04. Planning Ala Jeno
we continue,
Kira-kira, apa yang akan ku lakukan jika Mas Taeyong sudah sampai di kediaman Jeno? Langsung berangkat, atau berbicara sebentar dengan ibu Jeno? Atau bahkan meninggalkan Jeno begitu saja? Semua spekulasi dari kalian, salah besar.
Mas Taeyong berdiri di depan pintu yang terbuka, melipat kedua tangannya di depan dada seraya memperhatikanku yang tengah berkelahi dengan Jeno. Ya begitu. Aku tipe orang pemaksa. Jauh dari lubuk hatiku, aku ingin Jeno turut ikut. Namun Jeno tak mau, jadilah aku dan dia selama 7 menit ini menghabiskan waktu untuk berkelahi. Jangan tanya dimana Jisung. Karena adikku itu tengah tertidur pulas di dalam mobil.
"Buset lama banget." gumam Mas Taeyong kemudian melerai diriku yang tengah menarik tangan Jeno berkali-kali. "Udah, udah. Kalem dulu, Dek Kei dengerin mas yaa. Kalo Jeno gak mau, mending gak usah di paksa. Kasian itu kepalanya pusing nanti kamu tarik-tarik gitu."
Aku merengut kesal kemudian memukul wajah Jeno pelan. "Nyebelin lo, Jen! Aku gamau berduaan sama Jisung di mobil, mas tayoo!" rengekku membuat Mas Taeyong dan Jeno mendengus pelan. Cie barengan, jodoh iaia?
"Ya, kan ada mas. Sendiri darimananya sih."
"Masih pundung ae ni bocah." sahut Jeno kemudian memanggil ibunya. Aku dan Mas Taeyong terdiam sebentar ketika ibu Jeno datang ke hadapan kita berdua. Ibu Jeno terkekeh saat Mas Taeyong bersalaman dengannya.
"Kenapa ini?" tanya Ibu Jeno. Jeno tersenyum kikuk.
"A-anu, ma. Jeno ikut mereka ke bandara, ya? Bentar aja. Si Keisha maksa aku biar ikut. Daritadi, tuh. Liat aja mukanya. Keringetan gara-gara gak ada capeknya buat maksa aku." jelasnya kepada ibunya. Ia menatapku tajam, aku cuma ketawa aja. Malu buset, secara kelihatan banget sepertinya jika aku yang memaksa kehadiran si Jeno.
Ibu Jeno mengangguk. "Yaudah ikut aja. Kenapa emang?" tanya ibu Jeno. Jeno cuma ketawa pelan lalu manggut-manggut.
"Yaudah deh, kalo gitu, aku berangkat dulu." pamit Jeno kepada ibunya. Dalam hati aku bersorak senang, akhirnya aku tidak harus duduk bersebelahan dengan si adikku yang mirip dengan babi. Jisung.
Aku dan Mas Taeyong turut tersenyum simpul kemudian berpamitan dengan ibu Jeno. Kini, kami bertiga keluar dari rumah Jeno. Aku sedikit duduk, bertumpu dengan lutut-sebab tengah mengikat tali sepatu. Jeno yang berdiri tampak melihatku saja tanpa berniat untuk membantuku. Aku bangun, lalu membersihan blazerku yang sedikit kotor.
Aku membalikkan badan. "Berangkat dulu, tan."
Ibu Jeno mengangguk seraya tersenyum manis. Senyumnya mirip dengan Jeno. Mengandung makna yang sama juga. Siapa tau, ibu Jeno ini calon mertuaku, terus Jeno bakal jadi calon suamiku. Ahay ahay ahay.
Mas Taeyong mempersilahkan aku dan Jeno agar masuk ke dalam mobil. Jadi, Jisung duduk di sebelah kursi Mas Taeyong. Kalau aku dan Jeno, duduk berdua di bagian belakang.
"Anjir dah. Ngapain gua ikut lo buat jemput anak Mas Tayo sih?" bisik Jeno di telingaku.
