15. Ikatan Keluarga
we continue,
chapter ini udah masuk konflik ya.
"Mana dah si Nakyung?"
Mark hanya membalas seadanya. "Kalo gak ada, ayok pulang aja. Aku ngantuk."
Aku lantas menoyor kepala Mark. Si empu terkesiap, kemudian menatapku sebal. Aku mendengus, "Gak sopan. Pamit dulu!"
"Yaudah sana cari. Aku tunggu sini."
"Lah nyuruh!?"
Mark menggeram kesal, "Kan kamu yang mau! Aku mah ogah." balasnya cuek. Lelaki dengan tubuh semampai itu malah meninggalkanku yang tengah diam mematung; dengan wajah yang memerah tentunya. Kesel banget, gak bohong.
Mencebikkan mulutku dengan sebal, aku pun terpaksa untuk melangkahkan kaki keluar dari kedai milik Keluarga Herin. Mendahului Mark hingga Mark hanya mengikutiku dari belakang, aku malas menatap wajahnya. Gini-gini, aku masih punya hati. Masih bisa merasa walau si empu tak peduli jika aku perhatian padanya.
Sudah jalan kurang lebih 500 meter, aku tak mendapatkan tanda-tanda jika Mark berjalan di sampingku. Ku hentikan langkah kaki, ku balikkan tubuh ini, selepasnya aku hanya bisa mendecak.
"Jalan samping gua dong. Jangan di belakang, kesannya kayak babu!"
Mark terkekeh. Remeh. "Fakta?"
Sumpah demi apapun aku kesal. Dengan kuat ku tarik pergelangan tangan Mark membuat empu sedikit meringis. Ia menolaknya, dihempaskan tanganku kasar lalu berjalan sendiri tanpa memperdulikan keadaan.
"Mark!? Woi!!"
Mark berjalan mendahuluiku. Agaknya aku masih bisa merasakan aura-aura ngambek usai vidcall tadi. Aku kalau di posisi Mark, gatau deh harus kesal, biasa aja, atau senang. Masalahnya-ya, emang kalo Mas Taeyong balik lagi ke Kanada, kenapa?
"Kenapa sih natap aku gitu banget." sinis Mark.
Si adam mengeratkan gendongan tasnya. Menatap jalanan dengan tatapan kosong, berjalan saja seperti tak ikhlas. Seok-seok, tali sepatu yang lepas sudah ia tak pedulikan lagi. Tak ada hidup.
"Coba Mark, gue saranin lo lebih bacot deh. Jan kaku gini, kayak triplek. Gua kadang suka gengsi mau ngajak main lo." kataku seraya memperhatikan Mark dari atas ke bawah.
Mayan nih tubuhnya ateis. Eh, atletis maksud aing.
"Lo gak mau kan kalo misalnya di kelas cuma baca buku mulu, gua tu ga tega sebenernya ngeliat lo kayak gitu-jadi pen ngebully. Ehe, enggak." candaku sambil terkikik pelan.
Mark ketawa kecil, "Should i to ubah gaya bicara?"
Aku mendengus pelan. "Eum...," aku menggumam. Saking gabutnya, aku justru menendang beberapa kerikil pada setiap jalanan. Kalau Mark sih, pria itu hanya jalan biasa-dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
Aku berkomentar. "Terserah. Yang penting mah ekspresi muka aja elah. Lo kalo kayak gini keliatan gak niat hidup, mana coba-alis datar, mata kosong, badannya letoy. YANG SEMANGAT DONG!!"
Mark menghentikkan langkahnya. Aku yang baru tersadar tak ada Mark di sampingku ini pun sontak membalikkan badan. Mark seakan memasang raut keheranan.
Mark dengan tinggi semampainya, agaknya aku merasakan sebuah kejanggalan. Ia kali ini berdiri seolah lebih tegap, dengan kedua tangannya yang sudah terbebas dari saku celana.
Mark jalan mendekatiku, aku hanya diam membisu. Mau berkomentar apa, paling ia lagi-lagi berjalan mendahuluiku.
Namun tidak,
"Boleh gak, aku ngerangkul k-kamu?"
Aku terdiam. 5 detik setelahnya terbabak kencang. Demi Tuhan! Aku baru tahu ada lelaki yang bentukannya seperti ini. Apa-apa harus izin, dikit-dikit laporan-bagus sih, tapi kalo yang ini kesannya beda! Masa ngajak rangkulan aja kudu izin. Oh ya, seperti yang ku bilang sebelumnya; aku merasa biasa jika diperlakukan seperti itu.
