01. Kerusuhan Di Pagi Hari.
Jakarta-09.30 pagi.
Kriet,
Aku membuka pintu rumah, menghirup udara pagi yang semakin lama semakin memikat hatiku. Netraku menangkap jika Mas Taeyong tengah mencuci mobil Papahku. Aku mengulum senyum tipis lalu melambaikan tangan, menyerukan namanya.
"Mas Taeyong! Mau dibikinin kopi enggak?" sapaku, sembari menawarnya secawan kopi. Kali saja ia tak menolak.
Mas Taeyong menoleh ke arahku, "Eh, Keisha," kemudian menaruh spons di dalam ember lalu mematikan selang air. Ia mendekat ke arahku, "Udah mandi belum? Atau perlu Mas bikinin air hangat?"
Aku menggeleng. "Gausah, Mas. Oh, iya, gimana jawabannya?" tanyaku setelahnya.
Mas Taeyong mengrenyitkan dahi, "Jawaban apa?"
Aku terkekeh pelan melihat ekspresi wajahnya. "Itu loh, Mas Taeyong mau aku buatin kopi atau enggak?" balasku, Mas Taeyong membulatkan mulutnya kemudian menggeleng.
"Yakin nih, gak mau? Aku lagi baik loh, Mas." kataku seraya menggoda Mas Taeyong agar ingin dibuatkan kopi. Tapi lagi-lagi Mas Taeyong menggeleng kecil. Ia melanjutkan aktivitasnya, yaitu mencuci mobil.
Hah, ada-ada saja memang Mas Taeyong itu.
Aku memasuki rumah, bedanya, pintu rumah ku biarkan terbuka. Ku lihat mama tengah berada di kitchen sink. Mama tengah mencuci piring rupanya, aku menghela napas perlahan, lalu menghampiri sang mama.
"Mam, pagi."
Mama tersenyum, "Pagi, Kei." balasnya sembari mengelap tangan yang basah. "Maaf sarapannya belum jadi. Kamu bisa bantuin mama? Goreng telur, sama panasin sarden. Kalau sudah jadi, ajak Adik, Papah, sama Mas Taeyong makan bersama."
Aku mengangguk. Menuruti perintah ibunda.
"Mam,"
Mama menoleh, "Iya, sayang?" kemudian mengalihkan kembali wajahnya.
Aku menghela napas, "Aku bosen liat Jisung daritadi main video game mulu! Mana tadi aku suruh dia nyapa Mas Taeyong, tu orang malah lempar aku pake remote AC. Sakit, nih, kepalaku!" cercaku. "Sampe berdarah tuh. Dikit, sih. Tapi tetep aja perih." gumamku
Mama tertawa pelan. "Kamu tuh, akur dikit, gak bisa apa?" kemudian berjalan ke arah kulkas, "Papah sama mama dulu doanya minta punya anak yang baik, nurut. Eh, yang brojol malah anak setan kayak kalian semua. Gak bisa diem, kepanasan mulu kali dinasehatin. Belum mama bacain ayat kursi loh itu."
"Blak-blakan banget sih ngomongnya, kalo aku jadi mama juga udah aku jual tuh Jisung ke mucikari." balasku.
Mama tertawa pelan. "Kamu ngaca di spion mobil sana, sebelas-duabelas loh kamu tuh sama Jisung. Sama-sama bandel, ngeyel, terus-jelek." kemudian mama berlari pelan meninggalkan dapur.
Aku justru mengerucutkan bibir.
"KALO AKU SAMA ADEK JELEK, MAMA SAMA AYAH APA DONGG!??"
"Keisha,"
Sontak aku berteriak, "APA KAMU!?"
Aku memutar balikkan badan-waduh, Mas Taeyong. Ku kira mama. "E-eh, Mas Taeyong! Aku kira mama, maaf ya, Mas!" kemudian membungkuk sekilas, lalu melanjutkan untuk memasak telor.
Mas Taeyong mengangguk. "Gak masalah. Ngomong-ngomong, Mas boleh bicara sama kamu, gak?" Wadidaw, Mas Taeyong mau ngomong apa nih ke aku.
"Uwiw, sanskuy ae, Mas. Tunggu aku selesai buat sarapan dulu, ya" balasku seraya membalikkan telor mata sapi yang hampir matang. Bukan matang lagi, tapi kematangan. Sampai gosong malahan.
