10. Teman Kecil

we continue,

"You know i want you...," senandung si pria, kemudian menyunggingkan senyum. "it's not a secret i try to hide..." lanjutnya namun pandangannya bukan lagi pada si wanita.

Si pria terus memandang wanita itu dengan tatapan binarnya. Jujur, ia rindu sekali. Seluruh afeksi yang berkaitan dengan sang wanita, pasti akan pria itu rindukan, pasti akan pria itu kenang. Sudah lama sekali pria ini tidak berjumpa dengan sang pujaan hati.

"Ayuk, pulang. Lekas peluk rumahmu ini ya ... Dia kangen, sama kamu." bisiknya lirih, kemudian menunduk dalam. Si adam mengepalkan tangannya, berusaha agar hatinya tak mencelos termasuk si air mata yang hendak lolos dari permukaan.

Muara si pria ini yang tak lain ialah si wanita sendiri. Demi Tuhan, ia rindu teramat dalam pada si wanita.

Taeyong-pria itu-memeluk pigura yang terlukiskan wajah si pujangga, muara hatinya, tempat dimana rasa itu selalu berlabuh. Cintanya hilang, tak tahu pergi kemana. Setiap tidur, Taeyong terus merasa kesepian, tak ada lagi orang disampingnya-yang membangunkannya dari mimpi.

Menjerat seluruh frasa dalam hati, Taeyong menunduk penuh arti kemudian berjalan seorang diri, meninggalkan tempat yang-mungkin-hampir mati.

Ketika berjalan meninggalkan lokasi, Taeyong teringat sesuatu. Langkahnya terhenti hingga tubuhnya membalik. Taeyong memandang potret sang istri bertuliskan notasi warsa kosong satu-ia tengah bersantai di bibir pantai. Membuat Taeyong tertawa miris, kemudian menyunggingkan senyum tipis, sirat penuh makna.

Taeyong melambaikan tangan pelan. Ia hendak berpisah dan menjauh dari peradaban. Hatinya mulai lenggang, tak ada yang mengisi. Kosong, masa ia dipaksa untuk mencintai si muara padahal belum tentu ia dicintai balik olehnya?

Taeyong tau, sangat tau. Ini salah baginya.

Demi Tuhan, Taeyong minta maaf, "Sayang...," bisiknya lirih. Tak ada yang mendengar, cukup helaan napas serta Tuhan saja yang menjadi saksi bisu curahan hatinya ini.

Ini salah,
"Aku salah, ya, sayang? Udah jatuh hati sama majikan sendiri yang ternyata seumuran dengan anak kita?"

Salah Taeyong, ini salah total. Salahkan hatinya yang terlalu egois dan tidak profesionalis dalam bekerja. Menjadi pembantu untuk keluarga Keisha, tak semudah yang ia bayangkan. Tidak dalam mencintai gadis itu, Taeyong mudah larut dalam pesona si majikan.

Jika Jisung ada disini dan mendengar intuisinya pasti akan mendecih lalu bilang, ai sia pedo njer?

Tidak, tidak. Bukan masalah perbedaan umur yang terpaut jarak 10 Tahun. Sama sekali bukan. Yang membuat Taeyong merasa bersalah adalah, kepada ayah dan ibu Keisha. Ia sudah tidak profesional dalam melaksanakan pekerjaannya. Itu yang membuat Taeyong mundur dan membawa sang anak kesini.

Air mata Taeyong rebas perlahan. Sudah ditebak, anak-anaknya itu pasti akan kecewa dengan hasil kerja sang Ayah. Taeyong takut, Mark meraung klandestin. Anaknya itu tak bisa ditebak, ia penuh rasa gengsi dan takut mencoba jika tak dibujuk.

Padahal disisi lain, ada orang yang sedang mengorbit jauh pandangannya dari ruang fatamorgana. Cakap-cakap dengan daun yang melambai, perut penuh sorak ramai, bibir bergetar tanda takut, serta jari yang terus menjentik di atas meja; khawatir.

