FDBH | 10. Akward Situation

Ada yang senang saya tiba-tiba update?

Masih saya tunggu reviewnya. Btw, bakal saya up di ig.

Oiya, follow ig saya ya @delasinta_

*

Aderine menatap tampilannya pada cermin, menilai apakah penampilannya sudah cukup rapi atau belum. Hari ini, bertepatan dengan 100 hari setelah meninggalnya Rihanna. Artinya, usia pernikahan Aderine dan Sean sudah menginjak usia tiga bulan lebih.

Aderine tidak menyangka. Ternyata, statusnya sudah tiga bulan lebih berubah menjadi istri seorang Sean Leonard. Tapi selama tiga bulan ini, tidak ada perubahan dalam hubungan mereka. Sean yang sikapnya sempat berubah manis pun, sudah kembali ke sikap semulanya.

Terhitung tiga hari setelah kejadian Aderine pingsan, sikap Sean kembali menjadi dingin, namun tidak sedingin saat sebelum Aderine pingsan. Dan anehnya, beberapa bulan belakangan ini Sean bersikap seolah ingin menghindari Aderine. Dan beberapa bulan belakangan ini pula, Aderine jarang bertegur sapa dengan Sean. Jangankan bertegur sapa, bertemu saja mereka jarang.

Sebenarnya Aderine merasa sedih karena hal itu, tapi ya sudahlah. Tidak ada gunanya ia meratapi nasib, ya ada ia akan semakin terpuruk. Kalau sudah terpuruk, kemungkinan terbesarnya adalah frustasi, stres, dan pada akhirnya melakukan tindakan anarkis, seperti bunuh diri misalnya.

Aderine menghela napas, lalu merapikan pasmina putih yang terpasang di kepalanya. Pasmina yang hanya ia sampirkan. Hari ini, rencananya Aderine akan berkunjung ke makam Rihanna. Ia sangat merindukan ibu angkatnya itu, bertahun-tahun hidup bersama Rihanna, membuat Aderine merasa jika Rihanna memanglah ibu kandungnya.

Perlakuan yang Aderine dapat dari Rihanna pun, sudah seperti perlakuan dari ibu kandung ke anaknya. Aderine tidak pernah merasa sedih ketika berdekatan dengan ibu angkatnya itu.

Aderine tidak menyangka, jika Tuhan mengambil ibu angkatnya secepat ini. Tapi, Aderine tidak bisa marah pada Tuhan, Tuhan mengambil Rihanna karena Tuhan lebih menyayangi wanita itu, Tuhan tidak mau membuat Rihanna merasakan sakit akibat penyakit ganas, tumor otak, yang menggerogoti tubuhnya.

Aderine mengambil tas slempangnya, kemudian berjalan keluar dari kamarnya. Setelah pintu terbuka, Aderine sedikit berjingkit kaget karena mendapati Sean yang berdiri tepat di depan pintunya dan tampak ingin mengetuk pintu.

Sean menurunkan tangannya yang masih menggantung di udara. Sean tampak canggung. Itulah kalimat pertama yang terlintas di otak cantik Aderine. Aderine pun sebenarnya juga merasa canggung. Beberapa hari tak saling bertegur sapa, membuat keduanya merasa tak nyaman berdekatan.

"Ehm, Daddy mau apa?" Tanya Aderine membuka suara.

"Ehm, saya ... bisakah kamu membuatkan makanan untuk saya?" Tanya Sean yang terdengar seperti nada perintah. Wajah datar Sean tampak aneh, sepertinya laki-laki itu tengah kelelahan. Terbukti dengan kantong mata Sean yang tampak menghitam. Aderine ingin menjawab, namun ia urungkan ketika melihat Sean yang hendak berbicara lagi.

"Saya lapar dan di dapur tidak ada makanan. Semua pelayan sedang ambil cuti seperti yang kamu ketahui, kecuali pengawal dan penjaga kebun. Saya ingin menyuruh mereka memasak, tapi saya takut kalau mereka malah membakar rumah ini."

Wow. Aderine tercengang. Baru saja pria yang sudah berstatus sebagai suaminya itu berbicara panjang lebar―menurut Aderine―dan entah mengapa jantung Aderine merasa berdebar melihatnya.

Aderine baru sadar jika Sean baru memangkas rambutnya. Dan, Astaga! Pria itu terlihat semakin tampan saja. Celana pendek selutut dan kaos polo bewarna hitam itu, begitu membuat Aderine terpesona. Untuk beberapa detik, Aderine tak mampu berkata-kata.

"Aderine, apa kamu bisa membuatkan saya sarapan?" Tanya Sean, terdengar datar memang. Tapi kesan yang ditimbulkan bisa dikatakan hangat―untuk ukuran Sean yang terbiasa menggunakan nada datarnya yang terkesan dingin.

