03. Saksi Bisu

we continue,


"WIKWIKWIKWIKWIK AH AH AH-"

"JISUNG, DUSUN YA KAMU!?"

Jisung mengrenyitkan dahi, "KENAPA, MAH? JISUNG LAGI DI KAMAR NIH!" -itu yang aku dengar.

Aku mendengus kasar kemudian keluar dari kamar mandi. Lagi-lagi, telepon ku berdering. Membuat mama yang tengah di bawah pun diam tak bergeming. Aku terkekeh pelan ketika mama menduga jika Jisung lah yang melakukan itu. Memang sih, suruh siapa dia mengganti ringtone hapeku?


10 miscalling from jENOo
WhatsApp notification!
jENOo sent you a message!


"Buseng. Ni anak gabut pisan gublok."

jENOo - 07.32 -
| keiiii kuuu
| tau gak, satuan jarak yg bikin rindu itu apa?
sent, O7.32

keishaa
p44n?|

jENOo
| km

keishaa
i cocwit |
tau lambang Boron sm Kadmium g?|

jENOo
| tau donk, b sama cd
| aku tu anak ips, tp kalo ditanya itu ma gampil

keishaa
klo digabung jd apa?|

jENOo
| bcd?

keishaa
ya itu kamu, udah bcd, jelek lg!|
untung zhayank |

jENOo
| heh, msh inget gak cerita gwa yang anak bule kesasar itu?

keishaa
y9 k3545412 dy d3ph4n rmh km ith03?? |

jENOo
| km ngetik pk kalkulator?

keishaa
ntar dlu ah bajing, gua belum pake baju nih tolol brusan mandi |

jENOo
| kekasihku ternyata tngh membugilkan diri di hadapan masyarakat

keishaa
bacot lo pemulunk |

jENOo
| gpp, aku kan mulung hati kamu yang berserakan, terus memperbaikinya lagi dengan kasih sayang kacank malika

keishaa
ak gbth org tijel mmf |

jENOo
| tp ak butuh kamu
| mom to my son

keishaa
lo udh punya anak, anjing!?? |

jENOo
| in your beuteung

keishaa
berisik ih, gwa udah selesai nih pk bjunya |
mau ngomong apa td? |
klo g jls, besok kita musuhan |

jENOo
| uwwhhh 👙👙👙👙
| itu loh, si bule nyasar lg anjeng ke rumah gwa, tu dia lg ngomonk sm chicken di depan rumah si yang2
| keyaknya temen si yang2 deh tu bule
read.

Tengah asik mengetik balasan untuk Jeno, aku lantas berjengit kaget mendengar sahutan Mas Taeyong dari bawah. Ia memanggilku. Lantas, aku terdiam sebentar. Lebih baik, aku mengakhiri chatnya dahulu-karena kurasa, Mas Taeyong pasti memanggilku karena urusan penting.

Aku melirik ke arah kalender yang menempel, terpampang angka 12, dan hari Rabu. Hari dimana anak Mas Taeyong akan datang kemari dan tinggal bersama-as a maid. Meskipun jabatannya hanya seorang pembantu, tetap saja, baik ayah maupun ibuku akan menganggap pembantu seperti manusia pada umumnya. Jika ia lancang, maka ditegur. Jika ia disiplin, ya enggak di apa-apain.

"BENTAR, MAS! INI OTW KE BAWAH!"

keishaa
bentar jen, gua d panggil sama mas taeyong di bawah, bentar ya |
delive.

Aku bergegas turun ke lantai bawah dan melihat Mas Taeyong tengah bersandar pada pegangan si tangga itu.

"Pagi, Mas." sapaku. "Ada apa manggil Kei?" tanyaku setelahnya.

Mas Taeyong memberikanku secarik kertas. "Tadi kang pos dateng, ngasih kiriman surat. Taunya, dari anak mas. Baca aja, dia bilang, dia bakalan landing di Bandara Soekarno jam dua belas siang."

Aku membaca surat itu, kemudian melirik ke arah tanggalnya. "Loh, ini suratnya udah dari tanggal 10, ya, mas. Berarti dia dua hari tah gimana?"

"Maybe yes, maybe no." balas Mas Taeyong sembari tersenyum tipis. Aku mengangguk. Mas Taeyong pun menatapku serius, "Kamu simpen surat itu, ya. Mas risih ilang." ucapnya, aku mengangguk semangat.

