Friendship With(out) Love part 15
Hari apa ini? Aku terbangun pagi hari dan berusaha mengingat hari apa sekarang. Hari rabu ternyata. Sudah dua minggu aku mengasingkan diri disini. Perlahan-lahan aku mulai menemukan ritme kehidupanku lagi. Aku sudah bisa tertawa saat telepon dengan Fiona. Omong-omong soal Fiona, dia begitu manja padaku belakangan ini. Dalam waktu dua jam dia bisa meneleponku sampai tiga kali. Awalnya aku pikir dia hanya khawatir padaku, rupanya si cerewet itu sedang hamil dua minggu. Ya! Hamil..sebentar lagi aku akan punya keponakan. Dan Fiona selalu menggerutu bahwa babynya yang kangen dengan aunty Gwen.
Mama juga sudah lebih tenang sekarang. Awal-awal kepergianku mama selalu memohon agar aku cepat pulang. Namun sekarang mama bisa mengerti alasan kepergianku. Setelah Fiona menceritakan kondisi Abi yang kacau, aku memutuskan melarang mama dan Fiona memberitahuku apapun soal Abi.
Jahat? Ya, aku memang jahat. Aku tidak bisa menutup mata dan terus bersahabat dengannya, bicara dengannya seolah aku baik-baik saja, namun di belakang aku hancur lebur. Mungkin aku memang terdengar tidak berperasaan, tapi aku tidak bisa berada di sampingnya terus sementara dia sudah jadi milik orang lain.
Hujan yang mengguyur sejak semalam membuatku malas beranjak dari tempat tidur. Kupikir aku akan menghabiskan waktu di tempat tidur saja hari ini, membaca novel yang aku bawa dari Jakarta. Aku berjalan ke dapur untuk membuat hot chocolate. Samar-samar di antara derasnya hujan aku mendengar suara ketukan pintu. Mungkin itu mbak iyen, yang bertugas membersihkan villa ini setiap dua hari sekali. Ah tapi kan dia punya kunci, untuk apa mengetuk pintu.
Aku penasaran karena ketukan pintu tidak juga berhenti. Aku menyeret langkahku di lantai kayu dengan malas menuju pintu. Saat aku membuka pintu bisa dipastikan jantungku merosot. Aku hampir tidak bisa bernafas.
Abi..
Sejauh ini sudah aku berlari menghindarinya, kenapa dia harus mencariku..
Tubuh Abi basah kuyup kehujanan. Wajah tegasnya terlihat lelah dan rambutnya yang acak-acakan kelihatan kusut. Hilang sudah Abinaya-ku yang dewasa, tenang, dan selalu bisa mengendalikan diri dan situasi di sekitarnya, hilang sudah sosok CEO yang membawahi puluhan ribu orang. Yang aku lihat adalah mata anak laki-laki berumur 10 tahun yang kesakitan, kesepian dan kehilangan.
"Kau tidak akan membiarkanku masuk?"
Suaranya menggigil menyentakku dari lamunan. Aku mundur dan memberikannya jalan untuk masuk. Aku mempersilakan Abi untuk duduk di sofa sementara aku mengambil handuk.
Polo shirt hitam dan jeans biru yang dipakainya sudah berubah warna karena basah. Kusampirkan handuk besar berwarna putih di bahunya dan Abi mulai mengeringkan wajah, rambut serta tangannya. Aku ke dapur untuk membuatkan kopi untuknya. Sekarang aku yang bingung harus bicara apa.
"Hay abi..maaf ya aku kabur, aku nggak rela kamu kawin sama sofie."
Atau..
"Abi, aku cinta sama kamu. Cuma ada dua pilihan, pilih aku atau sofie?"
Hikss..norak banget. Segitu desperate nya aku.
Aku melangkah pelan menuju ruang tamu sambil membawa secangkir kopi. Abi sedang duduk bersandar di sofa. Dia menoleh melihatku datang.
"Kamu harus mandi, Bi..aku siapin air hangat ya?"
Aku duduk di sampingnya dan meletakkan kopi di meja.
Dia hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku. Yang dilakukannya hanya menatap mataku, dan mengunciku di dalamnya. Dia tidak bergerak atau bicara. Di matanya ada kelelahan sekaligus kelegaan.
"Kenapa kau pergi, Gwen?"