"Ehm, sebenarnya Aderine bisa saja membuatkan Daddy makanan, tapi hari ini Aderine mau ke makam Mommy." Dengan canggung Aderine bersuara.

Sean tampak mengangguk. Namun dapat Aderine tangkap kalau laki-laki itu sempat kaget. Apa Sean lupa dengan hari ini?

"Nanti kita ke makam Rihanna bersama-sama saja, sekarang kamu buatkan saya makanan. Dari semalam saya belum makan, dan rasanya cacing-cacing di perut saya sudah mulai demo," ucap Sean yang kembali membuat Aderine tercengang. Hari ini Sean mendapat peningkatan lagi, yakni kalimat yang diucapkan pria itu sedikit bertambah lebih panjang.

"Lagipula masih pukul delapan, masih pagi juga," lanjutnya.

Andai saja Sean tidak menampilkan wajah datarnya yang memohon―yang malah terkesan aneh―Aderine pasti tidak mengiyakan permintaan suaminya itu. Bukannya Aderine mau durhaka pada suaminya sendiri, tapi ia masih merasa canggung. Gadis itu juga heran kenapa sikap Sean selalu berubah-ubah semenjak kepergian Rihanna seratus hari yang lalu. Seakan orang yang sudah berstatus sebagai suaminya itu, memiliki kepribadian ganda. Tapi, apa mungkin pria itu memiliki kepribadian ganda?

Rasanya sungguh tidak mungkin. Sean tidak memiliki orientasi untuk memunculkan kepribadiannya yang lain. Biasanya, kepribadian ganda atau yang juga dikenal dengan sebutan alter ego itu muncul karena pengalaman masa lalu―traumatis masa lalu―seperti korban kekerasan, pelecehan seksual, atau juga bullying yang hebat.

Ada beberapa tanda-tanda yang dapat mengidentifikasikan seorang penderita alter ego, salah satunya dapat ditunjukan oleh sikap dan perilaku yang berlawanan. Memang Sean sering menunjukkan sikap yang berlawanan, tapi mana mungkin pria yang bermasa depan cerah seperti Sean, yang masa lalunya juga terlihat cerah memiliki masa lalu yang kelam.

Berdasarkan pernyataan tersebut, sangat tidak mungkin Sean memiliki kepribadian ganda. Entah mengapa, memikirkan hal itu membuat Aderine tanpa sadar menyentuh jemarinya yang sudah dihiasi dengan cincin pemberian Sean.

Ia merasa aneh dengan cincin itu, inisial nama yang tertera di sana jelas bukan inisal nama Sean. Atau huruf 'L' itu untuk nama belakang Sean? Apa maksudnya Leonard? Mungkin saja, sekarang Aderine hanya bisa menebak, ia tidak mungkin menanyakan secara langsung pada Sean.

"Kamu melamun?" Sean menjetikkan jarinya di depan Aderine, membuat lamunan Aderine seketika buyar.

"Ah, iya. Daddy tunggu saja, aku akan segera membuatkan sarapan untuk Daddy," kata Aderine, lalu segera melangkahkan kakinya menuju dapur. Meninggalkan Sean yang masih terdiam di tempatnya.

"Kenapa gantian dia yang menghindari saya? Atau saya terlihat sangat aneh sekarang?" Gumamnya.

"Bodo amat, kenapa jadi mikirin dia? Nggak ada gunanya." Sean mengedikkan bahunya, lalu berjalan menuju ruang keluarga. Sepertinya, menonton televisi bisa menghilangkan rasa bosan saat menunggu Aderine menyelesaikan masakannya.

Sean merasa sangat lapar, tadi pagi ia hanya memakan dua helai roti tawar yang sudah ia lapisi dengan selai kacang, yang ternyata tidak bisa membuat cacing di perutnya berhenti memberontak meminta makanan.

****

Siangnya, Aderine dan Sean baru kembali dari tempat pemakaman. Mereka memutuskan untuk mampir di restoran. Jam makan siang yang sudah terlewat kurang lebih satu jam, membuat cacing-cacing di perut pasang suami istri itu berdemo meminta jatahnya.

"Pesan apa?" Tanya Sean singkat.

Sebenarnya kata yang Sean tanyakan itu tidak sesuai dengan EYD dan PUEBI, salah satu alasan yang menjadi penyebab kalimat itu tidak dibenarkan, karena pertanyaan itu tidak ditujukan pada siapa. Seharusnya, Sean menyematkan kata 'Aderine, kamu mau' pada kata 'pesan apa', atau setidaknya ia menyematkan kata 'kamu' dalam kalimatnya.

"Samakan saja," jawab Aderine tak kalah singkat.