"Ngapain izin sih? Sok aja kal-i,"
Seperti mendapatkan kesetujuan dari pihak perempuan, Mark lantas mengaitkan tangan kirinya pada pundak Keisha. Jarak antara mereka lebih dekat dari sebelumnya, contohnya seperti saat ini. Tiap mereka melangkah, ada saja sela untuk sepatu mereka bertemu. Bahasanya ya, kesandung satu sama lain.
"Mark, lo kayak ngegeret gua sial."
Mark mendengus. "Berisik."
Aku hanya diam dikata-katain kayak gitu. Dari simpang jalan sini sampai belokan pertama, aku dan Mark berjalan dengan posisi merangkul. Mark bilang ini sengaja, dia berusaha agar engga canggung amat sama orang. Tapi gimana ya...
"Ribet anjing." gumamku sambil melepas paksa rangkulan Mark.
Mark hanya diam, memperhatikanku dari samping dengan wajah menahan kantuknya.
Sekilas aku menengok iseng, cuma mau ngeliat muka Mark doang kok waktu pas aku lepas paksa rangkulannya. Tapi yang aku dapat ya, orangnya biasa aja.
"Lain kali, kalo lo mau rangkul gua, gausah izin. Jatohnya aing teh cringe ka sia." kekehku kecil.
Mark hanya mengangguk seperti menuruti ucapanku. Aku menggeleng kecil kemudian lanjut untuk meneruskan perjalanan ke rumah.
Mark lagi-lagi memasukkan kedua tangannya ke saku celana, sesekali menguap lalu memukul pipinya pelan. Beda dengan aku yang justru harus ngerasain betapa gak enaknya punya dua jantung, yang berdetak tidak karuan.
Aku gak buta soal perasaan atau main cinta.
"Kei, " Mark melihatku sekilas. "menurut kamu, Herin gimana?"
"Ba ... ik kok."
Mark terkekeh pelan, suaranya anggun nan merdu menyapa rungu. Ia mendongak, menatap nabastala yang terpampang nyata di depan netra layaknya lintang yang tersebar di galaksi belantara.
Aku menatap maniknya. Cantik, indah pula bagai swastamita yang menghiasi nabastala. Setelahnya manikku menangkap jika Mark tengah menduduk, menatap jalan trotoar dengan hati nanar.
"Dia baik." ujar Mark.
"Siapa?"
"Kamu-aku jatuh padamu."
Sialnya, aku tidak mendengar ucapannya yang terakhir. Sebab pikiran dan hatiku tak jalan sepadan. Rasanya sakit, aku tahu mengapa Mark bicara seperti itu.
Aku menggoyangkan bahu Mark sekali. Daguku memberi isyarat pada Mark agar melihat ke arah bangku panjang di ujung beranda. Ada dua insan; yang satunya tersenyum malu, satunya lagi tengah memberi sebuket bunga.
Di bilang aku tuh gampang kasian sama orang! Bodo amat gitu tentang diriku sendiri, yang bikin aku sakit disini ya- "Cuy, Jeno sama Herin, jadian tuh."
Aku sih baik. Mark tidak.
Namun ... Mengapa harus Herin?
Mark tersenyum. "Kamu pikir, aku cemburu gitu ngeliat Jeno nembak Herin? Aku bukan gay, tau."
Aku membelalakan mata. Sial! Itu bukan maksudku! "Yang gua maksud tuh Herin bangs-"
"Aku kayak gini soalnya sedih aja. Kamu masih gamon dari Jeno?"
Now playing: waktu yang wronk, fiersa bersari.
. . .
Krek-kriiiiet,
"Keisha balik."
Ketika membuka pintu utama, di rumahku itu langsung dihadapkan oleh ruang televisi sekaligus ruang tamu. Nah, ku lihat disana jika Papaku tengah memandang layar kaca yang menampilkan sebuah acara pertunjukan musik.
Papa menoleh ketika mendengar sapaanku, "EEEETTTT ANAK PAPA! SINI GIH, PAPA KANGEN!"
Papa berdiri, terus merentangkan tangan. Aku hanya menghampirinya dengan malas, kemudian memeluk erat pria yang hampir menyentuh kepala 3 ini. "Mama mana?" tanyaku selepas mengakhiri pelukan tersebut.
Papaku memutar bola matanya malas. "Bikin slime," lalu duduk di sofa dengan wajah pasrah. "Hhhhh, childish banget emang mama mu itu. Gemes tapi nyebelin. Masa papa suruh beli borax satu kilo? Kayak orang bloon."
