FDBH | 14. Crazy
Follow ig @delasinta_
***
"Ehm ... Dad, aku mau tanya. Apa boleh?"
"Tanya aja, kalau aku tahu jawabannya, aku pasti akan menjawabnya."
Dengan tatapannya yang saat ini sudah teralih pada Aderine, Sean menjawab. Seulas senyum yang sama sekali bukan kepribadian Sean, tampak terpatri pada wajah tampannya itu. Ah, Sean benar-benar berusaha merubah jati dirinya. Alasannya supaya tidak dianggap memanfaatkan keadaan, membuat laki-laki itu terus melakukan sandiwaranya. Entahlah sampai kapan ia melakukan itu. Tanpa Aderine sadari, ternyata jari-jemari Sean sudah bertautan dengan jari-jemarinya.
Aderine menghela napasnya, wanita itu masih belum menyadari kalau tangannya sudah berada dalam gengaman suaminya itu. Pikirannya sudah terpenuhi oleh keanehan-keanehan sikap Sean dari semalam, semenjak mereka melakukan kegiatan yang―ah, sepertinya tidak perlu dijelaskan karena itu tergolong kegiatan sensitif, yang seharusnya hanya diketahui oleh suami, istri, dan Tuhan saja.
"Apa maksud Daddy tadi siang?"
"Maksud Daddy yang mana, Sayang?"
Ah, bahkan laki-laki itu memanggil Aderine dengan panggilan 'sayang', yang ternyata sukses membuat kedua belah pipi Aderine bersemu. Gugup, Aderine menggigit bibirnya, membuat gerakan yang menunjukkan bahwa saat ini, ia tengah dalam fase salah tingkah, apalagi setelah menyadari tangannya digenggam oleh suaminya itu.
Melupakan fase salah tingkahnya, Aderine berusaha mengembalikan fokus pikirannya untuk mempertanyakan kembali kebingungan hatinya itu. Ia menarik gugup tangannya dari laki-laki yang saat ini tengah memamerkan seulas senyum menggoda ke arahnya itu.
Aderine fokus!
Aderine fokus!
Aderine fokus!
Berkali-kali Aderine berusaha menyugesti dirinya agar tidak memikirkan perlakuan Sean yang kelewat manis itu.
"Kok pipinya merah gitu? Baper ya sama aku? Kalau udah baper, bentar lagi pasti jatuh cinta. Iya, kan?" Sean kembali bersuara, ia mengedipkan sebelah matanya seolah menggoda Aderine. Meski begitu, hati Sean mengeluarkan umpatan, ia sedikit jijik dengan apa yang dirinya lakukan.
Aderine semakin salah tingkah dibuatnya. Ini kali pertama Aderine merasakan gejolak aneh di hatinya, atau ... barangkali dia pernah merasakan gejolak aneh itu namun ia tidak menyadarinya.
"Yah, istri aku yang cantik ini malah diem. Kita bicaranya sambil aku jalananin mobil ini aja ya? Kalau kita nggak jalan-jalan, takutnya mobil ini bakal ngalangin jalan, eh sebelum itu sabuk pengamannya di pasang dong. Atau mau aku yang pasangin?" Sean menatap lekat Aderine, bibirnya tersenyum simpul, senyum yang sebenarnya lebih terlihat seperti seringaian. Aderine menggeleng cepat, dan segera memakai sabuk pengamannya.
Aderine baru sadar, jika mobil suaminya masih terparkir di depan gerbang kampus. Kemudian, Aderine hanya mengangguk kaku tanpa mengeluarkan suaranya. Rupanya wanita itu masih merasa bingung dengan sikap suaminya yang tiba-tiba aneh itu.
Perlahan mobil yang dikendarai Sean itu pun melaju, membelah jalanan ibu kota yang tampak ramai karena sudah memasuki jam pulang kantor.
Aderine mulai menyadari sesuatu hal lagi, sosok Sean itu termasuk orang yang gila kerja. Sangat jarang ayah angkat yang sudah berstatus sebagai suaminya itu, pulang dari kantor sebelum pukul tujuh malam. Dan ini? Jangankan jam tujuh malam, jam kantor pun belum berakhir. Jam kantor biasanya akan berakhir pada pukul lima nanti, dan sekarang ini waktu masih menunjukkan pukul 04.48, Aderine juga yakin, membutuhkan waktu sedikitnya setengah jam―jika tidak terjadi kemacetan―untuk Sean sampai di kampusnya.
Oh Gosh! Aderine juga baru sadar, kalau suaminya itu sudah bolos kerja. Tadi siang Sean masih menungguinya hingga bangun tidur, bahkan sempat mengantarnya ke kampus. Apa laki-laki yang tengah menyetir di sisinya itu benar-benar suaminya?
Sangat tidak mungkin seorang Sean Leonard yang gila kerja itu, mau membuang waktunya cuma-cuma, hanya karena dirinya. Terlebih lagi hanya untuk menungguinya sampai bangun tidur dan menjadi sopir, yang terkadang untuk menatap wajahnya saja Sean sangat malas.
Kemudian ingatan Aderine berkelana pada saat di mana ia berpikir, bahwasanya Sean memiliki alter ego.
Apa mungkin?
