XV - Harus Apa?

Kepala Freya mendadak pusing. Gadis itu kembali mengingat pertemuannya kemarin dengan orangtua dokter Rafkan. Sungguh tak Freya duga kedatangan keduanya untuk membahas perihal kelanjutan hubungan keduanya. Hubungan yang mana, Freya juga tak mengerti. Ia pikir dokter Rafkan tak serius menanggapi ucapan Mama. Ternyata pria itu justru sudah mengutarakan hal tersebut pada kedua orangtuanya.

Bukan Freya ingin kembali menolak. Tapi bahkan mereka tak pernah menghabiskan waktu berdua untuk saling bicara. Tentunya di luar konteks kesehatan sang Mama sebagai dokter dan keluarga pasien. Jikapun pria itu menanggapi serius, harusnya dokter Rafkan datang padanya. Mengajak Freya saling mengenal untuk mereka tahu apakah mereka bisa melanjutkan atau berhenti.

Beruntung kedua orangtua dokter Rafkan tak mendesak Freya. Mereka hanya menyampaikan bahwa putra mereka memiliki niatan untuk menjalin hubungan lebih serius dengan Freya. Serius yang seperti Freya inginkan, sebuah pernikahan. Hanya saja mereka juga tak ingin memaksa Freya. Terlebih Mama yang juga dapat melihat raut frustrasi di wajah Freya. Membuat Mama tak banyak bicara dan menyerahkan semua keputusan kepada Freya.

“Frey, kamu kenapa?” tegur Kirena yang bisa melihat ada yang tak beres dengan gadis itu sejak pagi.

“Aku izin ke ruang kesehatan ya. Kepalaku pusing.”

Freya langsung berdiri dari kursi kerjanya setelah mengatakan hal tersebut pada Kirena. Tanpa melihat jawaban gadis itu, Freya melangkah menuju ruang kesehatan di lantai bawah. Ia benar-benar butuh merilekskan isi kepalanya.

Begitu tiba di ruang kesehatan, Freya meminta diberikan obat sakit kepala kepada petugas yang berjaga. Setelahnya gadis itu membaringkan tubuh. Setelah menyetel alarm di ponselnya tepat saat jam kerja berakhir. Memang kurang dari dua jam lagi jam kantor akan berakhir. Karena itu gadis itu menyalakan alarm. Tepat setelahnya Freya mulai menutup mata.

Bunyi alarm yang dipasang Freya membangunkan gadis itu. Sakit kepalanya sudah gak mereda. Bergegas Freya berpamitan pada petugas yang masih berjaga untuk kembali ke ruangan kerjanya. Saat tiba, rekan-rekan kerjanya yang lain sudah bersiap untuk pulang. Freya pun segera merapikan meja kerjanya untuk ikut pulang.

Baru saja gadis itu akan berjalan menuju parkiran, dering ponsel menghentikan langkahnya. Nama dokter Rafkan terpampang di layarnya. Meski enggan tapi Freya menjawab juga panggilan tersebut.

“Halo?”

Halo, Freya. Ini saya, dokter Rafkan.” Freya hanya menjawab dengan gumaman. “Kamu punya waktu luang sore ini?” tanya Rafkan kemudian.

“Punya. Mau ketemu di mana?” tanya Freya tanpa basa-basi.

Rafkan menyebutkan nama sebuah tempat makan sebagai tempat mereka bertemu. Setelah mengucap salam, Freya menutup sambungan. Gadis itu kemudian menghubungi Mamanya. Mengatakan akan pulang sedikit terlambat karena sedikit urusan. Kemudian barulah gadis itu meluncur menuju tempat pertemuannya dengan dokter Rafkan.

Entah mengapa sore ini jalanan begitu macet. Jika biasanya Freya tak terkendala apapun, namun kali ini begitu berbeda. Freya baru tiba saat waktu hampir menunjukkan pukul tujuh malam. Untunglah ia sempat berhenti untuk menunaikan kewajibannya lebih dulu. Saat Freya tiba di sana, dokter Rafkan sudah duduk dengan segelas kopi dan sepotong kue.

