12. First Day School.
we continue,
Malam ini pukul delapan. Dimana Mark sudah selesai menjalani seluruh pekerjaan rumah. Ia menghela napas lega kemudian duduk di lantai sembari mengusap peluh. Saat itu juga, Mark menatap telapak tangannya yang basah, keringatnya memang banyak.
Ia mengipasi dirinya dengan kerah baju. Ia berkali-kali memejamkan mata, jelas sekali terpancar pada sorot matanya jika ia kelelahan. Keisha dan Jisung tengah di lantai atas, bermain PS bersama. Tumben-tumbenan juga mereka akur.
Lantas, Mark pun bangun dari posisi santainya. Ia menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Meneguknya sampai titik akhir lalu mengembus napas lega.
“Payah, baru segini udah capek aja.” gumamnya.
Baru segini yang dimaksud Mark ialah antonimnya. Yang dikerjakannya tidak sedikit, kawan. Ia bolak-balik menyapu lantai dasar dan lantai atas. Kemudian mengepel, lalu memotong rumput di taman depan dan pekarangan rumah, jann lupakan juga tentang dapur dan makan malam. Semua ia lakukan dengan profesional.
Kondusif, hasilnya sesuai dengan jerih peyahnya.
Diliriknya jam besar yang berdiri kokoh tepat disebelah televisi 36inch. Pukul setengah sembilan, waktunya ia untuk membereskan kamar Jisung dan Keisha.
Berkaitan dengan kamar kedua orang tua Keisha, tak ada yang perlu dirapikan. Ya mau bagaimana, toh, ketika Mark hendak membuka kamarnya terpasang jelas di depan pintu sebuah karton yang menggantung; jangan masuk, bila tidak berkepentingan. Hingga Mark mengubur keinginan itu dalam-dalam.
Tok. Tok.
Pertama Mark mengetuk pintu kamar Jisung. Ketika Mark membukanya, terpampanglah layar televisi yang masih menyala, beserta kedua orang yang malah tertidur dilantai, posisinya menyandar pada badan kasur.
Mark membereskan makanan yang berserakan lalu mencabut kabel playstation yang masih bersarang disana. Dimatikannya televisi, lalu membangunkan si majikan.
“Paansi?”
“Bangun. Kalau mau tidur, tidur di kasur. Jangan disini, dingin, Jisung” ucap Mark berbisik, dagunya terangkat, mengarahkan ke arah Keisha yang masih pulas. Jisung yang paham hanya mengusak matanya ngantuk kemudian asal menarik tangan si kakak hingga badannya jatuh tersungkur.
Keisha memekik kesakitan. “SAKIT, JISUNG!”
“YA MAKANYA, TIDUR DI KASUR, JANGAN DI LANTAI! SONO KE KAMAR LO SENDIRI!” balas Jisung tak mau kalah.
Mark hanya menutup telinga rapat-rapat tatkala kedua kakak beradik itu mulai beradu mulut. Ia memanfaatkan keadaan dengan menggulung karpet kecil yang tergelar di lantai. Setelah ia gulungkan, ditaruhlah benda itu dekat dengan almari baju Jisung.
BRAK!
Pintu Jisung terbanting. Siapa lagi yang membantingnya kalau bukan Keisha.
Jisung mendecak habis-habisan lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Mengabaikan atensi Mark yang sudah selesai menggulung karpet, lalu beralih untuk membereskan nakas.
Jisung berceletuk, namun terdengar samar karena mulutnya terhalangi oleh bantal, “Kak Mark gak bobo?”
“Ntar jam sepuluhan.”
Jisung mengambil bantal lalu melemparnya tepat di bokong Mark. “Tidur ae, kak, allahuma. Udah malem, tuh. Hayoo! Kak Mark mau sekolah apa enggak nih ceritanya? Gak inget apa besok udah mulai sekolah?”
