11. Begin Again.

AQ SUKA TYTYD
(4)

keishaa

Len, Cas. Ke Alun-alun, kuy? Gabut abis dari rumah Jeno. Si Seungmin nurunin gwa di alun kota sendirian nih.|

sent.

Tring!

Seungmout
| iya, gays, temenin dia ya. dia kgk maw balik, males. ydh gwa jatohin aj di alun kota. gwa gbisa ikut, ngANTOOOOK NJING

Casian
|mampus km anjing.

Lenlenq
|gblog cas, @ Casian itu si keisha tulul
|lagian kita sampingan, keep calm kei, kita bedua lgsng caw kesana!

Casian
|lO AJA SANA ANJING, GWA MAGER NYETIR

Lenlenq
|bACUD LO KOLOR
|btw, kei, si lukas abis ngompol masa wkwk gegara di ajak ngobrol sm yuqita sahur.

Casian
|qm sp? apaqa qita perna kenal?😇
|slow down kei, gwa ma lena lgsng caw kesana ya. tiati bnyk terong!

keishaa
lo terongnya, asu |

we continue。

“Hah?” Lena menatapku risau.

“Dua hari Mas Taeyong gak ada di rumah,” cicitku.

“terus, gua dapet kiriman paket dari Mas Taeyong. Kotak gitu, belum gua buka sih. Tapi yang gak habis pikir itu, nama kurirnya persis sama kayak nama Mas Taeyong. Bedanya cuma di marga. Mas Taeyong pake marga Amun, yang gua cari di google kalo Amun itu emang nama Kanada gitu. Nah, kalo si kurir, pake marga Lee. Marga Korea, kayak Jongsuk oppa.” lanjutku dengan dengusan.

“Au ah njing, gelap.” sahut Lucas.

Lena memukul kepala Lucas pelan kemudian menopang dagu, “Mark di rumah atau dimana?” tanyanya. “Gua penasaran sama tu bocah. Kata lo bening? Bahkan kebih bening dari Kak Mingyu.”

“Ya elah, Len. Jauh njer, Kak Mingyu kan hit—eksotis.” balas Lucas. Lena menggeram dalam hati.

Aku hanya mengangkat bahu tak tahu. “Kayaknya di rumah deh. Emang kemana lagi tu anak selain ngedekem di rumah.” tebakku asal.

Lena manggut-manggut. “Coba lo telpon Mas Taeyong. Dia dah balik belom ke rumah—easy kan?”

“Nah itu. Status whatsappnya ketulis, kalo dia aktif dua hari yang lalu.” Aku mengusap wajah kasar, mama dan papa sedang di rumah nenek. Mas Taeyong tak tahu kemana, sedangkan Mark dan Jisung—mungkin sudah di rumah.

Lena menoleh ke arahku. “Eh, bagi nomor si Mark do—”

Lucas nyelak, “Gapunya hape dia.”

Mataku membola, “Lo tau, Cas?” tanyaku kepada Lucas yang asik menendang kerikil di jalanan. Lucas melirik kepadaku lalu mengangkat bahu acuh tak acuh.

“Mbung. Gua cuma nebak, ternyata bener.” katanya.

Aku hanya manggut-manggut saja. Aku, Lena, dan Lucas memang membuat janji pergi ke Alun Kota sore hari. Tidak dengan Seungmin, temanku yang satu itu pulang sebab mengatuk berat. Yasudah, aku hanya bisa mengucapkan kalimat terima kasih, karena ia telah menemaniku seharian ini.

“Bosen anjing. Pada ngebacot napa? Tumben lo banyak diem, Kei?” ini Lucas yang bilang.

Lena menimpal, “Lo suka sama Mas Taeyong, ya, jadi galau gini? Halah drama kamu, anjeng!” sewotnya, Lucas justru terbahak kencang.

Ngetawain teman emang nomor satu buat mereka.

“Apa sih, gua kagak mikir itu.”

Lena memeluk pinggangku dari samping, “Ah! Masa sih, kok aku ga per—” ucapannya terpotong, karena ia sudah berubah haluan, “oMAYGAT, ATAU JANGAN-JANGAN LO PUTUS DARI AKANG JENO? UNCH, PAJAK PEGAT DONG, KAKA!”

