2 : Jotun Wrath
Setelah pulang sekolah, Andre berjalan menuju salah satu warung kecil yang terletak di pinggir jalan dekat sekolah. Warung tersebut merupakan tempat biasa basisnya nongkrong.
Bagas Aditya Mahendra, salah satu dari tiga Jendral Jotun Wrath telah duduk di salah satu meja pojok yang agak tersembunyi dari pandangan umum. Ia mengenakan seragam putih keluar yang tidak dikancingi, dengan dalaman berupa kaos berwarna hitam.
Andre memasuki warung dan melihat Bagas yang duduk sendirian di meja pojok. Ia menghela napas, berusaha menenangkan dirinya sebelum mendekati seniornya tersebut. Bagas menatap Andre dengan tatapan tajam, seolah menunggu seonggok penjelasan.
Andre mendekat dan duduk di hadapan Bagas. "Kenapa manggil saya, Bang?"
Bagas memandang Andre dengan tatapan yang tajam dan dingin, suaranya rendah penuh tekanan. "Dre, gua dapet laporan kurang enak. Katanya lu ga berani malak Kenny? Anak IPS 3?"
Keringat dingin mulai mengalir di dahi Andre. Ia mencoba untuk tetap tenang, meskipun jantungnya berdetak cepat. "Bang, itu kesalahpahaman. Gua ...."
"Gua tau Kenny itu temen lu waktu SMP, tapi sekarang ini lu udah SMA. Kalo dia ga mau masuk Jotun, artinya secara hierarki, dia di bawah kita. Semua anak cowok yang ada di sekolah, wajib bayar uang keamanan ke Jotun kalo mau hidup damai di sini, tanpa kecuali."
Andre terdiam, wajahnya tertunduk tak berani menatap Bagas yang sedang duduk di hadapannya.
Bagas menatap Andre dengan serius, sambil menyalakan rokok di mulutnya. "Lu tau konsekuensinya, kan? Kalo ga mau ikut aturan Jotun? Gua ga main-main soal ini. Semua harus bayar. Gua tau lu nutupin bolongnya pake duit lu, dan itu malah lebih ngerusak reputasi kita. Jangan puas sama target doang, Dre, lu harus bisa lebih."
"Gua bakal urus beres masalah ini, Bang. Gua pastiin semuanya bayar sesuai yang seharusnya," ucap Andre menatap Bagas yang sedang menghisap rokok.
Bagas membuang asap rokoknya sambil mengangguk pelan. "Gua harap, sebagai pentolan kelas sebelas, lu bisa benerin masalah ini, Dre. Jangan sampe gua yang turun tangan."
"Siap, Bang, gua ga bakal pandang bulu lagi. Semuanya termasuk Kenny juga."
Bagas bangun dari duduknya. "Bagus kalo gitu." Ia berjalan pergi meninggalkan Andre.
***
Keesokan harinya, suasana kelas sebelas IPS 3 tampak lebih hidup dari sebelumnya. Beberapa siswa sudah duduk di tempat mereka, berbincang akrab dan terlihat ceria, terutama si anak baru yang tampaknya semakin dikenal.
Tiba-tiba Kenny datang dengan langkah malas, langsung menuju kursinya. Tanpa menyapa siapa pun, ia duduk dengan ekspresi datar. Begitu duduk, Kenny segera menunduk, melipat tangan di atas meja, dan langsung terlelap. Kepalanya bersandar pada lengan yang dilipat, meninggalkan kesan seolah ia sudah tidak peduli lagi dengan keramaian sekelilingnya.
Kehadiran Kenny yang tiba-tiba tidur di meja menarik perhatian Frinza dan grup obrolannya. Ia tersenyum dan pergi dari lingkup obrolan itu, lalu berjalan menuju kursinya.
"Ken," panggil Frinza.
Kenny mendengkur ringan sebagai respons sarkas bahwa ia tak ingin diganggu, tapi Frinza tak menggubris kode tersebut, justru ia semakin bersemangat.
"Ken ... Kenny ...." Suara Frinza mulai bergetar. Ia mengguncang bahu pemuda itu. "Jangan mati, Kenny!"
"Ah, anjing! Apaan sih?" Kenny terbangun dengan kesal, mengerutkan keningnya dan menatap Frinza dengan tatapan marah.
Frinza menyeringai lebar, tak terpengaruh dengan kemarahan Kenny. "Alhamdulillah masih idup. Gua cuma mau pastiin lu masih hidup aja, Ken."
"Lu mending jauh-jauh dah, jangan duduk di sebelah gua," ucap Kenny.
"Heeee." Frinza tersenyum sambil menempelkan sikunya di atas meja, lalu menyandarkan kepala di telapak tangan. "Gimana kalo lu aja yang pindah kalo merasa terganggu?"
"Haaa?" Kenny tampak tak senang. "Gua duduk di sini jauh sebelum lu ada di sini."