Keisha sekolah, Jisung pula. Kedua orang tua Keisha rupanya tengah menginap di kediaman sang nenek yang tak jauh dari Jakarta. Katanya ingin pulang hari ini, namun, tak ada pula klakson mobil yang menyahut dari luar sana.

Mark jujur. Ia khawatir tentunya.

"Aku lapar..," lalu mendengus pelan. "aku mau ay-ayah."

Huh, jangan tanya: kapan Taeyong akan pulang.

Bagaimana mau pulang, Taeyong adalah rumah. Seharusnya, Mark-lah yang pulang kesana, mencari ayahnya yang seharian penuh tak ada disini.

Tanpa berpikir panjang, Mark berdiri lalu berlari pelan mengambil kunci rumah. Ia kunci rapat-rapat rumah itu, tak lupa menuliskan sebuah pesan;

Dari Mark.
I'm sorry. I want to find him. Kunci rumah, kamu sudah pegang kan?
Dont worry, i will back soon. See you when i see you again, teman.
Untuk Keisha.

***

Jisung dengan temannya, panggil saja Daehwi dan Chenle. Tengah menyusun sebuah kerangka hasil kerja kelompoknya. Kelas sastra dibuat free oleh guru pelajaran-sengaja untuk mempersiapkan presentasi hari esok.

"Lo nanti bagian buat powerpointnya, Chenle nanti bagian ngejelasin. Nah, gua yang geser-geser slidenya. Gimana? Hehe."

Jisung cengengesan. Daehwi hanya mencibir seraya memukul kepala Jisung pelan menggunakan sebuah makalah yang sudah di print oleh Chenle di rumahnya.

"Gua bagian napas aja." sahut Chenle.

Daehwi mengretakkan gigi. "Lo mau milih kanan apa kiri? Kanan rumah sakit, kiri rahmatullah! Sok milih. Gua rasengan juga lama-lama lo, sinting." ocehnya ketus.

Jisung memutar bola mata, "Udah lah daripada ribut, mending nih ya, gue aja yang geser slide!"

"BU! JISUNG GAMAU DAPET NILAI KATANYA!"

Chenle mengangkat tangan lalu menjukurkan lidahnya ke arah Jisung. Daehwi menggeleng miris, kayaknya cuma dia doang deh yang masih agak ngotak dan punya urat malu disini.

Gak heran juga sih, kenapa Jisung demen banget ngadu ke orang tuannya. Wong, gausah jauh-jauh deh, cukup liat tingkah Chenle aja gimana. Mulutnya ember, bray! Dikit-dikit ngadu, apa-apa teriak sambil ngegretak. Belum lagi suaranya yang, ugh, bikin Hiroshima meledak lagi kayak gitu mah.

"Iya-iya tuh. Gua bagian nyalain laptopnya aja deh." kata Jisung.

Daehwi dan Chenle otomatis membelalakan mata. Chenle mengangkat buku sidu itu tinggi-tinggi kemudian melemparnya kasar. Pria itu memasang gestur seperti hendak menonjok Jisung namun hanya sebatas-hendak.

"Gak usah dapet nilai, kalo gak mau kerjasama!"

Jisung hanya bisa tersenyum jahil kemudian melanjutkan kegiatannya. Mengabaikan eksistensi Chenle yang masih menatapnya sengit. Daehwi yang sedari tadi diam hanya bisa menyelak, "Udah njing! Kerjain buru. Nanti kalo kagak selesai, dilanjut aja. Mau kerkel di rumah siapa?" tanya Daehwi, upaya untuk menengahi Chenle dan Jisung.

Jisung mah bertingkah biasa saja, seolah tak ada salah. Namun berbeda dengan Chenle yang masih sewot. Mana ada orang nulis pakai tenaga dalam hingga kertasnya sedikit koyak. Daehwi hanya bisa mengumpat dalam hati, berkata kasar hingga batinnya muak melihat kedua temannya ini sulit akur. Bahkan, sama sekali tak bisa.

"Serah lo pada, ah! Di ajak runding, malah gini. Gua keluar, kelarin semua tugasnya. Gua gamau tau dan gabakal peduli sekalinya nilai kelompok jelek. Toh, kalian berdua yang bikin susah keadaan."