“Maaf terlambat, dok,” ujar Freya begitu tiba di hadapan dokter Rafkan.

“Tidak apa. Saya tahu pasti macet sekali di jalan. Silakan duduk, Fey.”

Freya mengerjapkan mata, sedikit terkejut dengan panggilan dari dokter Rafkan untuknya. Panggilan Fey hanya khusus digunakan oleh keluarganya saja. Deniz mungkin pengecualian karena pria itu suka bertindak seenaknya.

Mengerti kalau Freya merasa sedikit terkejut dengan sapaannya, dokter Rafkan meminta maaf atas kelancangannya. Namun Freya membalas bahwa ia tak mempermasalahkan panggilan tersebut.

“Mau pesan apa?” tanya dokter Rafkan lagi.

Freya membolak-balik buku menu kemudian menyebutkan pesanannya pada pramusaji yang tadi dipanggil dokter Rafkan. Setelah mencatat pesanan keduanya, sang pramusaji undur diri dari hadapan Freya dan dokter Rafkan.

“Mama dan Papa saya kemarin sudah cerita. Maaf kalau siang itu saya menolak ajakan kamu. Tapi saat itu saya sedang banyak pasien. Dan ternyata, saat kedua orangtua saya berkunjung, Mama kamu juga datang menemui saya.” Rafkan langsung menjelaskan sebelum Freya bahkan bertanya.

Freya terkejut, tentu saja. Tapi ia juga tak menyangka dokter Rafkan akan menjelaskan selugas itu. Bahkan Freya sendiri belum menyinggung topik tersebut.

“Lalu?” tanya Freya. Jujur ia sendiri tak tahu harus bagaimana sekarang.

“Saya tahu ini terlalu cepat. Tapi saat Mama kamu bercerita, saya merasa apa yang disampaikan beliau tak ada yang salah. Dan saya... bersedia kalau kamu juga bersedia.”

Kembali Freya dibuat tak bisa berkata-kata. Ia memang sudah bertekad tak akan menjadi terlalu pemilih. Tapi bukankah akan lebih baik jika mereka menghabiskan sedikit waktu lebih sebelum benar-benar akan memutuskan melangkah ke jenjang pernikahan.

“Saya juga tahu kamu agak keberatan dengan ini,” lanjut Rafkan yang membuat Freya meringis. “Begini saja, kita coba saling mengenal dulu. Kalau ternyata kamu tidak merasa nyaman, kita bisa berhenti, bagaimana?”

Freya menimbang baik dan buruknya tawaran dokter Rafkan. Tapi ia sama sekali tak melihat di mana buruknya. Apa yang ditawarkan dokter Rafkan cukup sesuai dengan keinginan Freya. Karenanya gadis itu memberi jawaban setuju berupa anggukan.

“Sebagai langkah awal, kamu boleh bertanya apapun tentang saya. Akan saya jawab sejujur mungkin.”

“Memang harus jujur, sekali saja dokter Rafkan berbohong, maka semua selesai.”

Ancaman Freya membuat pria itu tersenyum. Namun akhirnya ia mengangguk setuju dengan syarat yang Freya ajukan.

“Ceritakan tentang diri dokter Rafkan, sejelas yang dokter bisa.”

“Baik. Tapi sebelumnya, bisa tanggalkan panggilan dokter di depan nama saya?”

“Oke.”

Menunggu pesanan mereka tiba, Rafkan memaparkan tentang dirinya sesuai keinginan Freya. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Rafkan Firaz Gunawan. Berusia 34 tahun. Berprofesi sebagai dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Rafkan juga mengisahkan tentang kehidupan rumah tangganya yang kandas karena tak lagi ada kecocokan antara dirinya dan mantan istrinya. Keduanya sama-sama sibuk. Hingga jarang berkomunikasi. Sang mantan istri kini sudah tak tinggal lagi di Indonesia. Rafkan juga bercerita perihal keluargnya, orangtua dan kedua adiknya yang masing-masing sudah berkeluarga.

