°°f r i e n d
"𝐡𝐚𝐥-𝐡𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐝𝐮𝐠𝐚 𝐬𝐮𝐤𝐚 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐥𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐧𝐢𝐟𝐞𝐬𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡."
>><<
Sabtu, 27 Desember
Park Jimin menyesap kopi hangat di tengah kontradiksi cuaca sekitarnya. Aroma americano menyeruak masuk ke hidungnya, memberikan sensasi tenang.
Butiran salju turun terlihat di kaca, Jimin memandanginya. Suhu udara yang mulai tidak berperikemanusiaan menahan Jimin untuk keluar dari rumah kecilnya. Suasana hening menyelimuti, mengingat Jimin hanya tinggal seorang diri di sini.
Kopinya habis, mug putih yang tadinya bersih meninggalkan bercak kehitaman di dasar. Jimin masih terlalu malas untuk langsung mencucinya, membiarkan mug itu tergeletak sembarangan di meja pantri.
Tidak ada senyuman sama sekali yang menghias wajah Jimin. Hidupnya datar, monoton, kaku. Semenjak ibunya meninggalkan dia sebulan yang lalu, tidak dipungkiri hidup Jimin berubah. Pribadinya yang sudah tertutup semakin tidak terkendali.
Tidak ada sapaan hangat di pagi hari, tidak ada kimchi lezat menanti, tidak ada usapan bahu yang menenangkan, tidak ada sosok ibu yang ia butuhkan.
Raga Jimin memang di sini, tapi tidak dengan fokusnya. Iris gelapnya menatap kosong tiap salju yang turun. Untuk kesekian kali, Jimin hanya berharap di musim dingin seperti ini ... ibunya ada untuk menemaninya.
Entah apa yang melatarbelakangi pemuda bermarga Park itu akhirnya nekat menyusuri trotoar penuh salju seorang diri. Sepatu boot hitam lusuh, mantel cokelat tua, syal senada, dan topi beanie berwarna merah paling tidak menghalangi dinginnya udara menyentuh kulit putih Jimin. Park Jimin tidak segila itu membiarkannya terkena penyakit hiportemia di tengah jalan.
Ia hanya berjalan lurus dengan kepala tertunduk. Toh, tidak ada orang yang benar-benar kurang kerjaan jalan-jalan di luar di musim dingin seperti dirinya. Jadi kemungkinan ia menabrak orang hanyalah nol koma satu persen.
Dan sisanya adalah takdir Tuhan.
Bruk
Tubuh jangkung menabrak Jimin. Jimin yang tidak siap oleng dan berakhir bokongnya mencium salju.
"Mianhae, mianhae. Aku sedang terburu-buru. Apa kau tidak apa-apa?" Pemuda jangkung yang menabraknya terlihat khawatir. Sesekali ia menoleh ke belakang, entah apa yang dilakukannya.
Jimin menepuk pelan mantelnya yang tertutupi salju. "Tidak apa-apa."
"Oh, syukurlah. Aku duluan. Sekali lagi minta maaf." Pemuda jangkung tadi bergegas, terkesan berlari kecil.
Belum sempat ia melangkahkan tungkai menyusuri trotoar, manik gelapnya mendapati sepatu boot lusuh cokelat tidak jauh di depannya. Jimin yang sedang menunduk memilih untuk menegakkan leher.
Alisnya terangkat, siapa?
"Apa kau tidak membawa barang berharga?" Pemilik surai cokelat itu bertanya, mengabaikan tatapan penasaran yang Jimin tunjukkan padanya.
Jimin tidak merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. Ia berkata datar, "Kenapa?"
"Tck. Aku hanya bertanya, Teman. Daerah sini rawan kejahatan. Orang yang menabrakmu tadi bisa jadi pencuri." Pemuda itu memasukkan kedua tangannya di saku mantel.
Jimin menggeleng pelan, ia tidak membawa apa-apa tadi. Atau mungkin uang receh termasuk, hanya itu barang berharganya dan jika hilang dia tidak masalah.
"Aku belum mengenalkan diri. Kim Taehyung." Kedua sudut bibirnya ditarik ke atas. Tangannya masih mengambang di udara, menunggu balasan.
Jimin memiringkan kepala beberapa derajat. "Lantas yang bisa menjamin kau bukan orang jahat siapa?"
