FDBH | 4. The Troublemaker
Follow ig saya @delasinta_
*
Aderine bersama salah satu sahabatnya, atau lebih tepatnya sahabat super lengketnya―Naima Azzahra―tengah menunggu pesanan makanan mereka di kantin. Setelah beberapa jam bergelut dengan soal kuis yang dosennya berikan, akhirnya mereka dapat terbebas dari belenggu siksaan itu. Siksaan bagi mereka yang berotak kurang cerdas.
Meskipun waktu masih terbilang cukup pagi―sekitar pukul sebelas―namun cacing-cacing di perut Aderine sudah menagih jatah makanannya. Mau tak mau Aderine harus mengisi perutnya itu, gadis berusia dua puluh tahun itu, tidak mau jika nantinya ia harus barakhir di rumah sakit karena asam lambungnya naik.
Aderine memang penderita maag, namun syukurnya bukan maag akut yang jika kambuh bisa berakibat fatal. Terkadang maag sering diremehkan oleh kebanyakan orang, namun jangan salah, maag juga dapat mematikan. Karena asam klorida yang dikeluarkan lambung dapat mengikis dinding lambung. Kronis atau akut dapat dikatakan jika kikisan itu mencapai pembuluh darah.
"Ad, bokap angkat lo itu mau datang nggak?" Tanya Naima setelah meneguk minuman botolannya. Aderine yang tengah fokus memainkan handphonenya, seketika menatap sahabatnya itu, lalu sedetik kemudiam mengedikkan bahunya tak acuh.
Aderine kembali fokus pada handphonenya. Sedikit informasi, saat ini Aderine tengah memainkan salah satu game online yang saat ini lagi marak dimainkan oleh kalangan remaja bahkan sampai lanjut usia, yang diketahui dengan nama Mobile Legend itu.
Game online yang dikembangkan dan diterbitkan oleh Moontoon itu, bahkan sempat membuat seorang pria setengah baya viral dengan aksi marah-marahnya, karena kalah dari permainan berbasis internet itu.
"Lo mah kebiasaan Ad, ditanyain malah asik nge-game. Nggak kasihan apa sama sahabat tercantik lo ini? Udah bela-balain nanya, eh malah nggak diperhatiin." Naima mengerucutkan bibirnya, tangannya ia sedekapkan di depan dada. Berusaha menarik perhatian sahabat cantiknya itu. Namun, sekali pun Aderine tidak mengalihkan atensinya ke Naima.
"Aderine!" Naima hampir berteriak memanggil Aderine, yang duduknya saja hanya berjarak kurang dari satu meter dari tempatnya.
"Bentar ih, gue belum selesai nih!" Respon Aderine dengan atensinya, yang masih fokus pada handphone berlogo apel yang digigit itu.
Kalau sudah seperti ini, biasanya Naima hanya diam. Menunggu kekalahan sahabatnya yang menyedihkan, yang justru malah membuatnya bahagia.
"Yah, kalah kan?" Desah kesal Aderine membuat seulas senyum terbit di wajah cantik Naima. Gadis yang usianya berjarak satu tahun lebih tua dari Aderine itu terkekeh pelan, puas melihat wajah nelangsa sahabat karibnya.
"Udah kalah kan, lo? Lo nggak usah main lagi, perhatiin gue sekarang!" Kata Naima, dengan menatap tajam Aderine. Senyum yang tadi mengembang di wajah gadis itu, segera padam saat netranya menangkap pergerakan Aderine yang hendak memperhatikannya.
"Dih, kalau minta diperhatiin jangan sama sahabat Mbak, noh sama pacar lo tuh." Aderine menunjuk dua pemuda tampan yang berjalan ke arah mereka. Seketika Naima membalikkan badannya, matanya berbinar melihat siapa yang menghampirinya.
"Sayang," sapanya pada salah satu pemuda yang berkaos merah dengan celana jeans bewarna biru dongker itu. Sementara, pemuda yang satunya―pemuda berkaos hijau lumut dengan celana jeans yang juga bewarna biru dongker―tampak tersenyum ke arah Aderine dan menghampiri gadis itu.
"Hai!" Sapanya pada Aderine. Sedang yang di sapa hanya tersenyum sekilas. Aderine malas menanggapi pria yang saat ini duduk di sampingnya itu.
"Ad, Den, kita pergi dulu ya? Biasa mau lovey dovey dulu. Kalian kalau mau, juga bisa lovey dovey, bener nggak Yang?" Naima sudah bergelayut manja di lengan pacarnya yang bernama Mario itu.
"Jijik lo Na," sahut laki-laki yang Naima panggil Den itu.
Naima menjulurkan lidahnya, merasa masa bodoh dengan celotehan tak berbobot Alden.
Rupanya, sahabat Aderine itu sudah melupakan niat awalnya yang hendak mengorek informasi kedatangan ayah angkat Aderine.
Aderine mencibir kata lovey dovey yang tertangkap oleh indra pendengarannya. Cih, bahasa alay dari planet mana itu? Apakah planet yang berada di luar Galaksi Bima Sakti atau yang juga terkenal dengan nama Galaksi Milky Way ini?
