07. Can't Do Anything Again.

we continue,


Mark side,

Seumur hidup, Mark gak pernah berpikiran untuk pindah ke negara lain. Perjalanan hidup yang ia tempuh masih sangat jauh. Orang bilang, mungkin, seumuran Mark tinggal duduk diam, bermain ponsel, kardus kesana kemari, menggoda lawan jenis, atau bahkan bermain motor-motoran dengan sahabat karib. Uh, tidak. Itu bukan level Mark.

Titik kebahagiaan Mark bukan mengerjakan hal yang seperti itu. Membuang waktu, menghabiskan sisa umurnya untuk melakukan hal bod-tidak, hal yang memuakkan dari sekadar memandikan seekor lembu. Cafè-cafè terlalu asing baginya, sedangkan kandang ayam terlalu asing bagi orang seperti Jeno, contohnya.

Nah, untuk sekarang ini. Tak tahu mengapa, matanya tak berhenti untuk memuji betapa indahnya perkotaan. Katakan ia kampungan, toh, memang benar kok. Ia berasal dari kampung, yang tidak miskin-tidak juga kaya.

Pagi yang indah ini, Mark memilih untuk keluar rumah; rumah keluarga Keisha. Ia mengedarkan pandangannya, banyak orang yang ramai berkendara sebab hari ini adalah hari senin-entah berkerja, sekolah, atau bahkan di rumah saja seperti Mark.

"Iya, mah."

Suara sahutan itu, Mark mendengarnya. Ia hanya mengabaikannya dengan pandangan yang masih lurus-bingung.

Puk.

Mark membalikkan tubuhnya, "Eh, ayah," katanya lalu tersenyum tipis. "mau nganterin Keisha?"

Taeyong mengangguk lalu merangkul Mark. Pria berkepala dua-hampir tiga ini menyunggingkan senyum tipis. Di lihatnya Mark lewat ekor mata, membuat hatinya melunak. Seperti berat, Taeyong hanya takut. Mark iri dengan anak lain yang bisa sekolah.

"Kamu diem aja. Gak suka, ya, tinggal disini?"

Mark menggeleng. "Biasa sih. Cuma, ya, belum terbiasa aja."

"MAS TAYO, AYOK!"

Taeyong dan Mark menoleh bersamaan ke sisi kanan, rupanya Keisha dan Jisung yang sudah siap, apalagi Jisung dengan gayanya yang entah bersandar pada pintu mobil, menunggu Taeyong membukakan kuncinya.

Taeyong merengut sebal, "Yah, ayah harus nganterin mereka dulu. Kamu mau ikut, apa disini aja?"

Mark melirik, mengulum senyum tipis. "Gak. Aku mau bantuin orang sini aja," lalu memeluk sang ayah. "hati-hati, ya?"

Taeyong mengangguk lalu mengusak kepala sang anak dengan sayang. Taeyong berjalan mengitari bagian belakang mobil dan membukakan pintu mobil-untuk Jisung dan Keisha. Tumben-tumbenan Keisha tidak melarangnya.

Lelaki dengan tubuh yang tingginya lebih dari 180cm itu pun memasuki ruang khusus pengendara. Menyalakan mesin dan pendingin ruangan, Mark yang melihat mobil itu mulai bergerak, hanya bisa melambaikan tangan dan tersenyum tipis. Sang ayah hanya membalasnya dengan bunyi klakson.

Ketika mobil sudah keluar dari pekarangan rumah, di bagian belakang, ada jendela mobil yang sengaja diturunkan, menampilkan wajah Keisha yang berseri-seri.

"Duluan, ya, Mark!"

Keisha pamit. Mark komat-kamit, tak tahu mau balas seperti apa. Alhasil, ia hanya tersenyum kikuk dan melambai gengsi.

Sigh. Hidup di perkotaan se-membosankan ini, ya? Tak habis pikir, mengapa Ayahnya begitu nyaman tinggal di kota yang penuh polusi, panas, bahkan angin sepoi-sepoi pun jarang muncul di tempat seperti ini. Mark rindu suara burungnya yang membeo ramai di desa.