"Astagfirullah."
Papa terkekeh, "Taruh tasnya dulu sana. Mark-lah mana tu bocil tadi?" dua pasang manik obsidiannya beredar, kemudian terhenti pada satu figur. Mark yang tengah mematikan keran air.
Papaku memekik, "Makasih Mark udah dimatiin! Om sampe lupa!"
Mark pun muncul seraya mengusap wajahnya yang basah. Aku sih berpikiran jika Mark ini habis cuci muka tadi, sekalian matiin keran kamar mandi. "Sama-sama. Oh iya, om. Aku ke atas dulu ya bentar, mau taruh tas."
Baru saja Mark ingin melenggang pergi, pergerakannya dihentikan oleh sebuah dehaman. Ia membalik, melihat pria dengan kumis yang mulai terlihat, meskipun tipis.
"Kamu tolong tarohin tas Keisha sekalian, bisa gak?" pinta Papa Keisha. Mark melirik sekilas ke arahku yang terdiam, kemudian mengangguk.
Aku yang mendadak tahu bila Mark malah menyetujui perintah papanya itu justru menggeleng kuat. "Gak! Gak! Biar aku aja, Pa. Ayuk Mark. Bareng gue ke atasnya!"
Aku menarik pergelangan tangan Mark paksa kemudian naik-menginjak beberapa anak tangga yang sudah pasti akan mengarahkanku ke tiga bilik kamar; kamar Jisung, aku, dan Mark.
Aku berhenti di depan kamarku. "Kalo udah ganti baju sama rapihin kamar lo sendiri, nanti ketuk aja pintu kamar gue. Kita ke bawah bareng."
Mark mengangguk ragu. Mau menolak juga gak mungkin, ribet urusannya nanti. Mana sekarang orang tua Keisha udah dateng. Alamat gaji di potong, ngeri juga ngebayangin muka Taeyong yang merah padam gegara nahan marah.
"Oke. Gua masuk duluan."
Aku masuk ke dalam bilik. Menguncinya rapat-rapat kemudian manikku beredar menatap penjuru kamar yang lumayan berantakan.
"Mager beresin. Suruh Mark aja dah."
//
Author POV'
"JAEHYUUUUN!!!"
"KENAPA SAYANGG?!"
"SINI BENTAR! BANTUIN AKU BERESIN SLIME!"
Jaehyun mengembuskan napas lasar kemudian mengganti channel televisi dengan hentakkan. "Beresin sendiri sih! Siapa yang buat coba!?" teriaknya dengan nada malas.
"BERESIN ATAU GUE KEBIRI TIT-"
Mengembuskan napas kasar. Jaehyun pun mematikan televisi lalu membanting remote TV itu kesembarang arah. "Iya ah! Bacot banget sia babi aer!"
"BURU JAEHYUN!"
"SABAR WOI!" Takut beneran dikebiri, Jaehyun pun mempercepat langkah kakinya. "JALAN JUGA PAKE WAKTU, SUYANG!"
Jarak dari ruang televisi ke arah kamarnya itu memang memakan waktu sekitar empat puluh detik. Letaknya berada di ujung, dekat dengan dapur dan pintu taman belakang. Wajar saja jika pergerakan Jaehyun sedikit lelet-bukan lelet beneran, tapi dilelet-leletin. Males bor beresin slime tuh! Udah trauma Jaehyun bantuin kayak gituan. Masa slimenya pernah mental sampe ketek dia?
Brak.
Jaehyun ngedobrak pintu kamar. Dilihatnya pemandangan yang sangat-sangat berantakan. Lem di lantai, slime activator tumpah kemana-mana, belum lagi ada PSPnya Jaehyun-ketumpahan cairan sabun :).
"OMAMAMAY PSP AING!!!!"
Jaehyun lebih mengutamakan PSPnya ketimbang si istri yang lagi ribet-ribetnya masukin slime ke dalam toples gede. Jaehyun meringis kecil, serem banget ... Ini PSP dari jaman dia ngelamar si istri, sampe sekarang. Gimana engga sedih, ini PSP pemberian dari mantannya, huweee.
"Nangisin dah lu anjing PSP dari Rose gua ancurin!"
Jaehyun menatap sendu istrinya. "Ih jahat."
"Buruan elah, bantuin gua!"
"Setan. Kesambet apa coba gua nikahin lo?"
Si istri terkesiap lalu tergelak puas. "Lo juga kesambet apa sialan bikin anak ma gua?!"
