FDBH | 11. Double J

BAGIAN 11. Jenuh dan Jatah

“Ayang Aderine, kemarin kok tega sih, ninggalin Ayang Alden di restoran? Padahal, Alden udah dandan maksimal loh, udah kayak eksekutif muda. Sampe-sampe, Alden harus ngehabisin parfum mahal Alden, biar tampil maksimal di hadapan Ayang Aderine.”

Suara gerutuan bernada manja yang keluar dari mulut Alden lah, yang menyambut gendang telinga Aderine ketika memasuki kelasnya. Kemarin, Aderine memang sengaja pergi meninggalkan Alden yang nyatanya baru memperbarui penampilannya.

Aderine mendengkus lirih, merasa kesal dengan panggilan yang tersemat di depan namanya itu.

Naima yang berdiri di samping Aderine pun, sudah menahan tawa dengan menutup mulutnya agar tidak meledak dan justru membuat sahabat sehati dan sejiwanya―Aderine―marah besar padanya.

Naima benar-benar geli mendengar nama panggilan yang ditujukan Alden pada sahabatnya itu, terdengar sangat menjijikan. Tapi, mungkin hal itu tidak berlaku untuk beberapa orang, yang mendapat julukan generasi micin. Dan Alden merupakan satu di antara sekian manusia, yang memiliki gelar generasi micin di belakang namanya.

Drama menggelikan antara Alden dan Aderine itu, pun sudah disaksikan oleh beberapa pasang mata. Tidak satupun dari mereka yang menyaksikkan drama menggelikan itu, tidak tertawa. Bahkan ada salah satu dari mereka yang tertawa sampai terpingkal-pingkal.

Aderine memeloti teman-teman semata kuliahannya itu dengan garang, yang seketika membuat mereka membungkam mulutnya. Aderine memang terkenal menyeramkan jika marah, sehingga hal itu menjadi pertimbangan teman-teman semata kuliahan Aderine untuk membungkam mulutnya.

“Salah sendiri, lo bikin malu gue.” Aderine membalasnya dengan cuek.

Alden menatap takjub, bikin malu apanya? Orang, kemarin itu Alden hanya berteriak di dalam restoran―lagipula itu restorannya sendiri―sambil berkata, ‘Aderine Jiyana Gue cinta sama lo. Lo mau kan jadi pacar gue?’ Dan juga ‘Lo pokoknya harus mau jadi pacar gue!’

Itupun tidak hanya Alden ucapkan sebanyak satu kali saja, melainkan berkali-kali hingga membuat Sean si wajah datar itu, merasa ingin muntah mendengarnya. Karena menurut Sean apa yang diucapkan oleh Alden, terdengar sangat berlebihan.

Kalau hal itu menurut Alden adalah hal normal, tapi tidak menurut Aderine dan juga Sean tentunya. Hal itu sangat jauh dari kata normal. Barangkali bagi beberapa orang, mereka merasa hal itu adalah hal teromantis yang seorang laki-laki lakukan untuk membuktikan cintanya.

Alden dengan segala tingkah gilanya, sudah seperti Patrick Star dalam kartun populer berjudul Spongebob Squarepants. Sosok bintang laut yang memiliki segala tingkah gila, yang terkadang akan membuat sosok lainnya naik darah. Oh, jangan lupakan juga Patrick yang terkadang bertingkah jorok dan pemakan segala. Termasuk rumah nanas Spongebob, untung saja Patrick tidak memakan rumahnya sendiri. Bisa habis gigi bintang laut gila itu.

Tapi, apa pun itu, semua sikap seseorang jika sudah menyangkut sesuatu yang dicintainya pasti berubah. Bisa jadi lebih baik, bisa jadi lebih buruk. Tergantung objek yang dicintainya.

Dulu sekali, sikap yang Alden tunjukkan tak ubahnya seperti Sean. Dingin dan tidak tersentuh. Namun, sikap itu seketika menghilang ketika pertemuannya dengan Aderine beberapa tahun silam. Apa yang selama ini Alden lakukan, semata-mata untuk menarik perhatian Aderine. Sulit sekali berinteraksi dengan gadis satu itu. Andai saja Alden tidak membuat masalah pada Aderine, pastinya Aderine tidak mau berbicara dengan pemuda yang usianya berjarak satu tahun dengannya itu.

“Abang Alden nggak bikin malu loh ya, itu tuh romantis. Mana ada cowok yang mau teriak-teriak bilang cinta kayak aku? Enggak ada kan? Kamu seneng banget becandain aku,” ucap Alden setengah terkekeh.

Pemuda satu itu ternyata sudah merubah cara panggilannya yang semula ‘ber-lo-guean’ menjadi ‘ber-aku-kamuan’, Aderine mendengus lirih mendengar ucapan Alden.

“Tempe ah, Den. Makin lama otak lo makin geser.”

“Tempe? Ayang Aderine mau tempe? Yah, sayangnya hari ini Alden cuma bawa coklat.”

Aderine kembali menghela napasnya, otak Alden benar-benar harus dicuci sepertinya.

Dalam hati Aderine berdoa, agar pemuda yang saat ini tertawa di hadapannya itu, segera diberi kenormalan oleh Tuhan.

Mboh, sak karepmu. Aku puyeng omong karo kowe.

