17. Terlalu Kecewa
Jisung mengulum senyum tipis alakadarnya. Mark sudah menyiapkan satu setel pakaian yang akan ia pakai ketika lomba nanti. Pakaian itu sudah ditaruh rapi di atas kasurnya. Terkadang, Jisung hanya bisa merasakan sebuah kehangatan dari sana.
Bukan karena bahan dari si pakaian, namun karena ketulusan Mark yang sudah ia anggap seperti kakak tertuanya. Darah Taeyong mengalir dalam tubuh Mark, sekaligus dengan rasa tulus dan tanggung jawabnya yang sebelas dua belas dengan Mas Taeyong. Sedikit sedih, mengapa Papanya dengan mudah menggretak di hadapan Mark kemarin malam.
Kilas sebelum Jisung meraung di bilik kamar.
Sekian 25.200 detik Mark menghabiskan waktu dengan berdiam diri sebatang kara di bawah tangga itu pun bersiap untuk berdiri. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar, lalu mengembuskan napas perlahan. Hatinya memang gelabah, namun wajahnya harus tetap memasang wajah bak insan yang paling harsa se-buana.
Tatkala Mark hendak ke atas melewati anak tangga, ia tiba-tiba teringat. Ia harus mengangkat jemuran yang baru dijemurnya petang kemarin.
Ketika hendak membuka pintu belakang, ia dikejutkan dengan beberapa hanger yang sudah berserakan. Mark hanya menggumam, “Pasti gegara angin dah ini.” katanya.
Mark tersenyum tipis. Ia harus mencuci baju ini sekali lagi. Sedikit kotor, namun tak bisa dibiarkan begitu saja, sebab—dominan— pakaian Jaehyun lah yang belum diangkatnya.
Mark mengangkat seluruh pakaian itu lalu membawanya ke dalam rumah. Ia memasukkannya ke dalam mesin cuci, lalu mengaktifkan mesinnya hingga pakaian di dalam sana berputar.
Tatkala hendak menaburkan detergen, pundak Mark di sentuh oleh sebuah tangan kekar. Siapa lagi kalau bukan Jaehyun.
“Habis naburin detergen, kamu, saya tunggu di balkon kamar Mas Taeyong.”
Mark hanya mengangguk. Melihat daksa yang semakin mengaksa dari netranya, ajun sumarah. Mark menghela napas kuat.
Ia cepat-cepat menaburkan detergen ke dalam mesin pembersih pakaian. Setelah selesai denga aktivitasnya, Mark bergegas naik menuju lantai atas; kamar yang ia tempati.
Saat itu juga Jisung yang tengah merenung ditemani oleh sang kakak pun kilas terkesiap. Matanya memincing, menatap akara Mark yang berjalan lebih cepat dari biasanya—jendela Jisung dibuat gelap; tak bisa dilihat dari luar, namun bisa tembus dari dalam.
Keisha pun sama seperti Jisung, “Plis, Jis. Jangan bengong muku, nangis mah, nangis aja.”
“Diem deh.”
“Salah deui. Ngeselin bat ya lo—!!”
Jisung menyumpal mukut Keisha dengan tangan kosong. “Papa tadi lewat situ juga! Alamat Kak Mark di omelin ini mah sama papa!” Jisung berujar, dengan ajun, melampiaskan kekesalan.
Keisha mengusap punggung adiknya lembut. “Udah deh, biarin papa nasehatin Mark dulu. Mending kamu tidur, deh, Jis.”
Jisung menggigit bibir bawahnya. Ia membancang murkanya, tahan, ini Mbak Keisha. Dia perempuan.
“Papa bukan nasehatin Kak Mark, mbak. Tapi papa bakal mecatin Kak Mark, detik ini JUGA!”
“Jisung, Mbak buka, ya pintunya—OMAYGAT, ADEK AING TUMBEN KASEP PISAN, ALLAHU AKBAR!”
Jisung yang sedari tadi melamun itu pun langsung memekik sebab terkejut. Keisha, kakak perempuannya itu memutar tubuhnya. Matanya berputar malas ketika Keisha malah menepuk-nepuk tubuhnya yang dibaluti jas berwarna hitam pekat. Keisha tersenyum puas, “Ganteng anjir! Tumben lo.”
“Bilangin mama nih kakak mulai oake aksen sehari-hari ke Jisung.”
“Galak ih si ganteng.”
Jisung mendelik jijik, “Cringe tolol.”