Aku melepas paksa tangan Lena dari pinggangku. “Apasih, enggak!” lalu mendecih, “lagian, Jeno mah s-setia sama gua. Selo aja.”

“Hah? Nyolo?” tanya Lucas, budeg.

Lena tak menggubris pertanyaan Lucas yang menjorok ke arah sana. Taruni itu justru merangkulku paksa kemudian mengusak rambutku gemas. “Udah deh, Kei. Gue tau lo, udah tiga tahu kita temenan. Gimana gua gak tau seluk beluk lo kalo lagi diem gini.”

Lucas nyaut, “Iya udah deh. Aku mah apa, cuma orang baru, oke. Idih najis aku di kacangin. Dasar lesbi.”

“ANJING!” Lena mulai murka.

Aku terkekeh. “Hehe bener njir—gua pisah sama Jeno.” lalu mencubit pipi Lena dan Lucas bergantian. “Tumben otaknya nyambung? Baru dipakai sekarang?”

Lucas dan Lena, langsung membuka mulutnya lebar-lebar. Apalagi Lucas, intinya, kedua syaithon itu semakin memperpendek jarak mendekat kepadaku. Lena sudah memelukku dari samping, disusul Lucas yang hanya menepuk bahuku berkali-kali dengan pelan.

“Bakso, Kei. Janlup, hehe.” celetuk Lucas.

Bangsat.

“Bacot lo warga +62!”

Lena menoyor kepala Lucas kasar lalu menarik pergelangan tanganku dan berjalan cepat meninggalkan Lucas dibelakang yang sedang mengeluh kesakitan. Lena terus-terusan mengatakan padaku agar sabar, dan jangan terlalu dipikirkan—nanti bisa ribet urusannya.

“Gua ngerti kok, Kei. Makanya, mending lo tolak aja si Jeno tempo lalu.” saran Lena.

Aku meringis, “Apa salahnya coba, setidaknya gua udah nyoba lah, gimana rasanya di prioritaskan sama Jeno. Ya, tau sih, gua emang di prioritasin dari dulu. Tapi sensasinya beda, temen ya temen, pacar ya pacar. Gue—kerasa spesial aja gitu, walau mantan.”

“Najis nyet bahasa lo.”

Aku menghentakkan kaki kesal. “Lena mah! Gua lagi serius juga! Nangis nih!”

“Nangis aja sok, nangis! Biar gua panggil itu babu lo—siapa sih namanya? Mek?” tanya Lena linglung. Matanya menatapku penuh binar, berharap tebakannya benar.

Aku menggeleng cepat, “Mark, ih tai.” koreksiku. Lagipula aku tak habis pikir, nama Mark ke ‘mek’ itu jauh banget. Mungkin hanya orang yang mempunyai kebodohan ganda-lah, yang paham bagaimana jalan pikir Lena bisa kesana.

Drrt drrt!

Lena mengembuskan napasnya pelan. “Bentar, ya, Kei ku seyeng. Ada pesan masuk.” katanya. Aku hanya diam, itung-itung aku juga mau tau siapa yang ngirim pesan ke Lena.

Aku mengrenyitkan dahi, “Lah? Adek gua ngapa ngechat elo?” tanyaku heran. Aku membawa ponsel kok, kenapa Jisung malah berkomunikasi dengan Lena?

Lena hanya mengangkat bahu tak mengerti. Ia mengetikkan balasan yang akan di kirim ke Jisung. Balasannya tak jauh dari; Iye, kakak lo ma gua. Nape?

Tring!

Ada pesan masuk lagi, dari Jisung pula. Aku membacanya, lantas, Lena memberikan ponsel miliknya kepadaku secara gamblang. Lena mengangkat dagunya, “Lo telpon aja si Jisung. Tu bocah bilang, hape lo kagak nyala, di telpon kagak diangkat-angkat. Dasar kakak gak guna.”

Aku menampar wajah Lena dari samping dan berjalan menjauhi Lena. Tentu aku butuh ruang privasi dengan Jisung. Ku tekanlah tombol hijau itu, tak lama kemudian, telepon pun di angkat.

Mbakkk! Pulang! Aku sendirian!”