****

Aderine menghempaskan tubuhnya di sofa, gadis itu terlihat sangat kelelahan. Pukul tujuh malam, ia baru pulang dari aktivitas dadakannya yang diprakarsai oleh sahabat cantik super bawelnya, Naima.

Belum hilang rasa penat Aderine dari jam kuliahnya yang baru selesai pukul dua siang tadi, sahabat cantik bin menjengkelkannya itu dengan tampang sok polosnya langsung menggeret Aderine ke pusat perbelanjaan. Dengan alasan, besok malam dirinya akan berkencan dengan sang pacar yang bernama Mario, dan gadis yang kerap disapa Naima itu sangat membutuhkan gaun baru. Oke, garis bawahi kata sangat membutuhkan. Padahal, kenyataan menyatakan bahwa Naima memiliki sejumlah gaun pesta, yang jumlahnya saja puluhan potong di lemari besarnya atau yang biasa disebut dengan nama walk in closet itu. Ah, lebih tepatnya walk in closet jadi-jadian. Karena sebenarnya gadis itu tidak memiliki walk in closet di tempat tinggalnya. Tidak mungkin juga Naima yang numpang di rumah tantenya, diberi fasilitas mewah oleh sang tante.

Hampir menghabiskan waktu empat jam untuk Aderine dan Naima berkeliling mall demi mencari satu buah gaun. Yang pada akhirnya, Naima tidak jadi membeli gaun baru tersebut.

Aderine marah? Tentu saja. Siapa yang tidak marah, jika beberapa persen waktunya habis sia-sia hanya untuk berkeliling di pusat perbelanjaan, padahal bukan dirinya yang ingin membeli sesuatu. Dan yang lebih parahnya lagi, sahabat yang meminta bantuannya dengan teramat sopan―setidaknya ungkapan tersebutlah yang dikatakan Naima―tersebut mengurungkan niatnya untuk membeli gaun yang digadang-gadang akan sahabatnya itu kenakan saat akan berkencan esok.

Mood Aderine yang semula sudah buruk karena Alden, semakin memburuk karena ulah tak mengenakkan Naima. Kembali dengan tampang sok polosnya, Naima hanya mengucapkan kata maaf. Belum lagi dirinya pasti akan menghadapi sikap ajaib Sean yang berubah sewaktu-waktu itu. Yang terkadang manis, dan terkadang pahit seperti rasa brotowali itu. Ibaratnya seperti jamu brotowali yang dicampur dengan es batu. Sudah pahit, dingin pula.

Suara tak mengenakkan yang berasal dari perutnya, pun tidak Aderine hiraukan. Gadis berkulit putih bersih itu, lebih memilih memejamkan matanya sekadar untuk menghilangkan rasa penat yang masih menguasai raganya itu.

Pikiran Aderine kembali bercabang, seharusnya Naima tadi mengajaknya makan terlebih dahulu daripada langsung mengantarnya pulang. Makanan memiliki pengaruh besar terhadap mood Aderine, terutama jika itu makanan yang memiliki cita rasa pedas. Dijamin, wajah mendung Aderine langsung berubah cerah.

Makanan pedas sebenarnya memiliki segudang manfaat, selain kandungan vitamin C yang berada di cabainya. Makanan pedas dapat mengurangi tingkat stres seseorang, dan hal ini sudah terbukti secara klinis oleh para pakar makanan.

“Ad, aku boleh minta sesuatu ke kamu?” Aderine mengerutkan keningnya. Mendadak merasa aneh dengan laki-laki itu. Tidak biasanya Setan, eh Sean maksudnya, meminta sesuatu padanya dengan terang-terangan.

“Apa?”Balas Aderine singkat. Terlalu malas lantaran tubuhnya yang terlalu letih. Bahkan, Aderine membalas ucapan Sean itu seraya memejamkan matanya.

“Boleh tidak aku meminta jatahku malam ini?”

Belum lima menit Aderine memejamkan matanya, suara berat Sean refleks membuat mata Aderine terbuka. Aderine menatap bingung Sean yang saat ini berdiri di hadapannya. Aderine menyadari ada perubahan ekspresi pada wajah pria, yang biasanya berekspresi dingin itu.

Sean yang ada di hadapannya, terlihat lebih segar. Terlihat lebih bergairah menjalankan hidupnya. Oh jangan lupakan kedua sudut bibir laki-laki itu yang tertarik ke atas, membentuk seulas senyuman yang membuat wajah Sean seratus kali lipat terlihat lebih tampan.

Namun, kata ‘jatah’ yang keluar dari mulut Sean, membuat Aderine tidak sempat mengagumi ketampanan sosok rupawan berusia 32 tahun itu. Otak gadis itu, lebih terfokus pada kata ‘jatah’ yang terdengar tabu di indera pendengaran Aderine.

“Jatah makan? Bukannya sudah dibuatkan Bibi? Kenapa minta ke Aderine? Aderine capek. Bukannya mau durhaka, tapi mau gim―”

“Bukan itu yang aku maksud, tapi ini...”

Sedetik kemudian, bibir seksi Sean membungkam bibir tipis Aderine. Yang dimaksud Sean, ialah jatah yang seharusnya ia dapat dari istrinya, sebagai sepasang suami istri.

―TBC―

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top