29. Asal Wae Idupna

CONTENT:
part yang serius tapi gak serius. aduh gimana ya?

sok weh dibaca jan forget bintang dan krisarnya tapi :D

--




"A-apasih? Jadi kamu tuh bukan Mark?"

Sosok pemuda dengan rahang keras itu mengangguk pelan, tak lama setelahnya terdengar bunyi tepakan diatas kening. Dan Chaeyeonlah pelakunya.

Chaeyeon benar-benar tidak menyangka jika Taeyong mempunyai 2 anak, kembar pula. Bagai buah pinang dibelah dua, yang satu agak mirip sang ibu, yang satunya campuran ibu dan bapak. Kalau mereka duduk berduaan, benar-benar seiras.

"Mending Mark dibotakkin deh, biar jadi kayak ipin." celetuk Chaeyeon bercanda.

Mark terkekeh kecil, "Gantengan gini, hehe. Kalo botak takut dikira aku TNI."

Chaeyeon tertawa pelan. Matanya masih sibuk menatap kedua kakak beradik yang berbeda 5 menit itu. Dilihat dari tinggi, memang tinggian Minhyung selaku adik. Namun jika dilihat dari tampangnya, memang lebih berwibawa Mark.

Keisha menghela napas, "Mas Taeyong udah tau, Mark?"

"Tentu belum. Yang ku tahu, dua hari yang lalu ayah mampir ke kuburan Minhyung."

Minhyung terkesiap, "Kok bisa itu ada kuburan gue?"

Mark mengangkat bahunya tak tahu. "Mungkin yang didalam kuburannya itu cuma guling."

"Semangat, kak. Bentar lagi lucu." cibir Minhyung sebal sebab selera humornya mereka berduaitu memang benar-benar berbeda. Lebih tepatnya, Mark itu anaknya garing.

"Ih, ngeselin!" Mark merengut sebal.

Chaeyeon mengembuskan napasnya kasar, wanita itu langsung menaruh ponselnya diatas meja dalam keadaan baru saja dimatikan. Ia memijat keningnya pelan, "Papah pulang lusa,"

"Ngapain sih. Sok sibuk dasar." sungut Keisha.

Chaeyeon tersenyum simpul sembari mengusak surai Keisha penuh sayang, "Kerja kali," lalu mengambil posisi berdiri. "Yang penting, gausah suudzon dulu. Udah, ya, mama ke atas dulu mau ke gudang. Kamu disini aja, ngobrol sama si kembar."

"Mama kapan mau ngobrol sama Mas Taeyong di WA?"

"Tunggu waktu yang pas aja kali, buru-buru juga gak bagus, Keisja. Kasian, Mas Taeyong." tuturnya. "Minhyung yang sabar, ya?" Chaeyeon tersenyum kecil membuat hulu Minhyung otomatis mengangguk pasrah.

Bohong jika dalam hati Minhyung tidak terbesit rasa bersalah pada si tulang punggung. Ia memang sedikit brandal dibanding sang kakak, tapi se-brandalnya dia, ia masih punya rasa berdosa. Umur terus berkurang tiap harinya, tapi dosanya masih terus bertambah.

Mark menepuk paha Minhyung pelan, "Kamu sayang ayah?"

"Banget. Apalagi kalo sama mama."

Mark tersenyum manis, ia sedikit lega bisa bersitatap dengan netra sang adik, sebab ini tidak lagi sebuah khayalan belaka.

  . . .

Angin berembus damai menyapu wajah Mark yang terlihat lelah bagai hidup di sangkar burung. Rambutnya terbang perlahan, jari lentiknya sibuk menari riang diatas meja, mengetuk-ngetuk hingga terdengar menjadi irama yang syahdu.

Tiba-tiba terdengar suara guntur. Padahal suasana masih cerah, membuat Mark bingung setengah jiwa. Yasudahlah, itu hanya skenario Tuhan. Mark bukan orang yang terpaku pada mitos-mitor warga di Indonesia.

Ia jadi rindu Kanada bukan main. Negara kelahirannya, negara dimana ia bisa merasakan kenikamatan hidup yang sejahtera.

Namun entah mengapa ketika ia berlabuh ke Jakarta, rasanya tak mau berpaling. Awalnya ia memang sudah berpegang teguh, bahwa ia hanya sekadar singgah. Namun, setelahnya ia berpikir. Ia tak butuh singgah disini, melainkan untuk sungguh.

Jeno, ia ingat pria itu. Termasuk dengan Herin, semuanya ia bisa dapatkan dengan sepetik jari yang menjentik.

