26. 9 Tahun Silam
Sudah setengah hari Keisha dan Mark berkutat dengan playstation yang terpampang di hadapannya. Jika kalian melihat pemandangan ini, mungkin kalian akan berasumsi jika mereka tengah bermain sebegitu damainya.
Padahal tidak, sedari tadi, Keisha hanya diam memperhatikan Mark yang sedang sok sibuknya itu. Mark bermain playstation di temani oleh sebuah cengiran idiot khasnya.
Mark pun berceletuk, tak kuat jika terus hening padahal disebelahnya ada sosok perempuan yang mungkin ia harapkan kehadirannya. "Marah terus ... biarin aja tuh pipi ngembung, ntar juga meledog." Cibirnya.
Keisha melirik sekilas ke arah Mark, lalu menggeleng kecil. Berusaha sok gak peduli, padahal aslinya mah, yaa... malu-malu pigi.
Mark yang melihatnya justru menjeda permainan, sehingga, ia membalikkan tubuhnya ke samping sembari mengelus surai Keisha dengan usakkan yang gemas. "Maaf, deh, maaf. Gua abis pulang dari rumah temen. Maaf juga gak izin ke lo."
"Di maafin gak ya? Di maafin gak, yaa?" Sungut Keisha pada Mark yang justru membalasnya dengan wajah yang memelas—bak wajah yang belum buang air besar selama satu dekade.
Mark mengerucutkan bibirnya, "Yaudaaaaaah, maapin Mark, yaaa?"
Mark menggoda Keisha dengan mencubit kedua pipinya gemas, mencolek dagu, hingga menggelitiki bagian dimana Keisha merasa kegelian. Keisha hanya terkekeh pelan, menahan rasa geli yang menjalar ke tubuhnya.
"Hahahahha, iya, iya, ampun! Udah gua maapin, serius!" rengeknya meminta ampun agar Mark berhenti untuk menggodanya.
Mark menjulurkan lidahnya, kemudian merangkul Keisha tiba-tiba hingga bahu sempit taruni itu terhuyung, jatuh ke dalam dekapan Mark. Mark terkekeh geli, kemudian mencubit gemas pucuk hidung sang gadis.
"Yuk, kita pergi keliling dunia!" kata Mark. "Sekalian gua bayar utang janji kemarin ke lo. Beneran dah," lanjut si taruna, seolah berharap agar Keisha mau memercayainya untuk yang kedua kalinya.
Keisha hanya meludah, "Cuih! Dunia pantat lo! Keliling cinangka aja kagak bisa. Udah sok iye aj—"
Mark berdiri, bangkit dari posisi duduknya. Ia memutari Keisha yang tengah duduk dengan kondisi kebingungan. Sembari berputar, saat itulah Mark memekik gembira. "Karena lo, dunia gueee!"
"ALAY LO, NAMEK!"
. . .
Jisung menerima satu bingkisan dari teman sebayanya. Beda kelas, namun satu angkatan. Jisung mengrenyit heran. Satu kantong plastik berwarna hitam pekat ia pandangi sebegitu dalamnya, hingga satu kata pun tak bisa ia lontarkan saking terkejutnya. Jisung yang tak bisa menahan senyumnya itu pun hanya bisa bertanya dengan raut sipu malunya..
"Lu dapet ini ... beneran dari Lami?" tanya Jisung penuh tanda tanya.
Somi memutar bola matanya malas. "Lo buta tah gimana tonggg! Baca atuh, tulisannya rapih, ada kata with love-nya lagi. Kurang bukti apa lagi sih?" kata Somi sebal.
Jisung mengangguk pelan, untuk menutupi rasa malu tapi maunya itu. Wajahnya bersemu merah bak kepiting rebus. Bulu kuduk Somi berdiri ketakutan melihat raut wajah Jisung yang berubah sedemikian rupa meronanya. Somi tersenyum canggung, seraya melambaikan tangan ragu. "U-udah,ya, Sung. Gua duluan. A-ada ulhar nih, jing. BUBAY!!"
