FDBH | 15. The Real Sean

Update lagi, seneng nggak kalian?

Btw, jangan lupa follow IG @delasinta_

***

Saat malam harinya, setelah kejadian sore tadi―lebih tepatnya saat makan malam berlangsung―Aderine, wanita itu kentara sekali jika tengah menjauhi Sean. Terbukti dengan cara makan Aderine yang terkesan tergesa-gesa.

Sean yang mengetahui gestur tubuh Aderine, pun mencoba tetap tenang. Pantas bila wanita itu takut padanya, atau mencoba menjauhinya. Ia dikira sebagai penyakit yang memang harus dijauhi. Ditambah lagi kata-katanya tadi yang jelas saja seperti sebuah ancaman. Semua jadi wajar kalau Aderine takut dengannya.

Sean sudah bertekad malam ini, untuk mengakhiri dramanya. Besok pagi, ia akan kembali menjadi Sean yang seperti sedia kala. Laki-laki itu terlalu muak harus berakting manis di depan Aderine. Ya, salahkan saja gengsinya. Sean terlalu menjunjung tinggi gengsinya.

"Makan yang benar, Sayang. Jangan cepat-cepat kayak gitu, nggak baik buat kesehatan kamu sendiri." Setidaknya, malam ini adalah kali terakhir Sean bermanis-manisan dengan Aderine. Sean akan benar-benar bertingkah layaknya lelaki yang penuh kehangatan. Tidak sulit melakukan itu, Sean hanya membayangkan wajah Rihanna dan ... boom! Ia bisa bersandiwara seakan dia bukan dirinya yang sebenarnya.

Tutur kata yang terucap dari mulut Sean terdengar begitu lembut, sangat jauh berbeda dengan yang selama ini Sean keluarkan. Begitu juga dengan perlakuan sosok yang mengaku bernama Leon ini begitu lembut dan penuh perhatian, padahal sore tadi Aderine bersikap ketus padanya.

Menggeleng pelan, Aderine sama sekali tidak menghiraukan titah Sean, ia terus mengunyah makanan yang ada di mulutnya dengan cepat. Berusaha agar makan malamnya tidak berlangsung lama, terlebih lagi ada jiwa gila yang duduk di sebelahnya.

Uhuk...

Pada akhirnya, apa yang Sean ucapkan benar terjadi. Istrinya itu tersedak. Buru-buru Sean menyodorkan segelas air putih pada Aderine. Gerakan itu spontan Sean lakukan, entahlah, hanya saja ia merasa sedikit khawatir.

Secepat kilat Aderine mengambil gelasnya dan menegak habis cairan bewarna bening tersebut. Sean mengelus punggung Aderine dengan gerakan lembut, "Tuh kan, nggak mau nurut sama omongan suami sih. Jadi keselek, beneran kan?"

Dia beda banget sama Kulkas. Dia benar-benar lelaki yang penuh perhatian. Batin Aderine bersuara. Menilai perlakuan yang Sean versi Leon berikan padanya.

Baper?

Aderine berusaha menekankan perasaannya sendiri agar tidak terbawa suasana oleh sosok itu. Ia akan disangka gila jika menyukai sesuatu yang sangat tidak nyata, terlebih lagi masyarakat luas menganggapnya―alter ego itu―sebagai sebuah penyakit yang harus dimusnahkan.

"Kamu bukan suamiku!" Tandas Aderine setelah tenggorokannya tak lagi terasa sakit. Sean hanya menyunggingkan seulas senyumnya.

"Iya, terserah apa yang mau kamu bilang. Bagi aku, aku ini suami kamu, dan kamu istriku. Meski nama yang terikat itu, bukan namaku." Sean mengelus puncak kepala Aderine memberi kecupan pada dahi wanita itu. Aderine diam tidak bergeming di tempatnya, matanya menatap kesal pada Sean.

"Aku udah bilang dari sore tadi, jangan sentuh-sentuh aku! Kamu itu penyakit. Kamu itu harus dimusnahkan!"

Sakit. Benar. Rasanya teramat sakit mendengar ucapan Aderine itu. Jika saja sosok itu benar-benar Leon, barangkali Leon akan merasa sakit. Ia juga memiliki hati. Jika disuruh memilih, dibanding tinggal di satu tubuh yang sama sekalipun itu seorang lelaki berwajah tampan, Leon lebih memilih menjadi sosok manusia seutuhnya meski fisiknya tidak sempurna. Ya, barangkali seperti itu yang akan Leon pikirkan.

Si alter ego itu, Leon, memang terlalu lemah dengan yang namanya cinta. Padahal, alter ego biasanya memiliki sifat dominan seperti arogan, keras kepala, bengis, egois, kejam, tidak berperasaan, bahkan ada yang tega membunuh orang lain. Ah tidak juga. Sebenarnya, ada beberapa jenis sifat alter ego di dunia ini. Namun, kebanyakan yang muncul malah memiliki sifat seperti yang telah disebutkan tadi.