Mampus ini mah. Jisung sama Chenle cuma bisa mengembuskan napas bersamaan lalu bergerak cepat untuk menyelesaikan bagian-bagian mereka. Jisung melirik ke arah tugas Daehwi, pantes aja. Daehwi udah selesai, bor, rangkum dari buku kamus 3 halaman.

Jisung ngehela napas kasar. Tangannya pegel di suruh nulis mulu. Pengen gitu sesekali dia main hape pas jam pelajaran kayak gini. Meskipun dibilang free, tetap aja ada guru yang jaga.

Yaudah lah. Jisung ambil aja handphonenya. Jadi dia kayak main hape, tapi di dalam tas. Jadi kesannya ambigu kalau dilihat dari luar, semacam ngubek-ngubek isi tas gitu kesannya.

Main game. PUBG lebih tepatnya. Jisung buka aplikasinya, kemudian-

JENG JENG!!! WELC-

Mati Jisung. Mati! Volumenya lupa di kecilin!

Chenle ngelirik, kemudian mengaduh. "BU, LIAT TEMEN SAYA TUH, MAIN HAPE! TILANG BU, TILANG!"

Jisung lupa kalo dia punya temen yang cablaknya naudzubillahimindzalik. Bawaannya pengen dosa tapi takut sleding.

"Jisung, berdiri di lapangan ya. Sampai jam pulang."

Lumpuh aq lama-lama.

***

jENOo
| Woi, dah balik sekolah kan?

keishaa
y |

jENOo
| bisa k rumah gua gak?

keishaa
goceng |

jENOo
| jaad banet thih khamu thama jeyno ( ̄へ ̄)

keishaa
denger ya, bebikq |
ongkos angkot ke rumah tu goceng. nah, belum gua naek ojek pangkalan. rumah lo beda 3 gang dr gwa y bajink itu jauh. jd, gwa diskon aj deh, lo byr goceng k gwa buat ongkos berusaha. |

jENOo
| aq lagi thakhit khakha :<
| hueeeeee, d-daddy jaad thama baby jeno!!

keishaa
bebikq, dgrin dedi yy,, |
cri uank itu zuzah, qm gbkl ngerti gmn posisi dedi,, |

jENOo
| KE RUMAH GUA ANJING, GAMAU TAU!

keishaa
GA PUNYA ONGKOS BANGSAT |

jENOo
| KEISHAAAA IH PLIJ DECH NANTI AQ BELIIN KUTANK DEH, pNYA KM DH SEMPIT SMW KAN, IY LAH T3T3 QM QAN MAKIN G3DE.

keishaa
ngmng gt lg gwa sumpahin l jd sekuriti |

jENOo
| angpwun
| buru, ya, cintaku...
| nanti uangnya aku ganti okee,, buruan ya, muah😘

keishaa
y |
seen.

"Seungmin, gua nebeng lo ya? Anterin gua ke rumah Jeno sekalian."

Pukimak emang Keisha ini. Ciri-ciri orang yang pinter ngeles ke pacarnya sendiri. Bilang kalo dia naik ojek, angkot, jalan kaki. Eh, ternyata malah nebeng Seungmin. Nanti nyampe rumah Jeno, palingan masih ditagih itu uang lima ribuannya.

Bisnis, bor.

"Ngapain ke rumah si Jen-oh, ngapel, ya? Yodah buru, naek." ucap Seungmin sembari memakai helm fullfacenya. Aku yang disuruh naik itu pun hanya bisa senyum lebar kemudian menaruh kedua tanganku di bahu Seungmin, tumpuan aku biar naik motornya lebih mudah.

Aku menepuk helm Seungmin. "Udah, Min."

Seungmin ngangguk lalu menyalakan mesin motornya dan berjalan, menyisir jalanan yang lumayan ramai-sebab ini sore, waktunya para pekerja dan anak sekolahan pulang ke rumah masing-masing.

Di jalan Seungmin dan aku tak banyak bicara. Toh, Seungmin ini termasuk orang yang moodyan. Bicara sesuai keadaan hatinya. Kalau lagi caoek, ya gini. Dia gak banyak bicara. Beda sama aku, kalau orang itu banyak bicara, ya, aku ikutan aja. Sebaliknya pun sama.

"Min, mampir ke kiri bentar."

Seungmin diam saja, namun tak lama itu pun motornya meminggir. Aku turun lalu menunjuk ke arah sebuah gerobak.

Seungmin melirik ke arah gerobak itu, aku menatapnya datar. "Ngerti kan, maksud gua?"

Seungmin mengrenyitkan dahi. "Mau beliin bubur buat Je ... no?" tebaknya. Aku mengerlingkan mata, lalu menengadahkan tangan kananku. Seungmin semakin bingung, "Paan jing?"

"Bagi duit."

"Lo kata gua bokap lo apa, sat?!"

Aku merengut kesal, "Ih enggak! Gua kan calonnya Jeno, ya. Jadi lo nih, teman yang nantinya bakal gua undang ke pernikahan gua, lo harus ngasih gua duit buat beliin bubur. Kasian gue kan, kalo nanti Jeno sakit parah terus mening-MAKASIH SEUNGMIN ZHEYENK!"

"Dajjal." gumam Seungmin pelan.

Anjrot aku dimasih uang dua puluh ribuan! Bisa ini buat main judi.

Untung Seungmin cuma manggut-manggut saja. Padahal, udah bisa kutebak, pasti ia kesal padaku. Hehe, aku mana ngurus, yang penting enggak keluar duit aja.

"Pak, beli bubur. Dibungkus, gak pake kacang sama sambel."

"Aduh, dek. Buburnya aja gapapa? Ayam suwirnya abis soalnya, gimana?" kata si bapak. Aku menatap sepiring mangkuk bubur itu. Mungkin enak aja, ya, meskipun nantinya bukan dipanggil sebagai bubur ayam lagi, melainkan bubur daun bawang.

"Iya, pak. Gapapa. Tapi diskon, ya? Hehe. Serebu aja."

Untungnya si baoak mudah ku bodohin. Jadinya dia main ngangguk saja. Yes! Berarti kembalian uang nanti bertambah menjadi sebelas ribu.

Tak lama setelah aku bergulat dengan pikiranku, suara si bapak menginterupsi dan membuyarkan pikiranku yang tengah melamun. "Dek, buburnya dah jadi."

Aku menoleh, "Oh?" lalu menyodorkan uangnya kepada si bapak. Lembar hijau, nominal dua puluh ribu rupiah. "Nih, pak."

Aku memberi uangnya, si bapak memberiku plastik berisikan bubur dan kembaliannya. Aku tersenyum tipis lalu berucap, "Makasih, pak. Moga berkah."

"Iya, dek. Sama-sama."

Setelah selesai memberi bubur, aku pun naik lagi ke motor Seungmin. Tanpa mengulur waktu, Seungmin langsung menggas si motor hingga sampai di tujuan.

Akhirnya sampai juga di kediaman Jeno.

"Min, makasih ya tebengannya." kataku seraya melepas helm yang kupakai. Seungmin menerima helmnya lalu ikut turun dari motor.

Aku menautkan alis, "Lo ngapa ikut turun, anjing?"

Seungmin memukul kepalaku pelan, "Gua juga mau nengok dia kali, gimana sih?!" ujarnya sewot.

Aku mendengus. "Sembrono sialan."

Seungmin hanya berdeham lalu jalan lebih dahulu menuju pekarangan rumah Jeno. Aku mengikuti Seungmin dari belakang, aku dan Seungmin sama-sama memakai seragam sekolah, lengkap dengan rompi dan tas yang digendongnya.

Diketuk lah daun pintu itu, oleh Seungmin tentu saja.

Tok. Tok.

"Assalamualaikum, Jenoo." suara bariton Seungmin memanggil nama Jeno dari luar sini. Berharap, si pemilik rumah cepat keluar.

Tak ada jawaban.

