FBDH | 17. After Kissing

Jangan lupa follow Wattpad saya juga ya DelaSinta

Makasih banyak ^^

***

Aderine berjalan kikuk seraya menyentuh permukaan bibirnya yang terasa kesemutan. Perempuan itu masih bisa merasakan bibir Sean yang merangkum bibirnya, ia masih bisa merasakan bagaimana cara Sean menciumnya dengan cara yang begitu lembut, ia masih bisa merasakan bagaimana rasa dari bibir Sean, ia masih bisa merasakan bagaimana detak jantungnya bertalu begitu cepat, ia masih bisa merasakan aroma maskulin yang menguar dari tubuh suaminya itu yang lantas membuat Aderine merasa seakan melayang untuk beberapa saat sebelum kesadaran merenggut kenikmatannya.

Menggeleng pelan, Aderine memutuskan untuk tidak memikirkan kejadian yang beberapa menit lalu terjadi padanya. Ia merasa kesal sekaligus malu, mengingat adegan ciumannya dengan Sean tadi. Dan hal itu juga membuatnya merasa salah tingkah dan tidak bisa untuk bersikap tenang.

Aderine mempercepat langkahnya menuju mobil sedan berwarna hitam milik Alden yang sudah terparkir di depan gerbang rumah Sean. Tanpa mengucapkan satu atau dua patah kata pun, Aderine langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Untung saja mobil itu tidak dikunci oleh pemiliknya yang berotak miring itu.

"Ih, Ayang kok lama banget keluarnya? Ngapain aja sih? Pasti dandan yang cuantik buat Ayang Alden yang guantengnya maksimal ini." Suara Alden menyapa gendang telinga Aderine ketika perempuan itu berhasil mendudukkan pantatnya di kursi empuk samping kemudi.

Alden dengan tampilan bak remaja masa kini. Meski usianya sudah tidak dalam masa remaja lagi. Celana denim berwarna biru dongker yang panjangnya hanya sebatas lutut laki-laki itu, yang lantas dipadu dengan kemeja kotak-kotak campuran warna merah dan biru berlengan pendek sebatas siku, yang keseluruhan kancingnya sama sekali tidak dikaitkan sehingga memperlihatkan kaos polo pas badan berwarna putihnya, yang siapa pun tahu bila kemeja itu dilepas, maka lekuk tubuh Alden yang berotot akan terpampang jelas. Sama seperti biasanya, rambut laki-laki itu dijambul. Terakhir, wajah tampannya yang mempesona tengah memamerkan seulas cengiran yang tertuju pada Aderine.

Aderine mendelik, ia merasa kesal mendengar kata perkata yang terlontar dari mulut Alden.

Cuantik? Guanteng? Bisa tidak, Alden menghilangkan kealayannya barang sebentar saja? Aderine menghela napasnya, sepertinya keputusannya semalam yang menerima paksaan Alden akan berakhir sebagai mala petaka untuknya. Bisa gila Aderine, jika selalu mendengar ocehan laki-laki yang usianya terpaut satu tahun lebih tua dirinya itu.

"Apaan sih, lo?! Jijik gue dengernya."

"Ih, ini Ayang Alden serius loh ngomongnya. Ayang Aderine lama keluarnya, pasti gara-gara dandan buat Ayang Alden. Buktinya itu, lips tick kamu belepotan. Kalau bukan karena buru-buru, karena apa coba?" Alden mengulurkan tangannya pada wajah Aderine, untuk menghapus area sekitar bibir Aderine yang dipenuhi dengan bercak lips tick perempuan itu. Gerakan tangannya begitu halus, memperlakukan Aderine dengan begitu baik, begitu pun dengan senyum Pepsodent laki-laki yang tak pernah luntur meski dijuteki sekali pun. Seketika Aderine mematung, ucapan Alden tersebut bagai petir di siang bolong yang menyambarnya. Itu bukan bercak lipstik karena dirinya yang berdandan dengan terburu-buru, melainkan bekas ... Aderine menggelengkan kepalanya. Otaknya secara otomatis membayangkan adegan ciumannya dengan Sean tadi.

