FDBH | 9. Mathematics VS Physics

Sebenarnya cerita ini udah tamat ehee

Yang sebelumnya udah pernah baca, kasih review dong. Biar yang belum baca makin kepo ehe

Kalau banyak yang kasih review, nanti triple update. Mau nggak tuh 3 kali update?

Makasih ^_^

*

Aderine beserta Naima tengah berjalan di koridor kampus. Area kampus itu terasa sunyi, karena memang sudah jamnya para mahasiswa dan mahasiswi di fakultas itu pulang.

"Ad, gue dijemput sama Rio nih, duluan ya?" Kata Naima, yang langsung berlari mendekati pacarnya tanpa menunggu tanggapan dari Aderine.

Aderine menghela napas, sepertinya ia harus kembali sendirian menunggu Pak Sopir yang saat ini entah berada di mana. Yang terpenting sebenarnya, Pak Sopir bukan orang semacam para koruptor yang kerap mangkir dari panggilan ketika KPK memanggil. Pakai ngeles segala, bilang kalau jantungnya kumatlah, ginjal rusak, dan apalah segala macam mereka utarakan demi menghindari hukum yang berlaku.

"Aderine Sayang!"

Aderine mendelik mendengar suara itu. Tanpa membalikkan badannya pun, Aderine sudah tahu siapa pemilik suara yang melantunkan namanya dengan bentuk panggilan itu.

Dangan langkah cepat, Aderine melanjutkan jalannya yang sempat terhenti. Ia tidak mau terjebak dengan pria yang memiliki bakat terpendam membuatnya kesal setengah mati itu. Bisa-bisa Aderine mati muda kalau berhadapan dengan orang itu terus-terusan.

Aderine belum sempat mengenyam manisnya mahligai rumah tangga, sehingga ia tidak berkeinginan mati muda. Semoga saja Tuhan memberinya umur panjang. Aderine sendiri tidak yakin, apakah ia bisa menyecap manisnya dunia pernikahan, saat melihat sikap Sean yang terlampau dingin. Tapi beruntungnya, beberapa hari ini sikap Sean selalu manis padanya. Aneh, tapi itu menyenangkan.

"Yayang Ad, kok Yayang Al ditinggal sih?"

Ini perasaan Aderine saja, atau memang Alden bertambah semakin gila? Yang benar saja, Yayang? Panggilan yang terdengar menjijikkan.

Alden bisa saja disebut sebagai salah satu contoh generasi micin yang entah mengapa bukannya punah, generasi itu semakin berkembang. Sepertinya, Aderine harus mendirikan organisasi yang tujuan utamanya memberantas generasi micin yang mulai menjamur. Jika dipikirkan, nama organisasi itu pantasnya diberi nama 'Anti Miciners' bagus bukan? Aih, kenapa harus dipikirkan sih, Ad? Itu tidak penting, yang terpenting kamu harus menghindari Alden sekarang juga!

"Yayang Ad, tungguin Yayang Al yang gantengnya melebihi Manu Rios dan Alvaro Mel ini," kata Alden yang masih tertinggal jauh di belakang Aderine. Aderine menggeleng, langkahnya semakin cepat, seperti orang yang tengah berlari.

"Nah, akhirnya ketangkep juga. Kayak film India aja, pakai kejar-kejaran segala. Jangan lari-lari dong Yayang Ad, nggak kasihan apa sama Yayang Al yang kelelahan ini? Hayatno benar-benar lelah, loh. Tuh, tuh, keringetnya udah segede biji jagung, lapin dong, Yang." Alden menunjuk pelipisnya yang sama sekali tidak bermasalah. Tidak ada yang namanya cairan hasil ekspirasi bernama keringat di sana. Bahkan, pelipis Alden sama sekali tidak terlihat basah. Memang benar-benar aneh ah tidak cukup aneh tapi gila, laki-laki satu ini. Lagipula keringat itu mengidentifikasikan kalau ia tengah kepanasan, kalau kepanasan kenapa pakai jaket?

Otak Alden sepertinya tengah tertinggal di suatu tempat. Barangkali otaknya itu tertinggal saat Alden berlari mengejar Aderine tadi.

"Jijik Den, lo kasambet setan apaan sih? Risih tahu nggak, dengernya. Mau jadi jomblo alay lo? Atau lo udah mulai gila?" Kesal Aderine, ia menghempaskan cekalan Alden. Alden tak hilang akal, pria itu berusaha mengimbangi langkah setengah berlari Aderine dengan langkah lebarnya.

"Gue nggak kesambet setan apapun, kok. Kalo mulai gila, sih iya. Kan gue gila karena lo, Aderine Brawijaya!!"

