FDBH | 3. He is So...

Komen yang banyak dong, biar semangat upnya

**

Pagi harinya, Aderine terbangun dengan kondisi yang sedikit janggal. Bagaimana tidak? Semalam, sebelum ia jatuh tak sadarkan diri, rasa sakit di kepalanya sungguh luar biasa, namun sekarang rasa sakit itu seakan hilang tak berbekas. Anehnya, Aderine merasa tubuhnya sangat bugar, seakan ia tidak pernah merasakan sakit.

Aderine segera bangkit dari posisi duduknya dan segera menunaikan rutinitas paginya. Posisi matahari sudah sedikit tinggi, itu berarti siang semakin datang. Jam dinding di kamar Aderine pun sudah menunjukan pukul setengah tujuh, dan nanti tepat pukul delapan Aderine memiliki kelas kuliah.

Tidak membutuhkan waktu lama, untuk Aderine bersiap-siap. Dengan setelan sweater bewarna coklat dan jeans berwarna biru dongker, Aderine keluar dari kamarnya dan langsung menuju meja makan. Di sana, sudah ada Sean dengan wajah datar dan aura dingin―yang selalu melengkapi penampilannya―tengah menikmati santapan paginya.

"Pagi..." sapa Aderine seperti biasanya, dan seperti biasanya pula Sean tidak menjawab sapaan itu.

Aderine yang sudah terbiasa pun bersikap tak acuh, ia juga malas memulai pembicaraan dengan laki-laki berwajah datar dengan sikap yang sedingin kutub utara itu. Sehingga suasana di meja makan terasa hening. Biasanya, Rihanna yang akan memulai pembicaraan di antara mereka, dengan membuat guyonan-guyonan yang akhirnya menimbulkan tawa. Namun, semenjak kepergian Rihanna dua hari yang lalu, suasana di meja makan terasa hening.

Aderine sempat berpikir, kenapa laki-laki yang kini sudah berstatus sebagai suaminya itu tidak pernah―hampir―sekalipun tersenyum pada dirinya?

Aderine tidak berharap lebih, bisa mendapat perlakuan hangat dari Sean. Karena dia sepenuhnya sadar siapa statusnya sekarang. Bahkan statusnya sekarang, lebih buruk dari pada anak angkat. Ya, dia hanya istri yang tidak diinginkan. Er, status yang terdengar sangat menyedihkan, bukan?

Aderine sering melihat senyum Sean, tapi itu bukan senyum yang ditujukan padanya, melainkan pada Rihanna. Sikap Sean pada Rihanna dan sikap Sean pada Aderine berbeda 180 derajat. Sean selalu bersikap hangat pada Rihanna, namun tidak pernah bersikap hangat pada Aderine.

Kenyataan yang sampai saat ini berusaha Aderine tampik, Sean seratus kali lipat jauh lebih tampan saat dua sudut bibirnya terangkat, walaupun itu hanya beberapa mili saja. Aderine sangat menyayangkan Sean yang tidak mau mengangkatkan sudut bibirnya, barang sedetik pun padanya itu. Benar-benar laki-laki dingin nun arogan, yang sangat pelit. Aderine bersumpah, orang pelit kuburannya bakal sempit!

Semahal apa emang senyum laki-laki satu itu? Apa semahal harga tas Hermes?

Omong kosong!

Aderine menghela napasnya kasar, setelah ia menyadari apa yang telah dipikirkan otak cantiknya itu. Bisa-bisanya ia memikirkan laki-laki yang sama sekali tak mau meliriknya. Aderine sudah mewanti-wanti hatinya agar tak jatuh pada pesona laki-laki es balok itu. Ia harus ingat, jika Sean hanya untuk ibu angkatnya, Rihanna. Statusnya sekarang ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibu angkatnya itu.

Tidak mau berpikir terlalu jauh, dengan segera Aderine mengambil selai coklat dan dua helai roti untuk ia jadikan sebagai santapan paginya.

"Dad," panggil Aderine pelan. Gadis itu baru teringat sesuatu, dan ia perlu membahasnya dengan Sean, meskipun Aderine malas bersua dengan lelaki payah itu.

Sean tidak menjawab, hanya menolehkan kepalanya pada Aderine sekilas.

"Aderine baru ingat, kalau hari ini ada pertemuan orang tua di kampus. Apa Daddy bisa menghadirinya?" Suara Aderine memelan di akhir kalimat, gadis itu tidak yakin kalau Sean mau meluangkan sedikit waktunya untuk menghadiri pertemuan orang tua di kampusnya.

Melihat keterdiaman Sean, membuat keyakinan Aderine semakin meningkat tentang Sean yang akan menolak menghadiri pertemuan itu.

Sean sendiri masih diam, ia mengelap sudut bibirnya yang terkena selai coklat dengan serbet kecil menyerupai sapu tangan yang pria itu ambil dari atas meja makan. Sean menatap Aderine.

"Pertemuan? Untuk apa? Bukannya orang tua tidak perlu ikut campur soal urusan kampus gitu? Kan orang tua harusnya sudah lepas tangan. Sejak kamu masuk ke kampus itu, semua masalah kamu, menjadi tanggung jawab kamu sendiri." Sean menyela heran. Hal yang membuat Aderine lamgsung terbatuk dibuatnya. Aderine kaget karena suaminya itu merespon.

Buru-buru, gadis itu menegak isi air dari gelas yang dipegangnya hingga tandas tak tersisa.

