09. Lee Taeyong.

we continue,

Masih di malam yang sama. Mataku terpejam, sungguh nyaman ternyata terlelap dalam posisi berdiri, apalagi dengan angin malam yang sangat mendukung. Sungguh, ini adalah waktu yang paling kusukai sepanjang hidup.

Biasa lah, aku tengah berada di alam mimpi. Entah aku sedang bermimpi apa, yang jelas, semua ini seperti surga. Tenang, damai, tak ada masalah, apalagi teriakan Jisung yang tiap hari memenuhi ruang pikiranku. Sialan, aku jadi sebal mengingat tingkah laku Mark sebelumnya.

Dalam tidur ini, aku mendengus kasar lalu bergerak tak nyaman. Tanganku mengusap-usap pipi yang mulai gatal, lama kemudian, aku menggaruknya hingga meringis. Sesekali aku memukul pelan pipiku, dan, terbangun.

"Oh?"

Kasur?

Aku menatap kosong seseorang dihadapanku ini. Lagi-lagi Mark dengan satu buah buku ditangannya. Aku menggeleng pelan, berusaha untuk mengumpulkan nyawa yang 80% masih ada di alam bawah sadar. Aku menguap, lalu membenarkan posisi; duduk.

"What are you doing here?" tanyaku pada Mark yang masih asik mengipasi wajahku.

Loh, ternyata yang bikin adem tuh kipasan dari Mark? Yah, kukira angin malam yang memanjakan wajahku, sial sekali. Aku jatuh hati dengan cara Mark mengipasi permukaan wajahku.

"Mati lampu?" tanyaku, lagi. Mark mengangguk sekali. Halah sial!

Tak cukup puas dengan jawaban yang diberikan Mark, aku mendecak sebal. Aku berspekulasi jika anak ini masih marah padaku, namun, ya dia memanipulasinya dengan raut watados dan rasa perhatian layaknya pembantu dan majikan. Intuisi mana yang bisa mengajak Mark untuk berduaan denganku, di kamar lagi!

Setahu ku, Mark sangat enggan berduaan dengan majikannya; orang tuaku, Jisung, ataupun diriku sendiri.

"Sempat kesal. Tapi aku gagal." sahut Mark, lalu mengehentikan aktivitasnya, mengipasi wajahku.

Aku mengrenyit bingung, "Lo kenapa?" tanyaku, heran. Nada bicaraku seolah mengajak Mark agar bercerita. Ku tahu pria itu paham jika aku memandangnya sendu sebab wajahku ini bertajuk-penuh rasa cemas majikan kepada pembantunya. Padahal tidak sama sekali! Aku senang jika berteman dengannya, sekalipun ia lahir di kolong jembatan pun aku tak apa.

"I dunno." jawabnya. "What's going on in my mind, i dunno why-kamu hampir jatuh tadi, suruh siapa tidur berdiri di balkon. Tadinya, aku mau angkat kaki dari kamar ayah, eh, aku kasian sama kamu. Ya mana mungkin dong, pembantu mana yang segan ninggalin majikannya di balkon tengah malam. Biadab itu, tidak bertanggung jawab sama pekerjaannya. Jadi, aku minta maaf. Mungkin abis ini kamu bakal tetanus karena udah di gendong sama aku."

"Well, shit." umpatku, "Mark, jangan bawa hubungan majikan dan pembantu di luar pekerjaan lo. Its okay jika pagi hari, karena itu emang waktu lo dan gue-yeah, tapi Mark. Kita berdua disini, face to face, malem-malem, mati lampu-jangan bawa hubungan itu dong! Kita teman, Mark. We're friends."

Mark terkekeh. "Hehe, ya. Kita adalah best fucking friends. Huh, thanks anyway."

"Eung! Not a big deal." balasku, tersenyum tipis.

Mark mengulum senyum tipis pada wajahnya. Ia memberikan buku tersebut padaku, kemudian turun dari ranjang dan berdiri tegap di hadapanku.

