Friendship With(out) Love - Gift

Hai,

Part ini adalah gift part buat yang sudah baca cerita saya, terutama untuk yang comment dan vote dan yang pengen tahu crita Abi-Gwen stelah punya anak. Kalo untuk di bikin lanjutannya masih blank :D belum ada ide lagi. Trimakasi buat yang comment dan yang suka sama cerita ini. Kalian luaarr biasaaa :*

Smoga terhibur ya dear..

Love,

Vy

------------------------------------------------------------------------------

ABI (POV)

Hari minggu dan hujan adalah satu paket sempurna. Bergelung di balik selimut dengan istrimu yang berbau harum, hmm seperti harum apa ya rambutnya ini? Vanilla? Aku menariknya lebih dekat ke pelukanku. Rambut ikal panjangnya menggelitik wajahku. Perlahan kusibakkan dan kuciumi lehernya, kulit putihnya membuatku ingin menjilat setiap jengkal tubuhnya.

Ck..sejak kapan aku jadi begitu mesum. Salahkan Gwen karena dia begitu membuatku tergila-gila.

"Bi..ini masih pagi.." Suaranya serak terdengar seksi di telingaku. Kemudian dia membalikkan tubuhnya sehingga kami berhadapan sekarang. Matanya masih terpejam.

"Gwenny..wake up, baby." Bisikku.

Dia membuka kemudian menyipitkan matanya, terlihat kesal.

Namun aku langsung menciumnya, bibir rasa strawberry itu membuatku selalu ingin mengecupnya. Dia mendesah, dan tanganku mulai menjalar kemana-kemana. Gwen-ku hanya memakai kamisol berbahan satin tipis dengan tali spagheti.

Ya ampun Gwen.. Syukurlah dia sering memakai baju seperti ini setelah kami menikah. Kalau saat kami masih sahabat seperti dulu, aku lebih baik mundur jadi sahabatnya karena tidak kuat menahan nafsu.

"Ayaaah..Mommy..wake up!! We're hungry!!"

Astaga..ini kan masih jam setengah tujuh pagi, kenapa bocah-bocah itu sudah bangun.

Tidak lama setelah teriakannya terdengar, muncul dua perempuan berumur 3 tahun yang paling cantik di dunia. Yang satu berambut lurus dan yang satu lagi keriting. Mereka kembar namun tidak identik. Biar kukenalkan pada kalian.

Yang berambut lurus adalah Carissa Larasati Gunadi, dia adalah aku versi perempuan. Dan yang berambut keriting adalah Chloe Larasita Gunadi, dan dia adalah Gwen versi kecil. Mereka sempurna. Entah kebaikan apa yang telah aku buat sampai Tuhan begitu baik memberiku istri yang luar biasa dan kedua putri yang tak kalah hebat.

Chloe menciumi pipi Gwen, membangunkannya dengan cara yang manis. Gwen tergelak.

"Morning, sweety..are you hungry?" Dia memeluk Chloe dan Carissa dengan sayang.

"Yes, mommy" ujar mereka kompak.

Gwen segera bangun, mengikat rambutnya kemudian mencium pipiku dan bergegas ke kamar mandi.

Lihat..aku sudah membangunkannya dengan cara yang paling...oke, paling mesum. Tapi malah Gwen lebih tertarik dengan dua bocah menggemaskan ini. Aku menyeret langkahku dengan malas dan kemudian berpura-pura mengejar mereka, Chloe dan Carissa lari sambil terkikik geli.

***

"Mommy bukankah hari ini Rafael ulang tahun?"

Carissa bertanya sambil mengunyah rotinya.

"Ya darling..habiskan makananmu. Setelah itu kita mandi dan berangkat ke rumah aunty Fiona. Kau juga Chloe.."

Chloe menganggukkan kepalanya dengan semangat sementara Carissa memasukkan sisa roti ke mulutnya.

Rafael adalah putra Fiona dan Jason. Hari ini dia berulang tahun yang keempat. Tidak ada party, hanya makan bersama keluarga dan sahabat. Chloe dan Carissa adalah sahabat Rafael dan dari jauh-jauh hari mereka sudah mempersiapkan kado untuknya.

Gwen menaruh piring di bak cuci piring kemudian membuka pakaian Chloe dan Carissa. Aku kagum padanya. Gwenny-ku dulu bahkan kesulitan mengurus dirinya sendiri, dulu dia begitu manja dan selalu minta diperhatikan. Namun setelah melahirkan Chloe dan Carissa, Gwen benar-benar berusaha menjadi ibu yang sempurna bagi mereka.

Setelah anak-anak berlari ke kamar mandi, Dia beralih pandang padaku yang sedang menatapnya, "Kau ingin tetap duduk di situ menikmati menatap istrimu atau aku pukul pantat seksimu agar kau segera mandi?" Dia memiringkan kepalanya, berpura-pura terlihat serius.