Apalagi setelah ia bertegur sapa dengan Keisha dahulu di bandara. Hatinya seakan menghangat sejak netranya bertubrukan dengan mata Keisha.

Tiba-tiba rinai hujan turun, jatuh membasahi bumi. Senyumnya terukir indah, mengingat bahwa ia tak lagi sendiri disini.

Mark yakin, Taeyong akan senang bertemu dengan adiknya, Lee Minhyung.

"Mark,"

Mark berdeham. Ia tahu siapa sosok itu.

"Gue tunggu janji lo,"

Tak paham apa maksud dari pernyataan Keisha, Mark segera menoleh. Ia memasang raut bingung ditambah herannya itu, membuat Keisha tertawa kecil seraya menatap kosong rintik hujan yang turun.

"Kalo bener lo cinta sama gue, cukup lamar gue di depan ayah bila siap."

Hati Mark seolah dihantam oleh batuan yang keras. Jantungnya seolah tak mau untuk berdetak, terlalu bahagia, karena ia tahu bahwa Keisha adalah wanita yang butuh bukti, bukan lagi janji.

"Eum ... M-Minhyung, gimana?"

Keisha mengangkat bahunya, "Gak tau," lalu tersenyum. "Bersainglah secara sehat."

Mark mengangguk kecil. Ia bahagia bukan main.

💐

Dua hari kemudian, kami sekeluarga tengah menikmati hasil masakan yang baru saja Mark buat. Kali ini, lima kursi terisi penuh untuk aku, Jisung, mama, Mark, dan Minhyung. Meski sudah berkumpul seperti ini, rasa canggung masih menggerogoti antara aku dengan Minhyung.

Ini benar-benar kelewat canggung. Mana aku dan Minhyung bersebelahan, seakan lupa bila kita sudah menjadi sepasang kekasih.

"Keisha, dimakan atuh makanannya. Jangan cuma diplototin doang," sahut mama.

Jisung pun ikutan berkomentar, "Dikira pajangan kali, ya."

"Komen aja kamu, dek!" gerutuku kesal pada Jisung yang sibuk meledekku. Jisung justru membalasnya dengan cibiran, membuatku semakin geram.

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang hinggap diatas pahaku seraya menepuknya pelan, seperti mengisyaratkan agar aku lekas bersabar. Aku menoleh, rupanya itu tangan Minhyung.

Aku tersenyum kecil, lalu mengambil sendok dan mengisinya dengan sebongkah nasi kemudian memasukannya ke dalam mulutku.

Aku mengunyahnya pelan, tak lama setelah itu Mark datang membawakan 6 buah gelas berisi teh manis hangat.

Ia duduk disamping Minhyung, seraya menaruh gelas-gelas tersebut di hadapan kami.

Mama tersenyum, "Malem ini ayah pulang, sama Mas Taeyong juga bakal delay sekitar pukul 4 sore nanti." ucapnya.

Mark bertanya, "Apa bener, Om Jaehyun tiu benar-benar ada urusan?"

Mama mengangguk. "Bener kok, Jaehyun ngasih fotonya kalo dia lagi meeting buat ngomongin saham perusahaan."

Mark mendongak, ia berdeham, dihiasi oleh sebuah senyuman canggung sebagai balasannya. "O-oh..."

Netra Minhyung beralih untuk melihat keadaan Mark yang sibuk mengunyah makanannya. Tapi satu hal yang membuat Minhyung keheranan, saudara kembarnya itu menyimpan sebuah sorot mata yang kosong, seperti tak berarti apa-apa disana.

Minhyung pun memalingkan mata ketika Mark justru menatapnya balik. Ia menunduk sekilas, seraya berpikir, apakah ada sesuatu yang Mark sembunyikan darinya?

Aku pun turut begitu. Minhyung dan Mark begitu aneh pagi ini.

. . .

"Ma, Keisha izin main ke rumah Jeno. Boleh, ya?"

Chaeyeon mengangguk. Keisha pun tersenyum dan bergegas pergi menuju kediaman Jeno yang hanya beda 2 gang dari rumahnya.

Sudah lama sekali Keisha tak lagi hinggap di kediaman Jeno, berbincang saja sudah jarang, paling-paling kalau bertemu hanya berani untuk tegur sapa, dan segan bila saling menanya kabar.

Kalau di dalam lubuk hati Keisha yang paling dalam sih, ia memang ingin sekali bertanya perihal hubungan Jeno dan Herin yang sudah bertahan hingga 3 bulan lamanya. Keisha jadi curiga, mungkin sebentar lagi akan ada surat undangan di depan gapura rumahnya.