Aku menautkan alis, “Lah? Mark mana? Mama papa belum pulang?”

Di sisi sana, aku bisa mendengar suara dengusan yang keluar dari hidung Jisung. “Nah itu, mbak! Ada sticky notes nempel di depan pintu dari Kak Mark. Dia lagi nyari orang, gatau siapa aku ga paham. Udah deh, mbak ke rumah sini, Jisung takut.”

“Bocah SMP sialan.”

Tut. Telepon ku matikan.

Aku memberikan ponsel itu kembali pada sang pemilik. Lena menatapku penuh tanya, aku hanya membalas gelengan pelan kemudian pamit—menepuk pundaknya dua kali.

“Gua duluan, ya? Mar—anu ... Jisung, apa sih, laper! Gua belum masak! Bye, Len!” jelasku dengan ekspresi wajah yang tak terkendali. Aku berlari cepat seraya melambaikan tangan ke udara, Lena hanya membalas dengan raut wajah bingung. Aku harap maklum.

Tidak, tidak. Aku sudah melupakan masalah hubunganku dengan Jeno. Yang memenuhi ruang pikiranku hanya taruna asal Kanada itu, siapa lagi kalau bukan Mark. Dia pasti khawatir akan Mas Taeyong.

Sialan, kenapa sih Mark tak memiliki ponsel?! Sekiranya tak apalah handy talky milik security. Ini dia sama sekali tak punya benda untuk berkomunikasi, sialan!

Di sisi lain, Lena mendengus kasar.

“Dia yang ngajak, gua yang ditinggalin. Depinisi temen paling asu diraih oleh ...”

Lena mengedarkan pandangannya. Tangan kanannya terkepal kemudian mengembuskan napas pasrah.

“... Lucas.”

Ting bating, punya temen pundungan banget keyak si Lucas.

❁.*・゚

BRAK!
“JISOOONG!”
“BUKA PINTUNYA!”
“ADEKKK!”

Pintu rumah pun terbuka, “Berisik ih! Tetangga keganggu mampus aja.” komentarnya seraya mengucek mata berkali-kali. Bisa ku tebak, Jisung baru saja bangun dari tidurnya.

Aku mendecih, “Si Mark kagak ada di rumah?”

Jisung menggeleng. Ia menarik pergelangan tanganku dan membawaku masuk ke rumah. Pun aku melepas sepatu dan menaruhnya asal di depan pintu utama yang terbuka lebar. Jisung menyuruhku duduk di sofa, bersebelahan dengannya.

“Gak usah cari Kak Mark. Dia hafal rumah.”

“Gua juga mager nyari sebenernya, Jis,” cicitku. “tapi gimana lagi, woi?! Dia gak mungkin hafal alamat rumah. Baru aja 3 hari disini, masa uda hafal sih? Mustahil edan.” aku berujar seraya mencak-mencak.

Bukan Jisung namanya kalau tak menampar wajahku seenaknya. “Diem dulu dong, mbak!” katanya. Aku mempoutkan bibir, mengusap pipiku yang merah sebab tamparan Jisung.

“Adik durjanah kamu,”

“Lho?! Mbak Kei malahan gak berguna, anj!” timpal Jisung. Aku membelalakan mata kemudian mengacungkan jari tengahku secara gamblang di depan wajahnya. Jisung menggigit bibir bawah, menahan diri agar tak mengumpatiku.

Allah salli muhammad ... Sabar, sabar. Yang sabar pantatnya semok...,” gumamnya sembari mengusap dada. Aku menatap Jisung jengah, tak lama itu, adikku mengarahkan badannya ke samping, menatapku sekilas kemudian bersandar di atas pundakku.

“Hueeee! Kakak mah kan! Masa tadi aku di hukum Bu Taeyeon sampai jam pulang? Liat nih mbak,” ia menghentikan kalimatnya, mataku terfokus ketika Jisung menaikkan celananya sampai batas lutut. Banyak memar disana, apalagi telapak kakinya yang berwarna kemerahan.

Aku memukul paha Jisung kemudian menatap seluruh luka yang ada disana. “Kamu di apain ini, hah?! Kekerasan banget sih!” mataku memanas, “Kamu kenapa bisa kayak gini? Bu Taeyeon ngapain kamu, dan kamu kenapa bisa di hukum Bu Taeyeon?”