Pipi Mark bersemu merah. Ingatkan Jisung agar tidak merutuki dirinya yang lebih eksotis karena terlalu lama tinggal di wilayah tropis. “Najis, edan kak. Jangan merah gitu mukanya, kayak cewek.”
“Salahin kulit aku lah, suruh siapa putih banget.” kata Mark, bercanda.
Jisung malah mengambil ancang-ancang untuk melempari Mark dengan bantal. Namun lebih besar. “Yeeee! Sohor banget lo, kak. Liat aja, kalo kakak udah lama disini, pasti lebih ireng dibanding gue.”
“Iya, terserah kamu. Nih bantalnya, lampunya mau dimatii—”
Jisung menyelak, “GAUSAH! Udah Kak Mark ke kamar sono, gosok gigi, pipis, terus tidur. Aku ngantuk!” cerca Jisung kemudian membalikkan badannya membelakangi pintu kamar. Memeluk guling lalu matanya terpejam.
Mark terkekeh. Ia pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar Jisung.
Pintu ia tutup perlahan, sampai-sampai suara Jisung menghentikkan aktivitasnya.
“Kak Mark jangan beresin kamar Mbak Keisha, katanya dia masih ngambek sama kakak.” seru Jisung dari dalam kamar.
Pundak Mark sontak turun, ia hanya mengangguk dalam diam lalu menutup pintu kamar dengan sempurna.
Ia menggelengkan kepala kemudian berjalan menuju ruang paling pojok. Ruang dimana Mark bisa tidur dengan pulas.
Mark memutar kenop pintu lalu menutupnya rapat-rapat. Hal yang ia lakukan tidak langsung tidur, melainkan membuka pintu balkon, dan menyandarkan tubuhnya disana. Badannya penat, terlebih pikirannya saat ini. Kota jauh seperti neraka untuk Mark. Tidak dengan pedesaan, yang suasananya jauh lebih tenang dan rileks.
Seluruh perlengkapan sekolahnya sudah gamblang ia taruh diatas kasur. Mulai seragam, buku tulis hingga tas berukuran sedang.
Matanya terpejam, menikmati hembusan angin yang sejuk dirasa. Tak lama setelah itu, ada sebuah nyamuk yang lewat di telinganya, membuat ia menepuk pipi pelan dan membuka mata lebar-lebar.
Ingatkan ia untuk berterima kasih pada si nyamuk, karena tak selamanya penganggu ialah penganggu yang sejati. Justru karena nyamuk itu, manik obsidiannya menangkap suatu siluet di bawah sana.
Diliriknya Jeno dan seorang perempuan yang tengah berjalan berdampingan. Mark seratus persen yakin, itu bukan pacar Jeno.
“Pacar Jeno mah Keisha bukannya?” tanyanya pada diri sendiri.
Mark menggeleng, “Hush, jangan ngomongin orang. Udah lah biarin aja.” lalu memalingkan wajahnya dari sana.
Mark mengusap dagu. “Jeno, ya...?”
“Nanti langsung aku tanya ke orangnya, ah.” putusnya mutlak, lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon rapat-rapat.
Tubuhnya ia baringkan di atas kasur. Tangannya bersidekap di atas dada hingga tak lama itu rasa khawatir mulai membuncah dalam hati.
Kapan ayahnya pulang? Padahal, Mark ingin sekali melihat Taeyong ada di rumah dan memamerkan seragam sekolahnya yang baru.
Susah sih jika terlalu lama mendekam di desa. Melihat orang berseragam saja rasanya iri bukan kepalang.
. . .
“MWORK ANJYING!”
BRAK!
“SUSAH BANGET SIH, LO NURUT SAMA GUA, SYAITHON?!” teriak Keisha kelewat ngamuk.
Jisung mengusak rambutnya kasar kemudian menatap sengit Keisha yang sedari tadi tak bisa tenang. Bahkan, saat sarapan pagi saja, kakaknya ini tak bisa untuk sekadar tenang, apalagi anteng. Rusuh, misuh, dan ricuh dibuatnya.