Ketika Mas Taeyong mau ninggalin aku, Mas Taeyong pun memberhentikan langkahnya-badannya berbalik ke arahku.

"Anyway, ibu sama papa lagi berangkat ke luar, nganterin makanan buat tetangga baru katanya. Jadi, mas yang turun tangan buat masakin sarapan. Sarapannya di meja makan, maaf kalo rasanya kurang mantul." lalu mangacungkan jempol. "Mas ke atas dulu, manggil Jisung."

"Woke, woke. Kalo Jisungnya gamau, slepet aja burungnya, mas." celetukku. Mas Taeyong menyentil dahiku pelan.

"Dusun!" katanya. Aku pun terkekeh.

Gila gak sih, Mas Taeyong masih umur dua puluhan loh, anaknya udah seumuran sama aku. Waduh, nikah dari pas kapan tuh, mas? Pas mas masih diciptakan dari tanah, ya?

Aku pun keingat, jika ponselku masih berada di atas. Tepatnya aku taruh di nakas. Kebetulan Mas Taeyong mau ke kamar Jisung, kan. Nah, sekalian aja deh biar Mas Teyong ambilin hapeku, jadilah aku berniat buat manggil Mas Taeyong lagi. "Mas Terong!"

Mas Taeyong ngeliat ke arahku dari atas, cepet banget buset Mas Taeyong naik tangganya. Naik tangga tah berak, om?

"Kenapa?"

"Mas Taeyong, anu-bisa tolong ambilin hapeku, gak?!" Aku gak berniat ngegas, kan aku posisinya lagi teriak. Mas di atas, aku di bawah.

┏(c"ತ,_ತ)┛ughteayyyy astagfirullah. Yang pikirannya mesum, harap segera dilumpuhkan otaknya.

Mas Taeyong mengangguk. Aku pun melengang pergi menuju ke meja makan. Laper banget, nih. Perut aku udah tawuran dari tadi. Ada yang bawa bacok, keris, pacul, bahkan panci bersilit gosonk. Berisik emang cacingnya kayak Jisung. Bahasa koreanya mah, bct 127.

Btw, dari lantai atas, terdengar suara teriakan Jisung. Jisung seperti tak mau beralih dari video gamenya. Demi apapun, aku jadi bersalah ke Mas Taeyong. Kan udah aku bilang, slepet aja burungnya.

Tanpa berpikir panjang, aku pun mengambil piring dari lemari. Menaruh satu centong nasi-enggak, sih. Dua centong maksudku, kemudian berjalan ke arah meja makan dan membuka tudung saji. Wah, untuk seukuran lelaki, Mas Taeyong pintar memasak juga rupanya.

Ada cah kangkung, makaroni panggang, ayam bakar madu, ayam bekakak, dan jangan lupa untuk daging sapi kesukaan ku.

Jisung pun datang, lalu duduk begitu saja di hadapanku. Aku tentu memutar bola mata, malas. "Makan sana. Gitu banget sih sama Mas Taeyong. Gak sopan tau!" omelku.

Jisung menghela napas, "Ya maaf. Abisnya aku kelepasan. Aku kira kakak yang cabut kabelnya, taunya malah Mas Taeyong."

"Kalo Mas Terong sakit hati gimana, Jisung? Kamu tuh harusnya ngambil pelajaran dari film adzab itu. Nanti kalo kamu kesamber gledek tiba-tiba, gak ada yang nolongin, gimana tuh? Jangan cuma bisa ngeledek film adzab tuh terlalu dramatis, kamunya aja yang gak bisa ambil hikmah dari si film. Bloon kok dikandangin." jelasku panjang lebar.

Jisung hanya berdeham. Jisung bakalan nurut kok kalo udah menyangkut hal seperti ini. Gak tau kedepannya.

"Kak, aku punya kegoblokan. Kakak mau?"

Nah, kan. Baru aja di omongin.

"Buat kamu aja. Kakak udah punya rendang kok nih." tunjukku pada lauk yang tertata rapih di atas piring.

Jisung terkekeh. Kemudian ia berjalan ke arah dapur-untuk mengambil piring. Tapi, untuk menuju ke arah dapur ia harus melewatiku dulu. Jadilah, Jisung menoyor kepalaku hingga aku tersedak.

"nGOHOOOOK! G-GOBLOK, JISUNG! KAMU KALO DI NASEHATIN GAK ADA SADAR-SADARNYA, YA!?" pekikku kemudian mengambil gelas berisi cairan bening itu dengan tergesa. Aku meminumnya, hingga titik terakhir.

Mas Taeyong menatapku yang tengah terdiam sembari mengepalkan tangan. Napasku menderu, kesalku sudah di ujung tanduk. Siapa yang sih yang tak kesal jika sudah diperlakukan seperti ini.

Mas Taeyong menghampirimu, "Heh, heh! Udah, gausah nangis..."

Aku mengerucutkan bibirku kemudian menangis kencang. Jisung yang sudah mengambil piring itu pun terdiam menatapku dari sisi kanan, Jisung seperti bertanya; kenapa dia? Mas Taeyong pun menatap Jisung dengan tatapan-tajam sih tidak, seperti mengingatkan.

"Jisung, kalo kamu ke kakakmu jangan kayak gitu lagi. Kasihan itu kesedek kan, tuh." ujar Mas Taeyong sembari mengusak rambutku pelan. "Lagian kakak kamu tadi kan ngingetin kamu. Bukan maksud buat menggurui, tapi mengajari kamu yang benar. Tatakrama kamu agar baik, gitu loh."

Jisung manggut-manggut. Aku menatap Jisung tajam kemudian menangis kembali. "UDAH AH, AKU KENYANGG!"

"Lagian nasimu dah habis, kak." sahut Jisung. Aku mencibirnya.

"Terserah! Aku mau main sama Jeno. Mas Taeyong, aku izin keluar, ya."

Ketika aku hendak meninggalkan meja makan, Mas Taeyong menarik pergelangan tanganku. Aku mengrenyitkan dahi, Mas Taeyong hanya senyum. "Mas kesini mau ngasih hapenya. Nih,"

Aku terkekeh, "Oh, ya. Makasih, Mas Terong!"

Mas Taeyong mengacungkan ibu jarinya kemudian mengusak rambutku pelan. "Gausah nangis lagi. Jelek."

Aku mengangguk saja sembari tersenyum lebar. Tak perlu risau, Mas Taeyong memang sering seperti itu kepadaku. Makanya aku memanggil dia dengan sapaan 'mas'. Selain usianya masih terbilang muda, dia juga sudah aku anggap sebagai kakak sendiri. Orangnya penyayang.

"Inget punjabi, kak." sahut Jisung.

Aku menatapnya tajam. Lalu meninggalkannya seolah tak ada apa-apa.

Punjabi yang Jisung maksud ialah; pundung jadi babi. Lagian kalau aku jadi babi, aku tetap cantik dan menggemaskan kok. Gak kayak Jisung, udah babi, mirip anjing lagi. Astagfirullah.

*iklan*
aku puasa buset, dosaku...
-keira.

Aku mengetik sebuah nama, kemudian menekan tombol telepon, lalu menunggu agar Jeno mengangkat panggilan dariku.

"Jen-"

"Eh ada panggilan dari bidadari. Untung bukan dari Tuhan. Soalnya ak-" ucapan Jeno terputus, ya, sengaja aku menyela ucapannya. Pasti ia hendak menggombal lagi.

"Gombalnya ntar aja. Aku lagi pundung nih sama Jisung. Main keluar lah, yuk?" ajakku. Dari seberang sana, terdengar suara berdengung. Jeno seperti tengah berpikir.

"Halah kamu gausah sok-sokan mikir deh. Punya otak aja kagak, pake mikir segala." cercaku. Aku menghentakkan kaki kesal. "Ih, buru, woi! Gua panas lama-lama disini! Bau-bau si babi makin mendekat!"

Jeno berdeham, "Ayuk aja sih, nah, masalahnya itu beps ... Motorku lagi di benerin, mobil bapaku lagi di cat ulang. Masa kita jalan-jalan pake kuy-food? Kan gak lucu. Yang lucu di dunia ini cuma kam-" mulai lagi ... Kan,

"Gausah gembel!" lalu mematikan teleponnya secara sepihak. Kalau sudah seperti ini, mau tak mau, suka tak suka ... Aku harus menghampiri Jeno ke rumahnya.

Jisung yang hendak naik ke atas menggumam, "Blazermu di sofa, kak. Gosah ke atas. Udah Jisung ambilin tadi."

Jisung melengang pergi menuju ke kamar. Aku melihat punggungnya, kemudian menggeleng heran. Bingung deh, yang kelihatan pundung sepertinya Jisung, bukan aku.

Tak perlu banyak cincong. Langsung saja aku mengenakan blazer mocca dan menyampirkan sebuah tas kecil pada pundak itu. Omong-omong, mengapa tas kecil itu berada di sofa? Tak tahu aku juga, pokoknya ada disitu aja.

Aku pun memakai sneakers biasa, berwarna putih. Lalu membuka kenop pintu.

Sebelum-benar-benar-keluar, aku kembali berteriak. "MAS TAEYONK! AKU KE RUMAH JENO DULU, YA! KALO MAS MAU BERANGKAT KE BANDARA, KABARIN KE AKU!"

"DEK KEI, HATI-HATI!"

"KALEM WEH, MASS!!" kemudian menutup ointu sedikit demi sedikit seraya berteriak, "JANGAN LUPA DI KUNCI, YA, PINTUNYA-WOI, MAS TAYOO!"

Mas Taeyong berjalan cepat ke arah pintu sembari memasang gestur hendak memukulku memakai centong nasi. Mungkin saja, Mas Taeyong yang tengah lapar itu merasa terganggu sebab aku terus meneriakinya. Aku terbahak, kemudian menutup pintu rapat-rapat.

Aku memainkan ponsel, lalu mengabari Jeno.

keishaa
woi onta |
gua ke rumah lo ya, |
read.

jENOo is typing...
jENOo lagi ngetik woii!!!

'Tring
'Tring

Dan-aku abaikan pesannya. Pasti dia mengomel agar aku tak usah menghampirinya, bilangnya; kan yang nyamperin sel telur itu, sel sperma, kiw. Terserah kamu saja, badrol.

Aku berjalan melewati sekitar 2 gang. Tinggal 2 gang lagi, aku akan sampai di kediaman Jeno.

Capek? Banget. Cantik? Apalagi anjir!!!

Aku mengeluh kemudian menghapus peluh. Ku ambil ponsel yang ada di kantung celanaku kemudian melirik ke arah jam. Gila! Ini sudah pukul 10, waktu bermainku dengan Jeno tinggal 2 jam lagi. Kan aku harus berpamitan dengan Mas Taeyong yang hendak ke Bandara Soekarno.

Aku berlari pelan, setidaknya mempercepat lajuku agar cepat sampai di rumah Jeno. Ketika aku hendak berbelok ke arah gang yang ketiga, alu sedikit berjengit kaget. Kemudian sedikit membungkuk, untuk mengambil napas banyak-banyak.

"Heh! Aku bilangin juga gausah ke rumah. Ngeyel!" kata Jeno seraya menarik telingaku pelan. Aku meringis, ini capek banget buset.

Jeno membuka ponselnya, lalu mendengus kasar. "Pantesan. Wong gak di read sama kamu." katanya kemudian merangkulku paksa. "Gausah batu makanya jadi orang! Cukup patrick ajon."

"Apasih lo gajelas!" cercaku sembari berusaha menjauh dari ketiak Jeno.

Jeno tertawa, "Kan patrick tinggal di batu! Mana tuh, nah! Sana tuh ada batu, sebelah kamu ada batu-Nih liat! Aku juga nginjek batu-ADAW IAIA ASYIAAP SAKIT!"

Aku mencubit pinggangnya keras. "Lagian, bacot banget lo gledek."

Jeno mengacak rambutku pelan. Ia pun mengusakkan dagunya dengan kepalaku membuatku secara spontan menampol wajahnya. Jeno terkejut seraya mengusap wajahnya kasar. "BUSET AKU DI GAMPAR! GALAK MAMEEEN!"

"Gua sumpelin soptek mau lo?!"

"Ke sari asih beli batu. Apasih yang enggak buat kamu!" ucap Jeno yang membuatku naik darah.

Langkahku terhenti, kemudian menatap Jeno tajam sembari memasang posisi kuda-kuda. "Baku hantam lah kita, Jen!!" tantangku.

Jeno menggulung lengannya "Wadoh! Hayok lah kalo maksa!"

Kendaraan yang lewat gang tersebut pun sempat terhambat sebab aku dan Jeno yang tak tahu tempat jika berkelahi. Halah, yang penting satu komplek sudah tahu dan paham kelakuan aku dan Jeno. Bagaimana pun, aku dan Jeno juga bersahabat sebelumnya wokwokwok.