Keisha terbahak kencang. Gadis dengan rambut yang mengikat bak ekor kuda itu memeluk adiknya erat. Menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, lalu mengusak rambut Jisung gemas.
Jisung mendecak, “Rapihin lagi, gamau tau!”
Keisha mengerucutkan bibir. “Yaudah iya, bagi sini sisirnya.” lalu mendengus. “Gitu aja marah.”
Jisung mencibir, ia memberikan sebuah sisir kecil kepada Keisha. Keisha menerimanya lalu memutar badan Jisung, menghadap pada cermin fullbodynya.
Keisha terkekeh, “Badan kamu gendutan, dek.”
“Apa mbak bil—?!”
Keisha menoyor kepala Jisung pelan, membuat si adik meringis. Keisha berujar, “Masakan Mark enak, apa kamu yang rongod?”
“Dua-duanya.”
“Dikata bunting sama penonton, tau rasa lo.” ucap Keisha. Ketika Jisung memelotinya, justru Keisha terkekeh geli. “Bercanda ih, ampun.”
Jisung menggeleng kecil sembari mengembus napas. Kedua matanya terpejam, sarayu dari pintu balkon yang terbuka itu membuat jiwanya syahdu. Keisha yang sudah selesai merapikan surai sang adik justru terkekeh geli.
“Alay lo angin doang.”
“Mbak, aku gak mau Kak Mark dipecat.” ucap Jisung. Matanya masih terpejam, namun raut wajahnya menyuram, Keisha jadi kasihan.
Keisha mengedarkan netranya ke penjuru kamar Jisung. “Hmmm...,” dirinya menggumam, bingung hendak membalas apa. “y-ya, nanti mbak omongin lagi ke orangnya, ya. Yang penting kamu fokus dulu buat lombanya. Jangan banyak pikiran.”
Jisung membuka matanya perlahan. “Mbak jujur,” lalu memutar balikkan badannya, membelakangi cermin. “mbak nyaman gak, sama Kak Mark?” tanyanya, gelabah.
Keisha gelalapan, “M-maksudnya, nyaman gimana?!” lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan. “S-sori ngegas.”
“Panik amat dah. Padahal aku cuma nanya gitu doang, jawabannya juga simpel. Atau jangan-jangan ... Mbak itu ya, sama Kak Mark?!” Jisung meledek Keisha, lebih ke menggoda kakaknya. “Cie!!”
Keisha menatap datar Jisung lalu menyingkirkan tangan Jisung yang sibuk memukulnya manja. “Kagak, fak!” hardiknya, kemudian melipat kedua tangan di depan dada. Ngambek ceritanya.
Jisung mengangguk kecil, “Oh jadi gini, putus sama Kak Jeno gegara udah beralih ke pembantu sendiri?? Oh ngono toh ceritane...” seraya melenggang pergi, untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Keisha menggeram kesal lalu menjongkokkan tubuhnya seraya menutup wajah. Sesekali ia memukul kepalanya pelan, seraya merutuki diri dalam hati.
Jisung sudah selesai dengan urusannya di dalam kamar mandi. Matanya menangkap sebuah figur jika kakak perempuannya tengah meringkuk di lantai seraya menutup wajah. Jisung itu pekaan, dia tau kalau kakaknya lahi nahan kesel, bukan nangis.
“Udah elah. Ngaku aja k—”
“Aing pecat Mark, bongko sia!!” pekik Keisha, masih menutup permukaan wajahnya. (Bongko=mati.)
Jisung ketawa kecil. “Emangnya mbak mau mecat Kak Mark?”
“Jelas—nggak lah!”
“Bacot sia perawan.” geleng Jisung tak heran. Persis banget ini seperti Keisha yang dulu ngebucinin sahabatnya sendiri, siapa lagi kalo bukan Jeno.
Jisung ngedengus pelan sambil mendongakkan hulu pada jam dinding. Pukul setengah delapan pagi, 40 menit lagi, lomba akan di mulai.
Jisung merapikan jas yang dipakainya. Kemudian tersenyum lebar, “Mbak, papa bakal nonton aku gak?” selesai berujar, senyumnya melebur seketika. Jaehyun tak bisa diharapkan, sama sekali tak bisa.
“Wes lah, ojo ngelangut, Mark sama mbak bakal nonton nanti. Semangat, ya? Tampilin yang terbaik di atas panggung nanti, adikku seyeng.”
Keisha merentangkan tangannya lebar-lebar seraya menatap Jisung putus asa. Jisung memutar bola mata malas, lalu berjalan mendekat; membalas rengkuhan Keisha.
