11
Adeeva Afsheen Myesha POV
Sudah berhari-hari aku berkelit dari pandangan Afkar. Aku tahu dia selalu mencariku. Hah, masa bodoh dengannya.
"Dicariin sama Afkar loh Dee," Athale bersuara di meja sebelahku.
"Sstt... biarin, bilang aja gak tau." Aku menangkap mimiknya kaget. "Kita ada masalah kecil, tenang... bakalan kelar kok." Sepertinya dia mau menanyakan sesuatu, dan aku tahu itu. "Gak perlu tahu masalahnya dulu deh. Aku gak mau ngelibatin kamu juga."
"Eh... kayang cenayang aja kamu, baca pikiranku."
"Wah, tebakanku bener dong ya!" seruku sambil nyengir lebar. Dia hanya tersenyum simpul.
Harus berapa lama lagi aku memasang topeng ceria ini? Semua menyakitkan, mereka orang-orang terdekatku.
"Pulang sekolah jalan yuk! Kemana gitu," ajak Atha.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku mengangguk. Tak ada salahnya juga. Lagian aku lagi suntuk. "Aku nanti mau nyari novel-novel aja deh, emang kamu mau?"
"Woa... aku juga niatnya cuman lirik-lirik novel sih."
"Oke, fix kan?"
"Sip...." katanya sambil mengacungkan ibu jari.
***
Untunglah sang surya tak terlalu terik siang ini. Semua anak berhamburan menuju gerbang. Aku dan Atha menuju halte di seberang sekolah, menunggu bus yang mengarah ke tujuan kami.
Bunyi klakson motor berbunyi, kaca helm si-pengedara di buka. Menampakkan sosok Afkar. Dalam hatiku mendecih.
"Kalian mau ke mana?" sekuat tenaga aku mengalihkan pandangan dari Afkar. Berusaha untuk tidak eye contact dengannya.
"Mau ke toko buku, cari novel." sahut Atha.
"Oh... yaudah deh, aku duluan ya. Hati-hati." Kemudian suara deruman motor berangsur-angsur menghilang.
Tepat setelah itu sebuah bus berhenti. Aku dan Atha segera masuk dan mencari tempat duduk. Tidak terlalu ramai penumpang, sehingga masih beberapa kursi kosong.
***
Tahu-tahu keluar dari toko buku, langit sudah berubah menjadi petang. Athale sibuk dengan ponselnya menelepon supir.
"Kamu pulang bareng aku aja, udah gelap nih, bahaya naik angkot." Dan aku mengiyakan.
Lumayan irit duit. Aku duduk di kursi kayu yang sudah renta itu, pegal juga berdiri berjam-jam mencari buku.
"Bapak sopirnya udah berangkat kok, jadi tinggal nungguin aja." Aku mengangguk, tidak tahu harus menanggapi apa.
Hampir sejam menunggu, mobil datang juga.
"Tuh, yuk naik." Aku mengikutinya.
Mobil melaju meninggalkan toko kecil itu. Perlahan menuju komplek perumahan. Sampailah aku di depan rumah. Tak lupa mengucapkan terimakasih ke Atha dan Pak sopirnya.
Aku memasuki rumah dengan beruluk salam. Seketika aku bergeming di depan pintu. Punggung yang sedang duduk di sofa itu... aku yakin benar dia Afkar.
"Afkar," panggilku, suaraku tercekat. Dia menoleh kemudian tersenyum tipis. Sudah berapa lama aku tidak melihat senyum itu.
"Bengong Sheen? Tutup gih pintunya, Mama masih di dapur nyelesaiin pesenan kuenya."
"Oh," dengan segera aku menutup pintu. Kakiku langsung menuju lantai dua, kamarku berada. Tahu-tahu Afkar mengikuti di belakang, aku segera berbalik.
"Ngapain ngkiutin?" tatapanku penuh selidik. Bahkan tatapan mematikan.
Dia malah nyengir lebar! "Gak boleh ya?" mimiknya lugu.