Taehyung meletakkan tangannya kembali ke dalam saku mantel. Ia berpikir sebentar, kemudian mengangguk-angguk kecil.
"Benar juga. Tidak ada, Teman. Tapi, aku bisa menjamin diriku sendiri bukan orang yang jahat. Lagipula aku memang tinggal di daerah dekat sini. Orang-orang banyak yang mengenalku, tidak usah khawatir."
Taehyung mengetuk-ngetukkan kakinya ke jalan trotoar yang tidak tertutup salju. Ia mungkin menunggu Jimin memberikan respons yang berarti.
Satu menit.
Dua menit.
Taehyung menyerah. Pemuda di depannya bukanlah orang yang bisa diajak mengobrol random.
"Baiklah, aku pergi dulu, Teman. Rumahku di dekat taman sana jika kau mungkin berniat mampir. Pagar warna cokelat." Taehyung membalikkan tubuhnya dan mulai melangkahkan kaki.
Namun, suara lirih berhasil menarik atensi Taehyung.
"Kau bisa memanggilku Jimin, Taehyung-ssi."
Senyum kotak Taehyung muncul. Pemuda yang lebih pendek darinya beberapa senti ini ternyata tidak sedingin itu.
"Baiklah, Teman. Senang berkenalan denganmu!"
Dan Jimin ... tidak tahu apa yang baru saja ia perbuat.
Rabu, 30 Desember
Pukul lima sore, Jimin tengah memasak cemilan untuk nanti malam ketika mendengar ketukan pintu kayu rumahnya.
"Taehyung?" Jimin terkejut. Dia masih ingat betul apa saja yang ia katakan pada Taehyung dan alamat rumah miliknya jelas bukan salah satunya.
"Hai, Teman. Tolong jangan kaget, aku tahu rumahmu dari tetanggaku. Mungkin kau kenal Bibi Ahn, dia yang memberitahuku." Taehyung mengklarifikasi kedatangannya.
Jimin mengenal Bibi Ahn. Pemilik toko kue di daerah Jimin bertemu dengan Taehyung tiga hari yang lalu. Mungkin Bibi Ahn sempat melihatnya.
"Ada apa?" tanya Jimin.
"Hari ini hari ulang tahunku. Ibu membuat kue dan menyuruhku untuk mengundangmu makan malam juga," jawabnya.
"Ibumu?" Taehyung mengangguk. Lantas menepuk dahinya.
"Ya ya aku tahu kau bingung lagi, Teman. Maafkan aku. Jadi, ketika kita bertemu, aku menceritakan dirimu pada ibuku. Ibuku hanya bilang untuk mengundangmu. Begitulah." Taehyung mengacak rambut belakangnya.
"Jika kau tidak bisa tidak apa. Aku bisa menjelaskan pada Ibu. Lagipula wajar untukmu masih belum percaya padaku, kita baru tiga hari kenal. Baiklah, Teman, aku-"
"Tunggu aku bersiap. Masuklah." Jimin memotong. Ia membuka lebih lebar pintu kayunya.
Taehyung melongo. "Serius?"
Jimin tersenyum tipis. "Serius, Tae. Jadi, kumohon masuklah atau udara dingin nanti membekukan rumahku yang terus terbuka."
"Ibu, aku pulang!" Taehyung berteriak, sedikit mengejutkan Jimin yang berada di belakangnya.
Wanita paruh baya yang ditaksir berumur empat puluhan muncul. Rambutnya sudah mulai memutih, tapi garis wajahnya masih nampak muda. Senyum ramah terhias di wajah.
"Taehyung-ie, apa ini yang namanya Jimin?" tanya wanita paruh baya itu pada Taehyung. Taehyung mengangguk mantap.
"Silakan masuk, Jimin-ie. Anggap rumah sendiri." Jimin sedikit kikuk.
"Terima kasih, Bibi."
Ia disambut rumah sederhana bernuansa kayu dan--
"HYUNGIE SUDAH PULANG!"
Suara nyaring dari lantai atas membuat Jimin melihat ke arah tangga. Bola hidup--maksudnya anak laki-laki berusia lima tahun berlari ke arah Taehyung. Pipi gembulnya benar-benar membuat gemas orang yang melihat.
"Woho, halo, Buntalan. Kenalkan, Hyungie punya teman baru, namanya Jimin. Teman, ini adikku, Taehyun."
"Halo, Jimin Hyung. Senang berkenalan denganmu."
Taehyung benar-benar mengusik sisi lemah Jimin. Ia paling tidak bisa menahan kalau sudah melihat anak kecil selucu Taehyun.
"Halo, Taehyun-ie. Astaga, Taehyung, adikmu benar-benar ingin kugigit." Iris gelap Jimin berbinar.
"Siapa dulu kakaknya, hm?"
Jimin tidak memedulikan ucapan Taehyung. Atensinya sudah diculik pipi gembul milik Taehyun yang sedari tadi tidak berhenti tertawa karena pipinya yang dicubiti Jimin.
Sial, aku dilupakan. Tapi tak ayal membuat senyum Taehyung melebar.
Makan malam berjalan dengan menyenangkan, setelah sebelumnya memotong kue tar cokelat dan doa bersama dilakukan. Begitu makan malam selesai, Bibi Kim tidak membiarkan Jimin langsung pulang.
"Kau tinggal dengan siapa?" tanya Bibi Kim.
"Sendiri, Bibi." Jimin menjawab dengan tenang, sambil tetap melihat ke pipi gembul Taehyun di sampingnya.
"Orang tuamu?" Jimin mengangkat kepalanya. Menggeleng.
"Ayah dan Ibu bercerai waktu aku masih kecil. Ayah tinggal di Seoul, sedangkan Ibu baru saja meninggal sebulan yang lalu." Jimin tersenyum, meski ia tahu Taehyung mengamatinya dan sadar raut wajahnya sedikit berubah.
"Oh, maafkan aku, Jimin-ie. Aku tidak bermaksud." Bibi Kim mengelus bahu Jimin, menenangkan.
"Jangan murung, Teman. Aku tidak akan bilang lupakan kesedihanmu, itu susah, aku tahu. Bersedihlah sewajarnya, dan kembali jalankan hidupmu seperti biasa. Ibuku juga ibumu, kau bisa datang ke sini kapan saja, semaumu. Pintu kami terbuka lebar." Taehyung tersenyum tipis.
"Iya, Jimin Hyungie bisa datang kapan saja. Oke?" Taehyun menyahut.
Jimin mengangguk.
"Apa yang Taehyung bilang benar, Jim. Aku tahu aku tidak menggantikan posisi ibumu, itu jelas tidak mungkin. Tapi biarkan Bibi Kim ini menjagamu seperti menjaga Taehyung, ya?"
Hari terus berganti. Tidak terasa berbulan-bulan sudah Jimin kenal dengan Taehyung. Pribadinya yang tidak bisa ditebak berhasil menghibur Jimin. Selera humor yang rendah juga membuat Jimin mudah tertawa.
Taehyung memang tidak mengenalkannya pada temannya yang lain, dia terlalu tahu Jimin tidak mudah berbaur. Dan Jimin tidak masalah dengan itu, Tuhan memberikannya teman seperti Taehyung saja sudah membuatnya bersyukur.
Hari ini, Taehyung menginap di rumah Jimin. Entahlah, tradisi saling menginap ini dimulai sejak kapan, tapi mereka menikmati. Sayang, Taehyun tidak bisa ikut karena tubuhnya demam. Padahal Jimin sedang rindu pipi kembaran bakpau itu.
"Teman." Panggilan Taehyung tidak pernah berubah. Alih-alih memanggilnya dengan Jim atau Jimin, ia lebih memilih kata 'Teman'. Taehyung terkadang seaneh itu.
"Mwo?" Jimin yang sedang fokus dengan gawainya menjawab.
"Aku ... bertemu seseorang." Taehyung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Hah?" Jimin masih belum menangkap maksud terselubung Taehyung.
"Astaga, Teman. Aku bertemu dengan seorang perempuan," lirih Taehyung. Jimin menyipit, lantas membulatkan matanya.
"Tae, jangan bilang kau ...?"
"Dia manis sekali. Lesung pipinya muncul saat tersenyum. Astaga, mukaku memanas, Teman." Taehyung menutup matanya.