Mark mengusap wajahnya kasar, "Aku mau ambil lilin buat kamar Jisung. Kayaknya dia masih pulas deh." akunya. Aku mengrenyitkan dahi.

"Mati lampu jamber?"

Mark mendengus, "Jamber tu apaan?" ia menggeleng pelan. "kamu jangan tanya ke aku soal gaya bahasa kayak gitu. Aku mana ngerti." katanya.

Aku mengangguk, "Iya wih. Jamber tuh artinya jam berapa. Nah gitu."

Mulut Mark membentuk huruf O, sepertinya ia paham dengan apa yang ku ucapkan tadi. Aku hanya diam menunggu jawaban darinya saat mata Mark melihat ke arah jam dinding, "Kayaknya sekitar jam dua pagi deh. Soalnya aku kesini jam setengah satu malam."

"Owalah," anggukku. "yodah sana, Jisung kalo udah bangun pasti ribut banget tau kalo kamarnya gelap."

Ketika aku menyuruh Mark, lelaki itu hanya sebatas mengangguk saja. Kaki Mark pun pergi keluar dari kamar yang notabenenya milik Mas Taeyong. Sepertinya, ketika Mark hendak memindahkan aku ke kamarku yang sebenarnya, pasti terlalu jauh. Jadinya dia menaruhku di kamar ini sementara. Mungkin saja.

Aku menggeleng. Semenjak Mark datang kesini, aku jadi tambah mumet. Apa-apa aku bawa serius, masalah yang awalnya kecil jadi lebih besar setiap aku memikirkannya. Ayolah, apa yang sedang terjadi padaku?

"Mas Taeyong di kamar gua nih ceritanya?" tanyaku monolog.

Entah. Bisa iya, bisa tidak jawabannya.

Daripada aku gabut sendirian di kamar Mas Taeyong, cuma ditemani oleh lilin aja, lebih baik aku turun dari ranjang dan ikut dengan Mark yang tengah mencari lilin di dapur. Mark itu berani ternyata, padahal aku dan Jisung sama-sama takut untuk kesana setiap tengah malam. Gelap, serem, hilih.

Ruang tamu sudah lumayan terang ternyata, Mark menaruh dua buah lilin. Satu di dapur, satunya di ruang tengah. Cukup dibilang terang dalam keadaan seperti ini.

Mark tengah mengubek-ubek lacinya, aku hanya mengerjapkan mata yang lumayan sayu. Jujur sih, aku emang masih ngantuk banget. Cuma ya, kasihan aja-sebisa mungkin aku memperlakukan Mark, menemaninya, mengajaknya bicara, atau bermain video game biar dia juga ngerasa nyaman disini. Sekali-kali dia berkenalan dengan tekhnologi, bahkan ketika aku dan dia bermain game di ponsel Jisung, kelihatannya, anak itu tidak buta banget mengenai tekhnologi. Cukup pintar.

"Mark, ambilin lilin dong, terus taroh di kamar mandi." suruhku.

Mark mengangguk, "Nanti aku taruh di tempat biasa itu, ya? Yang di atasnya." kata dia, aku mengangguk.

Jadi gini loh, kamar mandiku itu ada tempat gitu, kosong-sengaja dibuat untuk naruh shampoo, sabun, dan lainnya. Nah, daripada aku mandi gelap-gelap mendingan taruh lilin disana jadi agak terang dikit gitu.

Ketika Mark udah nyalain lilinnya, ditaruhlah lilin itu di atas piring kecil. Mark menyuruhku untuk jalan lebih dahulu, nanti dia ngintilin aku dari belakang. Aku cuma ngangguk aja, dan emang bener kok, Mark ngintilin aku dari belakang.

Aku masuk ke dalam kamarku. Kali ini kamarku, ya, bukan kamar Mas Taeyong. Secara spontan, aku menyalakan saklar lampu-Mark mendengus,

"Sekarang mati lampu, lampu ga bakal nyala. Gimana sih?" dengusnya.

Aku hanya terkekeh kemudian mempersilakan Mark untuk masuk ke kkamar mandi guna menaruh lilin di dalam sana. Aku mengambil handuk dan bersiap untuk mandi.