Semua pemikiran itu kembali muncul lantaran Aderine kembali melihat tanda-tanda kepemilikan alter ego yang muncul dari diri Sean. Seperti yang pernah dibacanya pada beberapa artikel, di sana menyebutkan jika ciri terkhas dari seorang alter ego, ialah sikapnya yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari sikap sehari-harinya. Dan Sean sudah menunjukkan ciri itu. Bahkan, tadi siang pria itu memanggil dirinya dengan nama Leon, bukan Sean.
Barangkali karena nama belakang Daddy ada unsur Leonnya. Leon dari nama Leonard. Ucap batinnya yang berusaha berpikir positif.
Aderine tidak salah berpikir bahwa Sean yang berbeda itu adalah alter ego. Namun Aderine salah bila mengira sosok di sisinya itu, bukanlah suaminya. Karena nyatanya dia memang Sean. Sean Leonard. Hanya saja laki-laki itu tengah bersandiwara saat ini.
Aderine melirik pada laki-laki yang duduk di kursi kemudi sampingnya itu, laki-laki itu tampak santai, bahkan terdengar siulan panjang dari mulutnya.
"Sayang, bukannya kamu tadi mau nanya sesuatu. Kamu mau nanya apa?"
"Siapa kamu?" Rupanya Aderine tidak bisa menuruti dewi batinnya untuk berpikir positif.
Aderine terlanjur curiga dengan segala tingkah polah suaminya itu. Aderine mengerutkan keningnya bingung, pasalnya laki-laki yang ia jadikan sebagai objek pertanyaan itu malah tertawa.
"Aku suami kamu, siapa lagi memangnya?"
"Kamu beda dari Daddyku."
"Ya beda lah, karena aku memang bukan dia," ucap Sean. Sekilas Sean menolehkan kepalanya pada Aderine, kemudian kembali fokus pada jalanan.
"Hah? Maksudnya?"
"Maksudnya? Kok masih nanya apa maksudnya? Ya udah, aku perjelas lagi. Aku Leon Leonard, bukan Sean Leonard. Bagaimana? Sudah jelas? Apa masih kurang?" Tangan laki-laki itu mampir pada puncak kepala Aderine dan mengajak gemas rambut Aderine.
Aderine masih mematung di tempatnya, bukan hanya bingung saja yang ia rasakan, namun sangat bingung. Apa ayahnya itu tengah bercanda? Mencoba membuat lelocon, yang barangkali akan membuat hubungan mereka lebih baik? Atau apa?!
Ingin rasanya Aderine berteriak, meminta seseorang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di otaknya. Ia menyerah untuk menerka-nerka, ia merasa dugaannya semakin kuat perihal Sean yang memiliki alter ego.
"Kamu bukan ayahku?! Lalu, Leon? Siapa Leon? Siapa kamu?!"
Dahi Sean seketika berkerut dalam, kemudian kekehan lirih terdengar dari mulutnya, "Rupanya kamu udah lupa sama kata-kataku tadi siang. Bukannya aku udah bilang kalau aku Leon, dan tolong panggil aku dengan nama itu. Aku juga minta sama kamu, lupain Sean! Sean udah tidur tenang. Seharusnya kamu lebih seneng sama aku, karena aku selalu memperlakukan kamu dengan manis, beda halnya sama yang dilakuin Sean. Kamu juga harus bersyukur, karena si Sean itu bakal pergi, dan akulah orang yang akan membuat kepribadian utama tubuh ini hilang!" Sean sebenarnya merasa kesal sendiri berbicara demikian. Tapi egonya menyuruh Sean untuk seperti itu, Sean terlalu gengsi mengakui bahwa ia menikmati apa yang telah terjadi semalam.
"Kamu ... kamu―"
Aderine tak mampu berkata-kata. Terjawab sudah kebingungan-kebingungannya selama ini. Ternyata benar, Sean suaminya memiliki kepribadian lain.
"Bukan! Kamu bukan orang, kamu itu penyakit! Seharusnya kamu yang menghilang, bukan Ayahku!" jerit Aderine setelah mulutnya mampu melaksanakan instruksi dari otaknya.
Raut wajah Sean seketika berubah datar, tapi dalam hati Sean tersenyum senang. Sean segera menepikan mobil miliknya itu, ia cukup tahu kalau pembicaraannya dengan Aderine akan berlangsung lama. Kecuali jika ia bisa membungkam mulut wanita itu.
"Ya, terserah apa katamu." Kini Aderine merasa jika Sean memang Sean. Laki-laki itu sudah kembali pada aslinya. Yaitu, hobi berbicara tanpa intonasi.
"Maksudnya? Hei, jangan aneh kamu! Aku hanya bertanya. Tidak lebih. Kalau kamu tidak suka ya sudah, jangan ngegas bisa?!" Aderine merasa tidak suka dengan jawaban Sean.
Sean berdecih. Ia mendadak kesal dengan wanita yang duduk di sampingnya ini. Mentang-mentang dirinya berperan bukan sebagai Sean, tapi dia berani bertingkah tidak sopan padanya. Benar-bebar menyebalkan.
"Apa ucapanku tadi kurang jelas? Aku memang bukan Sean. Kalau perlu. Kamu bisa pergi dari sisi Sean. Bercerai darinya, dan jangan berharap lebih darinya. Selamanya Sean tidak pantas untuk kamu Aderine." Suaranya terdengar datar. Seulas senyum sinis terpatri di wajah tampannya.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top