“Bagaimana dengan anak?” tanya Freya karena sejak tadi Rafkan tak mengatakan apapun perihal anak.

“Kami tidak punya anak.”

Freya mengernyit bingung. “Jangan bilang kamu dan mantan istri tidak berhubungan...”

Rafkan tertawa akan spekulasi Freya. “Tidak seperti itu, Fey. Kami menikah saat usia kami sudah cukup matang. Saat sama-sama berusia 28 tahun. Tapi kesibukan saya dan istri, membuat kualitas hubungan kami tidak berjalan baik. Hubungan seksual juga jadi sekedarnya. Bahkan bisa dikatakan kami jarang melakukannya karena pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah fisik dan pikiran. Jadi lebih memilih beristirahat. Dan terus bekelanjutan sampai usia pernikahan kami memasuki tahun ketiga. Sampai kami sadar hubungan kami tidak sehat. Terus berdebat, tak ada lagi komunikasi yang baik. Akhirnya kami memutuskan berpisah.”

“Aneh,” gumam Freya.

“Iya, saya tahu itu sangat aneh. Tapi memang begitu adanya.”

Diskusi keduanya diinterupsi dengan datangnya makanan yang mereka pesan. Baik Freya dan Rafkan memilih untuk mencicipi dulu hidangan. Karena ternyata perut keduanya juga sudah memberi alarm untuk minta diisi.

“Kamu, kenapa sampai sekarang belum menemukan pendamping. Padahal dari segi fisik dan karakter saya lihat kamu menarik.” Kali ini Rafkan yang bertanya.

“Karena nasib mungkin.” Freya menjawab sembari mengangkat bahu.

Rafkan terperangah akan jawaban Freya. Rasanya sangat tak mungkin gadis seperti Freya sampai sekarang tak bisa menemukan pria yang tepat untuknya. Seperti yang ia katakan, Freya memang bukan gadis dengan kecantikan di atas rata-rata. Ia hanya gadis dengan penampilan biasa saja. Tapi siapapun pasti tak akan menampik karena justru dengan Freya yang biasa-biasa saja membuatnya justru tampak menarik. Gadis itu tak pernah berusaha untuk terlihat menonjol. Paling tidak itulah yang Rafkan lihat dari seorang Freya.

Jadi saat mendapati fakta bahwa sang Mama pusing karena Freya yang tak kunjung menunjukkan tanda akan segera menikah, membuat Rafkan awalnya tak percaya. Hingga tawaran itu datang. Dan Rafkan yang juga berkeinginan membangun kembali rumah tangga, tak menyiakan kesempatan itu. Tapi seperti janjinya pada Freya tadi, ia tak akan memaksakan hubungan mereka. Cukuplah keduanya menjalani untuk melihat sejauh mana hal itu akan berhasil.

...

Freya sudah membuka jalannya untuk Rafkan. Tapi memang pekerjaan pria itu yang selalu sibuk membuat mereka tak bisa menghabiskan waktu sesering mungkin. Meski begitu Freya teguh untuk memegang ucapannya untuk tetap mencoba. Belum saatnya ia memutuskan untuk berhenti atau menerima Rafkan.

Merasa memiliki satu kandidat tetap membuat Freya lupa akan sosok Deniz sejenak. Sampai pria itu kembali hadir di kantor Freya dengan tampilan kasualnya. Pria yang sore itu menunggu Freya di ruang tunggu lobi kantor dengan kameranya. Membuat Freya cukup terkejut dengan kehadiran Deniz. Tapi gadis itu tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Paling tidak dengan hadirnya Deniz di sini, beban hati Freya sedikit terangkat.