Di sebalik jendela, ada Mark dan Chaeyeon yang tengah mengintip. Chaeyeon tengah menahan rasa sakit pada ulunya, apalagi Mark—rasa bersalah, mulai berkelebat saban waktu.
Chaeyeon merangkul Mark, “Tante bakal ngusahain biar kamu gak dipecat, ya, Mark?”
Mark mengangguk.
Selepas itu, Chaeyeon memegang kedua pundak Mark kuat. Seakan menaruh banyak kepercayaan di atas sana. “Tapi ada satu hal yang perlu tante peringatkan, Mark...,”
Dahi Mark berkerut, napas pasrah diembus oleh Chaeyeon perlahan.
“Sesekali, jangan pernah melenggang pergi tanpa izin. Mulut emang bisa berdusta, tapi tidak dengan hati kamu, Mark ... Sekiranya jika tidak sanggup untuk menetap, lebih baik tak usah singgah sekalian.”
Bagaimana ini....
“Ba-Baik.” putus Mark dengan lidah yang kelu.
Chaeyeon tersenyum manis lalu memeluk Mark sekilas, kemudian melenggang pergi, turun ke lantai dasar.
Sial, bagaimana cara agar aku menepatinya?
. . .
keishaa
Woi len, ijinin gwa ya |
Lenlenq💄
| ngapa law
keishaa
Aing ga masuk anjinc |
Lenlenq💄
| bdmt fak, gwa g skls sm l.
| izin aja ke Seungmin, dsr tolol sekali km ini
keishaa
Bilangin dah, gwa males nih nyari kontak seungmin |
Dah lh ya, bye. |
Lenlenq💄
| woi bentar ini LO IJIN KMN?!
|sHAAAA
| LO IZIN KEMANA
| KEISHA WOI
| toti
| KEISHA, WOI, BUNGUL
| FUAAAAAAK
| sha :(
| izin kemana sayang :(
| ANJING
keishaa
jisung lomba tai |
Lenlenq💄
| sedang mengetik...
keishaa
YOU BLOCKED THIS CONTACT. UNBLOCK TO SHARE A MESSAGE AGAIN.
“Jis, anggota band kamu tuh siapa aja dah, anjir?”
Jisung menoleh, kemudian fokus pada ponselnya lagi. “Berenam. Aku, Seonho, Dongpyo, Eunsang, Junho, sama kakel satu.” ujarnya.
Keisha menautkan alis, “Siapa kakelnya?”
“Siapa y—Oh! Kak Baejin! Dia udah alumni, seangkatan sama Mbak.”
Keisha mengangguk kecil. Selagi masih ada waktu kosong, Jisung memanfaatkan waktu tersebut untuk berlatih. Mereka berdua tengah menunggu di taman belakang sekolahnya Jisung. Masih sepi, toh, jam belum ada menunjuk ke pukul 9 tepat.
Jisung memetik gitarnya perlahan. Keisha hanya melihat adiknya itu dengan tatapan bingungnya, ada sirat tak pahan mengapa Jisung bisa sepandai itu bermain gitar. Padahal—di rumah ia sama sekali jarang, bahkan tidak pernah, melihat Jisung bermain alat musik. (selain piano).
“Apasih, jangan diliatin mulu akunya.” Jisung berdecak.
“Halah, nanti dipanggung juga diliatin lagi, ga jelas kamu.” balas Keisha tak mau kalah.
Jisung merengut kesal, “Itu mah beda lagiii, au ah.”
Keisha menggeleng kecil, “Ish ish...” lalu mencubit pipi Jisung berkali-kali seraya meledeknya. “pundung sama aja kamu nyuruh mbak, buat bilang ke Mark suruh puter balik. Gimana?” ancam Keisha, membuat bahu Jisung sedikit meringsut ke bawah.
Dirasa ancamannya berhasil, Keisha justru memiringkan senyumnya.
Jisung melemparkan sebuah buku tepat pada wajah Keisha, lenparannya tidak terlalu kencang, namun sakit sekali karena itu sangat pas mengenai pangkal hidungnya. Keisha meringis, lalu menatap sinis Jisung yang justru mengabaikannya.
“Iya deh iya. Maaf.”
Jisung bersenandung kecil, berusaha untuk tidak memperdulikan kakaknya itu.
“Jisung maaaaah!”
“Naon sih, woi?” Jisung kesal. Ia menaruh gitarnya di bawah bangku lalu menyerogoh benda pipih panjang dari saku jasnya.
