3 : Kekalahan
Keesokan harinya, kelas sebelas IPS 3 mendapatkan jam pelajaran sejarah. Namun, ada kekurangan yang cukup mencolok hari ini, kursi di samping Frinza kosong. Tempat di mana Kenny biasa duduk. Frinza sesekali melirik kursi kosong tersebut, rasanya ada yang hilang.
'Ke mana tuh si anjing?' Pikirnya.
"Baik, anak-anak, untuk tugas kelompok kali ini, kalian akan diberikan topik berbeda untuk diteliti dan dipresentasikan. Setiap kelompok harus menyelesaikan tugas ini dalam waktu dua minggu. Silakan bentuk kelompok masing-masing, pastikan setiap kelompok terdiri dari tiga orang."
Bu Rina memberikan tugas kelompok yang harus diselesaikan dalam waktu dua minggu. Setiap kelompok terdiri dari tiga orang, dan Frinza sudah mendapatkan dua anggota untuk kelompoknya, yaitu seorang gadis bernama Septivia Anggita Prameswari dan juga Kenny Harris Pratama.
Karena hari ini Kenny tidak masuk, Frinza hanya berdua saja dengan Gita. Gita duduk di sebelah Frinza, menggantikan Kenny. Mereka agak canggung, mengingat Gita dan Frinza memang tidak pernah berbincang.
Gita duduk dengan postur tegap. Tubuhnya yang petite, tinggi sekitar 158 cm, tampak rapi dalam balutan seragam putih abu-abunya. Rambut pendek sebatas leher, lengkap dengan kacamata bingkai tipis yang menempel di hidungnya.
Frinza melirik Gita yang duduk dengan sikap tenang di kursinya "Jadi, kita harus pilih topik apa nih buat tugas? Ada ide?"
Gita tampak berpikir sambil sesekali melirik pada Frinza. "Menurut gue, kita bisa ngambil topik tentang sejarah salah satu situs kayak candi sih. Topiknya cukup menarik dan relevan. Kita bisa bahas berbagai candi, dari fungsi, sejarah, sampe teknik konstruksinya. Gimana?"
Frinza mengangguk pelan. "Bisa sih. Kita coba ambil Prambanan sama Borobudur, dua candi besar yang lumayan terkenal."
"Ngomong-ngomong ... Kenny gimana?" tanya Gita.
"Nanti pas masuk kita obrolin lagi aja," jawab Frinza.
"Kayaknya agak gimana gitu kalo diobrolin pas sekolah. Gimana kalo weekend ini kita hajar tugasnya di rumah gue?"
"Boleh sih, ya udah besok gua bilangin ke Kenny."
"Oke, tolong bilangin ke Kenny ya, Frinza."
***
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Frinza bergegas keluar dari kelas menenteng tas ranselnya. Sementara itu, Gita juga sedang berjalan menuju pintu keluar. Tanpa sengaja mereka jalan berdampingan hingga gerbang sekolah.
"Lu pulang ke mana?" tanya Gita.
"Sono." Frinza menunjuk arah kiri gerbang sekolah. "Kalo lu?"
"Sama, arah sana juga. Bareng yuk."
"Ayok," balas Frinza.
Mereka berdua berjalan bersama, suasana sore mulai terasa teduh. Namun, sepanjang perjalanan suasana agak canggung, mereka pun sama sekali tidak bicara. Keduanya lebih fokus pada jalan yang mereka lalui.
Saat mereka melewati sebuah warung kecil di depan sekolah, Frinza secara tidak sengaja mendengar percakapan dari sekelompok anak-anak yang tampak sedang berkumpul di sana. Anak-anak tersebut adalah anggota Jotun Wrath, dan mereka tampak cukup girang, berbicara dengan tawa sebagai bumbu penyedapnya.
"Kemaren gua pikir bakal keras kan, taunya segitu doang," ucap salah satu anak sambil terkekeh.
"Terlalu overrated itu orang!" timpal anak yang lain.
Frinza mengernyitkan dahi, mencoba menangkap setiap kata yang mereka ucapkan. Gita yang berjalan di sampingnya tampak tidak menyadari percakapan tersebut.
"Eh, Frinza, lu kenapa pindah sekolah?" tanya Gita.
Frinza tersentak dan berhenti melangkah. Ia tampak berpikir dengan arah tatap ke ujung kanan atas matanya. "Oh iya, ya ...."
Gita mengerutkan kening. "Kenapa?"
Frinza menatap Gita. "Gua lupa. Kenapa gua pindah sekolah, ya?"
"Dih, aneh lu," balas Gita. "Eh, ngomong-ngomong, lu ga mau gabung ke Jotun?"
"Kenapa atuh?" tanya Frinza heran.
"Meskipun tampilan lu culun, tapi dari auranya tuh keliatan kali kalo lu tuh berandalan, cowok liar," ucap Gita.
"Argumen tanpa dasar, tipe cewek yang suka berasumsi berdasarkan imajinasinya," balas Frinza.
"Tapi lu cocok gabung sama mereka tau."
Frinza terkekeh. "Ga cocoklah! Gua ga cocok masuk ke kelompok yang dipimpin orang lain. Gua itu terlahir buat jadi Alpha. Yang bisa ngatur gua cuma diri gua sendiri. Bahkan kadang, diri gua sendiri pun susah buat ngaturnya sih bahahaha."
"Berarti lu tipe yang dominan, ya?" tanya Gita.
"Yaaa, model itulah."
Perjalanan mereka pun menemui cabangnya. Gita berhenti di depan sebuah perkomplekan.
"Lu masih terus?" tanya Gita.
Frinza mengangguk. "Masih."
"Oh, kalo gitu gua duluan ya, hati-hati lu," ucap Gita.