"Minhyung?"

Rahang Mark mengeras. Tubuhnya sontak membalik-ia kira halusinasi, tahunya sang majikan-maksudnya, ibu Keisha yang memanggilnya.

Mark membungkukkan badannya lalu berjalan lebih dekat dengan ibu Keisha. Panggil saja Bunda Chaeyeon.

"Udah sarapan?" tanya Bunda Chaeyeon. Mark menampilkan senyum tiga jarinya, kemudian menggeleng pelan. Raut wajah cerahnya Chaeyeon pun memudar, kemudian menggeleng pelan. "Sarapan dulu. Sini masuk, gausah malu-malu."

"Belum lapar," balas Mark.

Chaeyeon terkekeh. "Kamu punya maag, loh. Nanti kalo kambuh, kamu gak bisa pulang deh bulan depan." katanya sambil menggiring Mark masuk (dengan paksa) ke rumah.

Mau tak mau Mark menurutinya. Dia juga manusia yang membutuhkan asupan energi. Belum lagi, sang ayah pernah bilang, jika Mark akan bekerja dua kali lebih ekstra dari dirinya. Sang ayah hanya mengantar jemput Keisha dan Jisung. Sedangkan Mark, dia akan mengurus rumah, memasak, dan memotong rumput di taman belakang juga.

Mark sudah biasa seperti itu. Bahkan, itu adalah hal kecil semata. Mudah dikerjakannya dalam satu sentuhan lah umpamanya.

"Mark ikut bunda sini, biar nanti Mark gak salah megang benda." pinta Chaeyeon, Mark pun mengangguk kecil dan mengikuti wanita paruh baya itu dari belakang.

Chaeyeon seperti menjelaskan fungsi dari benda-benda yang ada di dapur itu. Mark sesekali mengangguk atau bahkan hanya diam anteng, memperhatikan Chayeon berceloteh panjang lebar.

Setelah selesai dengan semua itu, Chaeyeon menepuk punggung Mark pelan. "Hehe, kamu lemes banget. Laper, ya?"

Mark tentu menggeleng. "Enggak, Tan."

Chaeyeon mengacungkan ibu jarinya lalu memerintahkan Mark agar duduk di meja makan-maksudnya, kursi. "Kamu duduk disana aja dulu. Untuk hari ini, biar sarapan dan makan siang Bunda yang masam. Mulai besok, kamu, ya, yang masak?"

Mark mengangguk. Toh, kalau dia menggeleng tandanya ia tak siap dong menerima pekerjaan ini?

Berjalan ke arah meja makan, Mark pun duduk disana dengan perlahan. Takut menimbulkan decitan suara yang menganggu sang majikan. Belum lagi, di atas, terdengar sebuah teriakan. Memanggil Chaeyeon tentunya.

"IYA, SEBENTAR!"

Mark diam, namun pandangannya terfokus pada Chaeyeon yang subuk menyiapkan sarapan. Sedikit mencelos, asik juga punya mama.

"Halo, Markk! Ini sarapannya. Tante ke atas dulu, ya? Di panggil sama Om tuh. Hehe." kemudian mengusak rambut Mark pelan. "Makan yang banyak!"

Mark tertawa kecil kemudian memegang sudu dan tala bersamaan pada tangan yang berbeda. Ia merasa canggung dengan semua ini. Sarapan yang penuh dengan lauk, tertata rapih di atas pinggan, belum lagi susu putih di gelas yang lumayan mewah, dan semuanya. Mark merasa asing.

Di masukkannya makanan itu ke dalam mulut. Mengunyahnya santai, tak terburu-buru. Huh, Mark sedikit lebih bersyukur sebenarnya jika diperlakukan dengan hangat seperti ini.

"Ciheee, Mark lagi sarapaaan!" suara itu memenuhi ruang bawah. Mark membalikkan badan, itu papa Keisha.