"Udah siap?" tanya Mas Taeyong. Aku mengangguk semangat. Mas Taeyong terkekeh, "pake seatbeltnya. Jangan lupa, Keisha."
"Yoe, mas brow." aku memasang seatbelt kemudian menoleh ke arah Jeno. Lagi ngambek tu orang aku kacangin. "Heh, Jen. Pake sabuk pengamannya!"
Jeno hanya mencibir ucapanku. Aku merotasikan mata, kode banget dia minta di pasangin kalo kayak gini. Aku hanya menarik seatbeltnya, kemudian memasangnya pada tubuh Jeno lalu mengaitkannya.
"Dah tuh. Tadi kamu mau ngomong apa?" tanyaku.
Mulai deh aku-kamunya lalo udah begini.
Jeno hanya memajukan bibir, seperti meledek ucapanku. Aku justru menampar bibirnya agar jangan menambah masalah. Udah bagus aku mau denger dia ngomong, nih.
Jeno pun mengerucutkan bibirnya. "Galak ih, sebel..." katanya kemudian memukul pundakku macam banci perempatan. Aku mencebik bibir kasar, geli anjir kalo Jeno dah macam pria hidung belang begini.
"Heh, gausah najisin sih! Udah mau ngomong apa, mumpung aku mau denger." ucapku dengan nada sehalus mungkin. Kalau kayak gini, si Jeno dikasarin, makin-makin deh tingkah najisnya itu keluar.
Jeno memutar bola matanya, "Hih, kan tadi gue nanya-ngapain gue ikut jemput anak Mas Taeyong, goblok?" ucapnya dengan nada berbisik. Mas Taeyong sempat melirik ke belakang lewat kaca gitu, dia berdeham.
"Ekhem, gaboleh zina ya, kalo berdua di belakang gitu." sindir Mas Taeyong seraya menekan tombol klakson. Aku mendecih, membalas sindiran Mas Taeyong.
"Gak sudi kali, mas, aku zina sama dia."
"Heh, mulut! Aing kulum juga nih!"
Mas Taeyong dan aku terperanjat kaget. "JENO!" Membuat Jisung bangun dari tidurnya yang pulas sembari menatap sekitar dengan wajah bantalnya.
Aku menatap sengit Jisung, "Apa lo!? Pundung mulu ma gua. Punjajing!"
"Apa dah?"
"Pundung jadi anjing!"
Jisung menatapku malas, sebab masih mengantuk. Ia menguap kemudian melempar kotak tissue itu tapat di wajahku-eits, untuk ada tangan Jeno yang menghalanginya. Aduh, superdedeku.
"Bang Jeno nih ganggu aja emang kayak bencong!" umpat Jisung sebal kemudian mengalihkan wajah, melanjutkan tidur.
Jeno menggeleng heran kemudian menyandarkannya pada pundakku. Aku menghela napas kasar ketika melihat mata Jeno yang mulai tertutup. Jadi ikutan ngantuk deh kalau suasananya sepi begini.
Mas Taeyong menyalakan radio. Lagu pun terputar. Kali ini lagu yang dimainkan adalah lagu milik Ed Sheeran, Perfect.
Aku bersenandung dalam hati. Sesekali bergerak risih, pegel anjir pundak aing di pake buat tiduran sama anak babon.
"...met an angel, in person, she look perfect tonight." senandung Jeno. "I dont deserve this, Kei look, perfect tonight. Eyak eyak!" katanya sambil noel-noel daguku. Aku cuma mandang dia sekilas abis itu balik buat ngedongak lagi. Aku kayak mikir, mending tidur atau enggak ya.
Mas Taeyong yang ngedengar Jeno gombal kayak tadi cuma ketawa pelan. Dalam hati Mas Taeyong bilang, human tolol memang Jeno ini.
Jeno bangun dari pundakku. "Lo nyadar gak, Kei?"
Aku cuma berdeham. Mempersilahkannya agar lanjut berbicara. Jeno cuma garuk tengkuk pelan kemudian kembali bersandar di atas pundakku.
"Nope. Gak ada apa-apa." gumamnya sembari mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Aku menghela napas pelan lalu beralih menatap ke arah jendela.
20 menit lagi, aku akan tiba di bandara.
***
Mas Taeyong, aku, Jeno, dan Jisung masih berada di dalam mobil namun sudah sampai di lokasi penjemputan. Jisung dan Jeno terlihat tengah asik bermain PUBG bersama. Mas Taeyong juga terlihat seperti orang linglung. Menatap segala penjuru lokasi-mencari si anak.
Aku menghela napas pelan. "Mas, emangnya anak mas itu gak punya nomor telepon atau gimana gitu?" tanyaku. Mas Taeyong menggeleng.
"Mas larang Mark buat main hape. Nanti ketularan oon kayak Jeno sama Jisung." ucapnya bercanda. Aku terbahak, Jeno mencibir kemudian mendesah pelan.
"bAHHHH, MAS TAEYONG SIH! GUA KALAH AJA KAN!" cerca Jeno sembari menatap sini Mas Taeyong. Mas Taeyong ketawa seraya melafalkan sebuah kata maaf.
Jisung ikut menyahut. "Lagian Bang Jeno sih. Makanya, jangan nyibir perkataan orang tua." katanya seraya tertawa puas. Puas banget lah, Jisung yang menangin gamenya, kok.
Aku mengangguk sembari menepuk pundak Jeno berkali-kali. "Sabar, ya. Semua pasti ada balasannya, kok. Paling sakit itu kalo cuma diread atau bahkan gak di balas sedikit pun padahal dia online. Coba kamu bayangin, Jen. Itu sakit bang-"
Mas Taeyong nyela. "Gausah curhat. Ini bukan snapgram." katanya datar. Datar sih, tapi kepalanya yang gak bisa diam. Dibilangin lagi nyari anaknya kok.
Aku mengembuskan napas. "Kenapa gak turun aja sih, Mas. Biar carinya enak."
"Nah itu. Kalo Mas turun, kalian mau jaga mobil? Palingan nanti kamu sama Jeno mampir ke tempat makan. Kalo Jisung sendiri disini, mas jadi was-was." jelas Mas Taeyong. Aku terkekeh pelan mendengar balasannya.
Jeno ketawa. "Yaudah mas aja deh yang tunggu sini, gimana? Nanti gue sama Keisha aja yang nyari anak mas itu...," kemudian menoleh ke arahku. "kamu tau mukanya, kan?"
Aku menggeleng, "Ngehe. Kagak."
Jeno menatapku sengit lalu memasang gestur seperti hendak menampar wajahku. Aku sedikit terkesiap, bukannya menampar, Jeno malah mengelus kepalaku-kasar. Sampe nunduk-nunduk nih kepalaku.
"Huh! Anak pinter, hooh! Anak anjing, pinter...," gumam Jeno. Aku cuma ngeringis. Sakit mah enggak, cuma kepalaku udah beberapa kali keplitak karena ulah Jeno.
Mas Taeyong menyodorkan ponselnya ke hadapan aku dan Jeno. "Kalian mau cari Mark, kan?" lalu membuka galerinya dan menampilkan sebuah foto anak lelaki. "Ini. Kalian cari, ya. Bilang aja ke Mark-kalo kalian kenalannya mas. Pake bahasa inggris tapi."
Jeno ketawa. "Yakali pake bahasa kalbu, bang."
"Kaldu?" tanya Mas Taeyong.
Aku ketawa, kemudian mengoreksinya. "Kalbu, mas," kemudian melanjutkan, "buka pintu mobilnya, geh. Siniin hape mas, mau aku bawa."
Mas Taeyong memberikan ponselnya kepadaku secara percuma-mau aku pinjam lah untuk mencari oknum yang berinisial ML. Bukan making love, bukan mobile lejens. Tetapi, Mark Luke. Pria luar yang demen berkelana dari kandang ke kandang. Kabarnya sih, begitu.
Jeno dan aku memutuskan untuk mencari secara random. Kayak, yaudah asal jalan aja. Kalo ada orang yang mirip dengan di foto, langsung kita bawa kabur deh anaknya.
Jeno berceletuk, "Nyari dimana anjeng. Bule disini banyak, pea." katanya. Gemas.
Aku hanya mengabaikan celetukan si Jeno. Mataku masih setia memandang foto yang ada di layar ponsel Mas Taeyong. Aku tengah mencari sebuah ciri-ciri yang ada di sana. Seperti, Mark itu mempunyai mata, hidung, dan mulut-ya bodo amat. Pokoknya ciri-ciri yang spesifik deh.
"Liat deh, Kei. Si Mark punya beol lalat di jidatnya. Ada dua." tunjuk Jeno-ternyata ia juga ikut memperhatikan foto ini.
Aku menajamkan mata kemudian mengangguk semangat. "Iya anjir! Pokoknya cari yang tahi lalatnya di jidat ada dua, terus ada tanda lahir di leher."
Jeno mengangguk. Dia menepuk pundakku. "Kita pisah, ya? Gimana?"
Aku terdiam. Menatap lekat wajah Jeno seraya berpikir keras. Aku tipe orang yang mudah terkecoh, bahasanya ya, gampang kesasar. Jadilah karena ini amanat dari Mas Taeyong, aku mengangguk gusar kemudian membalas. Sama persis seperti yang Jeno lakukan; menepuk pundak satu sama lain.
"Owge, kita pisah. Kalo dah ketemu, vc lewat WhatsApp aja. Terus kalo orangnya sama persis kayak di foto, langsung lo colong dah." kataku. Aku pun memainkan ponsel Mas Taeyong. "Et dah, nomor lo dah di simpan sama Mas Taeyong ternyata." gumamku.
Jeno ikut melirik, "Kamu ngapain itu buka WAnya Mas Tayo?"
"Ngirim foto anaknya mas Tayo lah ke kamu. Apa lagi?" kataku sembari memandang sekilas Jeno.
Jeno mengangguk setuju kemudian mengusak kepalaku pelan. "Hati-hati. Jangan ilang, kalo bisa inget tempat pertama kita disini, oke? Sawan sumpah gua kalo lo di tempat rame gini." ucapnya.
Aku terkekeh kemudian mengacungkan jempol. "Gua kesana, lo kesana, yep. Bubaaaay!"
Jeno melambaikan tangannya sampai ia merasa jika aku telah menjauh darinya. Aku menatap sekitar dengan pandangan takut-iya, aku takut kesasar kok ini. Serius. Sudah lama juga lagian aku tidak ke bandara.
Ku tatap sekitar. Banyak restoran kecil, ada toko oleh-oleh, minimarket, tempat pembelian tiketnya, dan lain-lain deh. Huh, tak ku sangka, ternyata sedemikian lelahnya, ya orang tua yang kehilangan anaknya di tempat ramai seperti ini. Mencari-cari, terus mencari, seperti harus kembali. Bahkan, dulu aku pernah hilang di sebuah tempat belanja. Jisung-lah yang menemukanku dan menyumpah serapahi diriku.
Bagaimana juga, kalau dia seperti itu, pasti ia takut kehilanganku lah.
Aku mendengus kasar. Sudah 12 menit berkeliling, namun hasilnya nihil.
Aku pun berniat untuk menuliskan pesan, dan mengirimkannya pada Jeno.
keishaa
jen, ga ada weh |
read.
jENOo calling you
via video call...
[angkat] [matikan]
Aku menampilkan wajahku. "Gak ada, Jen. Lo udah nemu emang?" tanyaku tanpa basa-basi. Terlihat dari layar, jika Jeno menggeleng pelan. Aku menghela napas.