“Ngobrol hayuk.” pinta Keisha, Jisung mengangguk kecil sembari menggerakkan jarinya di mesin pengetik.
Napas diembus perlahan oleh Jisung. Ia menatap malas ponselnya, lalu mematikannya—memasukkan ke dalam saku celana, kemudian berdiri dari posisi duduknya.
Keisha menarik pergelangan tangan Jisung, “Lo mau kemana? Masa gua disini sendiri?!”
Jisung memutar bola matanya, “Aku mau langsung ke kelas. Latihan bentar,” mengangkat tas gitarnya, kemudian mengusak rambut sang kakak pelan. “Mbak telpon aja ke telepon rumah. Suruh Kak Mark kesini. Ya?”
Keisha mendengus panjang. “Yaudah iya, yang semangat loh. Awas aja kalo kalah!”
“Iya, iya. Bawel. Dah lah, aku duluan ya, mbak!”
Jisung memberikan satu kecupan tepat di atas kening Sang Kakak. Keisha tersenyum geli seraya melambaikan tangan ke arah Jisung yang berjalan cepat ditemani oleh sampiran tas gitar di bahunya. Jisung jarang seperti ini padanya.
Seperti yang dikatakan Jisung sebelumnya, Keisha bergegas menelpon ke telepon rumah. Sendirian disini sangat tidak menyenangkan, kawan.
“Halo?”
“E-eh, mama...?” Keisha menggaruk tengkuk. “Mark ada di rumah, gak, ma?”
“Ada nih, lagi nyetrika baju. Kenapa? Kamu butuh dia?”
“Hehehe.”
“Malah cengengesan. Emang ada barang yang ketinggalan apa gimana? Tumben nyariin Mark?”
Gadis iti justru menyandarkan daksanya pada punggung bangku, menerawang segala penjuru—mencari sebuah alasan yang masuk akal. “Iya, apasih—liptint sama powerbank Keisha ketinggalan.” kata dia. Keiaja jelas jujur, Keisha memang tidak membawa liptint dan powerbank. Membutuhkannya saja tidak, tapi, apa salahnya Keisha menjadikan kedua benda itu sebagai alasan.
“Oh, oke. Di sekolah Jisung kan? Ntar mama suruh Mark nganterin deh.”
“Hehe, iya, makasih ma—”
Chaeyeon memotong ucapan putrinya, “Ntar mama suruh Mark ganti baju sekalian, ya, buat nemenin kamu. Mama gabisa ikut nonton, soalnya mau ke rumah nenek lagi.”
Mengerutkan dahi, “Lah? Terus papa kemana?”
“Ada client,”
“Yahhhh, padahal Jisung pengen banget papa dateng.”
Chaeyeon terkekeh samar, “Kamu videoin aja, ya, nanti kirim ke grup WhatsApp keluarga.”
“Iyadeh, terserah mama.”
“Yaudah. Ini Mark barusan selesai nyetrika, dia lagi siap-siap. Kamu tunggu di depan gerbang sekolah Jisung aja, ya, biar gampang. Oke? See you, darl.” tutup Chaeyeon.
Keisha menggumam. “Hmm, see you, too, ma.”
Tut.
. .
🐬
Krek,
“Nah, tu, si goblog baru dateng.”
Eunsang menunjuk ke arah Jisung yang tengah menatapnya lesu. Seluruh anggota band; kecuali Baejin yang tak ada di lokasi, mengalihkan tatapannya ke arah yang ditunjuk.
Junho tertawa. “Hai goblog!”
“Hai juga, Junholol. Btw, sori agak telat. Abis beli minum nih gua.” Jisung menunjukkan sebuah minuman isotonik yang baru saja ia beli di kantin.
Junho mengangguk. Berbeda dengan Seonho yang malah memijit pelan keningnya.
“Napa dah lo, Ho?” Dongpyo bertanya sembari mengetukkan kepala Seonho menggunakan pemukul drum.
Junho mengangguk. “Wasir?”
“Palalu goblok, Junholol. Mana da penyakit pasir.” sahut Eunsang seraya memasang wajah jenakanya. Dengan ucapannya itu, sontak ia mendapatkan tatapan tolol sia dari keempat temannya.
Jisung menggeleng kecil. “Wasir setan. Yang berak-berak itu. Banyak tai.”
“Heeh, kitu weh lah. Geus mulai anjing latihannya waktu kita tingg—BANGSAT, WAKTU KITA TINGGAL 2 MENIT!” Dongpyo memekik. Junho yang tengah mengacungkan jarinya di atas udara, membentuk pola morat-marit sampai tersentak, kaget mendengar pekikan si teman.
“Ai goblok anjir. Kak Baejinnya mana?!”
Dongpyo mendelik ke arah Eunsang. “Pugu dia mesej ke gua, katanya tuh: buru ke depan. Pake hurup-hurup singkad. Anjing ah. Buru fak!”
Jisung menggampar pipi kanan Dongpyo menggunakan tangan kosong, “Lo juga goblok! Angkat tuh keyboard lo. Nyuruh orang mah laju, sendirinya kagak bener.”
“Dongpyeang.” sahut Junho sembari senyum lima jari.
“Si setan kagak nyambung.” Eunsang menggeleng, tangannya terulur untuk mengangkat gitar miliknya kemudian menepuk kedua tangannya. “Buru, buru!”
“SABAR ANJING!”
Eunsang terkekeh samar, menertawakan dirinya sendiri. یگل...حححا
Aing deui, aing deui yang salah. Asoe.
. . .
Melambaikan tanganku ke atas, memanggil nama si empu hingga tubuhnya berbalik. Mark mengedarkan pandangannya, hingga pada detik kelima, titik pandang kita bertemu, membuat senyum tipis mengembang pada wajah Mark.
Aku bergegas menghampirinya. Mark menggunakan pakaian yang sangat sederhana. Cukup dibaluti oleh kaus berwarna putih polos, ditimpa dengan jaket denimnya.
Aku mengulurkan tangan, “Mana powerbank gue?”
“Nih,” Mark memberikannya, beserta dengan liptint yang aku bilang sebelumnya. “lain kali jangan ceroboh.”
Aku terkekeh kecil, “Kan ada lo tinggal nganterin, hehe.”
“Iya sih.” balas Mark seadanya.
Hening menyelimuti kami berdua. Sebenarnya suasana kali ini cukup ramai, hanya saja—aku membiarkan Mark agar bereksplorasi, mencoba untuk menyamankan dirinya sedemikian mungkin di tempat ramai seperti ini.
“Jisung mana, Kei?”
“Bentar lagi mul—Nah itu! Udah ada MCnya! Buru dah, langsung caw ke depan-!”
Tatkala aku menarik pergelangan tangan Mark, Mark justru menghempaskannya. Aku menatap Mark bingung, apa aku ada salah?
Mark tersenyum tipis. “Duluan aja. Aku di belakang kamu.” kata dia.
Aku hanya mengangguk kecil, Mark mungkin masih merasa canggung bila jalan bersampingan denganku. Lagi pula, aku sudah pernah mengatakan padanya bila Mark bisa menjadi teman baikku. Namun tetap saja itu tidak berpengaruh padanya.
Ketika sudah sampai di lapangan yang begitu luas, aku dan Mark berdiri. Kali ini aku menarik Mark agar berdiri di sampingku. Kalau saja tak seramai ini, aku tak akan mungkin menyuruhnya agar berdiri di sampingku.
Mark hanya diam, ia memperhatikan MC yang berbicara dengan wajah berpeluhnya. Cuaca kali ini memang cukup panas, sih.
20 menit mendengarkan si pembawa acara berbicara, waktu yang ditunggu pun tiba. Pembawa acara itu berbicara, “Sudah cukup basa-basinya, mari kita panggilkan peserta yang pertama! Kali ini penampilan solo, guys! Kita panggilkan, Wonyoung perwakilan dari kelas 7E!”
Aku bertepuk tangan dengan keras seraya berteriak gaduh. Berbeda dengan orang di sampingku. Ia hanya memasang wajah datar; terkesan biasa saja.
“Pernah gak sih, lo, Ho? Lo diledek jelek tapi gabisa marah soalnya itu emang fakta?”
Seonho mengangguk kecil menanggapi pertanyaan Jisung. “Pernah gua. Lo tau kakak cowok gua kan? Si Guanlin babi pokoknya dia ngejek gua mulu, peot lah. E ANJING PADAHAL LO JUGA PETOT. Gitu deh, tau ah kentang emang.”
“Sama kek gua, njing. Masa gua disamain sama babi mulu sama Mbak Keisha?”
Seonho terkekeh. “Emang bener kok, mirip. Awokawokawokawok.”
Jisung memutar bola matanya malas kemudian membaalik badan, membelakangi Seonho. “Tau idup sesusah gini, mending gua ngalah sama sperma lain dulunya.”
Baru saja Seonho ingin membalas, suara Baejin menggema pada ruang kelas.