Jisung tersadar dari lamunannya, lalu menggaruk tengkuk dengan wajah menekuk alakadarnya, "Keknya yang kesurupan elu dah, bukan gua." Pikirnya, bicara monolog pada akal sehatnya.
Jisung berjalan menyusuri koridor. Bukannya menatap jalanan, ia justru memandang dalam surat yang terbalut amplop merah muda itu, dahinya berkerut ketika hatinya membaca pengirim surat tersebut. Benar Lami orangnya. Jantung Jisung berdetak kuat tak karuan, hingga akhirnya ia tak fokus, dan menabrak tubuh seseorang.
"ANJING L—Eh, m-maap."
Jisung mendengus. "Gajelas lo." Sengit Jisung sembari menatap tajam adik kelasnya yang hanya beda satu tahun itu.
Bernametag Xiao Liu. Jisung terkekeh kecil. "Pantes bloon. Orang sipit sih."
"Lo gausah rasis bisa, kan, kak?" balas Liu tak kalah sinisnya. Jisung hanya mencibir, lalu melenggang pergi begitu saja tanpa menghiraukan Liu.
Sebenarnya, yang dirasakan Liu tak sepolos itu. Liu tahu, hidupnya itu bagai hitam, putih, dan kelabu.
Ia tak bisa menyangkal, walau Liu orangnya sedikit menjorok lebih maskulin, Liu ini masih bisa merasakan tiap kali jantungnya berdetak tatkala melihat Jisung, seniornya di SMP.
"Kak Jisung baik. Gue tahu itu." Yakinnya dihiasi dengan senyum bak abunya itu.
...
Chenle terkesiap. "HAH?!?!?!?!!"
"HE, HOOOOOOOOOH!"
Daehwi berteriak sembari mengusir bau mulut Jisung dengan buku alakadarnya. "Bau selangkangan, bangsaaaattt!"
Jisung tertawa puas hingga Chenle hanya bisa menatap Jisung datar. Melihat raut wajah si cowok yang datar itu, membuat nyali Jisung menciut. Hingga akhirnya, Jisung mengalah. "Iya, iya, HAHAHAH, m-maap." Spontannya masih terbahak, lalu melanjutkan. "Jadi, tadi gua papasan sama si tante. Si tante langsung nyodor gua amplop gitu, gua bingung dong. Somi maen maksa aja, yaudah gua ambil takutnya ada apa-apa. Eh, taunya itu surat dari Lami. YUHU, SENANGNYA DALAM HATI!" girang Jisung tiba-tiba.
"Alay!" komentar Daehwi dengan mulut lambe macam ibu kost itu. Chenle mengangguk setuju, Daehwi kalo soal curcol ini memang juaranya! Juara satu deh dijamin, soalnya yang empat orangnya udah didiskualifikasi.
Jisung meinmpal. "Gua gak percaya aja, Dew. Tumben loh, Lami ngasih gue sesuatu? Thats."
Chenle mencibir. "Paling isinya juga tamiya."
Jisung memutar bola matanya malas, seraya membuka amplop berisi kertas itu perlahan. Jisung membacanya dengan serius, hingga matanya tak sekalipun berkedip. Chenle dan Daehwi dibuat bingung, hingga akhirnya Jisung memutuskan,
"Le, Hwi, pulang sekarang yuk?"
. . .
Mengedarai motor sudah bukan hal asing lagi untuk ketiga sejoli ini. Bukan mengendarai masing-masing, namun langsung boti! Chenle harus sabar menghadapi usulan yang ia terima ini. Siapa lagi kalau bukan Daehwi yang mengusulkan, dasar Daehwi.
"Titit lo, sat, nempel."
Jiusng memutar bola matanya malas, "Pantat gua lebih sakit, namek. Lo kalo mau nyuruh gua mundur, yang ada ni motor jumping." Ucap Jisung dengan intonasi bicara yang sewot.