Mas Taeyong menggeleng kepala pelan. "E-eh, gak papa. Ngomong disini juga gak masalah." kemudian menyandarkan tubuhnya di tembok. "Jadi gini, karena keluarga Mas bener-bener butuh uang, Mas boleh gak, kalau ... A-anu, mas berhenti jadi pembantu tapi jadi supir Dek Kei aja. Nanti Mas bakal bawa anak Mas kesini-gantiin tugas mas, Gimana?"
Aku sontak mematikan kompor. Kurasa, ini percakapan yang lumayan serius. "Mas butuh tambahan gaji? Gapapa, Mas! Gampil! Aku tinggal nyuruh temennya Jisung aja buat nambahin, itu loh, si Chenle!"
Mas Taeyong menggeleng, "Gaperlu tambahan gaji. Mas lebih baik milih anak mas biar kesini, kasihan dia di rumah juga ngapain. Palingan ngurus sapi doang disana." kemudian terkekeh geli. "Mana cita-cita dia gak mendukung lagi. Katanya, dia pengen jadi peternak babi."
Aku tergelak. "Hahaha, kalo anak Mas Taeyong kesini, dia bisa kok, jadi peternak babi!"
Mas Taeyong membelalakan matanya. "Wah? Disini ada babi?"
"Si Jisung tuh, Mas. Dia kan babi." kataku, menjelekkan Jisung.
Mas Taeyong tertawa kecil, "Hahaha, jangan gitu kamu sama Jisung. Gitu-gitu, kalian kalo jauhan pasti kangen satu sama lain."
"Anjir, GAK LAH MAS!" aku mendelik jijik, "Udah deh. Terus, mas mau ajak anak mas kesini kapan?"
Mas Taeyong merotasikan matanya. "Emang Keisha nyetujuin? Kalo Keisha nyetujuin, belum tentu mama sama papa juga setuju, kan?"
Aku menggeleng kasar kemudian tertawa remeh. "Halah, mas! Bisa diatur itu mah! Kalo papa mah tinggal disogokin es kepal juga mau! Apalagi mama, palingan beliau nyuruh aku nanya ke Jisung---HALAH BANGKE! JISUNG LAGI!!" cercaku.
Aku mengembuskan napas kasar. Maaf seribu maaf, aku sayang Jisung, namun aku kesal padanya. Tahu atau tempe, jika keningku berdarah sebab ulah Jisung! Kusuruh juga dia memakai kostum babi lalu ku buang dia ke kebun binatang.
Mas Taeyong terkekeh gemas. "Galak, kamu." kemudian melirik ke arah panci yang di isi oleh sarden. "Itu---sardennya mau Mas panasin gak? Itung-itung kalau di izinin sama orang tua kamu nanti, ini bakal tugas terakhir mas sebagai pembantu."
Aku melihat ke arah sarden. Kemudian menatap langit-langit rumah dan---"Boleh tuh, mas! Aku ke kamar dulu, ya? Oh iya, mas. Nanti abis dzuhur, mas anterin aku les. Di nurul fikri itu loh."
"Iya, yang slogannya MAJU BERSAMA ALLAH!! Itu, kan?" canda Mas Taeyong. Aku tertawa keras hingga menimbulkan suara gema dari atas. Sebuah teriakan rupanya.
"AWOAKWOAKWOAKAOWKA!"
"MBAK KEI, BERISIK! TELINGA JISUNG KATARAK NIH JADINYA!!!"
Aku balas teriakan juga, dong. Mana mungkin aku mau kalah dari seonggok upil macam dia. "KAMU JUGA DONG! UDAH KENCENG, NYOLOT, NGOMONGNYA SALAH LAGI! DASAR BABI!"
"WOI, MBAK KEI! BAKU HANTAM KITA! GELUD HAYOK SINI KE KAMAR JISUNG!"
Aku berteriak seraya menaiki anak tangga. "On my way!"
Mendobrak pintu kamar Jisung, lalu memasang posisi kuda-kuda. "Halah sia! Maju maneh, sini bencong!"
Jisung melempari bantal ke arah wajahku. Membuat aku meringis pelan. "Berisik! Aku ngajak Mbak Kei buat tanding PS bareng! Ga ada temen main nih akunya!" menatapku sinis, lalu merengut sebal.
Mataku melirik ke arah televisi yang menyala, kemudian terkekeh pelan. "Game apa ini? Sampah!" lalu berjalan untuk mencabut kabel yang tersambung dan berlari keluar kamar Jisung.
Jisung memekik. Murka. "MUKA KAU LEBIH SAMPAH, MBAK KEI QORUN!!"
Aku berlari sembari terkekeh. Seru juga menggoda Jisung seperti itu.
Hhhh, lebih baik aku bergegas mandi. Takut jika aku terlambat nantinya.