“Cek mikroponnya, cuy!” teriak Baejin sembari menepuk kedua tangannya di atas udara.
Baejin mengarahkan anggota-anggotanya, termasuk Jisung. Jisung mendorong Junho pelan agar maju ke depan. Junho memang bagian vocal, maka dari itu ia disuruh oleh Baejin agar mengecek mikroponnya.
“Cek, 1 2 3?”
“4 6 9!”
Seonho yang mendengar sahutan dari Eunsang itu justru melempar stik drum ke arahnya. “Diem goblok!” pekiknya.
Baejin justru mengembuskan napasnya. “Mic bagus-bagus aja. Coba tuh, Dongpyo, cek keyboardnya! Jan melongo bae!”
“Iya, ih, Bang! Bacot.” balas Dongpyo tak mau kalah. Pria bersurai hitam legam itu pun merenggangkan jari-jarinya, kemudian di arahkan kesepuluh jarinya itu guna menekan beberapa tuts yang dirasa agak sulit ditekan. Semua baik-baik saja, hingga saat itu, Dongpyo mengacungkan ibu jarinya. “Mantep, jing!”
“Oke, Woo!” bukan Baejin yang bales, tapi Eunsang.
Dongpyo menggeram. “Bapak gua, anjing!” teriaknya tak terima. Baru saja hendak melayangkan satu buah tonjokkan pada muka Eunsang, Jisung sudah menyela.
“Cieee ngaku anaknya anjing—AAAAWWW!”
Baejin menarik telinga milik Eunsang dan Jisung bersamaan, “Berisik tau! Wonyoung udah mau selesai, bentar lagi giliran kita!”
“Yaudah iya, ampun, Bang!”
Baejin melepaskan jeweran tersebut dari telinga keduanya. “Ngomong-ngomong, orang tua kalian pada dateng apa kagak?” tanya Baejin.
Junho mengangguk. “Dateng. Kecuali mama gua, bang.”
“Seonho juga, Bang. Sama kayak si tolol.” balas Seonho. Junho menggeram, “HEHH!!!”
“APALO?!” teriak Seonho tak kalah melengking. Junho memutar bola matanya malas, bakal lama kalo dia gak ngalah sama Seonho.
Baejin terkekeh. “Kalo lo, Sang?”
Eunsang menggaruk pipi. “Bapak ibu gua dah gak ada, bang.” balasnya.
“E—maaf, maaf. Gua gak maksud.” Baejin menggaruk tengkuk pelan, “Kalo lo sendiri, gimana, Sung?”
Tatkala Baejin melayangkan pertanyaannya pada Jisung, justru lelaki itu hanya terkekeh samar. “Sama kek yang lain sih, Bang. Bedanya orang tua gua kagak dateng, yang nonton cuma kakak sama pembantu gua doang.”
Mata Dongpyo menerawang ke atas langit-langit. “Yang pernah diceritain Daehwi itu bukan sih?”
“Iye. Bedanya sekarang diganti, jadi anaknya.”
“Umur berapa?”
Jisung terkekeh pelan. “Seumuran sama kakak gu—”
Kita sambut penampilan kedua, salah satu grup musik jebolan dari kelas 8 dan alumni tahun lalu—kita tampilkan senior dan junior kita semua! Kak Baejin dan kawan-kawan!
“DIPANGGIL, NYET!”
Dongpyo gelalapan, “Bang! Kok gua gak ditanya siapa aja yang dateng kes—”
“Kaga ada waktu tai! Udah buruan rapihin diri lo pada!” Baejin menatap tajam Dongpyo, membuat lelaki yang duduk di bangku kelas 8 namun wajah kelas 4 itu hanya bisa meringis kecil. Wajahnya suram, menenggangkan. Kak Baejin menakutkan bila sudah seperti ini.
“M-ma—”
Jisung menyela, “Diem dulu, woi, diem! Dengerin tuh, ada yang mau ngomong.”
Hening.
Kita hitung sampai lima, kalau gak muncul-muncul diapain, ya, penonton?! Di diskualifikasi! Benar sekali! Kita itung, ya! Satu, dua, ti—
“ANJIR, BURU WOY!!”
+++
publish malem2 jam 1, maaf kalo ampas banget, abisan agak sedikit gwa cepetin :( tp ini g keluar outline ko.
🍟chapt depan, part mark sm keisha doang, ihiw. dangerous: cringey content.
lebi cepet y alurnya? mau g?
—mirip baekhyun ahay.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top