Jisung meringis ketika aku menekan luka lebamnya. “Enggak! Itu lho ..., aku tuh hmm, apasih—Bu Taeyeon nyabret aku pake sabuk. Hehe, masalah aku di hukum, ya, karena aku keciduk main PUBG di kel—”

PLAK!

“ADUH AMPUN, MBAK!”

PLAK! PLAK!

Jisung memekik, “KAKAK ANJ—Astagfirullah, udah, kak. Sakit anjir!” ringisnya. Aku menyudahi pukulan itu, sampai-sampai Jisung menatapku tajam dan mengusap pahanya yang barusan ku pukul.

Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Mau mbak gampar lagi?! Kayak gak ada waktu aja buat main game! Kamu di rumah tuh, seharian gameee mulu kayak orang kuker!”

“Y-yaudah maap!” katanya.

“Jangan di ulangi! Asal kamu tau ya, beliau tuh orang tuanya temen aku! Aku bisa aja ngadu ke guru kamu itu suruh sita hape kamu. Kalo bisa disita sebulan sama BK sekalian.” dengusku.

Jisung mencibir. Aku memutar bola mata malas dan menarik telinganya kencang. “Apa kamu?! Apa!”

“A-A-AMPUN, SAKIT!” teriaknya, dan aku pun melepas jeweran itu.

Aku berdiri lalu berjalan ke arah dapur, mengambil kotak P3K beserta tissue dan kain bersih. Gini-gini, aku masih peduli kali soal luka di kaki Jisung. Aku tahu itu sakit, tau banget.

“Siniin kaki lo, taroh di paha gua.” perintahku. Jisung menurut.

Aku mengelap kaki Jisung menggunakan air hangat. Sesekali ia meringus, namun akhirnya berujar, “Mbak, kakiku merah ini bukan karena Bu Taeyeon, tapi, karena aku dibejek kakinya sama Daehwi.”

Aku mendecak, “Daehwi gak gitu, kalo kamu gak ada salah. Kamu sama dia kan temen deket. Gelo.” lalu mengambil alkohol dan menuangkannya di atas kapas.

Jisung meringis, “A-awh, jangan di tekan kenceng-kenceng, anjir!” aku mengabaikannya.

Aku menatap Jisung. “Sok cerita, kenapa Daehwi gituin kamu. Jujur, ya—Mbak gak suka kamu bohong!” ucapku tegas lalu menyapu permukaan lutut Jisung dengan betadine yang sudah kutetesi di atas kapas.

“Y-ya..., gitu. Gara-gara aku gak ngerjain tugas kelompoknya dengan bener. PADAHAL NIH YA, MBAK. Aku udah nulis sampe 3 lembar! Anjir gak? Masih aja aku di omelin! Harusnya Chenle tuh, dia yang ngajak aku maksiat mulu!” celotehnya dengan wajah berapi-api.

Aku menggeleng pelan lalu terkekeh. “Lucu kamu, Jis, kalo lagi ngegas. Dasar babi.”

“Heh, mbak! Awh!”

“Mampus kamu baso urat.” celetukku lalu membungkus luka Jisung dengan perban seadanya. Ini memang tidak separah yang kalian pikirkan, tapi karena luka itu cukup banyak, maka dampak untuk iritasi juga semakin besar. Mau tak mau, suka gak suka, lutut Jisung harus aku perban.

Kaki Jisung masih bersantai di atas pahaku. Sesekali aku menepuk-nepuknya lalu bercerita.

“Kamu tau gak, dek?”

“Gak tau dan gak mau tau. Aku mau tidur!”

Baru saja kepalanya ia sandarkan pada lengan sofa, aku buru-buru menggelitiki telapak kaki Jisung. Membuatnya tersentak sampai akhirnya memekik kesakitan.

“Makanya kamu tuh sesekali dengerin mbak curhat. Jangan kamuuuuu mulu yang curhat ke mbak! Mutualisme dong, mbak kasih krisar ke kamu, kamu juga kasih timbal balik ke aku. Mudah.”