Daehwi sebagai pihak netral hanya bisa menampar helm yang dipakai Jisung, Chenle yang mendengar suara Jisung yang memekik itu justru senakin murka. Terjadilah perang kecil-kecilan di jalanan kota antara Chenle dan Daehwi yang sibuk berdebat, membela diri mereka masing-masing.
"Lo kalo nabok kepala Jisung mending jangan, bangsat! Nanti otaknya makin geser!" pekik Chenle.
Daehwi menyela, "Emang udah geser!"
"Gua laporin Pak Jaehyun sia, udah berbuat asusila sama anaknya!"
"Emangnya Jaehyun ngaku Jisung itu anaknya, hah?!"
Chenle tertawa kencang, menemani suasana angin yang mengalun dengan damainya. "ENGGA! AWAWAWKAWKAK." Bahaknya, membuat Jisung merasa terpojokkan bila tengah bertiga dengan kawan-kawannya ini.
Jisung mendengus pelan, "Gua udah dipojok, malah makin di pojok-pojokin sama lu bertiga."
. . .
Satyafana berdiri tegak guna menghiasi nabastala dengan pesonanya yang indah. Berbalut suasana payoda yang mulai menggelap, membuat tiga sejoli ini berspekulasi, bahwa sebentar lagi akan turun yang namanya hujan. Chenle, sang pengendara, mempercepat laju motornya, membelah jalan di kota yang penuh polusi ini.
Jisung menghela napas pasrah, ia semakin mencengkram bahu teman di depannya, Daehwi. Cowok itu hanya menggeram, berusaha menahan sakit yang ditimbulkan akibat ulah Jisung. Daehwi paham, Jisung takut terjatuh. Makanya, ia memaklumi bila Jisung begitu.
Dari sekian memori yang dapat mereka lalui, hanya ini yang akan menjadi salah satu kenangan terindah. Bonceng tiga, sebuah ritual yang tak pernah mereka tempuh selama menjalin hubungan seorang kawan baik. Jisung, Chenle, dan Daehwi sangat bersyukur, mereka bisa merasakan indahnya menjadi seonggok terong-terongan.
Setengah jam kurang lima menit mereka meniti perjalanan yang tidak ada hentinya (kecuali lampu merah) membuat Chenle kelelahan, dan sekalian berhenti di depan rumah Jisung—guna mengantar anak cowok ini, karena jarak rumahnya beda 1 km dengan rumah Chenle dan Daehwi.
"Tararengkyu, bab, tumpangannya." Kata Jisung sambil mengembus napas lega.
Daehwi mencengkram bahu Chenle tatkala Jisung berusaha turun dari motornya.
"Dag dig dug ser, ya, lu? Bwahahah. Mampus! Makanya gosah sok-sok di ujung!" ejek Chenle
Jisung hanya mencibir ejekan Chenle, tak hanya mencibir sih, cowok itu sudah melayangkan satu pukulan tepat di kepala Chenle.
"Udahlah. Gua masuk ya, mau mandi." Pamit Jisung.
Chenle dan Daehwi mengalihkan sorot matanya pada Jisung yang sudah mulai mengangkat kakinya masuk ke dalam pekarangan rumah. Daehwi memekik, "Kita duluan, ya!" kemudian menepuk baju Chenle, seraya berkata. "Jalan, njing! Kompor di rumah belom dimatiin!"
Chenle membalasnya dengan menyolot, "Najis lo, bego!" umpatnya. Chenle pun menyalakan kembali mesin motonya, membuat deru knalpot semakin terdengar, memekak telinga Jisung yang masih setia berdiri di depan pintu rumah. Tatkala kedua temannya itu mulai menjauh dari pandangannya, Jisung pun masuk. Masuk ke dalam istananya yang penuh dengan cerita indah.