Ah, jadi kejauhan 'kan mikirnya!

"Yaudah, duluan, Ma."

"Iya, hati-hati lho, kamu,"

Keisha merengut, "Amsyong deh, dua gang tuh gak jauh elah, Ma."

"Dikhawatirin malah purik! Gausah panggil aku mama kamu lagi, bhay!"

Chaeyeon bergegas menutup rapat pintu rumahnya membuat Keisha hanya bisa menghela napas kasar, maklum dulu SMA Chaeyeon alumni anak drama, jadi kalo apa-apa gidupnya bakal ngedrama mulu.

Keisha pun tak ambil pusing perihal Chaeyeon yang kelewat lebay, takutnya kebablasan buat ngumpat nanti malah jadi dosa jariyyah lagi.

Keisha bukannya caper atau gimana ke Jeno secara, ya, Jeno juga mantan dia, terus Jeno juga udah ada pawang baru lagi. Bagaimana pun, Jeno juga temen kecil Keisha lah, masa gara-gara putus doang Keisha gak boleh silaturahmi.

Keisha keluar dari daerah rumahnya dan berjalan menuju ke tempat di mana Jeno tinggal. Dengan sandal merah muda bercorak kartun patrick ini, ia menyisir beberapa kerikil yang tersebar diatas bumi.

Pirsa matanya menyatu dengan alam. Akhirnya, Keisha hinggap juga dirumah si mantan penghuni hati. Kurang baik apa Keisha bisa silaturahmi lagi ke rumah si bule?

Tangannya bergerak untuk mengetuk gapura rumah Jeno. Tiga kali ketukan Jeno tak keluar, ia berjanji akan berlalu dari kediamannya.

Tok tok!

Satu.

Tok tok tok!

"Jenooo~!"

Dua.

Keisha mengembuskan napasnya berat seraya menepuk kening, seperti tahu apa yang bakal terjadi akhirnya.

Dan, iya. Ini untuk ketukan yang terakhir.

Tok tok tok tok tok tok tok!!

"PAK, BU, MAU MINTA SUMBANGANNYA BOLEHH????!"

Masih saja tak ada sahutan yabg terdengar. Nihil. Membuat Keisha menggeram kesal seraya menghantamkan kedua kaki secara bergantian kepada bumi.

Kedua tangannya mengepal sebal. Gadis ini pun segera berlalu dari kediaman Jeno. Kakinya berjalan layaknya segan menjauh, namun takdir terus saja mendorongnya agar berlalu.

"Woi Keisha! Dipanggil malah pergi, si oon!"

Suaranya seperti suara si calon penghuni neraka? Entah, lebih baik Keisha diam mematung saja.

"Si tolol malah berhenti. Noleh woi, dek! Punya kepala gak?" pekik si taruna.

Keisha bukannya menoleh, malah ia membalikkan badan. Gadis itu pun balas pekikan Jeno tak kalah melengking, "Gua ketok kagak buka-buka gimana gak kesel?!"

"Yodah sini. Sori, gue abis eek tadi." perintah Jeno, sekalian meminta maaf.

"Sori, sori. Lo kata temennya nemo?"

"Itu Dori peang!"

"Yaudah gausah ngegas!"

"Au ah! Mending lo balik kanan ke rumah lo sana dah!"

Keisha terkekeh kecil, "Dih purik,"

"Bodo!"

Si cowok yang katanya dapat julukan 'Aa-Aa Gans Se-perumahan' ini hanya bisa melampiaskan kemarahannya lewat bantingan pintu yang terdengar kencang. Keisha saja sampai berkedip tak menyangka soal tingkah Jeno yang makin tua, malah makin sengak.

"Yang harusnya pundung tuh gue, kok malah jadi elo sih?!"

. . .

"Babi."

"Lo kalo mau ngomong babi tu ke Jisung dong, jan ke gue."

Jeno mencibir ocehan gadis dihadapannya ini seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna putih. Berkebalikan dengan Keisha yang justru sibuk menggiguti kuku-kuku yang hampir memanjang pada setiap jarinya.

Jeno yang melihat kebiasaan temannya ini justru menggeretak seraya memukul pelan punggung tangan si gadis.

Ia berkata, "Jorok tolo, tempat setan idup ya di kuku lo itu,"

Keisha mendongak, kemudian mendecih ke arah lain. "Au ah males. Pen beli truk."