Mumpung aku bangun pagi nih, mending aku mandi dulu ketimbang ribet diakhir. Ngomong-ngomong, di bawah tidak ada siapa-siapa loh. Terus, Mas Taeyong kemana?

"Mark, Mas Taeyong mana?"

Mark menoleh, ia mengangkat bahu tak tahu. Namun, ternyata, "Ga peduli."

Aku mengembus napas kasar. Dilihatnya Mark tengah merapikan sprei kasurku beserta guling dan bantalnya. "Gimana sih. Terus lo tidur dimana?"

"Sofa tamu," Mark menoleh. "maaf ya, sofanya aku pakai buat tidur. Abisan, kamarku dipakai kamu tidur geh." ucapnya, bersalah. Ya Tuhan, baru kali ini aku dapat pembantu sebegitu ribetnya, tidur di sofa aja pakai minta maaf.

Aku hanya diam, tak berniat untuk membalas ucapannya. Eh, Mark malah menyahut lagi. "Maaf, ya. Soalnya aku kelihatan lancang banget. Sofa dipakai buat duduk-untuk tamu lagi, bukan untuk pembantu yang tidur disana. Ya, gitu. Aku salah mempergunakannya. Maaf, ya."

Aku ingin mengomelinya, namun ini pagi, lebih baik mengangguk saja daripada menambah masalah.

Mark tersenyum lebar. Ia memberikan sabun cici muka padaku, aku mengrenyit bingung.

Mark ketawa, "Sabun cuci mukamu abis. Aku baru beli di minimarket pas jam 1 pagi itu."

"Kamu tidur gak sih?" tanyaku, agak sewot. Masa dia udah keluyuran aja pas tengah malam?

Mark menggaruk tengkuknya, "Gimana ya?" gumamnya. "aku tidur sih, tapi cuma sekitar ... Setengah jam? Abis itu aku bangun lagi deh." lanjutnya.

Aku hanya diam. Lebih tepatnya melamun. Aku memang mendengar dan paham apa yang diucapkan Mark, cuma ... Rasa khawatir muncul dibenakku saat ini. Mama, papa, dan Mas Taeyong tak ada di rumah. Mereka kemana?

"mBA KEISHA! TELEPON RUMAH BUNYI!" teriak Jisung dari kamar sebelah. Mark dan aku sama-sama menoleh, saling bertatapan sebentar kemudian salah satu dari kita pun mengakhiri tatapan tersebut. Siapa lagi kalau bukan Mark.

"Aku ke bawah. Kalau udah selesai mandi, bilang. Biar aku jemur handuknya." ucap Mark yang membuatku mengangguk spontan.

Mark tersenyum kecil lalu pergi dari kamarku. Yah, palingan dia yang mengangkat teleponku. Lagipula, Jisung sudah bangun, susah banget tinggal turun ke bawah. Nyusahin emang.

Di bawah, ada Mark yang sedang berjalan mendekati telepon rumah. Sebemrnya, Mark sangat ragu untuk mengangkat. Yang ditelpon kan, orang rumah, bukan dia?

Udahlah angkat aja. Katanya dalam hati.

Mark mengangkat telepon rumah perlahan, tangannya mengenggam si benda kuat-kuat. "Y-ya, halo? Dengan Mark disini...?"

Krrsk, krssk.

Mark menautkan alisnya, di sisi sana hanya terdengar suara grasak-grusuk benda yang saling bertubrukan. Sesekali Mark berdeham agar suara disisi sana bisa sedikit tenang, namun yang terjadi, suara itu makin parah. Mark juga manusia, dia punya insting. Kelas saat ini ia merasa takut.

Sedikit menjauhkan telepon tersebut, lalu menaruhnya perlahan. Baru saja hendak pergi, telepon itu berdering lagi.

"Ya, halo. Ini Mark, disana siapa?" katanya tanpa basa-basi. Kecepatan bicara Mark sendiri jadi lebih cepat 10 sekon dari normal. Takut banget, anjir.

Krrsk krss-tut.