"Ada setan lewat!"
"Ngomong sama slime sana." balas istrinya ketus. Jaehyun duduk, bertumpu dengan kedua lutut kemudian dengan keberanian yang sudah terkumpul, Jaehyun menyentuh benda lengket itu dan memasukannya ke dakam toples. Sedikit demi sedikit.
Kesayangan Jaehyun-siapa lagi kalau bukan Chaeyeon, istrinya itu cuma ketawa pelan. "Dikit sih dikit, tapi gak seupil juga, sayton."
"Kok kasar?"
Chaeyeon memukul kepala Jaehyun pelan menggunakan spatula yang ia gunakan untuk mengaduk bahan-bahan slime tadi. "Abisan minta dikasarin sih." gelengnya kecil, lalu berdiri seraya menenteng baskom dan sabun cair dikedua tangannya.
Jaehyun berujar, masih fokus dengan acara membereskan slime si istri. "Sekalian keluar, kamu ajak Keisha dong suruh ke ruang televisi. Bilang suruh tunggu disana, soalnya aku mau ngomong sama dia."
Chaeyeon menghentikkan tangannya yang sudah terulur untuk membuka kenop pintu. "Lah? Tumbenan?"
Jaehyun menghela napasnya perlahan lalu membalikkan badan untuk menatap wajah si lawan bicara. "Gini ya, kamu gak heran apa, selama kita tinggal dirumah-Jisung jadi lambat pulang gini. Terus kamu tau gak? Taeyong ngirim pesan ke aku, dia minta izin, gak jelas gimana kronologinya."
"Yahhhh, terus? Izin gimana maksudnya?"
Jaehyun mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kayaknya izin kagak kerja dulu. Soalnya dia ngaitin Mark disana. Pasti ini si Taeyong kagak ada di rumah semenjak kita pergi."
Chaeyeon mengerutkan kening, "Terus?"
"Kita tanya ini ke Keisha. Kalo Keisha gatau, ya, kita pecatin aja si Mark. Kali aja kerjanya si Mark juga kagak bener waktu kita tinggalin itu?"
. . .
Keisha yang asik memainkan ponselnya itu seketika terkesiap. Pintu kamarnya diketuk oleh seonggok manusia, entah siapa, Keisha tak peduli. Namun ketika Keisha berusaha untuk bersikap cuek, ketukan pintu itu terdengar lagi.
"SIAPA DISANA?!" teriak Keisha dari dalam kamar.
Orang diluar sana hanya membalas seadanya, tidak teriak, tidak berbisik juga. "Ini Mark." kata si empu yang ternyata ialah Mark.
Keisha mendongak menatap langit-langit kamar. Seketika ia teringat dengan ucapannya yang memerintahkan Mark agar ke kamarnya bila selesai berganti kostum. Keisha bodo amat, lalu menelungkupkan tubuhnya.
"Gajadi Mark, lo duluan aja dah ke bawahnya. Udah pw nih!"
Keisha turut mendengar suara embusan napas dari luar sana. "Iya deh." cicit Mark. Hingga langkah kaki si taruna terdengar, menggema hingga ke dalam bilik kamar Keisha. Dirasa hati cukup tak enak, Keisha justru menggeleng kecil.
"Bomat dah."
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar lagi. Gadis yang kerap disapa Kei itu mendecak kesal, di taruhnya ponsel itu diatas nakas kemudian turun dari ranjang-hendak membuka pintu sekaligus menghampiri orang yang menganggu quality timenya.
Ia putar kenop pintu, kemudian menyembulkan hulu sedikit dari dalam sana. "Paan sih Mark, ganggu anjir!"
"Mama kamu nyuruh aku barusan buat manggil kamu. Katanya di tunggu di ruang televisi sana." bisik Mark.
Mendengar ucapan Mark yang menyuruhnya ke bawah-lebih tepatnya sih, sang mama yang menyuruh-Keisha membuka pintu lebar-lebar lalu ditatapnya dua manik obsidian pria yang berhadapan dengannya. Cukup menjadi bukti bila Mark jujur dengan ucapannya.
"Oke. Gua nyusul." putus Keisha, mutlak.
Mark lantas melenggang pergi. Ia juga harus menyiapkan makan malam dan membereskan taman belakang. Sial, tak ada waktu istirahat untuknya kecuali pukul 12 malam.
Ketika Mark sudah turun dari lantai atas, Keisha baru saja keluar dari kamar sembari menyumpalkan kedua telinganya dengan earphone. Dengan langkah biasa, ia pun menyusul Mark yang sudah berada di bawah.