“Ngapain di sini?”

Deniz mengangkat kamera di tangannya. “Lagi nyari objek foto.”

“Hah? Di kantor begini?”

Tanpa aba-aba pria itu mengarahkan bidikan pada wajah Freya. kilatan flash mengejutkan Freya. Namun gadis itu tak bisa menghindar.

Nice shoot!” gumam Deniz saat melihat hasil fotonya.

“Mana?” tanya Freya penasaran seperti apa wajahnya yang tiba-tiba di foto.

Gadis itu berusaha menggapai kamera yang sengaja dijauhkan Deniz darinya. Hingga Freya menggerung kesal, barulah Deniz mengizinkan Freya melihat hasil jepretannya.

“Apaan, jelek begitu,” keluh Freya saat melihat wajah terperangahnya kala di foto. Deniz tertawa mendengar gerutuan gadis itu.

“Bagus kok.”

“Iya, bagus buat nakutin tikus kan?”

“Enggak lah. Bagus itu. Ekspresinya alami.”

Freya mendesah, percuma memang beradu argumen dengan Deniz. Gadis itu kemudian sadar dan kembali bertanya untuk apa Deniz menghampiri kantornya.

“Mau ajak kamu makan di luar. Mau?”

Ada yang berbeda dengan Deniz. Ia tak lagi membahasakan Freya dengan saapan gaul. Hal itu tentu saja membuat Freya merasa senang. Sejujurnya ia tak begitu nyaman saat Deniz memanggilnya dengan sebutan ‘Lo’. Freya merasa begitu aneh karena dirinya terbiasa bertegur sapa dengan orang lain dengan bahasa yang menurutnya sopan.

“Makan di rumah aja, mau ya? Aku khawatir kalau sering ninggalin Mama makan malam sendiri.”

Sungguh kemajuan yang begitu besar. Freya benar-benar membuktikan ucapannya untuk tak menutup diri pada Deniz. Terbukti dengan gadis itu yang tak lagi menolak kehadiran Deniz. Bahkan tawaran makan malam di rumah kali ini merupakan kejutan besar bagi Deniz. Jelas saja pria itu tak akan membuang kesempatan.

Keduanya berkendara dengan mobil masing-masing ke rumah Freya. Tadinya Deniz meminta Freya untuk meninggalkann saja kendaraannya di kantor. Tapi Freya menolak. Siapa yang tahu ia butuh mobil di tengah malam karena keadaan mendesak. Dan Freya tak ingin mengambil resiko besar seperti itu. Hingga setelah keduanya berjibaku dengan padatnya jalanan di sore hari, akhirnya mereka tiba di rumah.

“Loh, ada Deniz?” sapa Mama Freya saat melihat keduanya tiba bersama.

“Iya, Tante. Numpang makan.”

Freya dan Mamanya hanya menggelengkan kepala. Setelahnya Freya berpamitan lebih dulu untuk ke kamar sekedar berganti pakaian dan melaksanakan kewajibannya. Kemudian Freya kembali ke dapur di mana sudah ada Mama dan Deniz tengah menyiapkan bahan untuk makan malam.

“Mama yang mau masak?” tanya Freya melihat Mama yang sudah mulai memotong ikan dan sayuran.

“Iyalah. Sekali-kali gantian. Kamu beresin meja makan sana. Biar Deniz bantu Mama. Siapa tahu nanti Deniz nikah bisa bantu-bantu istrinya di dapur ya.”

“Doain supaya saya cepat ketemu jodoh, Tante,” balas Deniz tapi matanya melirik ke arah Freya.

Setelah makan malam usai, Mama Freya memutuskan untuk kembali ke kamar. Alasannya ingin beristirahat lebih awal. Meski sempat heran, tapi Freya tak menghalangi keinginan Mamanya. Hingga tinggalah dirinya dan Deniz yang duduk di sofa ruang televisi. Keduanya menyaksikan tayangan yang biasa disaksikan Mama Freya. Meski saat ini fokus pikiran keduanya bukan pada layar televisi.