"Kamu siapin sarapan buat Om dong. Nanti taruh aja sarapannya di meja tamu, sana, ya sayang?" suruhnya, mau tak mau Mark mengangguk lalu meneguk susu putih itu sedikit dan berjakan ke arah dapur.

Mark mengambil piring, kemudian menaruh satu centong nasi, tapi-tunggu,

"Om, nasinya mau berapa centong?"

Papa Keisha yang asik memasang dasi itu hanya menyahut, "Tiga." katanya. Sontak Mark mengambil dua centong nasi lagi, dan menaruh lauk pauk di atas piring.

Mark membawa sarapan itu dan menaruhnya di meja tamu. Mungkin, papa Keisha itu tipe orang yang lebih suka mencari ketenangan. Ia mana mau memakan sarapannya berhadapan dengan orang miskin seperti dirinya.

"Makasih, ya, pinter."

Mark mengulum senyum tipis lalu melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi; sarapan.

Baru saja dirinya melahap makanan, Chaeyeon menghampiri eksistensinya yang sedang bermesraan dengan sepiring makanan.

"Mark, nanti kamu angkat jemuran belakang, ya. Tante sama om mau ke kantor, ada kerja sampe sore. Rumah ini ada di tangan kamu, kalo terjadi sesuatu, konsekuensinya di kamu semua, ya?"

Mark menelan salivanya kasar dan mengangguk. "I-iya,"

Chaeyeon tersenyum tipis. "Kalo gitu, tante sama om berangkat dulu. Kunci rumah ada di atas meja tamu, kamu simpan buat jaga-jaga."

"Salim sini," sahut papa Keisha. Mark menolehkan kepalanya dan terkekeh pelan.

Chaeyeon mengulum senyum sumringahnya ketika Mark berjalan ke arah sang suami. "Mark cowok, tapi anteng banget. Gak kayak Jisung." akunya, Chaeyeon menatap tubuh Mark dengan mata yang berbinar-binar. Seakan mengatakan jika produk hasil Taeyong mantul-mantul.

Sang suami mengangguk seraya mengusak kepala Mark. "Iya, nih. Tukeran aja, yuk, mau gak?"

Mark terkekeh pelan. Bosen juga daritadi dia cuma ketawa. Abisan Mark bingung sih.

Mark pun menghampiri Chaeyeon lalu salim dengan ibu dua anak itu. Chaeyeon memasang raut wajah cerah namun sedetiknya, wajah itu luntur lagi.

Chaeyeon menghela napas, "Mark," panggilnya lembut, "tante gak suka liat kamu kayak gini."

Mark meneguk ludahnya kasar. Haduh, hari pertama dia udah bikin masalah aja! Payah!

"M-maaf..." kata Mark, lirih.

Chaeyeon menepuk bahu Mark laku sedikit mencondongkan tubuhnya. Menatap Mark dalam lalu mencium keningnya sekilas.

"Kamu masih muda. Sebenarnya enggak harus kayak gini juga. Tapi tante salut sama kamu." jelas Chaeyeon. Mark hanya diam mendengarkan.

Semburat senyum sumringah muncul pada wajah Chaeyeon, "Besok kamu sekolah, ya, sayang? Udah tante daftarin di sekolah yang sama kayak Keisha, oke?"

Rasanya Mark mau pake kostum beruang aja deh, terus terbang ke antartika dan tinggal disana bertahun-tahun.

Ini sumpahan, aku bakal sekolah?

***

"Lucas anjing."

Lucas asik tertawa dengan Seungmin. Membuatku semakin menekukkan wajah. Daritadi, Lucas dan Seungmin asik mengejekku, sebab Jeno tebgah berada di UKS-merawat Shuhua yang sedang sakit katanya.