“Lo gak ngebayangin jadi mbak, Jis! Susah, susah, susah bangs—!”
“Kak, calm down. Jangan cursing! Aku laporin ke mama nih kalo kakak mulai pake aksen sehari-hari ke Jisung!” bentak Jisung kepada Keisha yang asik meneguk satu gelas susu putih yang baru saja Mark siapkan.
Keisha menaruh gelas itu di atas meja makan dengan hentakan. “Lo harus sarapan, Mark! Bersyukur gue ngasih kesempatan lo sarapan! Sekarang lo sekolah, nanti lo sakit gimana?! Gua juga yang susah!” ujarnya dengan nada yang menggebu-gebu.
Mark tengah mencuci piring, ia abaikan cercaan demi cercaan yang dilantunkan oleh si majikan. Mark mana peduli, jika ia tidak lapar, lebih baik ia tak usah makan. Masalahnya, persediaan beras sudah abis. Nasi di dalam magic com pun sudah tinggal sedikit. Mark harus berhemat, ya, caranya ini. Ia tak wajib untuk sarapan.
Keisha yang merasa dihiraukan oleh Mark itu malah memundurkan kursi lalu berjalan meninggalkan lokasi dengan tangan yang dikepal. Mark tentu melihatnya, namun bagaimana lagi. Wajar jika Keisha kesal bukan main. Ini memang salahnya.
Mana ia masih marah lagi tentang kemarin.
Jisung menghampiri Mark yang sibuk memasukkan piring ke dalam lemari. “Kak Mark, makan dulu dong ayo! Jisung punya roti sobek tuh di kulkas, kakak bawa aja buat bekal di sekolah kalo laper.”
Mark mengangguk saja. Lagi pun jika ia menolaknya, ia sudah membuat dua majikannya marah secara tak langsung. Mark tak mau pagi ini menjadi lebih ribet jika Jisung ikutan ngambek.
Mark pun teringat sesuatu, ia menutup lemari piring perlahan kemudian berjalan ke arah meja makan. Dibelakangnya, Jisung tengah mengikuti Mark. Tatkala Mark menutup tuding saji, barulah pria berdarah Korea-Kanada ini berujar, “Aku baru inget. Mama dan papamu pulang nanti petang. Sudahlah Jisung. Kamu gak perlu risau, aku baik-baik a—”
Jisung memotong, “I-iya, kak. Tapi...,” ucapnya. “Kakak maafin mbak ya? Dia emang pundungan, tungguin aja nanti waktunya omongan aku ter-realisasikan. Punjabi.” dengus Jisung seraya menggendong tasnya, “Tas kakak mana?”
Mark menunjuk ke arah sofa tamu. Tasnya ia taruh sana agar tak kepalang rumit jika harus naik turun tangga. Jisung sekadar mengangguk lalu jalan mendahului Mark yang masih diam larut dalam pikirannya sendiri.
Napas ia embuskan, dilihatnya jam dekat televisi—sudah pukul setengah tujuh. Dimana Mark harus menghantar Jisung dan Keisha menggunakan sepeda motor.
Ralat, justru Jisung dan Keisha sudah meninggalkan Mark dengan sepeda motornya. Mark hanya mampu menggeleng pelan, ia yakin sekali, Keisha masih menaruh rasa kesal kepada Mark. Padahal tadi pagi Jisung sudah membuat statement, jika: lebih baik gayor tiga aja biar cepet sampai sekolah.
Realitanya, Mark berangkat bertiga. Ditemani dengan malaikat sebelah kanan dan kiri Mark tentunya.
Beri kesempatan untuk Mark agar dapat memeluk kedua malaikatnya itu yang selalu menemaninya hingga akhir hayat.
“Ternyata sekolah seribet ini, ya.”
Mark mengunci pintu pagar kemudian berjalan menuju tempat sekolahnya yang sama dengan sekolah si pacar—padahal mantan—Jeno.
Hari baru, senyuman baru juga untuk Mark di pagi hari.