Keisha mengambil posisi duduk santai di sofa. Sesekali ia melirik ke arah jam besar, letaknya berada di samping televisi. Pukul 3 sore, tak ada tanda-tanda jika Jisung pulang ke rumah.
'Drrt drrt.
"MBAK! Maaf aku pulang telat, ini barusan aja selesai latihan nge-band. Besok ada lomba soalnya. Maafin adek ya mbak, baru ngabarin sekarang."
"Salamnya dulu mana, dek?"
"Halo mbaknya Jisung yang paling cantik mirip bekantan. Assalamualaikum??"
Barusan Keisha hendak darah tinggi, tiba-tiba langsung saja hatinya sedikit menghangat. Rasa khawatirnya sudah cukup berkurang sekarang. "Barang digituin aja sok nurut lo najis," gadis itu terkekeh. "Gak pacaran kan lo?"
"Ya Allah, mbak. Masih kecil. Udah ya, Jisung matiin dulu telponnya. Ini Jisung mau nebeng sama Daehwi dulu. Assalamualaikum."
"Hati-hati. Iya, Waalaikumsalam babiku."
"Bedugul."
Tut.
"Gimana adiknya? Ga jelas kan ya, pulangnya sampe sore gini?"
Kepala Kesiha mendongak. Itu papanya, Jaehyun. Lelaki dengan tinggi bak tiang bendera itu berjalan melewati Keisha kemudian duduk di sofa-bersebrangan dengan sofa si putri. Keisha mengerutkan dahi, tumben banget papanya ini gak mau duduk sebelahan sama dia.
"Apasih, pa? Jisung ada latihan band."
"Kok baru ngabarin sekarang? Ajaran jelek mana itu selain dari kamu, hm?" tanya Jaehyun seraya menatap putrinya datar.
Keisha memincingkan matanya, "Papa ngaca dong. Papa bilang bakal pulang kemarin sore, eh? Buktinya sekarang baru pulang. Jisung ngopas sifatnya dari mana lagi selain dari papa."
"Papa ada urusan penting. Nenek kamu itu mau nikah lagi, gimana papa gak ribet sama jadwal pulang? Pas mama kamu minta pulang, papa justru lagi pusingnya mikirin restu. Sedangkan ketika papa minta pulang, mamamu itu nolak mentah-mentah. Besok ajalah, besok lah, jadinya sekarang baru pulang." jelas Jaehyun.
Keisha mengangguk pelan. "Papa mau ngomong apa?"
"Kamu jujur. Mas Taeyong kemana?"
Keisha mengrenyitkan dahi, "Sejak kapan peduli Mas Tae-"
"Apa susahnya tinggal bilang iya atau tidak, putriku?"
"Susah kalau papa gak jelasin dulu berkaitan alasan kenapa papa tiba-tiba nanyain Mas Taeyong?" laku terkekeh geli, "Biasanya juga cuma bisa ngedecak gegara Mas Taeyong dari keluarga yang gak jelas silsilahnya."
"Oh, rude." kekeh Jaehyun. "Tapi emang nyatanya gitu Keisha sayang. Mas-mu itu, dari keluarga gak jelas. Sama sekali gak jel-"
BRAK!
Keisha melempar ponselnya yang sedari tadi ia genggam dengan penuh kesabaran. Namun kali ini berbeda, Keisha bisa merasakan amarahnya memuncak ketika sang ayah mengejek Mas Taeyong-nya secara tak langsung.
"Kekuarga Mas Taeyong jelas!"
"Siapa, mbak? Kasih tau papa sini."
"Kita!"
Plak!
"Kamu mancing papa banget sih buat mecatin si Mark?"
"Sialan."
Mark menggeram pelan. Keisha naik ke lantai atas sembari menangis kencang-tidak biasanya si majikan sepatah itu. Karena Mark pernah mendengar pepatah bilang: Tidak akan ada asap, jika tidak ada api. Lantas, Mark yang berdiri sebatang kara disini, harus apa selain memendam rasa sakit dan menahan rasa yang kini nampak semu.
+++
✋HAI. bodo ya, aku harus nyelasaiin ini. kalo di unpub sayang! outline udah ketulis sampe akhir hueee, doain semoga 30 chpter bisa selesai dengan baik!💘
dRAMANYA BANGET YA:(
maaf kalo tulisan ini agak alay dan gak ngefeel samsek.
;;2,5k words.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top