Aku berdiri dan berjalan ke arahnya, "Aku pilih yang kedua, tapi aku pastikan kau akan mendapat balasan serupa nanti malam" ujarku sambil mencium pipinya. Membuatnya mematung untuk beberapa saat.

Aku terkekeh geli. Menggodanya akan selalu menjadi hobiku.

***

Rumah Fiona sudah ramai oleh kerabat dan keluarganya. Fio sedang hamil anak kedua sekarang, namun itu tidak membuatnya diam, dia begitu sibuk kesana kesini mengatur persiapan pesta Rafael. Balon berwarna biru tergantung manis di setiap sudut ruangan. Gwen pun langsung membantu Fiona mempersiapkan makanan, dia terlihat menakjubkan hari ini memakai dress selutut berwarna biru. Ya baiklah, aku mengagumi istriku sendiri. Dia tidak ada duanya. Paling cantik..paling seksi..paling baik hati..paling..

Aku terkejut saat seseorang memukul bahuku pelan.

"Ngelamunin apa lo?"

Jason menatapku dengan rasa ingin tahu. Suami Fiona dan aku sudah bersahabat sejak lama. Bahkan sejak aku dan Gwen masih bersahabat.

"Ngelamunin istri gue lah.." Sahutku.

Jason tertawa. "Eh Bi..ada Sofie tu di teras, gue kesana dulu ya." Ujarnya kemudian meninggalkanku untuk menemui Sofie.

DEG!

Sofie yang dulu itu? Yang empat tahun lalu gagal menikah denganku? Dia ada disini?

Aku hampir lupa bahwa Sofie dan Fiona masih saudara sepupu jadi jika Fiona mengadakan acara tentu saja dia akan mengundang Sofie. Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak hari dia membatalkan pernikahan kami. Ada yang bilang dia bekerja di Bali, ada yg bilang juga dia kembali ke London. Aku tahu, pasti sulit untuknya, dan jujur saja aku menyalahkan diriku sendiri karena mengiyakan ajakannya untuk menikah padahal aku tidak mencintainya. Kupikir saat itu aku akan bisa belajar mencintainya. Bodohnya adalah aku tidak menyadari bahwa aku mencintai Gwen.

Aku tersenyum getir saat ingat Gwen tiba-tiba pergi dua minggu menjelang pernikahanku. Tidak ada semangat hidup dan setiap hari yang kulakukan adalah memerintahkan anak buahku untuk mencari Gwen, kemudian pergi ke rumah Gwen dan memohon-mohon pada mamanya agar memberitahukan dimana Gwen berada. Sayangnya, mama Gwen dengan halusnya tutup mulut dan memilih menjawab tidak tahu dimana keberadaan putri tunggalnya.

Menjelang siang aku selalu meluncur ke kantor Gwen dan menemui Fiona disana. Aku harus mengatasi Fiona yang terus-menerus marah padaku karena mengakibatkan sahabatnya pergi. Dan sialnya setelah memarahiku, dia tetap tidak memberitahukan kemana Gwen pergi.

Seminggu lebih Gwen pergi dan aku sudah mulai beranjak gila. Sofie bahkan harus mengurus setiap detail urusan pernikahan kami sendirian, katakanlah aku egois dan jahat. Aku bahkan tidak pergi kerja selama dua minggu. Aku mengasingkan diri di apartemenku. Sampai di satu titik aku menyadari, mengapa aku bisa segila itu saat Gwen pergi? Kalau hanya sekedar menganggapnya sahabat mengapa aku sesakit ini. Baiklah, aku memang terkejut saat tahu Gwen meninggalkanku karena dia mencintaiku. Aku bukan terkejut dalam arti yang buruk, ada rasa hangat menelusup di hatiku saat itu, dan detik-detik terakhir barulah aku sadar bahwa Gwen adalah duniaku, parahnya lagi dia adalah oksigenku. Dia pergi dan dadaku sesak. Seberapa pun aku ingin tidak peduli dan melupakannya, pikiranku akan semakin dipenuhi olehnya. Benar-benar menyedihkan.

Dan kemudian aku mengatakan pada Fiona tentang perasaanku pada Gwen. Awalnya Fiona meragukanku, namun akhirnya dia kasihan dan berbaik hati memberikan alamat dimana Gwen bersembunyi.

Saat pertama kali aku melihatnya lagi, semuanya terasa pas. Duniaku kembali berputar pada porosnya setelah bergerak keluar jalur dua minggu belakangan ini. Dia adalah kepingan puzzleku yang hilang.

Meskipun begitu, aku tidak mungkin meninggalkan Sofie yang menungguku untuk menikahinya. Ayahku selalu bilang bahwa lelaki sejati selalu bisa menepati kata-katanya. Jadi aku meninggalkan hatiku pada Gwen dan kembali pada Sofie, dengan memohon sedikit keajaiban dari Tuhan semoga suatu hari nanti aku bisa mencintainya. Gwen hancur. Aku hancur. Kami hancur.