Alden berdiri tepat di hadapan Aderine. Langkah Aderine seketika terhenti. Oh lihatlah! Pria itu semakin gila saja, dengan seenak jidatnya ia merubah nama belakang Aderine yang semula Jiyana menjadi Brawijaya. Dalam hati Aderine sudah mengumpat tidak karuan, rasanya ia ingin menjambak rambutnya sendiri yang tengah ia kuncir kuda itu. Benar-benar bikin kesal si Alden ini.

"Berhenti dulu Aderine Sayang. Kan gue mau ngomong sesuatu sama lo, dengerin napa?" Alden memasang tampang memelasnya.

"Ya udah, ngomong cepet. Jangan bikin tensi darah gue naik."

"Ad, lo itu cantik deh."

Aderine merotasikan bola matanya. Hanya itu? Hanya itu yang ingin pria ini mau ucapkan? Benar-benar kurang kerjaan.

Dari pada mengucapkan gombalan tak bermutu itu, lebih baik Alden memperbaiki sikapnya. Barangkali dengan bersikap lebih berwibawa, Aderine akan tertarik dengannya. Sikap yang Alden tunjukan itu, lebih membuat Aderine kesal daripada terpesona.

"Iyalah gue cantik, gue kan cewek," balas Aderine kemudian, lengkap dengan lagak cueknya.

"Ih, kok gitu balasnya? Seharusnya kan, bilang terima kasih, gitu? Tapi nggak pa-pa lah, yang penting lo mau bicara sama gue. Tau ngga―"

"Enggak."

"Jangan potong dong Sayang. Lama-lama Alden gemes nih, pengen nyium―eh? Nggak deh, nanti dibantai sama Om Kulkas." Aderine kembali memutar bola matanya. Berbicara dengan Alden sungguh membuang-buang waktu berharganya. Pria satu itu memang kurang kerjaan sekali!

"Lo masih mau ngomong lagi, apa enggak? Gue mau cepet-cepet balik, tugas gue lagi numpuk," kata Aderine.

"Masih dong, Ad. Lo harus tahu kalau gue jatuh cinta ke lo tuh karena lo tuh beda dari cewek lain."

"Iyalah beda. Tuhan kan nyiptain manusia itu berbeda-beda, nggak ada yang sama, bahkan sekalipun itu kembar, nggak akan sama."

Tidak salah kan, Aderine berbicara seperti itu? Tuhan memang menciptakan manusia itu berbeda-beda. Tidak ada yang sama di dunia ini. Kembar pun, belum tentu sama. Kemampuan setiap orang juga berbeda.

Bukannya menyerah atau apa, Alden semakin tertantang untuk merayu Aderine. Gadis itu memang berbeda dengan gadis lain kebanyakan, yang bahkan rela mengorbankan waktu mereka untuk menarik perhatian Alden.

Jangan kira karena sikap aneh Alden itu, tidak ada gadis yang tidak menginginkannya. Alden tergolong most wanted di kampusnya, di mana pria itu banyak disenangi oleh gadis, baik dari gadis dengan kecantikan di atas rata-rata, standar, maupun di bawah rata-rata.

Alden tidak berbohong tentang wajahnya yang tampan. Pria berusia 21 tahun itu, benar-benar memiliki wajah tampan bak dewa Yunani, namun dibanding dengan Sean. Sean jauh lebih tampan dari Alden. Namun, karena tingkat percaya diri Alden terlalu tinggi, hal itu mampu membuat Alden berani berkata jika dia lebih tampan dari seorang Sean Leonard.

Selain memiliki tingkat percaya diri yang tinggi, Alden juga memiliki tekad yang kuat. Sekali ia menginginkan sesuatu, maka sebisa mungkin laki-laki itu akan menggapainya. Seperti sekarang ini, dia begitu terobsesi dengan Aderine. Selama ia masih bisa bernapas, selama itu Alden akan berusaha menjadikan Aderine miliknya. Ia tidak akan gentar hanya karena penolakan kecil. Ia baru akan berhenti ketika gadis itu sudah menjadi miliknya.

Alden memegang tangan Aderine, Aderine ingin menariknya namun urung ia lakukan karena wajah Alden yang tampak memelas. Mungkin, jika Aderine mau menuruti keinginan Alden sebentar saja, ia bisa segera terlepas dari pria aneh itu.

"Ad, lo itu istimewa."

Emang gue martabak apa? Pake istimewa segala! Batin Aderine membalas perkataan Alden. Terlihat sekali pancaran kekesalan gadis itu pada Alden. Lagipula siapa yang tidak kesal dengan kelakuan aneh semacam kelakuan Alden ini?

