FDBH | 6. Between Two Strange Man

Komen yang banyak biar update tiap hari

**

Aderine tidak menyangka, hari minggunya yang indah telah di rusak oleh kehadiran dua laki-laki rupawan, yang sayangnya memiliki sifat yang sangat dibenci olehnya itu.

Di mana salah satu laki-laki itu mendapat gelar Raja Es Balok, sementara yang satunya lagi mendapat gelar Raja Gombal darinya.

Seharusnya Aderine sudah bisa menebak kalau hal ini akan terjadi. Beberapa hari tak keluar dari rumah, membuat Aderine melupakan fakta jika ia masih satu kompleks dengan Alden. Ya, meski selama ini mereka jarang bertemu di luar kampus. Maksudnya, intensitas pertemuan Alden dan Aderine terjadi di kampus, di luar itu mereka sangat jarang bertemu.

Saat hari minggu seperti ini, Aderine tidak akan keluar rumah. Hanya sesekali saja, jika benar-benar darurat. Gadis itu lebih memilih menonton film horor atau drakor koleksinya, atau jika koleksi filmnya sudah habis ia tonton, Aderine akan mengajak Naima untuk pergi ke mall, dan membeli koleksi film yang baru.

Aderine kembali mendengkus lirih saat mengetahui Alden masih mengikutinya. Parahnya, Sean malah menanggapi ucapan Alden yang terkesan menyebalkan bagi Aderine tersebut. Sialnya lagi, Aderine selalu gagal melepaskan diri dari zona dua laki-laki itu. Entah sadar atau tidak, sedari tadi Sean menggenggam tangan Aderine, seakan tidak mau membiarkan Aderine beranjak dari sisinya, walaupun itu hanya beberapa jengkal saja. Aderine merasa nyaman dengan genggaman Sean.


"Om, Om nggak ada niat buat nikah lagi?" Itu pertanyaan yang entah ke berapa, yang Alden lontarkan pada Sean. Aderine membatin jika laki-laki yang pernah menyatakan perasaan padanya itu tidak memiliki hati. Belum kering kuburan istri Sean, dan dengan tampang sok polosnya Alden bertanya apakah Sean akan menikah lagi atau tidak. Benar-benar tidak memiliki perasaan orang bernama Alden itu.

Laki-laki yang kini berusia 21 tahun tersebut, sepertinya memang sengaja mengajak Sean berbicara agar bisa lebih lama berdekatan dengan Aderine. Kapan lagi? Pikir Alden licik.

"Ada." Hanya jawaban singkatlah yang Sean berikan.

Tidak terkesan marah meski pertanyaan yang teman kuliah istrinya itu, masuk ke ranah sensitif. Meski begitu Sean juga tidak berusaha menunjukkan keramah-tamahannya pada Alden.

"Sama siapa Om?" Tanya Alden dengan nada antusiasnya.

Dengan tidak acuh, Sean menjawab, "Jodoh saya."

"Om Sean mah, ditanya juga. Ya kan, jodoh itu dicari dan diperjuangin Om, nggak mungkinlah jodoh dateng sendiri. Maksud saya itu, Om udah ada belum kandidatnya? Kalau belum ada, saya bisa bantu nyariin," ucap Alden lagi diimbuhi dengan kekehan khasnya.

Alden semakin menjadi saja, apa pria itu tidak berpikir jika Sean baru kehilangan belahan jiwanya? Ya Tuhan, terbuat dari apa hati Alden? Apakah dia memang tidak peka atau pura-pura tidak peka?

Sean mengerutkan keningnya singkat, kemudian hanya mengangguk tak acuh. Meski ia merasa sedikit dongkol dengan pertanyaan Alden.

Bagaimana tidak dongkol? Dingin-dingin begitu Sean juga memiliki perasaan. Sean mencintai Rihanna. Sangat. Sampai detik ini pun rasa cintanya terhadap Rihanna masih ada, dan laki-laki itu masih merasa kehilangan terhadap meninggalnya sang istri. Jika bukan karena wasiat terakhir sang istri, Sean tidak mungkin menikahi Aderine. Dan bahkan, laki-laki itu tidak memiliki niatan untuk menikah lagi.