Namun ternyata Sofie bukan wanita egois, dia datang padaku dan berkata bahwa dia akan membatalkan pernikahan. Dia tahu persis bahwa aku tidak mencintainya, dan dia tidak ingin kami menyesal karena pada akhirnya percuma saja memaksakan ini. Saat itu aku merasa malu, sangat malu pada Sofie. Sebegitu terlihat kacaunya kah aku sampai wanita itu bisa membacaku dengan baik? Di sisi lain aku lega karena meskipun mungkin aku tidak bersama Gwen, tapi aku juga tidak mempertaruhkan perasaan siapapun.

Kejutan selanjutnya adalah, Gwen datang ke apartemenku, dengan gaun hijau yang membuatnya terlihat luar biasa cantik. Well, pada akhirnya..seperti yang sudah kalian ketahui, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi. Dia milikku sejak dia berumur tujuh tahun, terlihat sedih dan kesepian di taman.

Pelukan di pinggang membuyarkan lamunanku.

"Aku tidak mengerti kenapa kamu begitu asyik dengan pikiranmu sendiri di tengah-tengah keramaian seperti ini.."

Suara Gwen lembut menyapaku.

"Hanya sedang mengingat, seberapa jauh kita sudah berjalan.."

Aku menggenggam tangannya.

"Hmm..lalu sudah seberapa jauh?"

Dia terdengar geli.

"Cukup jauh bagi hubungan persahabatan, bahkan cenderung melewati batas. Tapi untuk pasangan, banyak gaya yang belum kita praktekan.."

Seketika wajah Gwen merah padam. Aku tertawa dan membawanya ke pelukanku. Dia begitu manis saat malu-malu seperti itu.

"Abi.."

"Hmm.."

"Ada Sofie.."

"Lalu?"

"Kau tak ingin menyapanya?" Dia mendongak melihat wajahku.

"Kau ingin?"

"Kenapa tidak? Kalau bukan karena Sofie mungkin aku sedang menangis meratapi nasib saat ini.."

Aku tersenyum. "Kau benar. Kalau dia tidak membatalkannya, mungkin aku sedang memeluk Sofie sekarang ini."

Gwen mengerucutkan bibirnya kemudian langsung menyerangku, menyubitku di perut dan pinggang. "Aw..okay okay sayang. Ampun."

Dia berhenti dan tertawa, "Mari kita temui dia..". Aku mengangguk dan berjalan bersamanya.

Gwen melambaikan tangannya pada Sofie yang sedang berdiri dengan seorang pria di taman belakang.

"Gwen.."

"Sofie.."

Mereka beramah tamah dan saling mencium pipi. Sementara aku hanya mengangguk singkat pada Sofie.

"Kenalkan..ini Richard, calon suamiku.."

Dia memperkenalkan pria berwajah oriental yang berdiri di sampingnya.

Gwen bertepuk tangan, "Waw..kapan kau menikah Sofie? Pastikan undangannya sampai ke rumah kami ya.."

"Pasti Gwen..bulan depan. Kalian harus datang ya." Dia melirikku sekilas. "Dan astaga, aku sudah bertemu si kembar Chloe Carissa. Mereka menakjubkan Gwen."

"Ya, repotnya pun menakjubkan.." Gwen tertawa.

Kami hanya sebentar menyapa Sofie karena pestanya akan segera dimulai. Dalam hati aku begitu bersyukur, Sofie sudah bisa membenahi hatinya dan kehidupannya pun terlihat bahagia. Terdengar suara teriakan anak-anak kecil dari dalam rumah Fiona. Aku memeluk pinggang Gwen sambil berjalan menuju rumah.

"Kau tahu? Kau menyempurnakan hidupku, Gwenny.."

Aku mengecup pipinya.

Dia menatap mataku dalam, "Kau bagiku, bukan sekedar menyempurnakan. Kau adalah potongan besar dalam hidupku yang kuberi nama kebahagiaan. Jika kau pergi, aku akan kembali jadi Gwen yang sedih dan kesepian."

Aku meleleh. Kata siapa hanya wanita yang bisa meleleh?

"Tidak akan. Bahkan jika Tuhan memberiku kehidupan kedua. Aku tidak akan mengubah apapun. Semua sudah sempurna.."

Aku menggenggam tangannya dan masuk ke dalam rumah Fiona.

Terkadang dalam hidup, kita mencari sesuatu begitu jauh, begitu sulit dan begitu selektif. Padahal apa yang kita cari hanya sejauh jengkal tangan, mungkin ada di hadapan kita, atau di samping kita. Hanya saja, selalu dan selalu yang menjadi masalah adalah..kita terlambat menyadarinya dan membiarkannya pergi begitu saja.

Aku hanya beruntung bisa mendapat kesempatan kedua, beruntung karena mencintai sahabatku sendiri, beruntung karena dia juga mencintaiku, dan aku beruntung pada akhirnya bisa pulang ke pelukannya..

*Lucky I'm in love with my best friend..

Lucky to have been where I have been..

Lucky to be coming home again..*

--THE END--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: