13. Mengenal | Hakaze Kaoru - Ansuta

"Kehidupan adalah perjalanan mengenal diri sendiri." - Erbe Sentanu.

Created: Senin, 11 Mei 2020

---------------------------------------------------------

"Mulai hari ini, kalian berdua wajib mengurus toko ini bersama. Mengerti?"

"Siap!" tutur pemuda berambut pirang bernama Hakaze Kaoru membentuk lingkaran dengan jari jempol dan telunjuk.

Berbeda dengan [Name] selalu menatap Kaoru sinis. Entah apa yang merasuki pemikiran [Name], ia hanya bekerja demi uang saku tambahan selama musim panas ini. Ia memutuskan bekerja di toko peralatan renang yang ternyata dimiliki kakak ipar Kaoru.

Lowongan pekerjaan hanya terbuka selama masa musim panas karena cuti berlibur. Kakak ipar Kaoru baru saja menikah. Musim panas identik dengan liburan. Akan disayangkan jika toko tak dibuka dan Kaoru tak keberatan jika mengurus sementara, dibantu dengan kehadiran [Full Name].

Terkadang, bumi terasa cukup sempit.

"Aku bisa mengurus toko ini sendirian. Kau boleh main-main sesukamu," bantah [Name] membuang muka.

"Jangan menolak bantuan. Tanya-tanya saja jika ada hal yang kurang dimengerti. Oke?" kata kakak ipar Kaoru, lalu mengeluarkan koper.

Kaoru menepuk bahu [Name]. "Dengar, kita harus bersama-sama! Semua pasti baik-baik saja, kok!"

[Name] menatap skeptis.

Tidak, sepertinya tidak begitu.

Mengenal

Pair: Hakaze Kaoru (Undead) x Reader

.

.

.


Sejak dua tahun bersekolah di SMA Yumenosaki, [Name] hanyalah murid biasa-biasa saja tanpa reputasi. Nilai akademik cenderung di atas rata-rata. Kesan yang diingat oleh guru dan teman hanyalah "anak baik yang selalu beradaptasi". Tak sama dengan Kaoru. Nakal, terkadang malas latihan, tetapi disukai banyak perempuan.

Toko peralatan renang milik kakak ipar Kaoru termasuk besar. Impresi yang paling mencolok sejak kedatangan [Name] adalah jejeran papan selancar air beragam warna. Ada warna neon, kombinasi, hingga netral.

Sesuai deskripsi kerja, tugas [Name] menjadi kasir dan mendata stok peralatan toko. Terkadang, ada peralatan yang datang dalam kondisi kurang baik sehingga harus retur kepada pabrik. Sebagai pegawai sambilan, mereka diizinkan menutup toko satu atau dua jam lebih awal jika kondisi sudah sepi.

Namun, harapan itu tak terjadi.

Toko peralatan renang malah ramai sejadi-jadinya.

"Kaoru-kun, kira-kira aku cocok pakai pelampung warna apa ya?"

"Erina-chan akan menarik dengan pelampung warna apa saja," jawab Kaoru yang terdengar sok manis bagi [Name], lalu menunjuk sebuah pelampung dengan harga paling tinggi. "Tapi yang ini paling cantik."

[Name] menatap bingung.

Mulut manis Kaoru ternyata licik.

"Kyaaa! Baik, Kaoruuuu-kun, aku mau itu," sahut Erina meraih pelampung yang ditunjuk Kaoru, tetapi dipegang pula oleh pembeli lain.

Refleks meneguk ludah, [Name] berfirasat terjadi hal yang kurang menyenangkan.

"Hei! Jangan rebut pelampung itu!" seru Erina menatap galak.

"Beli saja yang lain! Masih banyak kok yang bagus," sanggah pembeli lain yang juga pengagum Kaoru.

Subjek yang diributkan itu ternyata sedang tak menggubris kedua pembeli yang berebut pelamping. Ia beralih menawarkan kacamata renang. Tentu saja [Name] bisa menangkap tatapan manja.

"Kaoru-kun bilang yang ini bagus, jadi ini punyaku!" Erina masih tak ingin kalah.

"Selama belum dibayar, ini bukan milik siapa-siapa. Aku juga sudah lihat itu duluan daripada kau!"

Cekcok itu terus berlanjut. [Name] sempat berusaha tak peduli karena sebagai kasir harus melanjutkan transaksi sejumlah pengunjung. Namun tetap saja hingga antrean tak ada satu pun, kedua perempuan itu masih saja berdebat.

Kaoru menengahi mereka. "Gadis-gadis yang cantik. Kenapa bertengkar?"

"Dia merebut pelampungku!"

"Aku melihatnya lebih dulu!"

[Name] yang baru saja ingin menengahi dua orang itu mundur beberapa langkah. Kaoru menyelesaikan masalah dengan mediasi. Alhasil, Erina tetap mendapatkan pelampung itu. Pembeli yang cekcok dengannya memilih model lain dengan pilihan warna serta bahan yang direkomendasi Kaoru.

"Hah ... syukurlah," gumam [Name] sembari kembali mendata produk yang terjual hari itu. Ia khawatir toko akan porak poranda seakan kerampokan.

• • •

Sejak kejadian itu, [Name] sesekali memerhatikan tingkah laku Kaoru. Ia sempat terlihat tidak niat dan apatis ketika tidak ada pengunjung. Berbeda saat ada kehadiran satu orang saja, ia bisa menjadi seperti orang lain. Sebagai pembicara yang ramah dan mengarahkan pembeli akan produk yang diinginkan.