"Terus?" tanya Frinza ngocol.
Kenny memukul mejanya hingga menjadi pusat atensi di kelas. "Anjing."
Frinza masih tetap bersikap tenang, bahkan tersenyum lebar. "Sabar, Ken. Santai aja. Ga ada anjing di sini."
Kenny tak tahan lagi. Ia berdiri dan mendorong Frinza, hingga nyaris terjatuh. Frinza yang tak mau kalah pun ikut berdiri dan membalas dorongan itu dengan menempelkan telapak tangannya di dada Kenny, mendorongnya balik.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan keras. Bu Sri masuk dengan wajah kesal. "Sudah cukup! Jangan berkelahi di kelas!" teriak Bu Sri dengan nada tegas, matanya melotot penuh amarah.
"Oke, kalo gitu." Frinza merangkul Kenny. "Ayo kita lanjut di luar, Ken."
Kenny memandang Frinza dengan tatapan heran, lalu melepaskan rangkulan itu dan kembali ke kursinya dengan kesal. Frinza masih tersenyum, ia seperti sedang menahan tawa. Sementara itu, Bu Sri menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.
Perlahan ketegangan di kelas mulai mereda, meskipun beberapa siswa masih berbisik tentang perkelahian yang baru saja terjadi. Frinza dan Kenny duduk di tempat masing-masing tak saling bicara. Beberapa siswa berbisik sambil melirik ke arah Kenny dan Frinza.
"Kenny itu waktu SMP sering ikut tawuran, kan? Dia tandemnya Andre, anak Jotun," bisik salah seorang siswa dengan teman sebangkunya.
"Iya, emang. Rumornya, dulu si Kenny punya julukan 'Serigala Jalanan'," tambah temannya dengan nada serius. "Katanya dia terkenal brutal di kancah tawuran SMP. Ga ada yang berani berhadapan langsung sama dia."
"Oh, makanya itu si Kenny bebas dari palakan anak Jotun?"
"Soalnya senggol-bacok, Kenny kan diem-diem gitu pemarah. Liat aja tuh, baru diganggu gitu aja sama anak baru udah jadi masalah."
Bisikan-bisikan itu menggema di telinga Kenny. Pemuda itu mengepalkan tangannya keras, tetapi tak bertindak apa-apa.
Di sisi lain, Frinza melirik ke arah Kenny dengan tampang tengilnya setelah menangkap rumor-rumor lirih tentang lelaki berkacamata gelap tersebut.
***
Jam istirahat tiba. Frinza yang sebelumnya terlibat keributan dengan Kenny, tampak lebih tenang dan terlihat sedang bercakap-cakap dengan teman-teman yang lain.
Namun, ketenangan itu segera pecah saat pintu kelas terbuka dengan keras. Andre melangkah ke dalam kelas dengan tatapan tajam penuh intimidasi. Ia diikuti oleh beberapa anak Jotun Wrath. Mereka semua mengenakan jaket yang sama hari ini.
Frinza bersiul. "Ini dia, para penerima sumbangan."
"Semua yang merasa cowok, baris," tutur Andre dengan nada tenang, tetapi riuh di telinga anak IPS 3.
Anak-anak cowok pun berbaris, termasuk Frinza. Mereka memberikan setoran rutin berupa uang jajan mereka. Kebanyakan memberikan seribu rupiah. Ya, di tahun itu kebanyakan anak SMP hanya mengantongi uang jajan kurang lebih tiga ribu rupiah sampai lima ribu.
Frinza memberikan uang sebanyak 5000 rupiah, tentunya itu menarik atensi para penagih setoran. Bisa di bilang, saat ini Frinza merupakan donatur tertinggi dalam hierarki para memberi setoran.
Namun, meskipun secara target kelas IPS 3 sudah aman karena memenuhi, bahkan lebih dari target setoran, kali ini Andre tak meloloskan Kenny. Ia berjalan ke arah Kenny yang sedang tertidur di mejanya.
"Bangun," ucap Andre. "Lu pikir ini di hotel?"
Kenny terbangun dari tidurnya dan menatap Andre. "Apa lagi sih, anjing?"
Andre memicing. "Lu bilang apaan barusan, hah?"
"Apa lagi sih ...." Kenny berdiri dengan gelagat kesal. "ANJING?!"
Andre mempertajam tatapannya. "Kali ini lu ga bisa lolos, bangsat. Sini duit lu."
"Duit apa, anjing? Emang gua punya utang apaan sama lu?"
"Jangan belaga bego, Ken, lu tau kan setiap hari anak Jotun nagihin duit setoran ke kelas-kelas, termasuk kelas lu buat keamanan?" tanya Andre.
"Sejak kapan?" tanya Kenny.
Andre menghela napas panjang. "Sejak awal. Lu selama ini lolos karena gua, tapi sekarang keadaan udah beda, Ken. Kita ga seakrab dulu, gua ga bisa lolosin lu lagi."
Kenny terkekeh. "Dre, Dre, maksud gua, sejak kapan gua butuh keamanan? Gua bisa jaga diri gua sendiri. Jadi, sekarang, jangan pernah tagih duit yang seharusnya lagi rebahan di dompet gua. Gua sama duit gua punya kemiripan, sama-sama ga suka diganggu. Paham lu?"
Andre menyeringai diiringi kekehan tipis, ia memberi hormat pada Kenny sambil berjalan mundur. "Oke, selamat menjaga diri lu sendiri, Serigala Jalanan." Ia dan anak-anak Jotun pergi meninggalkan kelas IPS 3.
Seperginya Andre, Kenny kembali menutupi diri dari dunia. "Anjing."
Di sisi lain Frinza yang sedang bergerombol agak penasaran dengan kelompok Jotun Wrath, ia pun bertanya pada anak-anak di kelas.
"Itu tadi siapa sih? Dari kemarin ke kelas kita mulu minta sumbangan. Siapa yang lagi sakit?" tanya Frinza.
Anak-anak cowok itu terkekeh. "Itu bukan sumbangan, lu kira mereka dari yayasan?"
Frinza ikut terkekeh. "Soalnya jaketnya kompak, kayak ormas atau yayasan gitu."
"Jadi, Jotun Wrath itu bukan sembarang geng," jelas salah satu siswa. "Mereka punya struktur yang rapi. Tiap angkatan ada perwakilannya. Di angkatan kita, cowok yang tadi ribut sama Kenny itu jadi perwakilan kelas sebelas, namanya Andre. Nah, yang bikin Jotun Wrath ngeri tuh karena tiga pilar utamanya yang disebut Trishula."
Frinza mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Trishula? Siapa aja mereka?"
"Jadi, Trishula itu terdiri dari tiga orang," lanjut siswa itu. "Urutan ketiga namanya Bagas Aditya Mahendra, si Ratatoskr, dia itu pengirim pesan dari Vahalla. Dia dikenal sebagai sosok yang licik dan manipulatif, mirip sama karakter Ratatoskr dalam mitologi Nordik."
"Bagas tuh ancaman besar di sekolah," tambah siswa lain. "Dia ditakutin bukan cuma karena jago berantem doang, kemampuannya nyebarin isu dan manipulasi situasi itu yang paling berbahaya."
Frinza mengangguk sok iye. "Terus, siapa yang di urutan kedua?"
"Di urutan kedua itu Reynard Prakoso, si Taring Fenrir," jawab siswa itu. "Dia dikenal karena kekuatan fisiknya dan kemampuannya dalam perkelahian. Fenrir tuh salah satu serigala raksasa dalam mitologi Nordik, dan Reynard bisa dibilang wakil ketua Jotun Wrath karena kengeriannya di medan tempur."
"Berarti dia yang sering turun tangan kalo ada masalah?" tanya Frinza.
"Tergantung kasusnya. Reynard biasanya gerak kalo ada masalah krusial yang membahayakan reputasi Jotun Wrath. Tapi jarang sih, dia itu sebetulnya pendiem kayak Kenny."
Frinza melanjutkan pertanyaan. "Terus ketuanya siapa?"
"Rudiantoro," jawab siswa itu.
"Dia yang paling berkuasa dan jadi kepala dari semua program Jotun Wrath. Rudi terkenal berpengaruh dan bisa dibilang orang yang paling ditakutin di sekolah. Kedudukannya lebih tinggi dari ketua OSIS."
Frinza terdiam sejenak, mencerna semua informasi tersebut. "Jadi, ada tiga orang pemimpin yang masing-masing punya peran penting di dalam ... Jotun What?"
"Jotun Wrath, Frin," balas siswa itu. "Sebetulnya peran yang paling penting di dalam Jotun Wrath itu ya perwakilan angkatan. Setiap perwakilan angkatan harus memenuhi kewajiban berupa setoran uang dari tiap kelas. Mereka punya aturan ketat dan setiap anggota harus patuh sama mereka."
"Terus, yang dimaksud uang keamanan itu apa?" tanya Frinza lagi. "Setau gua, di sini tuh daerah aman. Maksudnya ga terkonfrontasi sama kancah tauran. Jalur pulang daerah sini tergolong aman harusnya karena ga bentrok sama sekolah-sekolah dengan reputasi buruk."
Siswa itu meneguk ludah. "Uang keamanan itu gunanya buat ngelindungin diri kita sendiri dari Jotun Wrath. Mereka itu berkedok melindungi, padahal wajah asli mereka itu pembuli."
"Menarik." Frinza menyeringai. "Gua pikir bakalan bosen sampe lulus, ternyata ada hiburannya juga ini sekolah. Jotun Wrath, ya? Gua harap mereka bisa jadi mainan yang ga cepet rusak."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top