Pun saat Seungmin menoleh ke arahku, aku menyuruhnya untuk mengetuk pintu rumah Jeno lagi. Seungmin mengembuskan napas pelan, kemudian menuruti apa yang ku perintahkan.

Tok. Tok. Tok. Tok.

"JENOOO!" kali ini, aku yang bersuara.

"SABAR, SYAITHON! GUA LAGI PAKE BAJU!" sahut seseorang sudah bisa di tebak-siapa lagi yang gak ngegas jika bukan Jeno. Dia memang kalau di rumah, suka bertelanjang dada. Kecuali ya, saat aku maupun kawan lain berkunjung kesini, barulah dia memakai bajunya. Kebiasaan sejak kecil Jeno.

2 menit sudah aku dan Seungmin menunggu di luar. Kita sama-sama diam, larut dalam ponsel masing-masing. Lagian, saat aku mengajak Seungmin untuk mengobrol, dia hanya berdeham, mengangguk, menggeleng. Sudah. Ia benar-benar lelah mungkin.

"Min, pernah telanjang gak?"

Seungmin mengangguk. "Waktu bayi, waktu jadi embrio, sama pas mandi." katanya.

Beginilah kalau aku benar-benar kehabisan topik. Hal yang sudah ku ketahui jawabannya pun masih kutanyakan. Lagipula, punya temen kok susah banget di ajak bercanda. Pas lagi serius, di bercandain. Pas lagi pengen bercanda, diseriusin. Kan asu.

Seungmin melet-melet. Aku mendelik geli, ku tengoklah layar handphonenya. Ternyata, ia tengah memosting boomerang di snapgram instagramnya.

Tak lama itu, pintu rumah Jeno terbuka. Seungmin yang masih asik senyum, melet-melet, dan nyengir lebar itu pun dibalas pandangan jijik oleh Jeno yang baru saja membuka pintu.

Jeno menatapku penuh tanya, "Temen lo?"

Aku menggeleng. "Bukan. Biasa, baru beli di petshop. Maklum ya, kalo suka melet-melet gitu."

Seungmin menatap ke arahku sekilas kemudian tersenyum kikuk seraya memasukkan ponselnya ke dakam saku seragam. Berdeham, lalu memasukan tangan kanannya ke dalam kantung celana. Sok keren.

"Ekhem, udah sembuh, Jen?"

Jeno mengangguk ragu, "Udah, cuma kepala gua doang yang masih pusing."

"Kita gak disuruh masuk nih? Lumutan anjing nunggu di luar mulu. Kayak orang minta sumbangan." celetukku, dibalas anggukan setuju oleh Seungmin.

Jeno mengrenyitkan dahi, "Lah? Gua buka pintu lebar-lebar ni buat apa selain nyuruh lo pada masuk? Gak peka banget heran."

"Najis." ini Seungmin yang bicara.

Jeno tampak menghiraukan kita berdua. Merasa paham situasi, aku dan Seungmin langsung masuk ke rumah Jeno, menyusul si pemilik rumah yang tengah terduduk di sofa tamu. Aku langsung mengambil posisi duduk di sofa yang agak panjang, bersebelahan dengan Seungmin.

Jeno, aku, dan Seungmin sama-sama diam. Demi apapun, ini pada kenapa, kok diam mulu?

"Mau puter musik gak?"

Seungmin menggeleng, "Gausah, Jen. Nanti musiknya ikutan pusing kalo lo puter."

"Sini lah, otak lo aja gua puter biar pinteran dikit." geleng Jeno heran. Dengan cuek, Jeno pun memutar sebuah lagu. Lagu kesukaan Jisung, wikwik.

Aku hanya terdiam. Malas juga menceramahi orang sakit, cuma menghabiskan tenaga saja.

"Wikwikwikwikwik, ah ah ah."

"Ya."

"Ganti sih, jing, lagunya. Kayak gak ada lagu religi apa." dengus Seungmin kasar. Pasrah juga, ternyata Jeno kalo lagi sakit, otaknya ikutan konslet.