Mark menghela napas pelan. Telepon dimatikan sepihak oleh lawan bicaranya; yang Mark sendiri tak tahu siapa. Tak habis pikir, lebih baik Mark bantu-bantu membereskan rumah dan membuat sarapan.

Krriingg!

"MOTHERFUCKER!!!" teriak Mark geram. Bagaimana tidak kesal, ketika Mark hendak mengambil sapu dan menyapu lantai, eh, telepon itu berdering lagi. Lama-lama, Mark juga yang akan mematahkan sapunya jika perlu.

"hALO?!" teriak Mark tidak santuy.

"Hihihi-"

Mark melotot, "HEH, SIAPA KAMU?!"

"Siapa, ya? Emang kamu peduli?" kata si lawan bicara, remeh. "Nama kamu Mark Luke kan? Anak Taeyong Amun, tinggal di Kanada tapi sebagian ada keturunan Koreanya? Punya mama, namanya Je-"

"Kamu. Siapa?" tanya Mark seraya menekankan setiap kata yang dia ucap. "Tau apa kamu tentang saya?" tanya Mark, lirih.

"Berangkat ke Jakarta hari Minggu tanggal 9. Lumayan dekat dengan majikannya, dan pacar si majikan. Pernah belajar bersama bersama Jisung, dan si kakak. Keisha, bener gak?"

Mark mendengus. "Kalo iya, kenapa?" kemudian menunduk. "Kalo enggak ... Kenapa?"

Lawan bicara tampak tertawa renyah. Mark bergidik ngeri seraya mengepalkan tangannya kesal. Hari ini adalah hari tersialnya, ya, hari tersial.

"Kenapa kamu gamau dipanggil Minhyung? Pad-"

Tut. Telepon Mark tutup dengan cepat. Tangannya mengambil sapu yang sudah tergeletak di lantai kemudian mendongakkan kepala, menatap langit rumah dengan perasaan berat.

Matanya memanas, Mark tahu, ini bukan dirinya.

Ia mengembuskan napas kasar lalu mulai menggelengkan kepala, menghapus seluruh pikiran buruk yang menghantui dirinya pagi ini. Lahi pula-ia juga tak mau dilihat Keisha jika ia habis ribut dengan orang di balik telepon tadi.

Suara tangga menginterupsi Mark yang tengah menyapu, itu Keisha yang sudah turun dengan seragam lengkapnya. Keisha menyapa Mark laku duduk di meja makan.

"Siapa yang nelpon? Bokap gua?" tanya Keisha.

Mark hanya mengangkat bahu, "Salah sambung."

Keisha menggeleng heran. "Serah lo deh, Antonio."

Hening.

"Belum masak?" tanya Keisha tiba-tiba.

Mark menghentikkan aktivitas menyapunya lalu melirik ke arah Keisha yang asik memainkan ponsel. Tanpa mengulur waktu, Mark pun menaruh sapu pada tempatnya dan mulai berganti peran, menjadi chef untuk orang rumah.

Keisha melirik sebentar, lalu menyahut. "Gausah buru-buru masaknya. Masih jam 5 pagi lagian."

Melihat Mark yang fokus mengacak kulkas, Keisha pun terarah untuk berdiri lalu berjalan ke depan. Ke luar rumah gitu lah, ingin menghirup udara pagi yang belum tercemari oleh polusi udara.

Di bukanya pintu rumah lebar-lebar. Terkejut abang, terheran-heran. Di depan rumah, terdapat satu kotak berukuran sedang, berwarna cokelat, dan di tanda tangani oleh salah seorang kurir.

Keisha mengambil barang itu. Kemudian menatap keseluruhan si kotak dengan tatapan bingung.

Alamatnya, memang rumah Keisha-lebih tepatnya keluarga Keisha. Nomor teleponnya, nomor Keisha juga. Nama penerimanya ... Nama Keisha? Ini siapa yang mengirim?

Takut jika ini adalah granat. Keisha pun membaca nama pengirim dan kurir yang mengantar.