Lo jual gue beli. Mungkin dari pepatah itulah Aderine belajar untuk membalas perlakuan Sean.

Sean hanya mengangguk dan segera memberitahu pelayan tentang menu yang dipesannya.

Sementara itu, di ambang pintu tampak Pangeran Tampan kita, yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi tengah berdiri dengan tampang bodohnya, lengkap juga dengan pakaiannya yang―terkesan aneh? Celana kolor pendek dengan kaos singlet bewarna putih, dan juga kakinya yang tidak mengenakan alas.

Alden Brawijaya, nama pria itu. Entahlah, apa yang dilakukan laki-laki itu di jam-jam seperti ini dengan pakaiannya yang luar biasa aneh.

"Maaf Mas, gembel dilarang masuk." Petugas keamanan yang bertugas, tampak menegur Alden. Mata Alden melotot menatap petugas keamanan yang dilihat dari penampilannya sudah berusia pertengahan empat puluhan tahun itu.

"Gembal-gembel. Saya bukan gembel, Pak Satpam!" ucapnya sewot.

"Kalau Mas bukan gembel, berarti orang gila. Lebih baik Mas segera pergi, jangan membuat keributan di sini, bisa-bisa nanti saya dipecat sama Bos saya."

Bapak Petugas Keamanan itu, tampak mendorong-dorong Alden keluar dari restoran. Jika ditanya Alden malu atau tidak, jawabannya adalah Alden sangat teramat malu. Meski begitu, Alden bersyukur karena dia tidak menjadi pusat perhatian pengunjung restoran tersebut.

"Pak! Saya bukan gembel! Saya pemilik restoran ini!" Kata Alden hampir berteriak, seketika petugas keamanan itu membuka mulutnya dengan lebar dengan matanya yang membola.

Laki-laki paruh baya itu, baru menyadari jika wajah orang yang dianggapnya sebagai gembel, sangat mirip dengan orang yang pernah mewawancarainya saat melamar kerja di restoran itu dulu.

Benar, Alden memang pemilik dari restoran itu. Biar tampangnya terlihat seperti berandalan, Alden sudah bisa meraih kesuksesannya di bidang kuliner. Terbukti dengan restorannya yang sudah memiliki tiga cabang. Tidak banyak memang, tapi sudah cukup bagus sebagai awal karirnya. Satu hal ini pula, yang melatar-belakangi kepercayaan diri Alden yang tinggi. Alden merasa mampu untuk membahagiakan Aderine nantinya.

"Mas ini, Mas Alden? Ya Allah, saya kira gembel Mas, mbok ya kalo berkunjung ke restoran itu pake baju yang rapi, paling tidak jangan nyeker Mas. Kan saya mikirnya Mas Alden ini gembel. Penampilan Mas ini aneh banget. Maaf ya Mas, saya beneran nggak tahu, jangan pecat saya, kalau saya dipecat nanti anak dan istri saya makan apa? Lagian, Mas juga sih, kenapa datang ke restonya pake nyeker?" Cerocosnya dengan cepat, saking cepatnya hingga membuat air liurnya muncrat mengenai wajah Alden. Alden menghela napas.

"Nggak usah dibahas lagi, mending kamu balik kerja. Saya mau ganti baju dulu," kata Alden tak mau memperpanjang masalah. Petugas keamanan itu mengucap terima kasih pada Alden dan memanjatkan syukur pada Tuhan karena bosnya itu tidak memecatnya. Kemudian, petugas keamanan itu pun pergi.

"Duh, gue kok bodoh banget ya? Pake lupa ganti baju lagi, mana ini kaki nyeker lagi. Cinta emang membutakan, menulikan, membisukan, mematikan seluruh saraf dan akhirnya buat gue kayak orang bodoh gini," gumamnya dengan wajah cemberut.

Alasan Alden melakukan inspeksi dadakan itu, karena saat Alden berada di teras rumahnya―yang berada tidak jauh dengan restoran miliknya itu―Alden melihat calon istrinya beserta calon ayah mertuanya, mengendarai mobil menuju restoran milik laki-laki bernama lengkap Alden Brawijaya itu. Melihat gadis yang ia daulat sebagai calon istrinya itu lewat, tentu saja Alden melakukan langkah seribu demi menarik perhatian sang pujaan hati.

Sekedar informasi, rumah Alden terletak di dekat gardu pos penjagaan kompleks perumahan mewah, yang juga ditempati Sean itu. Sementara restoran Alden terletak di luar kompleks, yang hanya berjarak kurang dari 100 meter dari gardu pos.

Alden sulit bertemu Aderine di hari minggu, kecuali kalau ia dan Aderine berpapasan saat lari pagi. Makanya saat melihat Aderine pria itu langsung meninggalkan kewarasannya dan mengejar pujaan hatinya itu.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top