"Betapa panasnya udara ini, tak ada dia yang menemaniku, sesak sekali rasanya aku hanya sendirian memakan batagor ini. Kampret, mangapa pacarku tak menemaniku. Kampret, mengapa aku malah ditemani oleh dua cowok ganteng ini. Kampret, aku sedih. Kampret." Lucas mendramatisir keadaan.

Lena terbahak kencang sembari menggebrak meja kantin dengan hantaman yang keras. Makanan di atas meja pun ikutan bergetar, gempa dadakan rupanya.

"Jeno ... Aku sendiri disi-"

"Seungmin! Bacot!" potongku, kesal.

Seungmin dan Lucas tertawa lagi. Berbeda dengan Lena yang malah merotasikan bola matanya malas, "Heh tolol! Udah sih, kasian dia!" belanya padaku.

Aku bahagia. Lalu menutup mulut dengan rasa kagum yang hiperbolis. "Ya Allah, Lena. Akhirnya ada yang ngebela ak-"

"Nanti kalo Jeno balik kesini terus minta putus kan, kita juga yang capek ngetawain!" lanjut Lena lalu tertawa dengan puasnya.

Lucas ngakak sampe kesedek tahu gejrot. "Ghoblogh anjhing! Ohok!"

"Ahok?" ini Seungmin yang budek.

Aku mendecak, "Ohok, tolol!"

Tawa Lena kian memelan. Suara kekehan pun menyahut ke arahku. "Kalo putus, kasih pajak, ya. Jan lupa." ujarnya sambil menepuk bahuku dua kali. Lucas mengangguk setuju lalu menepuk perutnya.

"Gua udah siapin perut nih, bakso lah jangan lupa." katanya.

Aku menggeram kesal kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan meja dengan perasaan yang campur aduk. Anjir! Masa iya Jeno masih marah sama yang kemarin? Terus dia lampiasin aja gitu ke Shuhua? Kenapa gak omongin baik-baik sama aku, kan aku punya mulut dan bisa jelasin ke dia.

Langkah kakiku mengarah menuju UKS. Tentu tidak langsung ku dobrak pintunya, melainkan, aku melihatnya dulu dari sisi jendela. Jendelanya tidak ditutupi gorden, untung saja.

Aku mengintip dengan tubuh yang mengendap-endap. Mataku beredar dan, gotcha! Itu dia, si Jeno!

Baru saja hendak meninggalkan jendela, aku merasa-melihat sesuatu yang ganjal.

Mendekatlah lagi diriku dengan jendela itu, mengintipnya pelan-pelan, lalu menajamkan penglihatan. Kalau cewek di sekolahku kan, seragamnya memang pakai rok, ya, nah. Murid yang Jeno tangani ini memakai celana. Warna abu-abu lagi.

Aku menghela napas panjang dan meringis pelan. Kecewa berat, asli.

"Itu Jeno sama Jaemin goblok ... Gua kok percaya aja, sih..." gumamku, kemudian mengusap wajah kasar. Bisa-bisanya Lucas dan Seungmin berkata kepadaku tentang hal yang memang terjadi namun, ada setitik kebohongan disana.

"bEHAHAHAHAH MAMPUS ANJING, JENO HOMOAN GOBLOK, BEHAHAHAHA!"

Babi.

Aku membalikkan badan. Sialan. Lucas, Lena, dan Seungmin rupanya mengikutiku dari belakang. Aku mendecak sebal lalu menghentakkan kaki sedemikian mungkin.

Katakan aku lebay, mataku mulai berair. Gimana rasanya anjeng aku ditipu sama teman model rongsokkan kayak mereka, dan bodihnya aku percaya gitu aja? Goblok, goblok.

Pintu UKS terbuka, muncullah tubuh tegap Jeno dari sana lalu menghampiriku khawatir. Jeno merengkuh tubuhku ke dalam dekapannya dan menatap tajam ketiga temanku.

"Lo pada apain nenek lampir anjeng - sampe mewek gini?"

Lena terkekeh, "Menyebarkan fitnah. Hehe. Keren gak?"