"Kok nggak dijawab pertanyaan saya? Masa pertanyaan gampang gitu, Om nggak bisa jawab? Katanya IQ Om Sean tinggi," cibir pria bernama lengkap Alden Brawijaya itu tanpa malunya. Sikap Alden memang menyebalkan bagi siapapun yang mengenal pria itu, namun biar begitu Alden juga sosok yang baik.

"Ada," jawab Sean akhirnya.

Sebenarnya, Sean tidak memiliki niatan untuk menjawab pertanyaan yang Alden lontarkan, hanya saja Alden terus melemparkan pertanyaan, membuat Sean tidak tahan dan akhirnya memutuskan untuk menjawab pertanyaan tak berbobot itu.

"Siapa Om? Siapa cewek sial, eh maksudnya beruntung yang dapat laki-laki seganteng Om?"

"Den, lo kok kepo banget sama urusan bokap gue? Lo juga, nggak punya hati banget nanya begituan? Emang Lo mau daftar jadi bininya? Gue mah ogah dapet ibu macam lo," sahut Aderine yang merasa tidak tahan dengan ocehan Alden. Alden tertawa, pria berlesung pipi itu menepuk bahu Aderine, melampiaskan greget tawanya pada pundak gadis itu.

"Kan guenya udah daftar buat jadi suami, lo Ad. Masa lo lupa sih? Atau lo emang pura-pura lupa biar gue bisa bilang di depan bokap lo?" Alden menaik turunkan dua alisnya bermaksud menggoda gadis itu.

"Sori ya, Den. Lo bukan tipe gue."

"Untuk kali ini, gue bukan tipe lo Ad, tapi suatu saat nanti gue bakal jadi idaman lo." Alden terkekeh, laki-laki itu rupanya sangat percaya diri bisa mendapatkan Aderine suatu saat nanti.

Sean yang merasa tidak diacuhkan lagi, mendehamkan suaranya berusaha menarik perhatian dua lawan jenis yang tengah berdebat sengit tersebut, walau sebenarnya apa yang mereka debatkan itu sama sekali tidak penting.

"Eh, Om. Saya lupa kalau ada Om di sini. Maklum aja Om, saya lagi ngobrol sama jodoh masa depan saya, sayang kalau nggak ditanggepin."

"Saya tidak punya orientasi untuk menjadikan kamu sebagai menantu saya. Saya tidak akan membiarkan pria seceroboh kamu menikahi Aderine. Tidak akan pernah!" Bukannya merasa terintimindasi, Alden malah merasa takjub. Keajaiban untuknya bisa mendengarkan ucapan Sean yang baginya cukup panjang itu.

"Wah, Om Sean tumben ngomong banyak? Biasanya ngirit omong," kata Alden dengan kekehan di akhir kalimatnya, Sean hanya mengangguk.

Ternyata, dia membutuhkan kesabaran ekstra untuk meladeni pria seperti Alden itu. Untung saja Sean tidak memiliki riwayat penyakit stroke, bisa-bisa ia kejang di tempat jika terus-terusan meladeni si Sinting Alden ini.

"Kamu bisa nggak, diam sebentar saja? Saya pusing denger ocehan kamu. Mau saya nikah lagi lah, udah dapat jodoh baru lah, bukan urusan kamu. Kalau kamu mau tahu, saya mau nikah sama siapa, yang pasti saya nikahnya sama perempuan!" Kali ini Sean berkata dengan panjang lebar, membuat Alden melongo di tempatnya. Belum hilang keterkejutan Alden tadi, pria berlesung pipit itu kembali mendapat cercaan panjang dari Sean.

"Dan lagi, jangan coba-coba mendekati Aderine lagi. Saya nggak suka kamu ganggu dia! Mengerti?!" Tegas Sean yang membuat Alden seketika tercekat, sikap yang baru saja Sean tunjukan seakan-akan pria itu tidak ingin miliknya diambil atau bahkan didekati pria lain.

"Yah, Om? Emang kenapa? Ya jelaslah, Om Sean nikahnya sama perempuan, kalau sama laki-laki, namanya Om maho."