Aku membuang muka, memalingkan pandanganku entah kemana saja asal tidak menatapnya. Duh, kenapa jadi gini sih. Ini bukan skenario yang aku harapkan sama sekali.
Tangannya menyentuh daguku dan memaksaku menatapnya, "Jawab, Gwen.."
Sekarang atau tidak sama sekali Gwen!
Suara dalam pikiranku berteriak, meminta di bebaskan. Bahkan pikiran dan hatiku sudah lelah memikirkan pria yang ada di depanku ini.
"Ng.." Aku gugup, jelas. Sekarang mata Abi yang tajam menatapku hangat. Dia adalah langit dan bumiku. Pria pilihan hatiku. Dan akan selalu begitu. Aku tidak pernah membayangkan ada pria lain yang menggantikan posisinya.
Aku begitu mencintainya sampai-sampai rasa itu membuncah keluar dari dadaku.
"I love you..Bi."
Aku tergagap, ketika menyadari bahwa mulutku sudah mendahului pikiranku dan mengucapkan tiga kata itu.
Mata Abi terlihat terkejut, dia tidak melepaskan genggaman tangannya padaku. Dia tidak bicara apa-apa.
"Tidak Bi..tidak. Aku tidak berharap apa-apa pada perasaanku. Aku bersumpah sudah setengah mati menolak perasaan ini, Bi. Aku minta maaf menghancurkan persahabatan kita. Aku-"
Kata-kataku terputus oleh sebuah interupsi yang mengejutkan. Bibir lembut Abi yang biasanya hanya mengecup pipi dan dahiku, kini ada di bibirku. Ciumannya dalam, panas dan menuntut. Seakan-akan aku adalah udara yang harus di hirupnya. Seakan-akan aku adalah satu-satunya alasan dia hidup. Tangannya melingkari pinggangku, membawaku mendekat sehingga tubuh kami bersentuhan.
Ini surga..pasti surga..
Kami berciuman cukup lama sampai nafasku hampir habis. Dia mengakhiri ciuman kami dengan satu kecupan kecil di hidungku. Wajahku pasti sekarang merah padam.
"I love you, too Gwen.."
Suara Abi lirih tertutup hujan yang semakin deras di luar sana.
"Tapi itu tidak mengubah apapun kan?"
Suaraku pelan, aku takut mendengar jawabannya.
Dia menggeleng. Penyesalan terlihat di matanya.
"Aku tidak bisa membatalkannya, ini sudah terlambat. Tinggal tiga hari lagi. Aku akan belajar mencintai Sofie, Gwen.."
Aku kehilangan nafasku sekali lagi.
Abi mendekat dan mengecup puncak kepalaku dengan sayang, "Berjanjilah kau akan baik-baik saja Gwen. Dan jika menjauh dariku itu membuatmu lebih baik, maka lakukanlah.."
Abi berdiri, meletakkan sesuatu yang terlihat seperti undangan pernikahannya dan berjalan menuju pintu.
Jangan! Kumohon jangan pergi!
Aku berharap mulutku akan berteriak seperti itu. Tapi kenyataannya aku mematung, membisu. Hanya menatap punggung Abi yang berjalan semakin jauh menembus derasnya hujan di luar.
Bibirku terasa panas selepas ciumannya tadi. Lalu kemudian air mataku mulai mengalir, dan isakan kencang mulai terdengar keluar dari mulutku. Aku menekuk lututku dan menangkupkan telapak tangan di wajahku lalu menangis sekeras yang aku bisa. Setiap sel dalam tubuhku menangis, menjerit meneriakkan namanya.
Abi juga mencintaiku..
Suara petir yang menggelegar tidak lagi terasa menakutkan bagiku. Karena perasaan yang saat ini kurasakan jauh lebih menakutkan. Ketika kau tahu bahwa orang yang kau cintai juga mencintaimu tapi takdir tidak menemukan jalan agar bisa bersatu.
-----------------------------------------------------------------------
Haaai..
Aduuh thor kok masih sedih aja sih ceritanya?
Iya ni..mau happy ending atau sad ending ni, readers? :D
Jangan lupa vote dan comment ya.. Kalo yang ngevote-nya banyak, aku posting next part besok..
Trimikisi smuaa :))
Love,
Vy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top