"Astaga, hahahahaha!" Jimin tertawa. Taehyung mendengkus.
"Sialan, Teman."
Jimin menghentikan tawanya. Selera humornya yang payah memang kadang menyusahkan. "Ya, ya, mianhae. Lalu, kau mengajaknya berkenalan?"
Taehyung menggeleng. "Itu susah, Teman. Tidak seperti saat aku mengajak berkenalan dengan orang lain."
Jimin mengangguk-angguk mencoba memaklumi. "Kalau kau tidak mengajaknya berkenalan, bagaimana bisa dekat?" tanyanya, penasaran.
Taehyung menghela napas. "Begini, Teman. Aku percaya Tuhan selalu menakdirkan pertemuan sesepele apa pun itu. Well, anggap saja dia masih cameo di hidupku sekarang, keberadaannya seharusnya tidak mengusik pemeran utama--aku. Kalau pun di ending aku dan dia menjadi karakter utama, berarti memang sudah begitu alurnya, 'kan?"
"Hiperbola, Tae." Jimin menggeleng. Bahasa yang Taehyung gunakan kadang rumit. Metaforanya bisa dari apa saja.
Meski suka mengungkapkan sesuatu secara konotasi, pemikiran Taehyung sesederhana kalau-takdir-ya-sudah. Ia bahkan tidak pusing-pusing meminta saran bagaimana cara mendekati, atau paling tidak berkenalan dengan perempuan itu.
Jimin memang belum pernah terinfeksi virus merah jambu, tapi ia tahu banyak orang-orang melakukan hal gila demi seseorang. Namun, Taehyung pengecualian.
"Kenapa tidak mencoba?" Jimin hanya memastikan.
"Dan menyusahkan diriku sendiri? Tidak, terima kasih."
See? Entah untuk ke berapa kalinya, Kim Taehyung menunjukkan pada Jimin bahwa, hidup itu tidak serumit yang ia kira.
Musim dingin kesekian yang Jimin habiskan dengan Taehyung. Kali ini masuk giliran Jimin yang menginap di rumah Keluarga Kim. Yang paling membuatnya senang, Taehyun sudah masuk kelas satu sekolah dasar dan mendengarnya menggerutu karena tugas benar-benar menyenangkan.
"Ayolah, Buntalan. Ini tidak sesulit yang kau kira. Aku bantu, ya?" Taehyung berusaha menenangkan Taehyun yang terus menggerutu. Air mukanya benar-benar suram.
"Tidak, Hyungie. Biarkan aku kerjakan sendiri. Besok Nam Seonsaengnim akan memanggil satu-satu. Mati aku kalau tidak bisa menjawab," jawab Taehyun lugas. Jimin tertawa. Kim Taehyun benar-benar membuat mood-nya bagus.
"Buntalan keras kepala." Taehyung menyerah.
"Biarkan, Tae. Adikmu sedang berusaha. Bukankah bagus dia tidak mengandalkan orang lain?" Jimin mengacak rambut Taehyun. Taehyun balas tersenyum seperti iklan pasta gigi.
"Aku tahu, Teman. Buntalan--"
"Hyungie, aku bukan buntalan. Aku manusia." Taehyun menyahut, masih dengan pensil yang dipegang dan matanya menghadap kertas.
"Iya, buntalan daging yang diberi nyawa."
Taehyung tidak bisa berhenti tertawa. Adiknya memang target empuk untuk digoda. Taehyun mengacuhkannya, mungkin mottonya saat ini, 'Soal matematika lebih penting daripada omonganmu, Hyungie.'
Nada dering yang khas dari ponsel pintar keluaran Korea menarik atensi Taehyung. Dilihatnya Jimin mengernyit, tidak berniat untuk segera menerima panggilan.
"Siapa, Teman?" Taehyung bertanya.
"Ayah." Taehyung mengangguk pelan, memberikan space agar Jimin bisa mengobrol dengan ayahnya. Hubungan mereka sedikit rumit.
"Yeoboseyo?"
"Aniya. Ada apa?"
"Entah."
"Ya. Baiklah."
Sepertinya panggilan sudah terputus. Jawaban singkat dari Jimin tidak membuat Taehyung mengerti arah pembicaraan mereka.