"Gini Dad, kan kampus ngadain program baru, program ini supaya setiap fakultas di kampus Aderine nggak tertinggal, supaya pembelajaran juga lebih bagus, ada tempat buat praktek atau semacamnya gitu, nah programnya itu butuh dana gede. Awalnya udah buat kesepakatan kalau per mahasiswa atau mahasiswi harus ikut iuran, tapi ternyata hasil iurannya nggak cukup, malah nggak nyampe setengahnya. Habis itu, dari kampus ngadain rapat dong sama mahasiswanya, ada yang kasih saran buat ngadain pertemuan orang tua, terus kampus sepakat buat ngadain semacam pertemuan orang tua gitu dong, siapa tahu ada yang mau jadi donaturnya. Kampus Aderine kan kekurangan donatur itu, bukan kampus negeri juga, jadi ya gitu deh," jelas Aderine. Membuat Sean menganggukkan kepalanya.

"Daddy mau kan datang?" Tanya Aderine dengan ragu. Takut kalau Sean ternyata tidak mau menghadirinya. Biarpun acara itu memang tidak wajib dihadiri, tapi mengingat bahwa dirinyalah si mahasiswi yang memberi usul, akan sangat malu untuk Aderine kalau teman-temannya tahu tidak ada yang mewakili dirinya.

"Jam berapa?"

"Sepuluh. Selesainya nggak tahu."

Sean hanya diam, tidak mengangguk ataupun berbicara, dan itu semakin menyakinkan Aderine jika Sean tidak mau menghadiri pertemuan tersebut.
Sembari meletakkan gelas kosongnya, Aderine melirik Sean.

"Nggak masalah kalau Daddy nggak ada waktu buat menghadirinya," ucap Aderine.

Sean masih diam tak berbicara, namun kali ini ia mendekatkan tubuhnya pada tubuh Aderine. Hembusan napas Sean yang khas, merasuk memenuhi indra penciuman Aderine, membuat bulu-bulu tubuh Aderine seketika meremang.

Heh, ini hantu ya? Kok bulu kuduk gue tiba-tiba berdiri? Aderine membatin.

Gadis itu terpana melihat wajah Sean dari jarak yang begitu dekat dengannya. Demi Tuhan! Sean terlihat sangat tampan. Mungkin Sean laki-laki tertampan yang pernah Aderine lihat. Ah, Aderine pernah mengatakan ini. Ia sudah mengatakan itu berulang-ulang, sampai kepalanya mau pecah memikirkan kata-kata yang hanya terpikirkan oleh otaknya dan tak mampu diucapkan oleh bibirnya itu.

Bulu matanya yang tebal serta tatapan matanya yang tajam, membuat siapapun tak mampu bergeming dari tempatnya. Dalam hati Aderine mengagumi ketampanan Sean. Ya, untuk sementara ini, Aderine hanya mampu mengagumi ketampanan Sean dari dalam hati dan pikirannya.

Namun, beberapa detik kemudian Aderine menyadari perbuatannya. Beberapa kali Aderine memanjatkan maaf pada ibu angkatnya, karena berani-beraninya telah memuja ketampanan Sean. Aderine tidak boleh jatuh dalam pesona Sean! Tidak boleh! Sekali tidak boleh, tetap tidak boleh!

"Apa kamu mau saya menghadirinya?" Tanya Sean berbisik di telinga Aderine, meskipun dengan nada berbisik tapi nada suara yang Sean keluarkan terdengar mengintimidasi.

Saking gugupnya Aderine tidak berani menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya dengan cepat. Hanya satu kali anggukan kepala.

"Saya punya syarat yang harus kamu penuhi. Jangan pernah panggil saya Daddy! Saya bukan ayah kamu. Sekarang. Saya. Suami. Kamu!" ucap Sean lagi dengan penekanan di empat kata terakhirnya. Bibirnya mengulas sebuah senyuman. Amat manis hingga rasanya Aderine mau meleleh.

"Jangan melamun, jika kamu tidak ingin ada setan yang memasuki tubuh kamu." Entah mengapa laki-laki itu bisa mengeluarkan candaanya, namun karena suaranya yang terdengar datar, malah tidak membuat Aderine merasa itu sebuah candaan melainkan sebuah hinaan.

Sean menjauhkan tubuhnya dari Aderine, lalu mengambil jas kerjanya yang tersampir di kursi dan langsung mengenakan jas kebanggannya itu. Setelahnya Sean langsung melenggang pergi tanpa kembali berucap, meninggalkan Aderine yang masih dalam mode keterpukauannya.

"Sadar Aderine, apa yang kamu lakukan? Jangan terpesona! Jangan terpesona!" Gumamnya setelah tersadar dari keterpukauannya tadi. Tidak mau memikirkanmya lebih lama, Aderine segera menyantap sarapannya yang hanya tinggal beberapa gigitan itu.

Aderine tahu, cepat atau lambat hatinya pasti memberontak dan memaksanya untuk memiliki si Tuan Es Balok. Logikanya mengatakan kalau ia mau jatuh hati pada Sean, tapi hatinya sangat sulit untuk diprediksi. Ia mulai was-was dengan kata pepatan yang menyebutkan kalau, 'Cinta datang karena terbiasa.'

Aderine mulai takut. Ia tidak mau membuat kecewa Rihanna, meski Rihanna sendiri pernah bilang kalau ia hanya rela Sean bersanding dengannya. Aderine. Bukan wanita lain. Tapi ... Aderine belum menyiapkan mental yang kuat untuk menghadapi Sean.

Kepalanya mulai diisi oleh beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang tentunya sangat sulit untuk gadis itu temukan jawabannya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top