Friendship With(out) Love part 6
Pagi ini aku tersenyum sendiri sambil membayangkan Abi. Nah aku rasa aku sudah seperti orang sinting yang tersenyum dengan ponsel. Ya. sudah menjadi kebiasaanya menanyakan aktifitasku atau sekedar menggoda setiap pagi. Benar-benar ada yang salah dengan otakku atau dengan hatiku tepatnya.
Reaksi macam apa ini. Gwen, Abi hanya bilang dia senang melihatmu lahap dan suka makan makanan kesukaannya.
Dia tidak berkata suka padamu atau mencintaimu kan? Kau bereaksi berlebihan Gwen! Bawah sadarku membentakku berulang kali.
Ku hela nafas yang sejak tadi kutahan. Tiba-tiba saja aku sangat ingin pulang dan menangis. Rasanya lelah memendam ini sendirian. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya, dan ternyata rasanya menyenangkan sekaligus melelahkan. Sesaat ada hal yang bisa melambungkanmu sampai ke awan, kemudian menghempaskanmu ke bumi.
Aku tidak lagi bisa menilai mana yang nyata mana yang tidak, dan sulit membandingkan sikap Abi dahulu terhadapku. Yang kutahu saat ini, jika dia tersenyum maka dia pasti tersenyum untukku. Dan kata-kata godaannya itu, bukankah dari dulu begitulah Abi. Usil dan jahil adalah nama tengahnya. Namun bagiku sekarang itu semua adalah rayuan. Rayuan Abi padaku.
Kugelengkan kepalaku dan memutuskan untuk ke toilet dan mencuci wajahku. Mungkin setelah itu pikiranku akan lebih jernih dan tidak melulu memikirkan Abinaya.
Pada saat aku kembali ke mejaku, bosku yang galak membawa setumpuk pekerjaan padaku. Katanya semua harus di selesaikan hari ini. Hari ini? Berarti aku bernasib sama dengan Abi, harus lembur demi mengais secangkir berlian.
Hari itu berjalan sangat lambat, ketika jam makan siang aku tidak turun ke bawah. Fokus untuk menyelesaikan pekerjaanku. Dan ketika waktu menunjukkan hampir jam 18.00 sore itu, aku menghembuskan nafas lega. Semua pekerjaanku sudah selesai. Aku berdiri dan bergegas merapikan barang-barangku. Kantor sudah mulai sepi, dan beberapa security yang bertugas berjaga malam itu mulai keliling untuk melakukan patroli.
Tepat ketika aku akan meninggalkan mejaku, ponselku berdering. Aku merogoh tasku untuk mengambilnya,
"Ya.." jawabku ogah-ogahan karena nomer yang menelepon tidak terdaftar dalam kontakku.
"non Gwen..ini bibik Sum.." aku terkejut ketika mendengar pembantu rumah tanggaku berbicara setengah menangis di telepon.
"bibik..bibik dimana? Ada apa?" oke. Aku panik sekarang. Suara detak jantungku terdengar berpacu dengan kencang. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres.
"Saya di rumah sakit non..ibu..ibu non, jatuh di kamar mandi."
Aku terdiam, selebihnya yang kudengar hanyalah telingaku berdengung, dan pandanganku mulai gelap. Mama! Mataku mulai panas dan air mata mengalir membasahi pipiku. Kutarik nafasku. Aku shock!
Sambil berlari menuju lift aku tetap bicara dan menanyakan keadaan mamaku. Aku berlari secepat kilat keluar dari lift, bahkan aku tidak peduli jika aku terjatuh karena menggunakan high heels setinggi 7cm. Aku langsung naik ke dalam taksi yang parkir di depan kantorku. Ku sebutkan nama rumah sakit tempat mamaku di rawat. Beruntung tadi pagi setelah mengantarku ke kantor, supirku aku suruh langsung pulang dan tidak usah menungguku sampai pulang kantor. Jadi saat kejadian mamaku terjatuh, ada supir yang bisa membawanya ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan aku menangis. Menangis dan menangis. Aku tidak pernah tahu rasanya kehilangan. Dan bila itu terjadi sekarang, aku rasa aku belum siap. Aku tahu persis, manusia pasti akan mati dan akan ada yang tetap hidup dan melahirkan kehidupan yang lain. Namun hidup tanpa orang yang disayangi bukankah lebih baik mati?
Kugelengkan kepalaku keras-keras. Jangan Tuhan..jangan mamaku, aku masih sangat membutuhkannya. Aku bahkan belum membuatnya bahagia. Supir taksi itu terlihat bersimpati kepadaku, dia mengambilkan tissue dan menyerahkannya padaku.
"terima kasih pak.." sahutku lirih
"sama-sama mbak.." dia menatap kembali jalanan di depannya. Memutuskan untuk membiarkan aku meluapkan emosiku dengan menangis. Bibik Sum bilang tadi mama mengalami benturan di kepalanya. Saat ini masih belum sadar. Ya ampun mama, bagaimana mungkin mama bisa jatuh di kamar mandi. Apa yang mama pikirkan?
Begitu taksi berhenti, aku langsung membayar dan melompat keluar taksi. Aku berhenti di depan meja pendaftaran. Seorang perawat berambut pendek menyambutku dengan ramah.
"ada yang bisa saya bantu?"
"ibu saya..nyonya Refinata. Tadi dibawa kesini karena terjatuh di kamar mandi." Aku terbata-bata menjelaskan.
"oh baik..saya cek dulu." Ujar perawat itu sambil melihat ke komputernya. "ibu anda sudah sadar, sudah di pindahkan ke ruang perawatan di lantai 3 kamar 310."