"Oke, lu juga hati-hati," balas Frinza.
Frinza diam sejenak, memperhatikan Gita yang perlahan menjauh. Ia merogoh kantong dan mengambil uang receh. Sebenarnya rumahnya masih agak jauh, ia pun memutuskan untuk menaiki transportasi umum, angkot. Menunggu sebentar di pinggir jalan, sampai akhirnya Frinza menaiki angkot yang sudah separuh penuh penumpang.
Setelah beberapa waktu, Frinza mulai berkeringat. Ia agak ragu apakah angkot yang ia tumpangi ini benar angkot yang melintasi rumahnya atau bukan. Namun, dalam penantiannya, ia melewati sebuah danau kecil yang lumayan menarik perhatian, dengan permukaan air yang berkilau terkena sinar mentari senja.
"Kiri, om," ucap Frinza.
Mobil angkot pun berhenti. Frinza turun dari mobil dan membayar tarif angkot senilai seribu rupiah. Ia berjalan menuju tepi danau, melebarkan tangannya sambil merasakan udara segar di sekitarnya. Di sekitar danau, banyak orang yang tampak menikmati waktu sore mereka—beberapa sedang jogging di tepi danau, ada yang bersepeda, dan ada juga yang duduk santai di bangku-bangku taman, menikmati pemandangan.
Frinza duduk di salah satu bangku sambil membeli jajanan untuk menemaninya membunuh waktu. Saat sedang asik makan sambil memantau sekitar, tak sengaja matanya menangkap kehadiran empat orang manusia yang merupakan keluarga utuh dengan komposisi ayah, ibu, kakak, dan adiknya.
Ia menghela napas dengan senyum tipis, berandai-andai bahwa keluarga kecil itu adalah keluarganya. Frinza menghitung dengan telunjuk ke arah keluarga itu.
"Ayah, ibu, Gemma, gua, Dirga, Tirta ...," gumamnya lirih sambil mengunyah jajanan yang barusan ia beli.
Suasana sore di tepi danau tersebut membuatnya merasa tenang, namun pemandangan keluarga bahagia yang tampak baik-baik saja itu menyentuh sisi emosional seorang Frinza Martawangsa.
Ia menatap keluarga kecil itu dengan pandangan iri—ayah yang berlari sambil tertawa, ibu yang tersenyum melihat kelakuan suaminya, kakak yang membantu adik kecilnya mengejar si ayah, dan adik yang tampak ceria sambil berlari-lari. Tidak ada di kamus kehidupan Frinza, tentang apa rasanya memiliki keluarga seperti itu.
Memandang kebahagiaan mereka, rasanya kekosongan yang Frinza rasakan semakin nyata. Sebuah kerinduan tanpa dasar pun kini hadir memeluk.
"Kenapa ya ...." Frinza mencoba tersenyum. "Hal sesimpel itu aja ... gua ga punya."
Frinza membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan hampa, seolah mencoba memahami roda takdir. Namun, saat ini matahari mulai terbenam, membunuh semua cahaya senja di langit dan menukarnya dengan kegelapan.
"Bayangin aja bumi gelap, tapi selamanya," gumamnya bermonolog. "Langit berwarna cuma cerita lama. Ga ada lagi tuh biru, ga ada lagi tuh oranye keemasan, yang tersisa cuma hitam abadi."
Ia bangkit dan berjalan pergi dari area danau tersebut. Kali ini Frinza bertanya pada orang lain perihal rute angkot yang benar, sebab sesungguhnya lelaki itu sudah terlalu jauh tersesat dari rumah.
***
Frinza akhirnya tiba di depan rumahnya setelah mengikuti petunjuk orang-orang mengenai rute angkot yang benar. Malam sudah gelap seutuhnya, dan suasana di rumahnya tidak berubah, masih saja sunyi. Rumah megah itu terasa lebih hampa dan sepi dari biasanya.
Saat ia membuka pintu, tak ada suara sambutan atau teguran seperti hari-hari lalu. Suasana yang sunyi ini mengingatkan Frinza pada kekosongan yang ia rasakan di danau tadi. Tanpa sadar, Frinza merasa rindu akan kehadiran ibunya, terutama saat ia merasa seperti ini—ketika dirinya sangat membutuhkan seseorang yang menyambutnya pulang, meskipun dengan teguran marah.
Frinza melangkah masuk, meletakkan tasnya di sudut ruangan. Ia menghela napas panjang dengan mata terpejam. Kenangan tentang almarhum ibunya muncul kembali dalam pikirannya. Betapa hangatnya hari-hari itu.
"Kenapa ya ...." Frinza menutupi kedua matanya dengan satu lengan. Perlahan tubuhnya bergetar. "Kenapa sakit banget ya ...." Sementara satu tangannya lagi digunakan mencengkeram dadanya yang mulai menggigil.
Sedari kecil, ia dididik untuk menjadi mesin pembunuh, tiada hari tanpa latihan fisik. Frinza jarang kalah berkelahi, karena ia lebih kuat dari orang-orang yang sebaya dengannya. Melawan yang lebih besar pun, ia mampu. Namun, menghadapi rasa sakit yang tak bisa dibalas, ada kalanya ... ia merasa kalah.
Air mata mulai mengalir di pipinya, Frinza membiarkan dirinya merasakan kesedihan itu. Ia tahu bahwa melawan kesedihan, berarti melawan takdir. Ini adalah pertempuran yang paling berat daripada semua pertempuran yang pernah ia hadapi. Rasa sakit ini tidak bisa diatasi dengan kekuatan. Sebab ini adalah luka yang hanya bisa disembuhkan oleh waktu dan penerimaan.
Sesekali, manusia memang membutuhkan kekalahan, kan?
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top