FWB-3. Tentang Azura
Vote dulu yaw!
.
.
.
.
.
Azura pada dasarnya memang gadis yang periang. Ia tak pernah sulit mengekspresikan diri. Meski ia bukan berasal dari keluarga yang utuh karena sang ayah yang merupakan seorang Tentara Angkatan Laut harus gugur saat Azura berusia lima tahun.
Sang ibu membesarkannya dengan baik tanpa kurang suatu apapun. Tetapi, semua itu hanya bertahan sampai Azura berusia empat belas. Sang ibu memutuskan untuk kembali menikah dengan seorang pria yang menurut sang ibu begitu baik dan penyayang.
"Aku ikut Bunda aja." jawab Azura saat ibunya meminta izin untuk menikah lagi.
Azura memiliki seorang kakak perempuan yang sudah tidak tinggal bersama mereka karena bekerja di luar kota dan hanya sesekali pulang. Tentu, itu membuatnya setuju-setuju saja jika ibu mereka menikah lagi.
"Terima kasih, Nak. Setelah ini, kebahagiaan kita sebagai keluarga akan lengkap."
Begitu janji yang dikatakan oleh sang ibu sebelum menikah lagi. Tetapi, bahagia yang dijanjikan itu hanya angan-angan belaka. Karena, ayah tiri Azura yang sebelum menikahi ibunya begitu lembut dan baik itu ternyata hanya topeng belaka. Ibu Azura menikahi pria temperamen yang pandai sekali menutupi kebusukannya sebelum mereka menikah.
"Bunda, aku nggak bakal biarin Bunda kesakitan." ucapan Azura pada saat itu.
Dan benar, janji Azura tidak seperti janji sang ibu kepadanya. Karena ia terlalu sayang kepada wanita yang melahirkannya itu, Azura memilih untuk mengorbankan dirinya asal sang ibu tidak dapat perlakuan kasar dari suaminya.
"Kalo kamu mau pukul, pukul aja aku. Jangan Bunda!" teriak Azura saat ayah tirinya hendak melayangkan pukulan kepada ibunya.
Mulai saya itu, Azura menjadi sasaran pemukulan ayah tirinya saat marah. Itu yang Azura inginkan dan jangan sampai ayah tirinya melakukan itu kepada sang ibu. Ya, gadis itu membuat semacam perjanjian.
"Mas, udah! Jangan pukul Azura!" teriak ibu Azura saat sang suami menarik paksa rambut Azura ketika gadis itu tengah tertidur.
Saat itu, ayahnya marah karena kliennya membatalkan kerja sama setelah mereka diskusi bahkan hingga larut malam. Sampai ke rumah, pria itu langsung melampiaskan amarahnya kepada Azura.
"Kamu jangan ikut-ikutan. Atau kamu mau kupukul juga?!"
"Bunda, aku nggak apa-apa, kok. Bunda keluar aja." ucap Azura lirih meski kepalanya terasa sakit karena rambutnya ditarik begitu kencang saat dirinya tertidur.
Memar di tubuhnya tak pernah sembuh karena ayah tirinya nyaris memukulnya setiap hari dan Azura yang sudah melakukan perjanjian itu harus menjalaninya.
Pernah, sang ibu mengucapkan ingin bercerai. Tetapi, suaminya itu mengancam akan membunuhnya dan Azura tidak ingin itu terjadi. Jadi, ia menggagalkan niat sang ibu.
Dua tahun kemudian, sang kakak meminta izin untuk menikah dengan lelaki yang dicintainya. Di sana, Azura juga sudah merasa muak dengan perlakuan ayah tirinya yang juga memukul sang ibu. Perjanjian mereka seperti hilang begitu saja dan ajakan sang kakak untuk tinggal bersama ia pikir akan cukup baik.
"Aku capek, Kak." keluh Azura.
"Setelah ini, kamu ikut kakak, ya. Kamu nggak pantas mempertanggungjawabkan apa yang nggak kamu lakukan."
Azura mengangguk semangat karena ia pikir, ia akan terlepas dari semua ini. Tetapi, sepertinya nasib baik bukan milik Azura. Karena, dua hari setelah kakaknya menikah ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari kakak iparnya.
Kebiasaannya yang tidak pernah mengunci pintu kamarnya itu membuat sang kakak ipar mencuri kesempatan untuk melakukan hal yang tidak senonoh kepada Azura.
"Kamu belum tidur?"
Azura yang tengah bergelung di dalam selimutnya karena listrik padam itu berjengkit karena seseorang memeluknya dari belakang dan mengecupi lehernya beberapa kali.
"K-Kak... Lepas!" Azura memberontak dan berhasil mendudukkan dirinya.