"Lo samperin gua dah sini. Gua ada di deket starbucks. Buru-soalnya, ada orang gitu. Duduk. Kalo dari belakang, kayak anak ya Mas Taeyong gitu." jelas Jeno. Mataku justru membola.
"Kelamaan, gobs! Gua udah nyasar jauh banget ini gua gatau dimana!" kataku panik. Jeno menatapku lewat layar dengan pandangan gusar. Haduh, gimana ini.
Jeno pun berkata. "Yaudah, vcnya jangan dimatiin deh. Gua ke si cowok itu bentar, lo liat nih! Persis kagak mukanya!"
Aku mendengus. "Ye si goblok! Lo tinggal tanya aja ke si cowok wat is yur nem. Gitu aja susah! Kalo orang yang lo curigain itu malah natap aneh lo, berarti dia bukan Mark! Kan kata Mas Taeyong, Mark gak bisa bahasa." jelasku.
Jeno terkekeh geli. "Hehe, iya. Bodoh juga, ya." kemudian menatapku tajam. "Tapi tetep aja. Jangan dimatiin vcnya! Nanti aku kangen lagi."
"Mulai dah kumat. Yaudah buruan, aku pantau ini dari hengpon!" balasku ketus. Jeno malah terbahak. Nah, udah cukup jelas kan sisi oon-nya dimana. Setiap orang bicara serius, dia malah tertawa. Disaat orang bercanda, bawaannya serius mulu. Hadeh.
"Iya ih beb. Galak banget. Kode minta di pinang pake bismillah, ya?" ucapnya. Aku diam saja, kalau di balas jadinya Jeno makin melantur.
Dilihat jika Jeno sudah berjalan, menuju ke arah si cowok yang ia curigai sebagai Mark. Sayup-sayup ku dengar jika Jeno tengah memanggil pria tersebut. Kamera Jeno sedikit gelap karena bertubrukan dengan pakaiannya.
"Jen?" panggilku.
Tak ada jawaban. Dari nada bicaranya Jeno, sepertinya pria itu tengah berbincang serius dengan si lawan bicara. Aku menghela napas, manatap sabar ke arah layar yang hitam itu.
Dan, gotcha! Wajah Jeno kembali muncul. Bedanya, pria itu tak sendiri, namun-bersama dengan 'orang yang ia duga Mark, ternyata memang Mark'. Tanpa tahu malu, Jeno merangkul anak lelaki disampingnya yang tengah tersenyum kikuk.
"Yow, darl! Ini Mark, njeng!" kemudian Jeno menoleh ke arah Mark, "say hi to my honey, Mark." katanya sambil ketawa. Mark cuma haha-hehe aja sambil melambaikan tangan. Jeno ketawa pelan.
"Dia udah ketemu. Sekarang, gue kudu nyari lo. Lo kesasar dimana?" tanyanya sembari tersenyum lebar.
"Kesasar di hatimu nih, aciaa."
Jeno memukul kamera yang menyoroti wajahnya-dan Mark tentu. "Gua serius, bajeng!" ucapnya ketus. Aku tertawa.
"Di depan CFC. Deket sama pusat oleh-oleh." kataku, kemudian mematikan telepon via video call tadi. Huh, akhirnya anak itu ketemu juga. Bahagia rasanya, masalahnya aku benar-benar penat hari ini. Ingin rasanya berbaring di atas ranjang.
Tak sadar senyumku mengembang tipis.
Itu bener, Mark, kan?
"Halo, Jis. Ini mbak, teleponnya kasih ke Mas Taeyong."
Aku menelpon Mas Taeyong-tapi nelponnya ke nomor Jisung. Kan ponsel Mas Taeyong ada di tanganku.
"Halo, Dek Kei-Gimana anak Mas? Udah ketemu? Gimana kabarnya?" Mas Taeyong berucap, tersirat nada khawatir di dalamnya. Yahh, pasti rasa sayang Mas Taeyong terbagi nih, bukan sepenuhnya ke aku lagi.
Aku tersenyum tipis, "Udah, mas. Ini aku nyasar, Jeno sama anak mas itu lagi nyusul aku. Santai aja." kataku.
Mas Taeyong terkekeh. "Hehe. Yaudah kalo gitu, hati-hati. Teleponnya mas matikan, ini Jisung udah berisik banget mau main gamenya lagi. Mas tutup, ya?"
"Hooh, bye, mas." laku telepon dimatikan sepihak oleh Mas Taeyong.
. . .
"My brooooooo!"
Mas Taeyong keluar dari mobil sembari berlari pelan menyambut Mark yang tengah di rangkul oleh Jeno. Jeno melepas rangkulannya, ku lihat juga, jika Mark sudah meninggalkan koper miliknya dan berlari pelan untuk menyambut Mas Taeyong.
Aku ketawa pelan. Lalu Jeno menyahut,
"Gila, Kei. Kalo kita punya anak, terus anak kita ke luar negeri, gua pasti kayak gitu juga, ya?" tanyanya random.
Pipiku bersemu. "Iya lah kayak gitu."
Jeno ketawa pelan sambil noel-noel daguku. "Cieee udah nyahut. Dikira bakal ngomel, euy. Berarti kamu dah siap nih aing lamar pake ban pesawat disini?" tanyanya genit. Membuatku bergidik ngeri.
"Najis."
"Helehhhh, tsundere aja kamu bep! Cini cini mas peyukkkk!" rengek Jeno sembari memelukku kasar dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Hoek, rasanya mau muntah belatung.
Aku ya terima aja pelukan alay dari Jeno. Tapi mataku tetap gak lepas dari Mark dan Mas Taeyong yang tengah tertawa. Hangat rasanya. Apalagi ketika Mas Taeyong mengelus lembut surai rambut si anak yang berwarna kecoklatan. Mau pingsan aja deh rasanya di bagasi pesawat.
Jeno ketawa. "Kiw, Mas Taeyong! Udah belom, kiw!?" katanya sambil bersiul.
Mas Taeyong menatap ke arah Jeno, terus ketawa canggung. "Hehe, udah kok! Langsung pulang hayuk!"
Jeno dan aku beralih menatap koper yang menyendiri di antara kita berdua. Kemudian Mark-selaku anak Mas Taeyong berjalan, mendekati kita berdua-maksudnya, kopernya.
Mark tersenyum tipis menatap Jeno. "Thanks, dude." ucapnya seraya menepuk bahu Jeno dua kali.
Jeno ketawa aja. "No prob."
Ketika punggung Mark telah menjauh bersamaan dengan koper yang ia geret, Jeno pun ketawa seraya merangkulku. "Hayuk, Kei. Kita in to mobil skuy." ajaknya.
Aku terbahak, lalu memeluk pinggang Jeno sembari berjalan-dan bergelayut manja tentunya. Jarang-jarang loh aku kayak gini.
Semoga aja, hubungan yang ku bangun dengan Jeno akan terus hangat sampai kapan pun.
Dalam hati aku bersorak mengingat celetukan Jeno yang sama sekali tak pernah di saring. Dalam artian; murni dari hatinya.
'Gila, Kei. Kalo kita punya anak, terus anak kita ke luar negeri, gua pasti kayak gitu juga, ya?'
Bikin pusing aja emang ni cowok kelakuannya. Tapi semoga aja deh langgeng sampe sukses, punya keluarga sendiri, punya cucu, cicit, cecet, cicak, cocot, semuanya. Huhuhu.
Tring!
jENOo
| Tidur woi, gosah bengong. Kesambet pan lu?
read.
Aku menatap sinis Jeno. Lalu sedikit melirik ke arah Mark yang duduk di sebelah si Jeno. Iya, Jeno duduk ditengah.
...By tu de wey, Mark kalo dari samping asoy juga hehehee.
+++
👪2690+ words. panjang banget hadugh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top