Masa bodoh! Aderine tidak peduli. Ia bukan golongan anak alay, kenapa ia memikirkan hal itu? Kurang kerjaan sekali dia.
"Serah lo, pesenan lo buat gue ya? Tapi lo yang bayarin." Naima mengacungkam jempolnya dan langsung menarik tangan pacarnya untuk pergi dari tempat yang mulai ramai itu, setelah membayar pesanan mereka tentunya.
"Ad, hari ini lo cantik banget." Alden, pria itu tersenyum menatap Aderine.
"Thanks, namanya juga perempuan. Kalau ganteng, itu laki-laki," balas Aderine seadanya.
Wajah Aderine jelas menunjukkan ketidak-sukaannya terhadap Alden. Dan Alden pun sebenarnya menyadari hal itu. Akan tetapi bagi Alden, gadis yang begitu ia cintai itu hanya sekadar jual mahal, supaya ia lebih tergila-gila padanya.
Di luar itu. Sikap Aderine yang terang-terang menunjukkan ketidaksukaannya pada Alden, malah membuat Alden tertantang untuk mendapat perhatian Aderine. Alden akui, kesan pertama yang ia lihat dari sosok Aderine ialah wanita itu yang terlalu biasa. Namun, entah mengapa malah hal itu yang membuat jantungnya berdebar kencang.
Alden, laki-laki itu hanya tersenyum, ia tidak merasa sakit hati dengan respon yang Aderine berikan. Ia malah memamerkan gigi-giginya yang rapi, seakan ia tak mau menunjukkan sisi rapuhnya pada Aderine.
Dih, rapuh? Kata itu sama sekali tidak mencerminkan seorang Alden Brawijaya!
Alden mengerjap-ngerjapkan matanya, saat tanpa sengaja ia melihat jari manis Aderine. Di sana melingkar sebuah cincin yang mirip dengan cincin pernikahan. Tanpa sadar, Alden memegang tangan Aderine dan mendekatkan tubuhnya pada gadis itu. Betapa terkejutnya ia, menyadari jika cincin yang Aderine kenakan memang cincin pernikahan.
"Ad, ini cincin kawin ya?" Tanyanya spontan. Aderine sedikit berjingkit, efek kaget yang ia terima lebih besar, karena baru saja gadis itu melamun.
Aderine tidak menyadari jika tangannya sudah digenggam oleh sosok yang sangat dihindarinya. Sedikit info lagi, Aderine memiliki dua orang yang sangat ingin ia hindari di kehidupannya. Pertama Si Dingin Es Balok, siapa lagi kalau bukan Sean Leonard. Dan kedua, Si Menyebalkan Alden Brawijaya.
"Cincin kawin apaan? Gua aja belum kawin. Emang sih, modelnya kayak cincin kawin, dan emang bener kalau ini cincin kawin. Kemarin, sewaktu gue ke mall sama Naima, gue nggak sengaja lewat toko perhiasan, dan gue langsung tertarik sama cincin ini, akhirnya gue beli deh," kata Aderine menjelaskan dengan tenang, berusaha meminimalisir kecurigaan Alden. Aderine pun menarik tangannya yang digenggam Alden.
Tapi, Aderine memang belum kawin kan? Kalau nikah memang sudah. Salah Alden sendiri tidak bertanya lebih spesifik lagi.
"Jangan sentuh-sentuh bisa kali? Gue nggak bisa mastiin itu tangan nggak ada bakterinya." Cerca Aderine pedas yang kemudian hanya ditanggapi dengan cengiran khas oleh Alden.
"Lagian gue pakai cincin ini udah lama, kok lo baru nyadar sih?" Lanjut Aderine.
"Hah? Masa?! Kok kemarin-kemarin gue nggak tahu?" Dengan tampang bodohnya Alden berseru.
Alden terlihat semakin bingung, namun dalam hati Alden senang. Akhirnya ia bisa berbincang lama dengan gadis yang disukainya itu. Dari dulu, Aderine memang sulit diajak berinteraksi, terlebih lagi dengan orang yang tidak dekat dengannya. Seandainya mau, pasti itu tidak lebih dari satu menit.
Mendengkus kesal, lalu Aderine berkata, "Ya derita Lo kalau nggak tahu."
Aderine segera mengalihkan atensinya pada dua mangkok bakso yang baru datang. Ia ingin cepat-cepat mengakhiri pertemuannya dengan Alden. Tapi sialnya, ia harus menghabiskan dua mangkok bakso lebih dahulu. Lagipula mana mau Aderine menyia-nyiakan bakso buatan Mak Roh, yang terkenal enak di seantero kampus? No, no, no, Aderine tidak akan menyia-nyiakan dua mangkok bakso itu hanya untuk menghindari Alden.
"Terima kasih Mak," kata Aderine pada Mak Roh yang mengantarkan baksonya itu. "Sama-sama Neng," balas Mak Roh seraya mengacungkan jempolnya. Lantas tersenyum dan pamit pergi.
"Tapi ya, Ad, dari dulu gue selalu merhatiin lo, tapi gue nggak pernah lihat itu cincin." Alden berusaha memperpanjang percakapannya dengan Aderine.