"terima kasih" aku tersenyum tipis padanya dan segera menuju ke ruang perawatan tempat mamaku di rawat. Aku sedikit lega karena dari penjelasan perawat itu, mamaku sudah sadar.
Tidak pernah sekalipun aku melihat mama dalam keadaan tidak berdaya. Dan sekarang aku melihatnya tertidur di ranjang rumah sakit. Tangannya di infuse. Dan wajahnya pucat. Pucat tapi tetap cantik. Seketika aku merasa bersalah, karena sering melawannya dan membuatnya kecewa. Kudekati mama, dan duduk di kursi di sampingnya. Bik Sum mendekatiku dan memelukku, matanya bengkak sepertiku, mungkin selama menunggu dia terus menerus menangis. Kugenggam tangan mama, kubisikkan doa. aku menangis terisak-isak seperti anak umur 5 tahun yang kehilangan ibunya di keramaian.
Tiba-tiba tangan mama bergerak. Mama membuka matanya sambil tersenyum.
"kenapa menangis Gwen?" ujarnya sambil mengelus rambutku.
"aku pikir..aku kehilangan mama.." aku menahan isakanku.
Mama tersenyum. "maafkan mama ya membuatmu cemas. Tadi mama pusing tapi ngotot ke kamar mandi tanpa di temani bik Sum."
Aku hanya bisa menangis beberapa saat sambil terus menggenggam tangan mama. Ponselku berbunyi. Ternyata papa menelepon dari Lombok. Papa baru bisa kembali nanti malam. Aku menjelaskan bahwa keadaan mama sudah membaik dan sudah sadar. Saat aku menutup pembicaraanku dengan papa, mama sudah tertidur kembali.
Aku menoleh ke arah bik Sum , aku memintanya pulang di antar supir untuk menyiapkan beberapa baju punya mama dan punyaku karena aku akan menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Setelah mendengar arahanku, bik Sum langsung turun ke bawah menemui supir.
Melihat mama masih tertidur, aku memutuskan menelepon bosku dan mengajukan hak cutiku. Dengan berat hati beliau mengizinkan meskipun minggu ini sedang sibuk-sibuknya namun musibah seperti ini tidak ada yang tahu kapan datangnya. Terakhir, aku menemui dokter yang merawat mama.
Dokter Erik adalah dokter paling menarik yang pernah kutemui. Dia berumur di awal 30an, muda, enerjik, bersemangat, ramah dan charming. Dia menjelaskan padaku apa yang terjadi pada mamaku dan bagaimana keadaannya sekarang.
"kurang lebih 3 hari ini ibu anda akan kami rawat dan observasi disini.." oke mungkin aku melongo menyadari ketampanan pria berjas putih di depanku ini. Aku langsung pelan-pelan mengatupkan bibirku dan tersenyum.
"baik dok..tapi keadaannya saat ini?"
"sejauh ini sangat baik ya. Tekanan darah berangsur normal. Ibu anda akan pulih seperti pada awalnya Gwen.."
Obrolan kami terhenti karena seorang perawat masuk dan memberitahukan bahwa ada pasien yang pelu di tangani. Aku pamit padanya. Sebenarnya agak merasa malu, dalam kondisi mama sedang di rawat, aku masih bisa tersipu-sipu karena seorang dokter ganteng.
Saat aku kembali ke kamar perawatan, mama sudah bangun. Aku segera menghampirinya.
"ma, sudah bangun? Masih pusing?" mama menggelengkan kepala padaku.
"kamu nggak pulang? Besok kan harus ngantor.."
"Gwen ambil cuti beberapa hari untuk nemenin mama.."
"kamu nggak perlu seperti itu Gwen.."
"ma, hanya ini yang bisa Gwen lakukan. Menjaga mama. Jadi mama jangan protes ya. Sekarang makan malam mama udah datang. Gwen suapin ya." Aku menegakkan kasur mama. Mama hanya tersenyum melihatku. Menunya adalah bubur ayam. Aku jadi teringat Abi, aku belum meneleponnya karena begitu bingungnya. Dan Abi juga sedang meeting malam ini, jadi kuputuskan untuk tidak mengganggunya.
"Gwen.." panggil mama di tengah kunyahannya.
"hmm.."
"mama kan udah semakin tua." Mama terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Mama hanya pengen lihat Gwen ada yang mengurus, ada yang menyayangi..mama ingin lihat Gwen menikah." aku terdiam. Sendok yang akan ku suapkan ke mama berhenti. Aku menatap mama yang bicara seolah-olah itu bukan hal yang besar.
"ma..Gwen bisa kok jaga diri Gwen sendiri. Lagipula cari pacar aja susah ma, apalagi cari suami.."ujarku acuh tak acuh. Menjaga nada suraku tetap datar.
"mama takut umur mama nggak panjang Gwen.." Kuletakkan sendok di mangkuk, dan kujauhkan meja makannya. Aku memeluk mama dengan erat. Menangis dipelukannya.
"jangan bicara seperti itu ma. Kalau mama ingin Gwen menikah, Gwen akan cari calon suami. Tapi jangan pernah bicara kalau mama mau ninggalin Gwen.." aku bicara sambil menangis. Mama melepaskan pelukannya dan menatapku.
"dengarkan mama..mama ingin Gwen bahagia. Menikahlah dengan orang yang Gwen cintai. Siapapun itu akan mama dan papa restui.."
Aku tak mendengar lagi wejangan-wejangan dari mama. Pikiranku mencari selanya sendiri.
Menikah dengan orang yang aku cintai..
Apa bisa aku mencintai orang lain selain Abi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top