"Iye, gua boongin dah tu bocah kalo Jaemin tu Shuhua, nguehehe." sahut Lucas. Jaeno mendecak membuat tangisanku semakin memudar.

Aku melepas pelukan yang Jeno berikan tadi. "Kesel...," kemudian menghentakkan kaki. "dikirain kamu beneran marah sama yang kemaren..."

"Cemburu, nih." Jeno tertawa. "Aku masih marah tau. Udah lah, lupain aja. Masalah segede upil doang, masa diperbesar."

"Wkwk, diperbesar pake microsoft jing."

"Goblok Seungmin. Mikroskop tolol, bukan microsoft. Microsoft mah buat ngetik." Lena menoyor kepala Seungmin pelan. Membuatku mengulum senyum tipis.

Lucas menyahut, "Lagian elo, sih, Jen. Pake marahan segala, kayak bebi boy." katanya dengan nada suara yang menggelikan.

"Najis." umpat Jeno.

Aku terkekeh pelan lalu mengusap mataku yang masih sembab. "Sekarang lo jadwal jaga UKS?" tanyaku pada Jeno. Hendak memastikan, takut jika Jeno itu beneran dating sama Jaemin di UKS.

Jeno mengangguk, "Iye. Aslinya gua jaga pas pelajaran ketiga. Kan siang ini tuh jadwal Jinsol. Cuma orangnya gak masuk, jadi satu hari penuh ini gua yang jaga," jelasnya. "lagian ngapain gua sama Shuhua, udah punya yang cantek kayak gini masa nyari yang baru, halah."

Lucas memajukan bibirnya, "Ulululululu, mesra kali kao silit panci. Yaudah sih, yang gak bisa pacaran lagi sama Keisha di kantin. Padahal, gua udah nyiapin perut buat pajak putus nanti."

Lena ketawa. "Nista lo berdua, bajeng."

Aku merengut kesal. "Halah bacot! Udahlah, lo urus lagi tu si Jaemin," kemudian melirik lagi lewat jendela. "btw, itu si Jaemin dengkulnya kenapa, anjir? Kok borokan gitu?"

"Kena azab, behahaha." sahut Seungmin.

Jeno memutar bola matanya malas, lalu menoyor kepala Seungmin pelan. "Bukan badrol," setalahnya menghela napas. "dari pagi dia di UKS. Dia bilang sih, katanya pas udah mau sampe belokan sekolah, eh, malah jatoh dari motor."

"Ya kali jatoh dari roket, bangsat." gumam Lucas dan dibalas sahutan oleh Seungmin,

"Itu mah lo aja, jing, Cas. Jatoh dari sepiteng." Lucas mengumpat, "Apasih nyet!"

Makin tak jelas, Lena mengabaikan percakapan Lucas dan Seungmin yang semakin lama semakin absurd rupanya, Lena pun memasang wajah leganya. "Owalah, gua kira kenapa." kata Lena.

Aku mendengus. "Sakit gak itu?"

Jeno mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Kayaknya mah sakit, tapi, mboh."

Rasa simpatiku koar begitu saja. Sontak aku membuka lebar-lebar jendela UKS laku sedikit memekik ke dalam sana. "HABEDE, YA, JAEMIN!"

Lena ikutan menyahut, "IYE, JEM. MOGA CEPET KOID!"

"ANJING!" balas Jaemin dari dalam UKS dan aku pun langsung menutup jendela itu dengan perlahan. Jeno tampak menggaruk tengkuknya perlahan kemudian menutup mulut.

"Bentar, gua mual ini sumpah." kata Jeno. Dengan gilanya, Lucas menggoyangkan tubuhku berkali-kali hingga kepalaku lusing bukan main.

"Jeno bunting, Kei! Aborsi, weh, aborsi!" teriak Lucas panik.

"Lu kata kochenk apa?" dengus Seungmin.

Jeno memicingkan matanya ke arah Lucas. "Bacot Lucas! Mulut lo bau bacin!"

Aku menampar wajah Lucas pelan, menyuruhnya berhenti untuk bertingkah konyol. Perhatianku teralihkan pada Jeno yang tengah memijat tengkuknya sendiri. "Lo beneran mual?" tanyaku. Tanganku juga ikut terulur untuk memijat tengkuknya.

Lena mengangguk, "Kayaknya iya, dah, Kei. Lo bawa ke kamar mandi sana, daripada muntah disini. Kagak elit amat najis."

Lucas menggeleng, "Kalo mau elit, muntah tu di bulan sono. Itu baru namanya elit. Muntahnya ngambang nanti," lalu melirik ke Seungmin, "iye, gak, Min?"

"Man, min, man, min. Lo kata gua mimin apa tulul." kata Seungmin tak terima. Oyajelas, nama sebagus dia masa dirubah tiba-tiba sama Lucas jadi mimin.

Lena mencubit pinggang Lucas dan Seungmin satu persatu lalu menggiring aku dan Jeno pergi meninggalkan lokasi.

Aku tahu Lena hendak membawa kita kemana, apalagi selain mengantar Jeno pergi ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.

"Weh, Jen. Lo udah bilang ke Jaemin belom, kal-" tanyaku, namun dipotong duluan oleh anggukan dari empunya.

"Udah, santai." bisik Jeno.

Lena menepuk punggung Jeno pelan. "Udah jalan berapa bulan perutnya? Pantesan ngegelembung." kekehnya kemudian aku menyahut,

"Yee, Len. Makannya porsi kuli gimana kagak buncit." dengusku. Jeno justru mencubit pinggangku pelan dan mengisyaratkan ku agar tidak bacot.

Akhirnya sampai juga di area kamar mandi. Jelas-jelas kita memilih kamar mandi perempuan, soalnya, gimana ya. Jumlah perempuan itu 2 banding 1. Daripada kita dijadikan bahan perbincangan sekolah, lebih baik Jeno saja yang menjadi bahan perbincangan. Hehe.

Bercanda.

"Woi, muntah kagak lo?" tanya Lena. Tangannya terarah untuk membantu Jeno mengeluarkan isi perutnya.

"Heok,"

Aku mendengus, "Lo muntah aja typo, gimana sih lur." gelengku heran. Jeno hanya mengangguk saja lalu tiba-tiba tubuhnya semakin membungkuk.

Lena memekik pelan, seperti tertahan. "Tinggalin dulu bentar, kuy? Itu sungainya udah mau keluar." ajaknya sambil narik-narik tanganku. Aku menggeleng, menyuruh Lena untuk keluar-menjaga kawasan toilet dulu lah sekalian.

"Ihhh, gamau! Lo aja sana, jaga di depan. Udah tau cewek sini pada jijik ngeliat orang munt-"

"Hoek."

Lena meringis, "Iya, iya, dah!" katanya seraya mengangguk cepat dan meninggalkanku berdua dengan Jeno. Tenang saja, kita tidak bakal melakukan hal aneh, mana mungkin juga lagian.

Aku memijat tengkuk Jeno agak kuat. Seketika wajah Jeno memerah, apalagi telinganya. Aku menggeleng pelan kemudian meringis. "Lo abis makan apa sih?" tanyaku.

Jeno menggeleng, "Cuma bubur ayam tadi. Dikit." kemudian Jeno kembali mengeluarkan isi perutnya, aku semakin khawatir dibuatnya.

"Pake sambel emang?"

Jeno mengangguk. Kemudian mengambil napas banyak-banyak dan menegakkan tubuhnya. "Noh kan, jangan kebanyakan makan sambel makanya...," ujarku lembut. Aku mengarahkan Jeno agar bersandar pada tembok dulu. Jeno hanya menurutinya.

"Kalo mau duduk sok aja. Gua mau bersihin bekasan lo tuh," lalu mengarahkan punggung tanganku pada kening Jeno. "kan panas."