"Ntar ah, enak nih lagunya. Wikwikwik ah ah-"

Aku melempar tas gendongku ke arah Jeno, namun tak kena. "Geli sih!" protesku kemudian berjalan mendekati Jeno. Merebut ponselnya, lalu mematikan lagunya.

Sesudah aku mematikan si musik, aku memberikan ponsel itu kembali kepada si pemilik. Aku berjalan menuju tempat sebelumnya, kemudian menatap Jeno datar.

"Mau ngomongin apa? Katanya penting?"

Jeno yang ditanya seperti itu langsung memalingkan wajahnya untuk menatap Seungmin. Ku lihat, Seungmin malah menarik dagu, kayak ngomong, terserah lo.

Jeno menarik napas pelan. "Gak p-penting amat sih...,"

Dahiku berkerut. Mataku sedari tadi tak hentinya menatap Jeno dengan penuh tanya. Sialan, sejak kapan Jeno merahasiakan sesuatu dariku. Lagian, aku teman kecilnya.

"...Bunda nanya ke gue. Lo siapa."

Aku diam, menunggu Jeno melanjutkan ucapannya.

"Terus gue bilang: Teman, bun,"

"Teman darimana, Bunda gak bodoh ya, ngeliat kamu sama Keisha itu nempel gak ketolongan. Iya, sih temen kecil. Tapi ini beda banget, logat bicaranya aja berubah. Katanya." ujar Jeno sambil mengikuti nada bicara si bunda.

Aku menghela napas. Aku sudah tau ini akan berujung kemana. "Habis itu? Bunda mau apa?"

Jeno menunduk sekilas kemudian mendongak menatap langit rumahnya. Mengambil napas panjang, lalu menatapku penuh harap.

"Kalau bunda nyuruh pisah, aku gak mau."

Nah, ini yang kutakuti. "Terus? Bunda nyuruh apa?"

"Eung...," napasnya tercekat. Seperti ada dinding sekat yang menghalangi diriya untuk bersuara. "bunda nyuruh gue, buat, ngomongin ini baik-baik ke lo,"

"beliau bilang, kalian pisah aja, gimana?"

Mau menurut ataupun tidak, itu pasti akan terjadi. Sebab, dulu sejak papa Jeno meninggal dunia-bunda Jeno menatapku sendu, ia bilang, agar aku selalu berada disamping anaknya. Aku menuruti, namun, bagaimanapun-aku dan Jeno pasti tumbuh besar. Saling suka satu sama lain, hingga akhirnya Jeno bercerita kepada si bunda.

"Bun, Jeno ... Suka sama Keisha. Jeno harus apa?"

Bunda cuma bilang, "kamu suka ya gapapa. Tapi, jangan sampai pacaran, ya? Bunda gak mau, ketika kalian putus-malah canggung-canggungan."

Jeno mana nurut kalau disuruh seperti itu. Dia mengekangnya, kemudian bicara padaku lewat chatting, katanya-

Jeno: neng, pacaran kuy? Tapi jgn smpe ketauan bunda.

Ya ginilah kalau bunda sudah tahu. Pilihannya hanya dua; lanjut pacaran tapi tak direstui si Bunda, atau, putus namun-seluruh harapan yang ku tanam pupus begitu saja.

Sejauh apapun aku menyembunyikan hubungan ini dari bunda, pasti akan terkuak begitu saja. Hehe, gimana tidak, tiap waktu Jeno mengucapkanku selamat malam. Mimpi indah, ya, sayang? Orang tua mana yang tidak curiga dan menaruh tanda tanya besar disana.

"Biar gua pikirin ini, Jen," lalu memalingkan wajah. "nanti bakal gue siapin jawaban terbaik. T-tenang aja."

Hening.

Seungmin berceletuk. "Sori, gays. Aku kentut."

"Cuktaw aku sama kamu, Min." dengusku kasar, lalu memejamkan mata. Cewek mana yang gak galau kalau disuruh mikir ginian. Kayaknya gak ada deh.

Huft...,

+++
🌙Work keira, mana ada yang gak cringe. Tapi yauda lah ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top