.

Rani menyeringai kaku, sadar kalau triknya memuji guru killer itu tidak mempan, "Nggak, sih, Pak. Seriusan."

Guru sejarah itu menunjuk ke arah lapangan hijau luas yang terhampar di dekat Rani, "Saya tidak mau tahu. Pungut sampah dan cabut rumput liar di sana sampai tuntas, baru nanti masuk ke kelas saya,"

Pak Harjono tidak tahu, kalau menunggu transportasi umum tidak selalu tepat waktu. Tapi Rani sadar, guru itu tidak akan mau tahu alasannya.

Sampai menunggu eksistensi Pak Harjono menghilang di lorong sekolah, Rani yang sengaja memegang botol air mineral kosong yang tergeletak asal di dekatnya--sebagai pencitraan segera dilempar dari jauh masuk ke dalam tong sampah terdekat.

"Aish! Sial amat nasib gue! Pake acara ketemu itu guru---argh, ngapain tuh guru pake acara datang ke sini!"Rani mengacak rambutnya frustasi sesekali mengumpat.

Rani berjanji akan bangun tidur lebih awal. Kalau perlu, pukul empat tiga puluh di subuh hari agar kejadian ini tidak lagi terulang.

○ ○ ○ ○ ○

Terdengar riuhan siswa yang berada di dalam kelas 2 IPS 3 itu. Rani segera masuk ke dalam kelas sesuai prosedur keinginan Pak Harjono.

Rani segera menghempaskan bokong ke kursi kayu yang terletak dua dari belakang dari kiri pintu kelasnya. Pak Harjono ternyata belum masuk kelas walau usai bel pergantian mapel telah berdering.

Rani menyadari kalau begitu banyak pasang mata yang meliriknya--penasaran juga tertarik karena dialah orang terakhir yang masuk kelas.

"Adi yang bilang, kalo si Rani doyan cabut dari rumah bareng preman."

"Iya, dengar-dengar dia merokok dan minum bir. Cewek gak bener, deh."

"Udah gitu dia mainannya sama oom-oom jadi dia telat ke sekolah. Dih, gua ngeri bayanginnya."

Rani bisa mendengar ketiga gunjingan barusan terhadap dirinya. Rani tidak ingat kalau dia pernah berbuat kesalahan kepada orang yang membicarakannya--kalaupun ada, bukan dirinya yang salah.

Tapi karena harga dirinya sedang terinjak, Rani memilih menyudutkan ketiga orang yang bahkan tidak ia ingat namanya.

Dak!

Rani beranjak dari bangkunya, mengangkat kaki kanannya ke atas meja penggosip itu.

"Lo semua ngajakin gue kelahi? Ayo sini! Beraninya aja ngomong dari belakang!"pancing Rani menatap tajam, sambil membunyikan sendi jari-jarinya.

Suasana kelas sempat ricuh karena semua perhatian terfokus ke arah Rani dan sejumlah pelaku yang merasa tersemprot segera berbalik ke bangku masing-masing. Rani tidak habis pikir dengan topik aneh barusan. Dia tidak akan punya waktu untuk melakukan ketiga hal ekstrim itu kalaupun dia mau.

Bagi Rani, tidak ada orang yang akan berani melawannya. Seisi siswa di sekolah segan terhadapnya. Rani, gadis tomboy yang ditakuti karena pandai berkelahi. Melabrak orang seolah makanan sehari-harinya.

○ ○ ○ ○ ○

Rani tiba di sebuah terminal bus sambil meneruskan langkahnya menuju ke rumah. Sederhana memang, tapi setidaknya keluarga kecilnya tidak menerima tagihan kontrak bulanan.

Saat Rani menggenggam gagang pintu, terdengar suara benturan beling terhadap lantai keramik yang menggelegar.

"Aku gak mau!"

Suara penolakan itu berasal dari saudara sedarahnya sendiri--Rina yang biasanya cenderung diam di dalam rumah. Tidak biasanya dia akan berbicara bahkan berseru seperti ini.

Lagipula ibu juga sudah tahu akan nasib kakaknya dan juga memilih diam.

"Ribut amat, sih? Tetangga rada kepo tuh," sahut Rani merasakan keganjilan saat melihat Rina dan ibunya yang saling bertatapan.

Ibunya melipat tangan menegur anak sulungnya itu, "Kamu tidak lanjut kuliah, tidak bekerja, bisanya menyusahkan ibu dan Rani. Jadi mau kamu apa?"