+++
Selesai juga akhirnya.
Aku keluar dari kamar mandi. Mengusak rambutku pelan menggunakan handuk, kemudian berjalan menuju ke arah cermin fullbody milikku. Sekarang waktunya pelajaran tambahan di tempat les. Sedikit malas, namun ... Bagaimana lagi?
"GILA! GUE MIRIP GUSI HADID BANGET ANJER."
Aku sedikit bergaya di depan cermin, berpose ala-ala model di majalah Cecí. Tapi Jisung pernah bilang, jika aku seperti ini, aku malah mirip seperti Mimi Peri. Berpakaian menggunakan daun pisang, dan panci gosong.
Hunjosmi lagi. Bosen anyeng.
Tok. Tok. Tok.
"Kak, Mas Taeyong dah nungguin tuh di teras. Kamu lama banget sih, heran, papa. Lagi buat cucu sama guling, ya?" panggil Papa dari luar kamar.
Aku menggeram kesal mendengar panggilan dari luar sana. Lantas aku membuka pintu kamar dengan kasar, menampilkan wajah ayah yang tengah menyengir lebar. Aku hanya mencibirnya, kemudian menggendong tas.
"Aku gak sehalu itu kalo ngefans sama Zayn Malik!"
Papa terkekeh. "Iya, papa tau. Asalkan, beliin es kepal, ya?"
Aku menggeleng. "Males, pah, kalo ujung-ujungnya masuk di lambung papa." lalu berjalan menuju kamar Jisung.
Aku membuka pintu kamar si adik. Menampilkan sebuah pemandangan yang amat buruk. Cemilan dimana-mana, domino yang berantakan, bahkan kartu gaplek pun ada. Aku menggekeng pelan kemudian memekik. "Woi, dek! Mbak berangkat les du---"
"Berisik!" balasnya. Menatapku sinis, lalu menjulurkan lidahnya. Sudah ku bilang, dia macam dogi lama-lama jika sebegitu mengesalkannya.
Aku melempari dia tatapan penuh selidik. "Awas kamu, ya, kali ada perlu apa-apa-gausah ke mbak!"
"Yeu, berisik benconk!!" balasnya cuek. Waduh, kurang ajar memang adik seperti ini.
Lebih baik aku turun ke bawah lalu pergi ke teras. Rasanya, aku ingin bertukar kehidupan dengan anak Mas Taeyong. Terlalu mencekam bila aku hidup satu rumah dengan keluargaku ini.
"KAK! MAS TAEYONG NUNGG---Nah itu anaknya! Mas Taeyong hati-hati ya bawa mobilnya. Kalo butuh uang bensin, minta ke Kei aja." ini mama yang bicara.
Mama berucap sembari memberikan kunci mobil itu pada Mas Taeyong. Mas Taeyong tersenyum ramah. Gila. Mas Taeyong ini masih berkepala dua---mendekati tiga sih sebenernya.
Oh iya, Mas Taeyong pernah cerita, jika istrinya memang tak ada disini maupun di tempat asalnya. Kabarnya, sang istri menghilang. Mas Taeyong benar-benar kehabisan cara untuk menemui sang istri, alhasil, dia memilih berkelana hingga Jakarta dan bekerja sebagai pembantu di rumahku.
Aku menyusul Mas Taeyong yang sudah masuk ke dalam mobil. Mas Taeyong memang tak membukakan pintu mobil untukku, sebab, aku pernah memprotesinya. Ironis sekali, itu terjadi ketika Mas Taeyong memulai pekerjaan di hari pertama.
"Mas, gimana mama sama papa? Setuju, gak?" tanyaku sembari melepas tas.
Mas Taeyong menyalakan mobilnya, bersamaan dengan pendingin ruangan. "Belum mas tanya lagi. Paling nanti sore mas coba buat konsultasi sama papa kamu." ucapnya sembari tersenyum tipis
Aku mengangguk pelan. Mas Taeyong berceletuk. "Oh, ya, Dek. Kamu kelas berapa sih, mas lupa."
"Sebelas, mas." kataku.
"Umurnya berapa?"
"Enam belas, mas." kemudian menoleh ke arah Mas Taeyong, "Emang kenapa?"
Mas Taeyong terkekeh kecil. "Enggak. Mas kira, umur kamu sama anak saya jauh beda. Taunya sama. Palingan beda beberapa bulan doang. Kamu ... Maret kan, ya?"
Aku mengangguk.
"Nah, anak mas itu bulan April." katanya. Aku membulatkan mulutku, tak tahu ingin membalas apa.