. . .
Kurang lebih Mark sudah berjalan kaki sekitar setengah jam. Gerbang sekolah sudah ditutup rapat, sedangkan, bisa Mark lihat dari sini. Jika Keisha tengah berdiri di tengah lapang—dengan posisi hormat dan matanya yang memincing, beradu dengan sinar matahari yang menyengat. Keisha telat, ia diberi hukuman oleh Bu Boa selaku guru konseling.
Mark mengeratkan gendongan tasnya. Matanya berkelana mencari security ataupun penjaga gerbang. Tak ada. Lantas, bagaimana Mark bisa masuk?
Tiiiiiiiiiinn!
Mark sontak menutup kedua telinganya. Badannya berbalik, ia melihat ada satu buah kendaraan roda empat bermerk Avanjay. Mark mengulum senyum tipis, lalu meminggirkan diri. Sepertinya, ia guru disini.
Mobil itu maju. Tak lama setelah itu, penjaga gerbang sekolah datang dengan langkah terbirit-birit. Ia membuka pintu gerbang itu sepenuhnya. Sampai jendela di bagian pengemudi terbuka lebar.
“Makasih, pak!” teriaknya. Mark sedikit melirik. Itu perempuan, ia memakai seragam yang sama dengan Mark.
Masih dalam jendela yang terbuka, mobil itu perlahan maju lalu menatap Mark yang berdiri linglung dengan tatapan sengit.
“Anak baru? Masuk sono. Dah telat malah mejeng disini lagi. Ditabrak, mati. Mampus aja.” dengusnya kemudian memasukan mobil ke dalam wilayah sekolah.
Mark menatap mobil itu dengan tatapan malasnya. Ceilah, mungkin dia anak guru atau anak dari direktur pemegang saham tertinggi di sekolah ini.
Mark masuk ke dalam sekolah. Rupanya, Keisha sudah memperhatikannya sedari—mungkin, ketika mobil itu membunyikan klaksonnya? Bisa jadi.
Keisha berteriak ke arah Mark yang pura-pura mengabaikan dirinya.
“WOI! GUA MASIH MARAH YA, SAMA LO!”
Mark menggendikkan bahu; gak peduli acan bangsyit dengan berjalan cepat, mencari ruang Kepala Sekolah.
Keisha menghentakkan kedua kakinya sebal. Ia terus berdiri disini, sampai bel pelajaran pertama usai.
Matanya perih bukan kepalang. Tak lama itu, Keisha melihat lewat ekor matanya, ada diluet yang menghampiri dirinya. Sontak Keisha menoleh cepat, hingga pipinya bertabrakan dengan minuman dingin.
“Lo rese anjing kalo lagi telat!”
Keisha memamerkan senyun—lebih ke cengiran meledek. Itu merupakan hal yang paling Lucas benci. Dengan nurutnya ia disuruh, padahal, ini adalah kesempatan emas untuk Lucas menjual film birunya. Kelas sedang free, say.
“Makasih Lucas, seyeng.”
“Habisin sono, sekalian tutup botolnya lo telen.”
Keisha mendengus. “Basod lo babu!”
Lucas mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia hendak memukul Keisha namun hanya sebatas hendak. Bisa-bisa, burungnya lepas begitu saja kalau ia memukul raja hutan.
“Eh, gua liat, si Shuhua naek mobil njer. Mobil baru, ceunah. Avanjay!”
Lucas membelalakan matanya, “Shuhua temennya yangbeb gua?!”
Keisha mengangguk. Memang benar kenyataannya kok, Shuhua berteman baik dengan Yuqi. Panah asmaranya Lucas sejak kelas 10.
“Perasaan si cihuahua itu kaya njir. Tapi gatau kenapa, gua liat, si Yuqi mah biasa aja dah?” tanya Lucas.
Keisha mendelik, “Mana gua tau anjing! Gua bukan gebetan Yuqi. Temen apalagi.”