Sean bergeming, ia melihat bibir Aderine yang sedari tadi komat-kamit tidak jelas membuatnya tergoda untuk mencicipi bibir itu lagi. Sean rasa tidak masalah jika malam ini ia kembali menuntaskan hasratnya, hitung-hitung Aderine masih menganggapnya sosok lain. Ia tidak akan gengsi melakukan itu.

"Benarkah? Apa aku memang harus musnah? Sayang sekali, padahal malam ini kita akan kembali menghabiskan malam yang panjang."

Sean mencengkeram erat dagu Aderine, membuat tubuh Aderine kaku. Aderine membaranikan diri menatap mata sosok bengis di hadapannya ini, Aderine merasa tidak asing dengan sosok itu.

"Jangan mimpi kamu. Aku jij―"

"Sst, jangan berbicara jijik jika kamu juga menikmatinya." Selanjutnya bibir Aderine sudah dibungkam oleh bibir Sean.

Sean akan melakukannya dengan cepat malam ini.

"Hei! Kamu menyakitiku! Hentikan." Aderine berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak ciuman Sean.

Sean tidak menyerah. Baginya, Aderine harus membayar apa yang dirasakannya. Menurut laki-laki itu, Aderine telah berani menggodanya, menggoda imannya yang entah mengapa sejak beberapa hari ini hanya sebesar biji jagung itu.

Sebenarnya Sean tahu jika ini bukan kesalahan Aderine, melainkan kesalahannya karena gampang tergoda. Padahal Aderine sendiri juga tidak melakukan apa pun yang dimaksudkan untuk menggoda dirinya. Hanya saja ego dan gengsi membuat laki-laki itu malu untuk mengakui.

****

Ketika pagi harinya, saat Aderine terbangun, Aderine sedikit dikejutkan dengan sosok yang masih memeluknya, namun sudah terbangun dari tidurnya itu. Tatapan matanya dingin, mengingatkan Aderine pada Sean. Atau jangan-jangan dia memang Sean? Tapi, Sean? Mau memeluknya? Tidak mungkin!

Tadi malam, Sean mengurungkan niatnya untuk kembali menggauli Aderine. Tepat setelah bayang-bayang Rihanna yang tengah menangis tiba-tiba masuk dan merasuki kepalanya. Nafsunya tiba-tiba mereda kala itu, ditambah lagi tangis serta rontaan Aderine yang tidak kunjung berhenti. Dan pada akhirnya Sean memutuskan untuk memeluk Aderine saja, tidak lebih.

"Leon, apa yang kamu lakukan! Aku mau bangun. Jangan peluk aku kayak gini, aku bisa terlambat ke kampus," ucap Aderine―masih dengan nada ketusnya.

Sosok yang tengah memeluknya itu malah terkekeh, memperlihatkan nada mencemoohnya. Dan lagi-lagi hal itu mengingatkan Aderine pada Sean. Ya, Sean memang sudah kembali pada dirinya sendiri bukan?

"Sebentar. Daddy hanya ingin berterima kasih pada kamu, berkat kamu saya bisa menguasai tubuh saya lagi," katanya yang membuat Aderine tidak mengerti. Tatapan penuh tanya Aderine itu, disadari oleh Sean.

Untuk sesaat Aderine terdiam. Mencoba mencerna ucapan laki-laki itu.

"Daddy? Oh, Daddy sudah kembali?" Aderine mengerjap, ia terkekeh pelan.

Pantas saja ia merasa sosok yang tengah memeluknya itu adalah Sean. Ternyata benar. Sebentar, apa tadi? Memeluk. Sontak saja Aderine merasa salah tingkah dengan posisinya saat ini.

"Em, Dad." Aderine bergumam tidak nyaman, Sean menyadari itu, tapi ia tidak berniat melepaskan pelukannya.

"Biarkan seperti ini untuk sebentar saja," kata Sean.

"Ma-maksudnya?"


"Ah, saya hanya butuh pelukan. Apa tidak boleh? Ngomong-ngomong saya minta maaf, ternyata alter ego saya itu sudah berbuat terlalu jauh terhadap kamu, termasuk kejadian beberapa tahun yang lalu." Sean tersenyum saat mengatakannya. Dalam hati ia berdecih, hanya kejadian kemarin malam yang ia lakukan pada Aderine. Selebihnya tidak.

Aderine masih tidak mengerti dengan ucapan Sean, ditambah lagi dengan kalimat yang barusan pria itu ucapkan. Kejadian beberapa tahun lalu? Kejadian apa?