“Fey...” panggilan Deniz membuat Freya mengarahkan pandangan. “Gimana hubungan kamu dan dokter Rafkan?”

Freya mengerjap perlahan. Tak menduga Deniz akan menanyakan hal yang mengejutkan seperti itu. Lagipula darimana Deniz tahu perihal dokter Rafkan. Bukankah ia dan Mama hanya menyebutkan perihal dokter Rafkan hanya sepintas lalu.

“Mama kamu yang cerita,” jelas Deniz saat melihat wajah ingin tahu Freya.

“Mama gampang banget ya cerita apapun ke kamu.”

“Mungkin karena Tante butuh teman cerita. Apalagi sejak dinyatakan kena aritmia kan Tante jadi jarang bisa keluar rumah. Lebih banyak istirahat dan nggak melakukan aktivitas berat.”

“Dan kamu justru sering ketemu Mama di belakang aku?” tanya Freya tak habis pikir.

“Seperti yang kamu bilang sebelumnya, kamu cari calon menantu idaman Mamamu. Jadi paling tepat ya bergerak lewat Mamamu.”

Freya tertawa mendengar penuturan Deniz. Memang gadis itu pernah mengatakan bahwa ia memang mencari calon suami yang bisa menjadi menantu idaman Mamanya. Tapi Freya benar-benar tak menyangka bahwa Deniz akan menanggapi serius dan melakukan pendekatan justru pada Mamanya.

“Fey... aku masih punya kesempatan kan?”

“Melihat kamu bisa begitu gampangnya dekat sama Mama, boleh dibilang kalau kamu kandidat terkuat saat ini.”

Senyum lebar Deniz merekah. “Itu... terdengar menggembirakan!”

Kembali keduanya tertawa lagi. Sebagai langkah awal, Deniz pun mulai bercerita tentang dirinya pada Freya. Pria itu adalah putra bungsu dari pasangan suami istri yang kini tak menetap di Indonesia. Ibu Deniz berdarah Turki. Kedua orangtuanya saat ini menetap di Inggris. Tempat pria itu sempat menghabiskan banyak waktu di sana. Kakak pertama dan kedua Deniz tinggal di kota yang sama dengan orangtua mereka. Hanya kakak ketiganya yang tinggal di sini bersama Deniz. Namun begitu ia tak tinggal bersama sang kakak. Lebih memilih tinggal seorang diri di apartemen. Lagipula Deniz juga jarang menempati apartemennya karena pekerjaannya sebagai fotografer lepas membuatnya harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

“Orangtuaku membuka usaha restoran di Inggris. Perpaduan makanan Indonesia dan Turki. Kedua Kakakku sering membantu di sana, tapi hanya sekedarnya. Bagaimanapun mereka punya keluarga masing-masing yang harus diurus.”

“Kenapa memilih menetap di Inggris?” tanya Freya ingin tahu.

“Mama dan Papa ketemu di Inggris. Saat Papa dapat beasiswa ke sana. Mereka saling tertarik, kenal dekat dan memutuskan menikah di sana.”

“Jadi, berapa lama kamu merasakan tinggal di negeri Ratu Elisabeth itu?”

“Sampai umur enam tahun. Setelah itu ya kita sekeluarga pindah balik ke Indonesia. Setelah Papa pensiun, mereka malah mutusin buat pindah ke sana. Sudah hampir sepuluh tahun mereka tinggal di sana.”

“Residen tetap?”

“Bukan. Papa cinta tanah air. Biar dia tinggal di sana, tapi dia tetap dengan nasionalismenya.”

“Mamamu dan kedua Kakakmu?”

“Keluarga Mama imigran Turki yang hijrah ke sana...”

“Ah, jadi karena Mamamu?” tebak Freya yang diangguki Deniz. “Lalu, kedua Kakakmu?”