Sebenarnya, Jimin dengan ayahnya tidak bisa dibilang bertengkar. Jimin masih merespons kala ayahnya menelepon--seperti tadi. Tapi untuk dibilang hubungan antara ayah-anak yang harmonis, itu juga tidak valid.
"Ayahmu bilang apa?" Taehyung kembali mendekat. Omong-omong, adik kecil yang ia panggil 'Buntalan' sudah menyelesaikan tugasnya dan kini dipanggil Bibi Kim untuk makan.
"Istri baru Ayah baru saja melahirkan. Mungkin ia akan memesankan tiket pesawat agar aku bisa menjenguknya." Taehyung meringis.
"Lalu, rencanamu?"
Jimin menoleh pada Taehyung, tetapi tersadar pemilik pipi bakpau tidak berada di tempatnya. "Taehyun-ie eodiseo?" Jimin mengganti topik.
"Dipanggil Ibu untuk makan. Ya! Kau belum menjawab pertanyaanku," keluh Taehyung.
Jimin mengangguk, ia lantas menjawab, "Tidak tahu. Menurutmu bagaimana?"
Taehyung melongo. Jari telunjuk mengarah ke wajahnya sendiri. "Menurutku?"
Jimin bergumam, anggap saja jawaban 'iya'.
"Datang saja. Siapa tahu adik bayimu akan selucu Buntalan. Kau jadi punya dua buah." Taehyung terkekeh dengan jawabannya sendiri.
"Berikan aku satu alasan lagi, kalau mendukung aku berangkat." Jimin menantang.
"Heol. Kau masih menyimpan semacam perasaan kecewa kepada ayahmu, bukan? Selesaikan, Jim. Hidupmu tidak akan bisa tenang. Aku tahu itu susah, tapi hatimu baik, aku percaya kau pasti bisa menerimanya. Sebrengsek apapun ayahmu, di hati kecilnya pasti menyayangimu, Teman. Manifestasi rasa sayang ayah dan ibu itu berbeda. Kau tahu itu."
Taehyung tersenyum. Jimin bisa melihat ada sinar ketulusan dari iris Taehyung.
"Gomawo."
"Sama-sama, Pendek."
"Ya! Sialan kau, Taehyung. Aku lebih tua beberapa bulan darimu!"
Jimin tidak pernah menyesal mengikuti saran Taehyung. Meski pada awalnya canggung karena terakhir kali bertemu saat prosesi pemakaman ibunya, Jimin bisa membawa diri.
Sebenarnya sudah sejak lama Jimin diminta untuk tinggal bersama ayahnya, tapi ia menolak. Ayahnya mengalah, memilih mengirimi uang bulanan dan bertanya kabar lewat telepon atau pesan.
Kala itu, saat Mama--panggilan Jimin untuk ibu tirinya--menidurkan Jirae, adik kecilnya, Jimin dipanggil ke taman belakang oleh ayahnya. Pemuda bermarga Park itu tidak menampik warna-warni bunga di taman berhasil memberikan efek tenang seperti kopi americano kesukaannya. Ayahnya masih diam, mungkin menunggu waktu yang tepat dan Jimin tidak akan memulainya duluan.
"Jim." Atensi Jimin teralihkan. Netranya menatap pria paruh baya di sampingnya. Park Hyun Bin--nama asli ayahnya--memandang ke depan.
"Maafkan aku." Jimin terkejut.
"Kenapa?" tanya Jimin pada akhirnya.
"Maafkan aku yang meninggalkanmu dan ibumu bertahun-tahun yang lalu." Hyun Bin menunduk.
Jimin mengulum bibir. Rasa kecewa tentu saja belum hilang dari hatinya. Ia masih kecil saat itu, masih belum paham apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Yang ia tahu hanya sebatas mereka bertengkar dan Ayah lebih memilih untuk keluar dari rumah. Meninggalkan mereka.
"Hm." Jimin bergumam pelan. Masih menunggu lanjutan dari perkataan Hyun Bin.
"Kau tidak marah, Jim?" tanya Hyun Bin, memberanikan diri menatap iris gelap anak sulungnya.
Jimin mengalihkan pandangan. Jemari kecilnya saling menggenggam, udara cukup terasa menusuk. Ia lantas menggeleng pelan.