"Bentar, lo nge-stalk gue kalau gitu?!" Alden sontak gugup mendapat tuduhan sedemikian itu dari Aderine.
"Gue nggak mak--"
"Gue lagi makan, lo bisa diem nggak?!" Ketus Aderine.
Alden hanya bisa menghela napasnya, gadis itu begitu sulit untuk ia takhlukkan. Alden berpangku tangan dan terus memperhatikan wajah Aderine yang semakin hari, semakin terlihat cantik di matanya. Dari dulu, Alden sudah berusaha mengubur perasaannya, namun selalu saja tidak bisa. Alden sudah terobsesi pada gadis bernama lengkap Aderine Jiyana itu.
Dari kejauhan, tampak Sean yang berdiri angkuh dengan wajah datar lengkap dengan aura dinginnya. Tidak ada reaksi apapun, ketika ia melihat Aderine berinterksi dengan laki-laki lain. Ia hanya menatap tanpa minat, seperti tidak peduli jika gadis yang sudah berstatus sebagai istrinya itu, didekati lelaki lain.
Merasa bosan dengan apa yang dilihatnya, Sean langsung melenggang pergi. Ia harus kembali ke kantornya, banyak pekerjaan yang ia tinggalkan demi menjadi wali Aderine dalam pertemuan orang tua di kampus gadis itu.
***
Sean memasuki rumahnya yang tampak sepi. Para pelayannya mungkin sudah damai di alam tidur mereka masing-masing. Sean melirik arloji hitam bermerek Rolex, yang merupakan merek terkenal di dunia yang selalu menyajikan harga-harga fantastis untuk karyanya. Buka tanpa alasan, kenapa merek ini dibandrol dengan harga yang fantastis, itu karena kualitasnya yang benar-benar terjamin.
Sean menautkan dua alisnya yang tebal, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pantas saja, sejak tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi. Sean lupa jika ia sudah melewatkan jam makan malamnya. Itu karena pekerjaannya yang benar-benar menumpuk, sehingga pria itu tidak sempat meluangkan sedikit waktunya untuk makan malam.
Sean berjalan menuju dapur, ia ingin mengisi perutnya dengan makanan yang ada di sana. Sean mengernyitkan kepalanya tidak suka, ketika melihat Aderine yang asik melahap mie instannya.
"Belum tidur?"
Aderine hampir tersedak mendengar suara Sean yang berat dan terkesan dingin, yang tidak biasanya membuka percakapan di antara mereka.
"Iya. Soalnya lapar."
Aderine mempercepat makannya. Gadis itu tidak ingin berada di satu ruang dengan Sean. Satu hal yang selalu Aderine sembunyikan, entah mengapa ada satu perasaan yang membuat Aderine merasa takut ketika berhadapan dengan laki-laki itu. Aderine tidak tahu dari mana asal ketakutan itu. Intinya, ia merasa tidak mampu berdekatan dengan Sean.
Aderine segera meletakkan mangkok bekas mienya ke dalam tempat cuci piring ketika ia selesai menyantap mie tersebut. Dengan langkah cepat dan tanpa memedulikan Sean yang masih terdiam di tempatnya, gadis itu berjalan keluar dari dapur.
"Aderine."
Langkah Aderine terhenti ketika posisinya hanya berjarak satu meter dari pintu dapur. Aderine membalikkan badannya, dan menatap Sean dengan alisnya yang bertaut.
"Bisa nggak kamu membuatkan saya makanan seperti yang kamu makan tadi? Apa namanya? Ah, mie instan."
Aderine terpaku di tempatnya, baru kali ini ia mendengar suara Sean yang berbicara dengan nada yang sedikit halus padanya. Aderine menatap mata Sean, berusaha memastikan apakah itu benar-benar Sean, atau Sean yang tengah dimasuki roh malaikat. Dan ternyata itu benar Sean. Hanya nada suaranya yang sedikit berbeda, mungkin karena faktor lapar, tenaga pria itu sedikit berkurang.
Aderine hendak menolak, tapi mendengar bunyi perut Sean membuat gadis itu merasa tidak tega. Dengan berat hati, Aderine kembali berjalan mendekati kompor.
"Duduklah Dad, ehm ... Maaf Aderine bingung, harus memanggil Daddy apa. Tadi pagi, Dad―"
"Tetap panggil Daddy saja, saya juga belum nemuin panggilan yang tepat untuk kamu berikan ke saya," potong Sean lalu mendudukkan dirinya di kursi yang tadi diduduki oleh Aderine. Aderine hanya mengangguk, dan segera menyiapkan apa yang suaminya itu pinta.
Sean terus memperhatikan wajah Aderine yang tampak serius. Entah sejak kapan, ia merasa damai melihat wajah istrinya tersebut. Barangkali karena ia teringat dengan Rihanna, yang selalu menyiapkan segala kebutuhannya meski hari sudah cukup larut. Tidak mungkin jika alasannya merasa damai melihat wajah Aderine, karena ia mulai menyukai gadis itu.
-Tbc
Lanjut atau enggak? Harus jawab, kalau pengen lanjut!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top