Sean tidak lagi berniat menanggapi Alden, laki-laki datar dengan sikap dinginnya yang melebihi kutub utara itu melangkahkan kakinya dengan cepat. Tangannya masih menggenggam tangan Aderine, dan membuat Aderine harus berlari kecil menyesuaikan langkah lebar Sean.

Alden yang masih terdiam di tempatnya tampak bingung, Alden menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. I merasa aneh dengan sikap Sean yang terkesan posesif terhadap Aderine. Tapi, perasaan anehnya itu tidak lantas membuat Alden patah semangat untuk mendapatkan cinta Aderine.

Laki-laki dengan rambut yang dijambul tinggi itu juga tak merasa terintimidasi dengan ucapan Sean. Justru Alden merasa semakin bersemangat meraih impiannya untuk bersanding dengan Aderine. Ia akan melakukan apa pun demi membuka pintu hati Aderine.

"Om Sean itu nggak setuju, karena dia belum siap ngelihat anaknya punya cowok yang seratus kali lipat lebih ganteng dari dia. Duh, Om tenang aja, meskipun Alden itu lebih ganteng dari Om, tapi Om nggak usah khawatir, Alden nggak bakal koar-koar masalah kegantengan Alden yang luar biasa ini. Alden bakal berjuang untuk dapet restu Om Kulkas, tinggal tunggu waktu aja," ucap Alden berapi-api.

Pria itu sudah menanamkan tekad di hatinya untuk mendapatkan Aderine. Alden merasa, rasa sayangnya terhadap Aderine kian bertambah tiap harinya. Belum pernah sekalipun Alden merasakan perasaan yang sedemikian uniknya itu.

"Nanti cari di Google ah, gimana cara ngeluluhin hati calon mertua yang gokil." Alden tersenyum, kemudian ia kembali melangkahkan kakinya yang semenjak tadi berhenti, karena mendengar kalimat terpanjang yang pernah Sean ucapkan.

Alden memasukkan tangannya ke dalam saku celana olah raganya, bibirnya bersiul mendendangkan nada yang entah sejak kapan tercipta di otaknya.

****

"Kamu pesen apa?" Tanya Sean singkat. Matanya menatap pada Aderine.

"Terserah Daddy saja," jawab Aderine tanpa mengalihkan tatapannya dari handphone-nya yang terus berdering. Notifikasi chat Line dari sahabatnya, Naima. Yang sedari tadi memberondongi Aderine dengan beberapa curhatannya.

Sean mengalihkan tatapannya pada wanita paruh baya yang bekerja sebagai pelayan itu "Pesan yang seperti tadi saja, Bu," ucapnya kemudian. Wanita paruh baya itu segera menuliskan pesanan Sean dan Aderine, lalu berpamitan setelah selesai mencatatnya.

"Kamu dekat dengan laki-laki tadi?" Tanya Sean yang lagi-lagi membuka percakapan di antaranya dan Aderine. Aderine menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Sean dengan kedua alisnya yang bertaut.

"Maksud Daddy, Alden? Kami dekat sebagai teman, tapi tidak untuk urusan hati. Gimana ya, menyebutnya? Aderine bingung, tapi seperti itulah," jawab Aderine seadanya.

Gadis itu memang tidak menyukai sikap Alden yang terang-terangan menunjukkan perasaannya, tapi Aderine menghargai usaha Alden mendekatinya sehingga muncullah anggapan Aderine mengenai statusnya dengan Alden yang hanya sebatas teman.

Sean hanya mengangguk, laki-laki itu sama sekali tidak bereaksi apa pun. Seakan pertanyaannya tadi hanya formalitas seorang ayah yang menanyakan masalah percintaan anaknya, tanpa mengingat jika status mereka sudah berubah menjadi suami istri.

Untuk beberapa hari ini, tidak ada perkembangan yang berarti dalam hubungan mereka. Hanya Sean yang sedikit berubah, karena pria itu mau menyapa atau membuka percakapan terlebih dahulu dengan Aderine.

-Tbc

Masih mau lanjut?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top