Jeno menggeleng kecil kemudian duduk disamping Keisha dengan handuk yang masih hinggap di atas hulunya.

Jeno menunjuk ke arah handuk kecil itu seraya bergumam, "Keringin,"

"Hah? Apanya?"

"Rambut gue. Keringin,"

Keisha menjulurkan lidahnya, meledek Jeno mentah-mentah. "Mana minta tolongnya dulu?"

"Ish, ngeselin parah," gerutu Jeno. "Keisha, tolongin dong, keringin rambut Jeno?"

"Jeno yang mana itu ya?"

"Itu lho, yang dulu kecil pernah ngomong kalo: kita itu kayak bulan sama mentari. Mentari rela memberikan cahayanya untuk bulan, walaupun tahu jika keduanya tak dapat bersatu."

"APASI WEH GELI WKWKWKWK," heboh satu kampung itu memang julukkan yang pas untuk Keisha. Jeno saja sampai menutup kedua telinganya kontan. Gimana gak nutup, toh, Keisha teriaknya pas banget di kupingnya.

"Yaudah deh pasrah," lanjut Keisha, menggeleng kecil sembari mengusak rambut Jeno yang mulai mengering.

Jeno terkekeh, "Makasih, lho,"

"Bayar tapi?"

"Bayar palelo kotak!"

Seketika tawa Keisha pecah memenuhi setiap penjuru rumah Lee Jeno. Jeno sih udahlah, pasrahnya bukan main. Dia dengar saja itu suara knalpot bajaj sampai gendang telinganya meledak.

Baik Jeno dan Keisha itu sama-sama dua insan yang tak mengerti, bahwa kedua hatinya masih terkait namun tersekati oleh ego yang mereka makan sendiri.

Sama-sama masih bisa bertukar rindu, seperti ucapan hello yang dulu pernah selalu ditunggu.

. . .

16.34

"DEMI KERANG, LO GAK BANGUNIN GUE, JEN??"

Keisha menepuk kedua pipi Jeno berkali-kali membuat sang empu menggerutu risih. "Ahhhh! Apasih lo, bre??"

"DAH JAM SETENGAH LIMA ANJIR, LO MALAH IKUTAN MOLOR?!"

"Ngaso dulu bosq,"

"APASIH MALAH NGELANTUR," Keisha melayangkan satu pukulan keras dari sebuah bantal ke arah wajah Jeno sebelum melenggang pergi.

"Gua caw dulu. Bye!"

Jeno auto bangun sambil ngucek kedua matanya tak menyangka.

Jeno menghela napas,






Jauh dari lubuk hati, ia masih ingin Keisha disini.

💐

"A-assalamualaikum, Mbak pulang,"

"MBAK KEMANA AJA YA ALLAH, DI WATSAP GAK BALES-BALES, CENTANG SATU DOANG PULA?! KEMANA AJA KAMU N---"

Keisha menghela napas, "Satu-satu, ma,"

Chaeyeon pun begitu, wanita dengan wajah bak artis papan tulis ini mengembuskan napasnya perlahan, membuang seluruh apa yang menjadi pikirannya.

"Tadi Mas Taeyong kesini,"

"SUMPAH SIH??"

"Entar dulu," potong Chaeyeon. "Terus dia marah-marah gara-gara kaget, yang tentang Minhyung itu, lho."

Keisha mengangguk, ia paham apa yang Chaeyeon maksudkan.

"Terus, ma?"

"Ntar dulu, dong. Biarin mama napas dulu napa?"

"Iya, dah, iya."

Hening sejenak.

Empat kosong sekon setelahnya Chaeyeon kembali berujar, "Mas Taeyong bawa pulang keduanya balik ke Kanada,"

"MI APAHH???"

"Dengan meninggalkan segores luka dalam buat Mark. P-papah, Kei," Chaeyeon menunduk lemas, "dia masih belum rela buat ngelepasin Jennie."

"Jeni siapa? Jenita janet?"

"Bundanya Mark, 3 tahun papa kamu berusaha buat ngebekep dia,"




































G-gimana?













Hmz



























"Ga sesek apa, ma, napasnya?"

"KAMU TUH BISA KAGET NAPA SIH YA ALLAHHHHH??? BIAR SERU DIKIT GITU TUH?"

Keisha auto nelpon 119 gegara kaget diteriakin Chaeyeon kayak gitu.














to be contol

EH ASAL





:: satu part lagi menuju akhir dari kisah sebuah cerita yang bertajuk: DARI KANADA. weheEEeeEyyYy!!
*party*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top