Jisung menaruh tasnya asal, kemudian merebah. Ia lelah, sungguh penat badan di rasa. Bokong sakit, punggung pegal, dan masih banyak deh.
Ketika masa bersantai itulah, Jisung mendengar satu suara yang timbul. Ya, ketokan pintu! Jisung menoleh sekilas kemudian mengecek pesan yang masuk dari ponselnya.
Mbak Kei
| Dek, mbak lagi pergi keluar sama Mark. Kalo udh plg, tutup pintu yang rapet, ya?
Jisung pun mematikan ponselnya, mengiyakan pesan sang kakak tanpa niat untuk membalasnya.
Suara ketukan pintu semakin terdengar keras, hingga Jisung berteriak. "Siapaa? Kalo papah, masuk ajaa!" teriaknya.
Kenop pintu berputar, otomatis pintu pun terbuka lebar. Jisung mengalihkan pandangannya pada benda-benda kotak bervolume itu yang tepat berada di depan pintu. Jisung bangkit, dan akhirnya ia mengrenyitkan dahi.
"Lah? Kak Mark? Bukannya tadi lagi jalan-jalan keluar sama Mbak? Itu koper banyak banget! Kakak ninggalin Mbak diman—"
Orang yang Jisung sapa Mark itu memotong ucapan Jisung. "Aku udah bilang ke papa kamu kalo aku pulang ke Kanada. Maaf, aku lupa buat izin ke kalian."
Jisung terdiam. Jadi, selama ia tinggal kurang lebih 2 bulan ini, Mark sudah pulang, menginap di Kanada. Lalu, siapa yang Jisung ajak main, ajak makan bersama, mencuci bersama? Kalau bukan,
"Kak Mark, Kak Minhyung tuh, masih hidup, gak?" tanya Jisung, membuat bola mata Mark membelalak seketika.
Pemuda ini terkesiap, "M-Minhyung?" Dirasa tenggorokannya tercekat, Mark menoleh ke segala arah. Ia menunduk dalam, lalu meringis dan kemudian bahunya seketika bergetar hebat.
Jisung panik bukan main, lelaki dengan tinggi semampai ini menghampiri Mark yang tengah merenungi nasib. "Kakak kenapa??" tanyanya perhatian.
"M-mungkin..." Mark menggeleng kecil. "E-enggak. A-aku cuma, trauma," cicitnya. "Mama hampir meninggal sebab mikirin M-Minhyung yang dulu pernah hilang, dan pas ketemu itu dikabarin kalo o-orangnya u-udah ngadep T-Tuhan..."
Jisung terdiam. Badannya bak tinggal di daerah kutub satu tahun lamanya, membeku.
Mark melanjutkan, "Itu cerita 9 Tahun silam. Makanya, papa kesini itu bukan asal keliling dunia, papa sayang mama banget, dia gak mau mama diambil Tuhan cuma gara-gara perkara Minhyung aja---gitu." jelasnya.
"Jadi ini alasannya Kak Mark gak sua kalau kita ngomongin Kak Minhyung?"
Mark mengangguk. Jisung pun turut menunduk.
"Mungkin sedikit koreksi, kak," potong Jisung. "Kak Minhyung gak meninggal, dia cuma memalsukan identitas aja pas di kejar media."
"G-gak bakal,"
Jisung memejamkan matanya, menahan emosi. "Terus siapa yang datang ngurusin kita selama 2 bulan ini kalau bukan Kak Minhyung!?"
Mark diam tak bergeming.
Ya, sesayang itu Mark dengan keluarganya meski ada sebagian yang tidak Mark ketahui kabarnya.
. . .
CIHAAAA GIMANA NIH???
selamat. kalian masuk ke inti dari cerita from canada, yehaaaai!!♡
tandanya, bentar lagi end hehehehehe
Kalo ga paham dari chapt satu sampe sini, bilang aja ya, ntar aku usahain biar jelasin lebih komplit d chapt selanjutnya, !♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top