"Selama saya pergi, mungkin banyak yang Leon lakukan pada kamu. Termasuk merenggut mahkota kamu. Semua itu benar-benar di luar kendali saya, tapi saya rasa tubuh kita sama-sama menikmatinya," ucap Sean lagi. Ia merasa dirinya sangat munafik.

Perlahan, semburat merah mulai menjalar, menghiasi paras cantik Aderine, wanita itu benar-benar merasa malu terhadap kalimat yang Sean ucapkan. Apa beberapa hari tidak menguasai tubuhnya, membuat laki-laki itu meninggalkan sikap dinginnya di lembah entah berantah? Sikap yang Sean tunjukkan itu, cukup ... ehm, manis?

Sebenarnya tidak juga. Mulai detik itu, Sean sudah bertekad akan merubah kepribadiannya menjadi lebih baik terhadap Aderine. Ah ya, Sean cukup senang saat ini. Ia menemukan satu fakta yang sepertinya bisa ia jadikan senjata untuk menghapus sisi lain darinya. Fakta terbaru yang Sean dapatkan tentang alter egonya adalah ketika Aderine menyakiti perasaan Leon atau barangkali harga diri Leon, alter ego itu akan melemah. Sean dapat merasakan bagaimana sisi itu hampir tak terasa dalam dirinya. Sean bisa merasakan bagaimana sosok itu tidak memiliki kekuatan. Hal itu membuat Sean senang bukan main.

Pemikiran itu muncul setelah ucapan Aderine semalam, ia merasakannya dengan jelas detik itu, tepat ketika Aderine menyuruh Leon untuk lenyap. Secara tidak langsung ucapan Aderine menyakiti Leon, dan kedudukan Leon semakin lemah. Secara tidak langsung pula, Leon tersugesti bahwa tidak ada yang menginginkannya di dunia ini.


Sean akan memanfaatkan keadaan, ia akan memanfaatkan Aderine untuk membuat Leon musnah dan tidak lagi menjadi parasit dalam dirinya.

Rencana yang bagus bukan?

Cepat atau lambat, Leon pasti akan menghilang dari tubuhnya. Ah, andai saja waktu itu Sean dapat mengontrol dirinya, barangkali alter ego itu tidak akan muncul.

Terlahir dari keluarga yang tidak harmonis dengan hari-harinya yang selalu diwarnai pertengkaran kedua orang tuanya, menciptakan trauma tersendiri bagi Sean. Barangkali orang luar yang tidak tahu, akan mengira bahwa keluarga Sean merupakan keluarga yang paling bahagia di dunia ini. Bagaimana tidak? Ketika awak media menyorot keluarga itu, hanya kebahagiaan yang terlihat, desas-desus mengenai pertengkaran kecil pun tidak pernah terdengar.

Sean yang hanya anak tunggal, harus menerima siksaan batin itu sendiri. Sean kecil merasa lebih baik dilahirkan di tengah-tengah keluarga sederhana yang dipenuhi kehangatan, ketimbang di tengah-tengah keluarga kaya raya yang bahkan bakal menjadikan dirinya sebagai pewaris utama dari seluruh kekayaan namun sama sekali tidak memiliki kehangatan.

Siksaan batinnya pun, tidak sampai di situ, setelah ia mendapat gelar strata satunya di jurusan bisnis, seluruh kendali perusahaan langsung di serahkan padanya. Bukan tanpa alasan, itu karena beban yang ia emban begitu berat. Banyak siksaan batin yang ia alami, siksaan yang membuatnya lemah. Bahkan, Rihanna, wanita itu tak dapat membuatnya menjadi lebih kuat, meski kata banyak orang cinta itu menguatkan.

Entah bagaimana, sosok itu―Leon―menjadi bagian lain dari tubuhnya. Sean menyadari ada sosok lain yang menguasai tubuhnya, pun bertepatan saat usia laki-laki itu menginjak angka 20. Lebih tepatnya saat Sean mencoba ke psikiater untuk mencari solusi atas keanehan dan hal-hal janggal yang terjadi padanya. Tapi Sean tahu, alter egonya sudah muncul sejak lama barangkali sejak ia masih kecil.

Pertama kali mengetahui perihal penyakit jiwa itu, Sean tentu saja kaget. Bahkan, ia sempat depresi. Sampai sekarang ini pun, sebenarnya Sean masih menjalani serangkaian terapi untuk menghilangkan alter egonya itu. Namun satu dekade lebih ia berusaha, usaha itu tak kunjung membuahkan hasil. Sean nyaris menyerah dibuatnya.

"Ke-kenapa Daddy malah berbicara seperti itu?"

"Berbicara seperti itu? Maksud kamu? Saya ngomong yang sebenarnya loh." Aderine mengangguk seadanya, ia kelewat malu. Bagaimana bisa mereka membicarakan hal itu?

―TBC―

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top