"Sttt... Kamu jangan berisik. Lampu mati, nggak ada yang liat." bisik lelaki yang kini meraba-raba tubuh Azura secara acak karena tidak bisa melihat apapun.
"Nggak! Kak, tolong menjauh!" teriak Azura sambil mencoba meraih apapun yang sekiranya bisa ia pakai untuk menghalau perlakuan kakak iparnya.
Di saat yang bersamaan, lampu kembali menyala dan membuat kakak Azura datang ke kamarnya.
"Ra, kamu nggak apa-apa?" tanya sang kakak panik.
Azura menggeleng lemah karena merasa energinya terkuras habis.
"Mas, makasih ya udah cek adek waktu mati lampu tadi. Dia emang takut gelap."
Mendengar penuturan sang istri, kakak ipar Azura yang sejak tadi berdiri di dekat ranjang Azura itu membuang napasnya lega karena aksinya tidak diketahui.
Sementara itu, Azura tidak bisa berkata apapun karena ia kira, kakaknya tahu kalau ia berteriak bukan karena takut gelap.
Esoknya, Azura langsung menolak ikut bersama dengan sang kakak.
"Aku nggak jadi ikut Kakak, ya." ucapnya hati-hati. Takut kakaknya merasa tersinggung.
"Lho, kenapa, Ra? Katanya, kamu capek di sini. Kalo kamu ikut Kakak, kamu bakal aman."
Azura memejamkan matanya erat. Ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya kepada sang kakak mengingat mereka baru saja menikah.
"Nggak apa-apa, Kak. Aku tetap nggak tega sama bunda." balas Azura.
"Ra, Kakak sayang sama kamu. Kamu ikut Kakak aja, ya. Sambil cari cara buat lepasin jeratan si tua bangka itu. Kakak nggak bakal biarin kalian ketakutan terus."
"Aku lebih takut sama suami Kakak daripada dipukulin." batin Azura.
"Nggak apa-apa, Kak. Kakak tenang aja. Aku udah biasa juga."
Sang kakak tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada ditangan Azura. Mungkin, ia bisa meminta tolong suaminya untuk membujuk sang adik.
"Kamu ikut kita aja, Ra. Benar kata Kakakmu, kamu bakal aman."
Entah sejak kapan, suami kakaknya itu berada di kamar Azura dan mendengar percakapan yang cukup rahasia untuk kakak beradik itu. Lelaki itu juga mengusap puncak kepala Azura dengan lembut. Ah, mungkin lebih ke sensual.
"Ng-nggak. Makasih. Kalian pulang aja." Azura melepas tangan kakak iparnya secara paksa tanpa membuat kakaknya curiga.
"Ya udah. Kakak nggak bisa paksa kamu. Tapi, kalo ada apa-apa, kamu janji harus hubungin kami."
Azura mengangguk.
"Jangan lupa telepon, ya." Sang kakak ipar menambahkan.
Azura tidak bereaksi apapun karena sumpah, ia ingin berteriak tidak sudi di depan wajah lelaki itu.
Hari-hari Azura tidak pernah lebih baik karena ia terus menerima pukulan demi pukulan dari sang ayah tiri.
"Kenapa gue nggak mati-mati, sih? Padahal, kayaknya tulang gue udah remuk, deh." keluhnya sambil memandang tangannya sebelum ditutup dengan sweater yang selalu ia gunakan ke sekolah.
***
"Hai, Sa!" sapa Azura kepada Samudra yang berjalan sendiri di koridor sekolah.
Seperti biasa, lelaki itu tak menjawab sapaannya dan tetap berjalan tak acuh. Meski begitu, Azura tak pernah menyerah untuk mengajak Samudra bicara. Lelaki yang sepertinya bernasib sama dengannya itu harus ia ajak bicara.
"Sa, ngomong dong. Lo sariawan, ya?"
"Sa, rokok lo keliatan!" ucap Azura lebih keras.
Hal itu membuat Samudra menghentikan langkahnya dan melihat ke sekeliling. Samudra tidak ingin membuat masalah yang mengharuskan orang tua atau walinya dipanggil ke sekolah. Jadi, ia selalu main aman mengenai apapun.
"Berisik!"
"Sa, ayolah."
"Gue nggak mau buat masalah. Pergi jauh-jauh dari gue dan anggap kita nggak pernah ketemu!" ucap Samudra tegas.
Seharusnya, Azura takut dengan perkataan Samudra yang terdengar menyeramkan itu. Tetapi, Azura tidak demikian.
"Akhirnya, Samudra ngomong banyak." Senyumnya mengembang seketika.
Lanjut gak?
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomblosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top