"Mesum! Dasar cabul!"
"Heh, ngomong apaan sih! Jelek amat!" matanya melotot. Aku berusaha mati-matian untuk tidak tertawa. Wajanya konyol sekali.
"Udah sana! Gue mau beres-beres. Ih, ganggu orang kamu. Ngapain sih dateng ke rumah orang!"
"Gua-gue kepalamu! Emang gak boleh aku ke sini? Tuh Mama boleh-boleh aja."
"Udah deh mau ngapain? Gue capek beneran nih. To the point lah!"
"Yaudah, yuk ke balkon. Mau ada yang aku omongin." Dia langsung melesat menuju kamarku dan membuka pintu menuju balkon. Benar-benar anak ini!
"Kita udah ngomong di sini Afkar!"
"Pst... udah ayo sini," katanya sambil menepuk lantai di sebelahnya. Akhirnya aku mengikuti juga.
Aku mengedarkan pandangan menuju langit yang sedang sepi bintang. Hanya awan-awan berarak.
"Maafin aku ya... jahat banget aku ini. Pintu maafmu udah tertutup ya buat cowok ganteng ini?"
"Cih! Ganteng? Apa sih bagus-bagusnya kamu! Sadar gak sih sama apa yang kamu perbuat dan apa yang kamu katakan itu bandingnya jauh banget! Kayak kejungkir tau gak! Udah cukup ya sakit hati ini, gue gak mau lagi terperangkap sama bualan-bualanmu itu!"
Aku tertawa sumbang, berani juga ngomong gini akhirnya.
"Pernah gak sih lo rasain sakitnya jadi gue? Emang bener ya, cowok dan cewek gak bisa dijadikan sahabat. Gue tahu sekarang, berjalannya waktu perasaan itu juga semakin berkembang. Dan gue menyesal akan kebodohan ini."
Dia terdiam, dan aku berusaha biar gak nangis. Gak mau kelihatan cengeng di depan dia.
"Sakit Afkar... sakit. Lebih baik lo harus mutusin salah satu, jangan lo mau semua cewek. Mereka gak mau di duakan, termasuk gue. Udah deh ya, sekarang anggep aja kita temen. Udah, gak usah yang lebih. Gue sakit ngerasainnya. Atas semua perkataan lo yang beda banget sama kelakuan lo gue nyesel. Nyesel dengan bodohnyabgue masih bertahan."
Satu tetes akhirnya luruh juga. Dengan cepat aku menghapusnya kasar. Namun semakin menjadi-jadi.
"Aku minta maaf," suaranya juga tercekat.
"Lo tau kan gue orangnya gimana? Gue selalu buka pintu maaf buat semua orang, lo berkali-kali minta maaf gue maafin kok. Walaupun sebenernya hati ini memendam rasa sakit yang lo berikan!"
Isakanku semakin menjadi-jadi. Sepertinya Afkar makin mendekat.
"Jangan mendekat! Udah deh lo pergi sekarang. Udah gue maafin kok, gue baik-baik aja. Sama Atha ya, yang baik sama dia. Gue gak mau lo bikin nangis Atha juga, kecuali dia nangis bahagia karena lo."
"Sheen...."
"Udahlah, gue baik. Lo pergi deh!" Bibirku kugigit cukup lama, kupikir itu akan meredam tangisku tapi tak berhasil.
Tangisku makin menjadi-jadi, begini sakitnya ya merelakan orang terkasih dengan orang lain. Tapi ini lebih baik. Aku gak mau Atha nangis sedih karena Afkar juga. Udah cukup aku saja.
---
Yeay!! Panjang kan... iya kan? Iyain aja deh, biar seneng wakakaka...
Terimakasih yang sudah baca :)
Sebenernya sih masih UTS, tapi... apalah dayaku, jemari langsung nari di atas keyboard.
I hope you like it! :) Saran, Kritik, dan Vote bolehlah ya... wkwkwk.
Minggu, 25 Oktober 2015 (19:47)
Khafidtazshafa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top