“Tuh, kan. Aku dikasarin lag—”
“mUDIK GAK LO, ASU?!” Keisha menendang bokong Lucas dengan kasar. “Mending gua sendiri disini!”
Lucas hanya hahahehe saja. Lumayan enak juga bokongnya ditendang-tendang oleh Keisha. Sakit tidak, rasanya seperti di pijat.
“Ena, Kei. Tendang lagi do—AUUUUWWW KOK DEPAN GUA SIH YANG DISLEPET?!”
“RESE LAGIAN! SONO DAH!”
Lucas lari terbirit-birit meninggalkan lapangan sekolah sambil memegang bagian bawahnya yang sakit bukan main. Keisha hanya meringis pelan kemudian membuang botol isotonik itu kesembarang arah.
“Jangan buang sampah sembarangan!”
Keisha menoleh. Benar ternyata, itu Mark dengan tas yang masih bersarang dipunggungnya.
Mark menyodorkan satu buah buku bertuliskan nama si adam dan pelajarannya. Keisha hanya menyeringai tipis, lalu menolaknya sehalus mungkin. “Gak liat gua lagi di hukum?”
“Ini mataku melek. Jelas aku liat, tuh keringet kamu banyak.”
“Gue gabut—”
Mark menarik tanganku kasar lalu memberikan bukunya padaku. “Kamu butuh aku. Inget, aku masih pembantu kamu disini,” langkahnya terangkat, “aku tinggal. Pak guru nunggu aku di kelas.”
Bagaimana pun, Mark ini murid baru. Ketika Keisha hendak mengipasi wajahnya menggu akan buku tulis milik Mark, ia pun penasaran, dan diliriklah kolom dibawah nama. Tertulis; MIPA-3
“Halah, basod. Udah satu rumah, satu negara, sekarang harus satu kelas juga?”
“Jangan bilang, bangku sebelah gua yang kosong itu bakal ditempatin dia lagi? Suwek.” racaunya monolog lalu melanjutkan hukumannya yang sempat tertunda tadi.
KRINGGGG—!
Manik hazelnya membola. Ia sontak menatap penjuru sekolah. Itu bel pelajaran pertama berakhir! Waktunya Keisha, untuk kembali ke kelas.
Dirinya berlari, melewati koridor wilayah kelas 10 MIPA dan IPS bersamaan laku menaiki anak tangga. Ruang kelasnya ada dilantai satu, paling pojok kanan.
Keisha buka pintu kelas itu dengan satu kali gebrakan, hingga seluruh murid mengalihkan pandangannya kepada Keisha.
“Mampus sia di hukum!” sahut Seungmin dengan nada mengejeknya.
Keisha memutar bola matanya malas kemudian melirik ke arah kursinya yang masih kosong.
Lah anjer?! Terus Mark duduk diman—owanjir, sama si Herin ternyata.
Si taruni dengan wajah nurani; sebenarnya menyimpan dengki itu mengulum senyum tipis lalu duduk dibangku, dengan tubuh yang lesu.
Ia menelungkupkan kepala. Mengabaikan Pak Sehun yang tengah berceloteh mengenai tumbuhan. Rasa lelahnya ia kubur dalam-dalam, mengetahui fakta, jika pikirannya tak bisa jernih ketika sorotnya menangkap si pembantu, memilih duduk selain dengan dirinya.
Nanti dia gak bisa dibabuin buat nulis catatan di atas papan.
. . .
“Iya woi, gua dapet kiriman paket, dari oppa-oppa Korea gitu anjir! Liat nih, gua udah fotoin kotaknya!”
Mark yang asik membaca buku itu pun hanya bisa diam, tak perduli dengan anak perempuan dikelasnya yang mulai menggosipi hal tak bermutu. Mark sesekali melihat ke arah Keisha yang tengah berkumpul dengan ketiga temannya. Dua cowok, satu cewek. Entah, yang pasti—Mark tak melihat Jeno disisi Keisha.
“Anjing! Namanya Lee Taeyong?!”