Deniz gemas pada Freya. Ia mencubit kecil pipi Freya yang terlihat lebih gembil hingga gadis itu memekik pelan.

“Makanya dengar dulu. Kamu kalau penasaran itu, enggak bisa direm.”

Freya berdecak kesal sembari memegangi pipinya yang tadi dicubit Deniz. “Lanjut!”

“Kakak pertamaku menikah dengan orang Inggris. Kakak kedua kebetulan suaminya bekerja di kedutaan Inggris. Jadi ya, mereka menetap di sana.”

“Kenapa nggak cari perempuan di sana? Apalagi dengan track record kamu yang...” Freya menaikkan kedua tangannya membentuk tanda kutip.

Deniz tersenyum masam. Secara tak langsung Freya mengingatkan dirinya akan masa lalu yang pernah dijalani Deniz. Namun begitu ia tak akan menyalahkan gadis itu. Karena bagaimanapun momen itu adalah bagian dari dirinya. Masa yang membuat Deniz belajar untuk menjadi lebih dewasa dan tak terjerat pada jurang keburukan yang sama.

“Aku suka gadis lokal, Fey.”

Freya tertawa lagi. “Banyak kok gadis lokal. Kamu pasti sudah bertemu dengan ratusan. Bahkan mungkin ribuan.”

“Tapi nggak ada yang seperti kamu.”

Tubuh Freya sempat menegang. Tapi gadis itu mencoba meredakan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak tak karuan karena ucapan Deniz.

“Memang kenapa dengan aku?”

Deniz merapikan sejuntai rambut Freya yang keluar dari kuncirannya. Menyelipkannya ke belakang telinga. Meski jantung Freya berdegup tapi gadis itu mampu menjaga ekspresi wajahnya tetap agar tetap tenang.

“Karena aku belum pernah ketemu perempuan baik seperti kamu. Perempuan yang bersikap natural apa adanya. Perempuan yang tak perlu menonjolkan apapun. Hanya kesederhanaan dan dirinya sendiri. Perempuan yang tak pernah berusaha menarik perhatian tapi mampu membuat orang lain tertarik. Perempuan baik dan sederhana apa adanya yang begitu menyayangi Mamanya hingga mampu mengorbankan kebahagiaannya untuk Ibunya. Anak yang menjadikan orangtua sebagai pusat dunianya adalah orang yang tepat untuk dijadikan seorang pendamping. Lebih dari itu, kamu boleh bilang ini picisan atau klise, tapi hatiku memilih kamu, Fey.”

Baik Freya dan Deniz hanya bungkam dengan tatapan yang saling terikat satu sama lain. Tak ada yang ingin menghentikan suasana yang mendadak hening ini. Namun yang keduanya tak sadari, ada seseorang yang sejak tadi menguping pembicaraan Freya dan Deniz. Siapa lagi jika bukan Mama Freya yang kini mengelus dadanya. Lega saat melihat perlahan putrinya memiliki beberapa pria di sekitarnya yang siap diberikan tanggung jawab untuk membahagiakan Freya. Hanya tinggal menunggu hati Freya akan diberikan pada siapa.

...

Note : hoyah! Akhirnya bisa memulai nulis lagi, heheh. Kalau udah libur nulis itu rasanya buat mulai nulis lagi itu...beraaat! makanya maaf ya kalau update jadi terbengkalai begini. Karena keinginan nulis itu gak bisa dipaksa. Semua murni kalau aku mau. Kalau aku enggan buka Leny dan nyentuh keyboard, mau sebanyak apa ide ngumpul di kepala, kalo jariku malas bergerak ya percuma sih ya. jadi harap maklum ya.

Wokeh, sampai sini, sudah ketemu hilal kira-kira siapa yang bakal digaris akhir sama Freya? atau enggak ada sama sekali nih, hehe.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 24/19/01

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top