Rina mengepalkan tangannya, "Jadi ibu nggak senang sama aku?"

Ibunya menghembus napas kasar, "Setidaknya kamu bisa membantu nasib keluarga kita dengan menyetujui perjodohan ini,"

Rani bergeming mendengar jawaban ibunya. Mengorbankan perasaan kakaknya demi keuangan yang stabil membuatnya yakin kalau ibunya sedang 'menjual' kakaknya secara tidak langsung.

"Bu, emang harus dengan tindakan kayak gini?" sanggah Rani membela Rina.

Rina yang tadi berseru hanya bisa menundukkan kepala dengan lesu. Ia mengepal jemarinya kuat-kuat, menahan segala beban yang tersemat di benaknya. Rani menatap kakaknya yang telah berbalik badan meninggalkannya. Masuk ke dalam zona nyaman yang mengurung diri sepanjang waktu.

Ibu melipat tangan dengan tatapan kesal, "Ibu nggak mau tahu, Rina tetap harus menyetujui perjodohan ini!"

Rani tentu saja menolak argumen ibunya yang bersikeras itu, "Kak Rina aja jarang bersosialiasi, mana bisa ibu suruh dia dijodohkan?"

Seolah perdebatan mereka menggelegar ke seluruh tetangga, kini keheningan menyeruak di antara mereka.

"Dia akan beradaptasi. Dia bisa," ibu tetap menegaskan pendapatnya.

Rani termenung. Memang perasaan kakaknya penting namun dia merasa bahwa ibunya cukup berjuang dalam menghadapi kesulitan yang mereka hadapi. Rani lelah memikirkan lebih lanjut, lelah mengambil pusing keadaan mereka.

"Au ah,"sahut Rani belakangan masuk ke dalam kamarnya juga.

Tepat saat dia membanting pintu kamarnya tanpa mau tahu alasan ibunya lagi, terbersit seperti apa pasangan jodoh Rina. Alasan Rina menolak begitu keras. Tidak betah berlama-lama di rumah, Rina segera mengganti seragam sekolahnya dengan setelan kemeja abu-abu dan jeans panjang.

Sebelum pukul tujuh, Rani akan bersiap-siap bekerja di sebuah mini market. Rani memutuskan untuk pamit kepada Rina kemudian ibunya.

Dibukanya gagang pintu kamar Rina yang ternyata tidak terkunci. Dilihatnya seisi ruangan yang meredup, tepatnya gelap gulita seolah tiada eksistensi yang menghuni. Rani segera menekan tombol sakelar. Rina tidak ada di kamar. Beberapa benda di dalam kamarnya juga lenyap, meninggalkan spasi dengan rapi.

"Kak Rina? Kak?" Rani berseru sambil mengharap kakaknya masih ada di dalam rumah.

Rani menemukan benda putih tergeletak di meja rias Rina.

Jangan cari gue. Gue gak akan balik cepat. Jangan cemaskan gue, gue tahu caranya jalani hidup gue sendiri.

Rina

Walaupun isinya singkat, Rani sudah mengerti kalau Rina minggat dari rumah. Tanpa berpamitan dengan dirinya dan ibu. Meninggalkan jejak lembab ruangan yang dingin nan sunyi itu. Usai melipat kertas itu, Rani keluar dari kamar Rina. Menemui ibunya yang ternyata bersiap-siap untuk pergi bekerja.

"Bu! Rina kabur dari rumah!"

Ibunya yang sedang menatap ponsel untuk membaca pesan terdiam. Ia ikut menoleh ruangan anak sulungnya yang terbuka lebar sebagai jawaban atas keraguannya. Tubuhnya lemas seketika, jatuh terduduk menyentuh lantai.

Rani memegang bahu ibunya, "Aku akan cari dia! Dia pasti belum lama keluar dari sini!"

Rani meninggalkan rumahnya, menerima sambutan angkasa yang telah lama padam itu dengan melawan angin yang berhembus.

Kekhawatiran yang terbendung dalam dirinya menjadi-jadi. Rani tidak tahu lagi, Tuhan mendengar keluhannya atau tidak.
Keluarganya yang sudah meretak itu, cepat atau lambat akan pecah.

Rani tidak tahu arah hidupnya yang bisa dengan mudah tergeser -- oleh situasi yang tidak adil yang harus dihadapinya.

~~

Helloo~ Ini fiksi kolaborasi pertama kami ^^

Jangan lupa tinggalin jejak yah hehe :3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top