Nama pengirimnya, yang tak lain adalah Mas Taeyong sendiri. Keisha mengrenyitkan dahi bingung. Lalu matanya pun beredar lagi untuk melihat ke nama si kurir.

Taeyong Lee.

***

"SEQOLA, SEQOLA, AWOAKWOAK!"

Lucas menoyor kepala Lena kasar. "Paan si, jing?"

Lena menatap sinis Lucas. "Nanya sih, nanya. TAPI KALO GAK NGEGAS BERAPA YA ANJING!"

Seungmin menutup telinga erat-erat. "Aku masih mau hidup, gays."

Aku hanya diam, tak mau berkomentar. Lucas malah menggetok kepala Lena dengan sendok yang satu paket sama kotak bekel daisywarenya. Sambil menjulurkan lidah tentunya.

"Gua gak ngegas, meureun. SITU YANG NGEGAS!"

Lena menggebrak meja kantin dengan spontan, kemudian berdiri-berkacak pinggang. "AWAS AJA LO, YA! GUA ADUIN KE YUQI KALO LO SUKA COLI DI WARUNG BI KOKOM KAYAK ORANG EDAN!"

"Jenenge Wong edan Lucas, ya jiwanya gak kalah edan, meureun." sahut Seungmin sambil menjilat es krim kura-kura ninja yang dibelinya 3 menit silam.

Aku menggeleng, "Edan dari Hongkong," sahutku.

Lucas menatapku tajam. "GUA EMANG DARI HONGKONG, BABI!"

"Hongkong kw piro, mas'e?" tanya Seungmin, memancing Lucas untuk mencari keributan.

Demi apapun, aku tak habis pikir melihat kantin yang memang tak seramai kemarin. Dibilang sepi tidak, ramai tidak. Paling tuh yang bikin ramai ya ini, Lucas dan Lena. Anehnya tuh ya, warga kantin seolah sudah biasa mendengar teriakan Lucas dan Lena yang menggema. Ada kabar katanya, jika mereka berkelahi seperti itu, efek getaran dari teriakan itu terasa hingga ruang koperasi. Anjir, benar-benar musibah aku berteman dengan mereka.

Lucas mencubit pinggang Lena pelan "Orang kayak lo nih, ciri-ciri orang yang masuk neraka tanpa di interview sama malaikat!" ketusnya kemudian kembali duduk dan mengabaikan Lena yang masih menatapnya sengit.

Aku menghela napas. "Sumpah, Len. Lo kalo mau ribut sama Lucas di kasur, sana atuh. UKS lagi sepi. Lumayan tuh nanti suaranya ngegema disa-"

Lena memukul bahuku. "Beda kasta, jancuk." lalu duduk kembali, melanjutkan aktivitas makan batagornya yang sempat tertunda tadi.

"APE LU KATE, NDER?!" teriak Lucas tak terima.

Seungmin memutar bola matanya malas. "Aku sungguh heran. Padahal aku belum mengambil otaknya, namun tingkah mereka, sudah seperti manusia tanpa otak." sindir Seungmin lalu membuang stik es krimnya sembarangan.

Lucas memainkan ponselnya, "Bagus banget ini gobloknya udah mencemari proton dan neutron. Sampe gak bisa disembuhin." kata Lucas. Ngelabrak Seungmin ceritanya.

"Dia mah bukan proton lagi, Cas. Udah overdosis, jadinya protolol." sahutku gemas.

Lena manggut-manggut kemudian menoleh ke arahku. "Weh, Kei. Jeno masih atit?"

"Iyach, xixi." balasku malas.

Seungmin mendelik jijik. "Ih anjeng, salah apa gua satu udara sama lonte jahannam."

Lucas menunjuk wajah Seungmin menggunakan sendoknya. "Malaikat Atid otw nyatet perkataan LO, badrol! Mampus anjeng."

"NGACA!" ini Lena sama Seungmin, teriak barengan. Aku mah masih waras, jadi gak ikut-ikutan.

Capek weh lama-lama dengernya.

+++
🌙2,3k words. oq, voment y gais. maap klo gayus. bye.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top