“Yaudah buru. Aku dengerin sampe borokan ni kuping.” kata Jisung ikhlas tak ikhlas.

Aku mengangguk semangat lalu mengusak rambut Jisung penuh sayang. “Gini dong, baru adik mbak yang gantengnya kayak babi!”

“Bangs—Lho, kak Mark?”

Kepalaku menoleh ke arah pintu utama, mengikuti arah pandang Jisung. Itu Mark dengan wajah penuh peluh dan baju yang penuh kotoran.

Mark berceletuk, “Jakarta keras, ya? Pantas aku di jebak kayak gini.”

Mark melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi yang tepat dibawah tangga. Aku dan Jisung saling melemparkan tatapan bingung, apalagi Jisung—adikku itu sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. Mungkin, berniat untuk menghadang Mark agar tak kemana-mana.

Mark selesai dengan acara membasuh mukanya. Jisung langsung menarik tangan Mark sampai membuatnya duduk di atas sofa tunggal. Kami; aku dan Jisung duduk berhadapan dengan Mark.

“Kak Mark diapain, kok sampe gitu mukanya. Kusut banget.” sahut Jisung.

Mark menggeleng, “Gak pa-pa.”

Aku melirik ke arah plastik yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya. “Mark, belakangmu itu apa? Granat?”

Mata Mark membola sekilas lalu menggeleng kuat. “Bukan apa-apa!”

Ia berdiri dari posisi duduknya, lantas dengan sigap, aku menarik tangannya kasar agar kembali duduk di sofa. “Serius Mark! Gausah main-main! Itu apa di belakang kamu!?”

Mark diam.

“Kak?” sahut Jisung.

Mark lagi-lagi hanya diam, namun kali ini di sertai oleh helaan napas panjang.

“Lee Minhyung! Jujur! Itu ap—”

Mark sontak berdiri lalu menatapku tajam seraya memamerkan plastik berwarna hitam itu kepadaku. “Aku jujur! Ini seragam sekolah! Mama kamu yang nyuruh aku kemarin buat pergi ke sekolahmu disana, dan ambil ini! Besok aku bersekolah—apa kamu sudi? Engga!”

Mark mengakhiri pertikaian ini dengan tatapan sengitnya. Ia berjalan naik ke taman belakang. Waktunya ia bermesraan dengan alat pemotong rumput.

Mataku memerah. Lagi-lagi—apa salahku?

Apa karena aku membentaknya? Atau, menatapnya tajam padahal ia baru saja pergi berkelana mencari Mas Taeyong? Apa mungkin, karena bisa aku yang memanggilnya dengan sapaan Minhyung?


Tidak diragukan lagi. Mas Taeyong pasti menyembunyikan sesuatu dariku, dan sudah bisa kutebak, pasti ini ada hubungannya dengan kepulangan ia ke Kanada.

Mataku memerah. Mas Taeyong saja tak pernah sekasar ini padaku. Lha ini? Mark membentakku sedangkan Jeno yang notabenenya dekat denganku, tak pernah berani menyikapiku sekasar ini? Wah, wah.

Dasar, Lee kamvret Minhyung! Awas aja kamu!

“Kak, ning jero gudang ono kotak gede. Abot tenan! Itu tuh kotak paan? Aku baca itu dari Mas Taeyong, lho.” tanya Jisung dengan netranya yang memandang curiga pintu gudang. “Enggak mbak buka?” Aku menggeleng pelan kemudian bersandar pada pundak Jisung.

“Mbak gatau. Sumpah, Jis. Rumah ini pakai pembantu, tapi gatau kenapa, mbak masih ngerasa capek—”

Jisung memotong ucapanku. “Karena mbak tuh kerjanya ngamuk mulu kayak buto ijo! Kalo semacam Kak Mark mah, capeknya berfaedah. Lah mbak?” kilasnya ia menoyor kepalaku pelan. Aku merengek lalu memeluk Jisung dari samping.

“Jis, tau gak? Mbak putus dari Jeno loh.”

“Siapa?”

Aku menunjuk diri sendiri. “Mb—”

“Yang nanya, jeglog.”

Hmmm💩

+++
🍟seperti biasa, aku ga pede ngepub ini. 2,4k words, yeeeay\(^o^)/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top