"Entah kenapa, setiap ngelihat lo, jantung gue selalu berdebar cepat. Kayak gue baru lari seratus meter. Tapi ini beda, karena gue sama sekali nggak ngerasa capek. Gue ngerasa ... bahagia." Alden kembali berucap. Bisa diakui kalau kata-kata Alden itu memang cukup manis. Jika gadis lain yang mendengarnya, mungkin sudah meleleh saat ini.

"Ad, lo tahu nggak? Hidup gue tanpa lo itu bagai cos sembilan puluh, kosong melompong, nggak bewarna, nggak beraneka ragam, nggak ada yang bikin gue seneng. Gue sama lo itu, bagai sin sembilan puluh, satu. Artinya kita satu. Satu cinta untuk bahagia bersama. Dan bagi gue, lo itu tan sembilan puluh, nggak terhingga. Lo nggak pernah terhingga sepanjang masa yang gue punya."

Rayuan basi, udah banyak gue nemu kayak gini. Kurang modal banget mau ngerayu cewek. Batin Aderine bersuara, menilai cara merayu Alden yang sudah kerap ia ketahui dari akun sosial medianya. Aderine hanya mendengarkan, tak berniat membalas ucapan Alden yang ujung-ujungnya hanya bermaksud untuk merayu dirinya itu.

"Lo mau nggak jadi pacar gue? Gue tahu, kalau ini sama sekali nggak romantis. Mana gue nembaknya di koridor lagi, gue juga nggak bawa bunga. Tapi, apa artinya romantis? Nggak ngaruh juga kan? Aderine, gue benar-benar suka sama lo, gue harap lo mau nerima gue jadi pacar lo. Gue emang nggak bisa menjamin kebahagiaan buat lo, tapi gue pastiin gue bisa membuat hari-hari lo penuh tawa." Alden menarik napasnya, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Entah mengapa, tingkat percaya dirinya sedikit menurun. Alden takut kalau pernyataan cintanya ditolak Aderine. Dia belum menyiapkan diri untuk menerima penolakan Aderine.

"Gue―"

"Ah, nggak usah dilanjutin aja deh. Gue belum siap. Gue juga udah tahu jawabannya. Lo jawab, kalo elo udah jatuh cinta sama gue aja. Btw, kenapa sih lo nggak tertarik sama gue? Perasaan gue udah ganteng, pake banget. Paket komplit untuk pacar idaman. Kurang apa lagi, coba?" Alden sama sekali tidak terlihat sedih atau apa, laki-laki itu justru mengembangkan senyumannya yang membuat wajahnya terlihat manis dan tampan dalam waktu bersamaan, karena lesung pipinya yang tercetak jelas.

Saatnya pembalasan, kalau tadi dia pakai jurus Matematika, sekarang gue bakal pakai jurus Fisika. Batin Aderine seraya menahan bibirnya untuk tidak menyunggingkan senyum.

"Lo mau tahu banget jawabannya?"

"Iya dong, biar gue bisa memperbaikin diri gue, buat lebih baik dan pada akhirnya bisa narik perhatian lo. Pada akhirnya, lo jatuh cinta deh."

"Gue nggak tertarik sama elo, karena gaya gravitasi hati lo, nggak cukup kuat buat narik hati gue agar jatuh ke hati lo. Paham?"

"Hah?"

Aderine tak lagi menanggapi Alden. Gadis itu lebih memilih melangkahkan kakinya sesegera mungkin untuk menghindari laki-laki berlesung pipi itu. Alden masih terpaku di tempatnya. Otaknya belum mencerna dengan baik kata-kata Aderine.

"Terus, gimana cara buat memperbesar gravitasi hati agar itu cewek tertarik sama gue?" Alden menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba ingin digaruk. Padahal sama sekali tidak gatal.

"Apa gue tanya Mbah Google aja, cara memperbesar gravitasi hati, biar cewek yang disukai tertarik sama gue. Yap betul! Tanya aja ke Mbah Google, Mbah Google kan tahu semuanya." Alden terkekeh. Ia tidak menyerah untuk mendapat cinta dari Aderine. Karena dalam jiwa, raga, dan seluruh hidupnya, ia sudah menjadikan Aderine sebagai ratu penguasa hatinya. Terdengar lebay? Masa bodoh!

TBC

Maaf untuk typonya yang banyak.

Jangan bosen ya, sama ceritanya. Emang plotnya kayak gini. Semoga sukaaa...

Karena aku juga suka kamu. Aku? Iya kamu, masa gebetan, pacar, atau suami/istri kamu sih?! Ya enggak mungkin dong hehe

Ada yang mulai ngefans sama Babang Alden? Ulalala, saya lebih ngepens sama Sean ih...

Udah liat mulmed belum? Itu si Alden. Ganteng kan? Ya iyalah, pacar aku itu haha
// evil laugh // // ditimpuk readers //

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top