"Mau titip makanan?" tanya Kaoru menyudahi sesi bincang dengan pengunjung yang baru saja membayar.

"Apa saja yang enak. Sebentar lagi aku mau pulang."

"Tentu! Aku pergi dulu."

Setiap hari, Kaoru juga mengantarnya pulang walaupun berkali-kali ditolak [Name]. Memang kejailan Kaoru selalu berlanjut, tetapi perlahan ia mulai terbiasa. Awal-awal, ia terlalu skeptis dan memusuhi Kaoru. Ia jadi merasa tidak enak karena terlalu menilai laki-laki itu seburuk ekspektasinya.

Sambil menunggu Kaoru, [Name] duduk termenung. Semua tugas sesuai deskripsi kerja telah selesai ditata hari ini. Apalagi sudah lewat setengah jam, Kaoru belum juga datang.

Gadis itu pun berkeliling. Ternyata ada sebuah tumpukan baju pelampung yang tertumpuk di atas kardus. Tadi memang ada sejumlah rombongan yang datang mencoba baju pelampung oranye itu, tetapi menunda pembelian karena kurangnya stok. [Name] berupaya menyimpan kembali ke dalam gudang.

Usai menaruh stok ke gudang, lampu toko pun padam. Seisi toko pun seketika gelap gulita. [Name] meringis sebal. Ponselnya tertinggal di dalam laci meja kasir. Ia pun sesekali meraba dinding. Karena gelap, ia tak bisa melihat dengan jelas. Sesekali menabrak objek yang tak diketahuinya.

"Hakaze-san?"

Tiada jawaban. Bahkan [Name] yakin sudah satu jam laki-laki itu meninggalkan toko.

"Ke mana sih dia? Du-duh," gerutu [Name] memegang dahi yang berdenyut.

Samar-samar muncul siluet putih yang lewat. Bulu kuduk [Name] pun meremang. Ia berhenti berjalan dan duduk di atas anak tangga. Ia juga tak ingin berada dalam situasi tak menyenangkan seperti ini. Akan tetapi, ia sudah memutuskan akan menunggu pemuda itu.

Siluet putih menyilaukan itu muncul sekali lagi. Bayangan hitam berambut panjang dan tinggi.

"Hiyaaaaaaaa! Setaaaaan, pergi sana!"

Berasal dari cahaya ponsel sekadarnya, Kaoru memegang jajanan pun melihat [Name] sudah setengah menangis.

"Ini aku, Kaoru!"

[Name] menarik napas pendek-pendek. "H-Hah ...."

Kaoru menepuk bahu [Name]. "Semua baik-baik saja, oke?"

"Hakaze-san tidak tertawa?"

"Kenapa?"

"Karena mendengar teriakan aneh seperti tadi."

Kaoru pun menarik gadis itu dalam pelukannya. Anehnya, subjek yang dipeluk tak memberontak. Marah-marah pun tidak. Ia hanya diam membeku seperti patung.

"Maaf. Aku pergi terlalu lama. Tadi antrean jajanan ramai sekali."

[Name] hanya terdiam. Merasakan tepukan dari Kaoru hingga merasa lebih tenang.

• • •

"Duh, sepertinya kepalamu benjol." Kaoru mengusap obat oles itu di dahi [Name] yang memerah. Lima belas menit setelah kejadian itu berlalu, listrik kembali menyala.

Ternyata [Name] menabrak dinding sekat saat itu. Ia menunduk malu.

"Aku merepotkanmu, maaf."

Kaoru menggeleng cepat. "Justru aku yang salah. Bahaya juga membiarkanmu sendirian."

Mereka pun berjalan menuju terminal. Langit mulai gelap. Terminal pun sepi karena sudah jam tutup tempat wisata. Biasanya, Kaoru akan menunggu [Name] sampai bus datang.

Bus pun datang.

[Name] pun masuk lebih dulu. Ternyata Kaoru ikut masuk dan duduk di sebelah kursinya.

"H-Hakaze-san?"

Pemuda berambut pirang itu memasang cengiran riang. "Karena sudah membuatmu menunggu, mana boleh membiarkanmu pulang sendirian."

"Tapi arah rumahku tak sejalan, lho."

"Ya, tidak masalah."

[Name] mengusap dahi yang terluka sudah direkatkan dengan plester motif bintang.

"Ternyata sebagai playboy pun kau baik juga, ya. Kukira kau tak akan balik dan sibuk pergi ke bar dengan banyak cewek cantik."

Kaoru terkekeh. "Aku masih punya hati nurani, kok. Jadi bagaimana? Terpesona denganku?"

"Heh, belum. Tapi setidaknya, mungkin aku bisa mengenalmu lebih jauh lagi."

Menyadari bus mulai berhenti ke area yang dituju, [Name] menekan tombol merah di sebelah kursi penumpang.

"Hati-hati, [Name]," kata Kaoru dengan sebuah kecupan di telapak tangan gadis itu.

Refleks mencubit pipi Kaoru dengan tangan kiri, [Name] menoleh sedikit. Kaoru tertawa meringis, lalu melambaikan tangan. Hari itu, [Name] tahu Kaoru hanya bersikap ramah di antara sekian lelaki yang mengenalnya. Namun jantung gadis itu malah berdebar aneh, lebih kencang dari biasanya.

Pada liburan musim panas itu.

| fin |

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top