Namun, ucapan yang keluar dari mulut Alden berikutnya malah membuat jantung Aderine seakan direnggut secara paksa. "Nggak mungkin, kan bekas ciuman? Ciuman sama siapa? Om Sean? Nggak mungkin, kan?" Alden menjauhkan tangannya dari wajah Aderine. Aderine menahan napasnya, ia khawatir kalau ternyata teman satu kampusnya itu mengetahui apa yang sudah Sean dan ia lakukan. Namun, kekehan khas Alden yang terdengar konyol, membuat Aderine berani menghela napasnya. Kekehan tersebut menandakan bahwa laki-laki itu tidak mengetahui apa-apa.

Wajah yang menyengir itu semakin membuat Aderine merasa lega. Syukurlah, Alden tidak pernah mempensiunkan mode positive thinking-nya, sehingga apa pun yang dilihatnya terlihat seperti hal yang baik dan benar, walau nyatanya tidak begitu juga.

"Lo bisa diem nggak? Suara lo tuh, bikin kuping gue berdenging tahu nggak? Gue nggak suka dengernya," ketus Aderine yang memilih untuk bersikap biasa saja.

"Oh ya, lo jangan berani-berani sentuh muka gue. Cuma suami gue yang boleh sentuh-sentuh gue nanti!" Ketus Aderine lagi seraya memakai sabuk pengamannya. Mendengar gerutuan dari sang pujaan hati, Alden malah terkekeh. Melihat wajah cantik Aderine ketika kesal, yang justru malah terlihat sangat imut seakan membuat Alden merasa gemas olehnya.

"Mungkin hari ini suara gue bikin lo kesel, tapi entah kapan, gue yakin cuma suara gue yang nantinya bikin lo tenang. Dan ya, gue lah laki-laki yang bakal jadi suami masa depan lo." Perkataan penuh percaya diri dari Alden Brawijaya itu membuat Aderine merasa kesal.

"Serah lo. Cepet jalanan ini mobil, gue nggak mau telat di mata kuliah Bu Wanda."

"Iya Sayangku. Makin cantik deh, kalau marah. Jangan buas-buas ya Sayang, buasnya nanti kalau udah di ranjang." Spontan, Aderine memukul lengan Alden. Matanya menatap tajam wajah laki-laki itu, "Nggak usah mesum. Atau gue cabein itu mulut?!" Ancam Aderine yang malah mendapat kekehan dari Alden.

"Ya jangan dong, Sayang. Kalau mulut ini kamu cabein, siapa yang nanti nyium kamu?"

"Sembarangan kalau ngomong! Jalanin nggak mobilnya?! Atau, gue cari tumpangan lain?!" Ancaman dari Aderine kali ini, mampu membuat Alden menghentikan godaannya dan segera menjalankan mobil sedannya itu. Bisa sia-sia usahanya mengirimi Aderine pesan sampai-sampai menghabiskan pulsa, kuota internet, serta tagihan wifinya yang membengkak, karena setiap malam selalu ia gunakan untuk mengirimi pesan dan stalker akun media sosial perempuan pemilik hatinya itu. Kalau Aderine lebih memilih kendaraan lain, sia-sia bukan pengerbonannya?

Pada akhirnya, mobil itu melaju membelah jalanan area kompleks perumahan elit itu yang tampak lenggang.

*****

Sean tersenyum menatap pantulan dirinya dalam cermin. Seulas seringaian tampak terpatri pada wajah datarnya.

"Merasa tertekan, kan? Di sini, sakit nggak?" Sean menunjuk dadanya yang masih terbalut kemeja, "Rasanya sakit kan? Langkah demi langkah, kamu akan menghilang dari tubuhku. Dan aku tidak akan tersiksa lagi gara-gara kamu lagi, Leon. Banyak kekacaun yang telah kamu perbuat, sampai-sampai melibatkan perempuan sialan itu." Suara itu terdengar begitu menusuk. Sean menunjukkan senyum pada dirinya yang tengah tersenyum sinis di dalam cermin itu.

"Kamu mau marah? Sayang sekali, kamu nggak bisa Leon. Bahkan untuk bersuara pun kamu tidak bisa. Kamu tahu? Hari ini aku ciuman sama wanita yang kamu cintai itu. Ciuman panas yang sangat memabukkan." Sean tersenyum mengejek pada pantulan dirinya sendiri. Dia memang tidak bisa berbicara dengan alter egonya sendiri, tapi Sean merasakan sebuah denyutan tak mengenakkan yang entah mengapa malah ia sukai. Sean yakin jika rasa itulah yang kini alter egonya rasakan.

Bukankah merasa sakit namun tak bisa beruat apa-apa itu adalah hal yang paling menyebalkan? Hadir bukan sebagai sosok manusia seutuhnya, membuat alter ego itu kerap bertanya-tanya bagaimana kehidupannya setelah dunia ini berakhir. Apakah ia akan tetap ada, bahkan meski ia tidak yakin jika Tuhan mau berbaik hati padanya. Namun, apa pun itu, keinginan Leon hanya satu. Ada seseorang yang mau menganggapnya ada, tanpa bayang-bayang seorang Sean.

Leon mungkin terdengar jahat, karena memilik niat untuk melenyapkan si pemilik tubuh yang asli. Tapi, bukankah Sean juga sama jahatnya dengan dia? Sean juga berniat melenyapkan dirinya.

"Kamu perlu tahu Leon, kalau Aderine udah ngebalas ciumanku, bahkan dia dengan suka rela duduk di pangkuanku. Dia juga mengalungkan lengannya di leherku. Kami berciuman dengan sangat panas, lebih dari lima menit kami melakukannya. Ya, kami sempat berhenti beberapa saat, karena kami kehabisan napas. Sayang sekali kamu tidak bisa melihat dan merasakannya, Leon." Sean terkekeh pelan, kekehannya terdengar sangat menyeramkan. Sebenarnya, apa yang diucapkan Sean itu tidak sepenuhnya benar. Ya, Sean sedikit melebih-lebihkan ucapannya.

Kebohongan Sean antara lain; Sean dan Aderine memang sudah berciuman, tapi Sean yang memaksa Aderine dan Aderine sama sekali tidak membalas ciuman Sean. Waktu saat mereka berciuman tidak mencapai lima menit. Aderine tidak duduk di pangkuan Sean karena keinginannya sendiri, melainkan laki-laki itu yang menarik Aderine ke pangkuannya. Dan terakhir, Aderine sama sekali tidak mengalungkan tangannya pada leher Sean.

"Kamu tahu, hal yang paling menyenangkan adalah, Aderine mulai mencintaiku."

Dapat Sean rasakan ada perasaan menohok yang menghantam hatinya. Kalimat terakhir yang terucap dari laki-laki dingin itu, seperti bom yang meledak tepat mengenai dirinya. Kedudukan Leon terasa semakin lemah dalam dirinya dan Sean merasa langkahnya sudah semakin jauh mendahului Leon yang hanya bergerak kurang dari satu inchi dari garis start. Sean merasa garis finish sudah semakin dekat untuknya.

TBC

Wah, wah, kesel sama siapa nih kalian?

Sama Alden yang makin hari makin alay?

Atau Sean yang makin hari, makin keliatan jahatnya?

Dukung siapa nih buat sama Aderine?

Sean?

Leon?

Atau si Mas Alden yang alaynya nggak ketulung itu?

Kalau suka, vote dan komennya dong. Biar makin semangat hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top