"Dulu saat aku masih kecil, mungkin. Tapi, sekarang tidak. Aku tidak marah. Rasa kecewa lebih dominan. Tapi tidak apa, mungkin memang begini takdirnya. Aku hanya sedang ... berusaha menerima."
Karena membencimu tidak pernah menjadi tujuanku.
"Terima kasih, Jim."
"Untuk?"
"Masih mau menerimaku sebagai ayahmu."
Jimin mengangguk. Ia tersenyum. Benar kata Taehyung. Semuanya harus diselesaikan.
Musim dingin ke sekian. Jujur saja, dalam waktu 365 hari terakhir banyak kejutan terjadi baik bagi Jimin ataupun Taehyung.
Umur mereka yang kini menginjak dua puluh lima tahun benar-benar menunjukkan pada kedua pria tadi semesta itu sempit sekaligus luas secara bersamaan.
Kejutan ini dimulai dari tanpa sengaja Taehyung menemukan kucing jenis persia dengan kalung hitam berkeliaran di taman. Permainan takdir dimulai. Pemilik kucing tersebut adalah perempuan berlesung pipi yang berhasil membuat wajah Taehyung memerah kala bercerita pada Jimin.
Pembawaan Taehyung dan Chaera--akhirnya Taehyung tahu namanya--yang sama-sama easy going tidak membuat keduanya canggung. Umur yang tidak berbeda jauh semakin membuat mereka berada di frekuensi yang sama. Dan hingga di perkenalan bulan ke-sepuluh, Taehyung nekat melamarnya.
'TEMAN, DIA MENERIMAKU!' Itu kalimat pembuka Taehyung saat bercerita pada Jimin di malam pergantian tahun. Tidak bisa dideskripsikan lagi sebahagia apa Taehyung saat itu.
Jika Taehyung berhasil menyembuhkan virus merah jambunya, Jimin berhasil keluar dari zona nyaman. Meski ia lulusan universitas kenamaan di jurusan kedokteran karena titah dari sang ayah, Jimin lebih memilih untuk berkarir di dunia tarik suara. Tentu berbeda dengan Taehyung, pemuda Daegu itu lebih suka berbisnis dan belum lama ini mencoba investasi saham. Wajah konyolnya memang menipu.
Nama Park Jimin mulai dikenal di Korea Selatan. Penyanyi solo yang sering tampil dengan rambut blonde dan suara bariton-tenornya berhasil menarik minat para remaja. Lagu-lagunya yang tenang dan terkesan santai juga enak didengar saat sebelum tidur atau teman belajar.
Hubungannya dengan Paman Park mulai menghangat. Keluarga baru Jimin sering berkunjung, apa yang seharusnya sudah terjadi semenjak ibu Jimin meninggalkan Jimin sendirian. Jirae yang kini berumur satu tahun ternyata tidak kalah lucunya dengan Taehyun waktu umur lima tahun. Akhirnya Jimin memiliki Buntalan Hidup sendiri.
Jimin mungkin mulai memahami, memang terkadang hidup tidak sesuai ekspektasi. Namun, Pemilik Semesta tahu apa yang terbaik untuknya. Taehyung berhasil menunjukkan padanya, dunia itu memang unik. Hal-hal yang tidak terduga suka sekali bermanifestasi menjadi kenangan terindah.
"Kuakui pemikiranmu dahulu sempit sekali, Jim. Aku baru saja membaca, petualangan hidup tidak harus mengembara ke hutan atau ke laut dalam. Saat kau berhasil menemukan esensi kehidupan, kau menyelesaikan petualangan terberat, Teman."
Itu kalimat terakhir Taehyung sebelum akhirnya pesta bujangnya selesai dan Jimin kembali ke rumah. Lusa pernikahan Taehyung diadakan, Jimin menjadi guest star, tentu saja.
Bulan Desember, musim dingin ke sekian. Mug putih berisi kopi americano menemani Jimin. Butiran salju turun terlihat dari kaca.
"Aku sudah menemukannya, Tae. Terima kasih."
>><<
"𝐟𝐫𝐢𝐞𝐧𝐝" 𝐛𝐲 𝐚𝐫𝐬𝐭𝐡𝐞𝐭𝐢𝐜𝐜, 𝟐 𝟎 𝟐 𝟎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top