IRI YA LO KETUMBAR!?

***

"Assalamualaikum..." ucapku ketika memasuki runah Jeno. Jeno berjalan pelan masuk ke ruang tamu-menghampiri ibunya yang tengah kesulitan mengambil baskom yang ada di lemari palinggggg tinggi. Kurang lebih, 6 cm lebih tinggi dari Jeno.

Aku melihat interaksi antara Jeno dengan ibunya. Jeno tersenyum ketika sang ibu mengucapkan terimakasih pada si anak. Pandangan ibu Jeno pun teralih ke arahku yang tengah tersenyum kikuk.

Ibu Jeno menghampiriku, aku salim kepadanya. "Weladalaah! Keisha udah lama banget gak kesini, Masya Allah! Geulis pisan ih." katanya seraya mencubit pipiku yang bersemu merah. Siapa yang tak baper sih di panggil makin cantik oleh ibu si sahab-pacar? Meskipun hanya suatu bentuk formalitas, tetap saja hati ku ini acakadut. Buset, aku di bilang cantik dong!

Jeno menyahut. "Gausah baper lo! Lo kan cewek, makanya cantik. Masa ganteng? Ganteng mah gua."

Aku melirik tajam ke arahnya. Ibu Jeno memang belum tahu tentang hubungan aku dengan Jeno-padahal sudah berjalan 1 tahun loh.

"Kalian nih, ya. Udah sana, main dimana aja. Asal jangan di kamar sama di belakang. Nanti ada apa-apa lagi." kata Ibu Jeno seraya terbahak.

Jeno menjulurkan lidahnya. "Fitnah aja emang si mama."

Aku hanya haha-hehe saja. Sudah lama aku tak bercengkrama dengan wanita paruh baya ini. Ibu Jeno ini wanita jebat, sanggup membiayai Jeno hingga SMA ini-tanpa hadirnya seorang suami. Jeno pernah bilang sih, kalo papanya itu sempat terjerat jeruji besi sebab jadi bandar sabu. Ternyata salah orang, bor. Pas pelaku sebenarnya belum terkuak, papa Jeno udah di hukum-tembak mati. Yaiya ditembak mah atu mati bloon.

Jeno dan aku memutuskan buat nonton televisi bersama saja sembari berbincang.

"Maen apa dah ni?"

Jeno menatap langit-langit. "Oh! Main domino aja." katanya, kemudian aku mengangguk semangat. Jeno pun bilang kepadaku agar stay disini, karena dia akan pergi ke kamar, mengambil dominonya.

Aku sesekali serius melihat acara berita di televisi. Tak sangka, Jeno pun sudah tiba di sampingku bersamaan dengan si domino.

"Satunya lagi, leungit. Jadi cuma ada 49 domino doang." kata Jeno sembari membuka dus-nya itu.

Aku menatap tumpukkan domino dengan mata yang berbinar. Jeno pun memberikan sebagian untukku, sebagian lagi untuknya. Kata dia, rancang aja sesuka kamu. Okay.

'Drrt, drrt.

"Halo, mas?"

Jeno mendongak, melihatku sekilas.

Aku menggigit bibir bawahku kemudian mengangguk cepat. "AH IYA-IYA, NTAR AKU CEPET BALIK KOK, TUNGGU MAS!" ucapku. Baru saja hendak mematikan telepon, suara Mas Taeyong bersahut di telingaku.

"Dek-! Jangan dimatiin dulu!"

"Kenapa, mas?" tanyaku kepada Mas Taeyong. Jeno sih, hanya memperhatikan ku saja daritadi.

Mas Taeyong terdengar seperti tengah menghela napas. "Mama sama papa belum pulang. Otomatis, kamu sama Jisung mas ajak. Kalo Jeno mau ikut, terserah sih. Mas jemput kamu di rumah Jeno, ya." katanya. Mau tak mau aku mengangguk seraya berdeham. Dan mematikan telepon secara sepihak.

Jeno mengerutkan kening, "Nani?"


"Ikut ke bandara, yuk?"

+++
🍟2450 words! votmentnya ya, sakit tau di siders-in tuh. klo ada typo, mianek iaia.










🍣!!!mark bakal ada di chapter depan! yeaaa! tepuk tangan untuk uri missqueen boys!

©KYLAZAA_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top