Mas Taeyong mempercepat laju mobilnya. Tenang saja, jalanan memang sedikit sepi. Namanya juga minggu pagi. Pasti banyak yang pergi ke alun-alun untuk senam massal. Ada acara go green hari ini.
"Mas,"
"Iya?"
Aku meringis, "Errr, Mas tuh asalnya dari mana, ya? Kok selama ini aku gak tau?"
Mas Taeyong terkekeh kecil. "Dari mana aja. Lagipula, Dek Kei kepo banget heran." balasnya. Aku memutar bola mata malas.
"Buset, mas. Aku gak kepo, cuma gimana ya, muka mas tuh kayak-weird. Mas orang Jakarta?"
Mas Taeyong mengangguk pelan. "Iya, orang Jakarta. 7 bulan disini, tapi tempat tinggal asli, di Kanada."
Aku menatap Mas Taeyong. Waduh, parah ini. Konspirasi namanya! Mas Taeyong ngomongnya aja agak medok, mukanya kayak abang-abang jawa, aku kurang percaya dengan semua itu.
Mas Taeyong menoleh ke arahku geli. "Iya, iya. Mungkin kedengarannya itu bercanda. Tapi itu serius, kok. Maka dari itu, mas sebagai orang tua tunggal---pasti rindu sama anak sendiri."
Aku mengangguk pelan. "Semoga istri mas cepet ketemu, ya."
Mas Taeyong mengaminkan dalam hati lalu meminggirkan kendaraannya di trotoar.
"Sudah sampai, tuan puteriii!" ucapnya kemudian mengusak rambutku pelan. Aku terkekeh.
"Makasih, mas! Nanti jemput aku sekitar jam 2 siang, ya?"
Mas Taeyong mengangguk lalu melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalasnya sembari mengeratkan tasku pada pundak. Huh, kuharap, istri Mas Taeyong cepat bertemu dengan keluarganya. Bagaimana pun, Mas Taeyong pasti menginginkan sebuah keluarga yang harmonis, dimana keeratan antara anak dan ibu, serta istri dan suami-terjalin dengan baik dan kondusif.
Grep!
"Wokwokwok!" suara itu menyapa gendang telingaku. "Bawa laptopnya, enggak?"
Aku tertawa pelan kemudian berjalan-beriringan dengan teman dekat sekaligus pacarku. "Bawa lah, yakali kagak." balasku, lalu disambut kekehan darinya.
Jeno mencubit pipiku pelan. "Tadi di anter supir kamu lagi?" tanyanya antusias. Aku mengangguk.
"Iya, Jen. Tau gak sih, katanya, Mas Taeyong bakal berhenti jadi pembantu di rumah gue. Terus, dia bakal bawa anaknya yang dari Kanada k-"
Jeno memotong ucapanku, "Demi aposeh? Dari Kanada? KAMU SAKIT YA??"
"HEH QORUN, GAK GITU!"
"Kalo gak gitu, terus gimana?"
Aku memutar bola mata malas. "Yaa, lokoknya Mas Taeyong bakal bawa anaknya itu, nah, si anaknya itu yang bakal jadi babu di rumah gue. Sedangkan, Mas Taeyongnya sendiri yang jadi supir aku. I mean, pekerjaan dia jadi berkurang."
Jeno mengangguk. "Ya ya, gue tau. I love you."
"Iya. I love me too." kemudian rambutku ditarik pelan oleh Jeno.
Aku tertawa pelan kemudian berbincang panjang lebar mengenai tugas, sekolah, ataupun hal yang tak bermutu lainnya. Aku dan Jeno akan terus berbincang hingga sampai ke ruang kelas masing-masing. Hah, kelasku dan kelas Jeno berbeda. Namun jika di sekolah, kita tetap satu kelas, kok.
"Kei, kalo pepaya itu kan isinya biji, ya. Kalo nanas isinya apa?"
Aku menggeleng pelan, "Kalo nanas, isinya buah, kali?"
Jeno tertawa renyah. "Hahaha, tumben goblok, biasanya tolol." kemudian melambaikan tangannya, "Udah ya, aku duluan. Jawabannya itu, spongebob. Wokwokwok---BABAYY!"
Aku sedikit melongo. Apa tadi? Spongebob? Terserah dia saja lah.
Ketika kakiku melangkah masuk ke dalam ruang kelas, aku menepuk dahi. Sialnya, otakku baru terhubung detik ini.
Nanas kan rumah spongebob, panday.
☄️+++
🍟waw, 1950+ words.
UPDATE SETIAP HARI KALO IDENYA LANCAR. OQ.
keira.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top