Jeno hanya diam saja lalu duduk hingga kepalanya bertumpu pada lutut. Diriku mendengus panjang, berinisiatif untuk memanggil Lena.

"Woy, Lena! Temenin si Jeno nih bentaran!"

"Udah selesai?!" sahutnya.

Aku membalas, "Udah!" lalu masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya. Guna membersihkan bekas Jeno tadi hingga bau tak sedap itu hilang.

Ini mah, bukan Jeno lagi yang menjaga UKS. Namun giliran anak lain, yang jadwalnya jaga esok hari-digilir menjadi hari ini. Aku tak habis pikir, mungkin itu faktor terlalu lama di dalam UKS yang notabenenya banyak tersimpan obat-obat. Aku lupa, Jeno memang tidak terlalu tahan dengan bau yang menguar seperti itu. Untung saja AC ruang UKS menyala, kalau tidak, Jeno sudah muntah di tempat sebelum aku memergokinya dengan Jaemin di UKS tadi.

Tring!

Masih asik menyiram kantai, ponselku berdenting. Ku buka lah dulu sebentar, khawatir penting.

Casian
Woi, semedi apa nenenin Jen...
[1]

Casian
| Woi, semedi apa nenenin Jeno aborsi njer?
| nenen*
| nemek*
| neneb*
| bangsat.
| nemen*

keishaa
Asuu😭😭👍 |
Btw, kas. |
aq sedank berkamuflase jd OB nih. |

Casian
| najes bengat bahasa kao kimak
| buruan weh, pelajaran dah masuk. Bel sekolah emang Lg rsak

keishaa
tipu, gocap. |

Casian
| demi weh, ha noonv
| idh jh, nnti tkut keciduk Bu mia nij ker!!
read.

"Mampus ibab."


Another side.

"Kayaknya kagak jadi deh ke pasar malemnya."

Itu Seungmin yang ngomong. Lalu Lena menyahut,

"Iya weh. Lagian, masa ke pasar malemnya cuma tigaan. Kagak seru!"

Aku mengangguk berat. "Emang Lucas gak bisa di ajak? Kalo Jeno mah biarin pulang aja kali."

Seungmin menggeleng, "Lucas kagak bisa. Bantuin nyokapnya jualan pulsa." katanya.

"Ya elah. Yaudah lah, gua balik aja," lalu mengeratkan gendongan tasku. "lagian di rumah udah ada anak baru."

"Nyokap lo brojol lagi?" tanya Seungmin. Lena mendecih, "Bukan elah, Min. Itu, anaknya supir Keisha ada di rumah dia."

"Noh, denger kan, Min? Gua duluan dah. Take care lo berdua di jalan." pamitku kemudian melangkahkan kaki seraya melambaikan tangan-kemana lagi kalau bukan pulang ke rumah.

Aku berlari, langit sudah cukup menggelap. Dianggap siang tidak, sore juga tidak. Aku harus cepat pulang ke rumah.

Drrt drrt

Dadaku bergetar. Ku serogohlah benda pipih panjang itu dari dalam kantung kemudian mengangkat telepon. Mamah meneleponku, pasti ini lumayan penting.

"Keishaa!"

Aku membalas dengan suara yang ngos-ngosan. "Hhh, kenapa, ma?" tanyaku, kemudian memelankan tempo lari tadi.

Mama menghela napas pendek, "Kamu cepet pulaang! Itu, si Mark-haduh, gimana ya..."

Merasa ada hal yang janggal, aku pun kembali berlari dengan kencang, "Kenapa ma, kenapa? Bilang aja."

Terdengar suara gaduh dari sana, membuat mama buru-buru mengakhiri telepon. "Mas Taeyong, heh, sama Mark-berantem!"

Waduh anjer. Pasti ada hubungannya sama kepulangan mas ke Kanada lagi?

+++
🌙DOUBLE UP! 3,1k words. Aku mau mati dulu. Ini kepanjangan, ya?/plak/ ga jelas lagi partnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top