Mark sontak terdiam. Teriakan kawanan taruni di kelasnya ini sungguh mengacak suasana hatinya. Ekor matanya juga menangkap, jika tubuh Keisha sedikit mematung mendengarnya.
Mark tau, itu ayahnya. Taeyong.
Ia hanya memasang kuping, hendak mendengarkan. Toh, ini baik juga untuknya? Siapa tahu, ia bisa mencari keberadaan si tulang punggung.
“Engga sih, ini tuh kayak paket gitu. Gua kan beli satu set kosmetik, nah, dikasih bonus dah gelas ini! Pantes berat! Gua kira kloset wc.”
“Bodo sia. Coba-coba, disitu ada nomor telepon kurirnya kagak? Mau aing gebet.”
Mark mendongak, lalu kembali menunduk—pura-pura membaca buku gitulah.
Beralih pada Keisha. Lucas, Lena, dan Seungmin sudah mulai berbisik-bisik. Kadang mereka meledek Keisha yang mendadak diam, kadang juga mereka membicarakan Mark yang terlihat mencurigakan di pojok kelas.
“Tuh cowok baru, kriminal tah gimana anjeng?” tanya Lucas dengan berbisik.
Seungmin menggeleng. “Itu mah lo aja, dasar om cabul!” pekiknya seraya memukul punggung Lucas yang membungkuk.
Keisha memutar bola matanya malas. “Itu babu gua anjing! Si Mar—”
Lena menggebrak meja yang notabenenya adalah bangku Seungmin. “ANJING, ITU SI MEK?”
“MARK!!!”
Keisha sontak menutup mulutnya lalu menarik rambut Lena dengan kasar membuat si empu mengaduh kesakitan.
Keisha sebenarnya juga malu sih, meneriaki nama Mark, yang kebetulan juga ia tengah cueki saat ini. Keisha tahu, Mark terpanggil.
Lucas menggerakan tubuh Seungmin. “Min, min! Si mork mork itu ngeliat njer! Parah ini mah! Kak Mingyu jauh anjeng, putihan si Ma—ADAWWW!”
Lena mencubit pinggang Mark kencang. “Gausah rasis deh!”
“Berarti lo juga rasis! Ngeledek gua ganteng dari hongkong, apa mah ga jelas!”
Seungmin menggretakan giginya kemudian menarik rambut Lucas kasar. “Ya kan lo emang dari Hongkong, bego! Ga ada unsur rasis samsek!”
“Oh, berarti gua beneran ganteng gitu ya?” tanya Lucas pada Seungmin. Seungmin justru bergidik ngeri, temannya sudah berkamuflase menjadi pria hidung belang jika seperti ini.
“Percuma ganteng kalo otak lo gendeng, kampay.” umpatnya.
“Woi, woi! Itu si Mark mau kemana ajik? ANJER, DIA NGINTILIN JENO, BOSQ!” teriak Lena histeris kemudian berlari meninggalkan kelas yang ditempati oleh Seungmin dan Keisha.
Lucas tak kalah hebohnya. Pria bertubuh besar itu sudah mengambil ancang-ancang untuk memundurkan kursinya, dan berlari menyusul Lena yang sedang mengintil.
Seungmin dan Keisha berpandangan. Hingga akhirnya, Seungmin berceletuk.
“Si Mark kepo kali, kenapa lo kagak bareng sama Jeno. Padahal kan, lo pernah cerita ke gua, kalo Jisung bilang ke Mark tentang..., yee berak. Malah ditinggalin.” kata Seungmin lesu.
Keisha pun memutar balik otaknya, ia mengikuti jejak para syaithon yang tak lain adalah Lena dan Lucas.
Adakalanya, apa yang Sungmin ucapkan itu terbilang logis untuk sebuah alasan, mengapa Mark tiba-tiba mengikuti Jeno dengan langkah yang terbilang tidak santuy.
+++
🍟sori ampas.
2,7k words
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top