XIV - Kejutan Tak Terduga

Kesehatan Mama tak lagi menjadi momok paling menakutkan dalam hidup Freya. Namun kemampuan Mama dalam mengobral anaknya lah yang kini Freya takutkan. Setelah kemarin-kemarin dokter Rafkan yang menjadi korban ketajaman lidah Mama. Kini yang akan jadi lelaki korban obralan Mama adalah si anak hilang yang sekian lama tak terlihat.

Deniz, siapa lagi. Sore itu tiba-tiba saja pria itu muncul di kediaman Freya. Mama tentu saja langsung menyambut gembira. Bahkan saat Freya tiba di rumah, bisa ia lihat keduanya sedang asyik bereksperimen di dapur. Sesuatu yang mungkin tak pernah Deniz lakukan jika melihat betapa canggungnya gestur pria itu di dapur. Tapi tak ayal senyum senang terbit di sudut bibir Freya.

“Hei, lama nggak kelihatan?” sapa Freya mengagetkan keduanya.

Wajah Deniz yang kotor karena noda tepung menjadi pemandangan pertama yang Freya lihat dari pria itu. Jangan lupakan apron bergambar buah stroberi yang membalut tubuh semampai Deniz. Membuat kesan pecinta wanita menghilang jauh dari dirinya.

“Baru pulang?” tanya Deniz, pria itu menyapa tanpa melihat ke arah Freya. Karena masih harus memerhatikan kue-kue di dalam panggangan.

“Fey, gantiin Mama dulu. Tadi ada teleponn dari Bu RT tapi nggak sempat Mama angkat karena lagi sibuk bikin adonan.” Mama melepas apron di tubuhnya. Menyerahkan pada Freya. “Awas jangan sampai gosong ya kue, Mama.”

Mama memperingatkan keduanya dengan wajah galak. Kemudian berlalu menuju meja telepon untuk menyelesaikan urusannya.
Sesuai dengan perintah Mama, Freya mengambil alih pekerjaan beliau. Ikut mengawasi kue-kue yang sedang dipanggang tersebut. Sembari gadis itu merapika peralatan yang masih tampak berantakan.

“Apa kabar, Deniz?” tanya Freya disela pekerjannya merapikan peralatan.

“’Baik, kenapa? Kangen gue?” goda Deniz yang kini ikut membantu Freya. Pria itu juga sekalian membersihkan wajahnya dari noda tepung.

Freya menghentikan gerakannnya. Memutar tubuh hingga berhadapan dengan Deniz. Gadis itu memindai tubuh Deniz dari atas hingga ke bawah. Tak ada yang berbeda dari Deniz. Hanya janggut tipis yang menghiasi dagunya. Mungkin karena ia belum sempat bercukur.

“Sedikit,” jawab Freya memancing seulas senyum di bibir Deniz.

Freya kemudian beranjak menuju mesin pemanggang untuk memastikan kue sudah matang atau belum. Pria itu kemballi mengikuti langkahnya.

“Ke mana saja selama ini?” Freya kembali bersuara.

“Ada.”

Dahi Freya mengernyit. Bingung. “Ada? Maksudnya?”

“Sejak pembicaraan terakhir kita...”

“Deniz, aku minta maaf.” Freya menyela cepat.

“Untuk apa?” tanya Deniz yang tak mengerti arti ucapan maaf Freya padanya.

“Maaf kalau sikapku terakhir kali kita ketemu itu menyinggung perasaan kamu. Enggak seharusnya aku berpikiran sempit begitu. Aku sudah bicara sama Mama dan beliau cukup membuka pikiranku untuk tak menghakimi siapapun. Meski terlihat di luar aku menerima kamu, katakan sebagai teman. Tapi dalam hati, jujur aku merasa harus membatasi diri sama kamu. Karena masa lalumu,” ucapan Freya semakin lirih di akhir.

Deniz terperangah. Ia tak menyangka akan mendapatkan permintaan maaf semacam ini dari Freya. selama beberapa saat mereka tak bertemu, Deniz kembali menelaah semua hal dalam hidupnya. Mencoba menerima keputusan Freya. Meski ada secuil rasa tak terima tertinggal di hatinya. Tapi pria itu mencoba memosisikan diri sebagai Freya. Dan jika Deniz adalah Freya, pria itu pun pasti akan memilih membatasi diri dengan pria yang tak memiliki komitmen masa depan.

Tapi kini kala Freya berbicara secara terbuka padanya membuat Deniz makin tak percaya. Pria itu yang selama kepergiannya terus berpikir dan berpikir sampai mendapatkan satu jawaban pasti. Tiba-tiba dihadiahi fakta bahwa Freya mungkin akan membuka peluang untuknya.

“Fey...” Freya menaikkan pandangannya pada Deniz. “Kalau gue bilang, gue mau coba serius sama lo, apa jawaban lo?”

Kini Freya yang terperangah. Tak menyangka Deniz akan langsung menembakkan kata-kata seserius itu. Meski sudah menyiapkan diri untuk segala kemungkinan. Tetap saja Freya terkejut akan keterus terangan pria ini.

“Ak...”

“Fey, kue Mama gimana?” kehadiran Mama menginterupsi jawaban yang akan Freya berikan.

Keduanya seketika tersadar bahwa ada kue-kue yang butuh perhatian mereka. Freya cepat-cepat mengalihkan fokus pada pemanggang. Dan beruntung kue-kue tersebut tak mengalami yang namanya kematangan maksimal alias gosong. Gadis itu melirik Deniz seraya membuka mulut mengatakan untung tanpa suara. Sedang Deniz hanya bisa menggelengkan kepala melihat ulah Freya.

Freya langsung mematikan mesin pemanggang dan mengeluarkan kue-kue tersebut. Dibantu Deniz, mereka meletakkan kue-kue pada piring saja yang sudah disiapkan. Mama Freya tampak puas dengan kue hasil buatannya dan Deniz.

“Kita bisa buka usaha bakery ini kayaknya,” celetuk Mama.

“Enggak ikutan deh, Tan. Yang ada dapur berantakan karena saya.” Deniz mengangkat tangan pertanda menyerah.

“Fey, kamu yang masak makan malam atau kita pesan saja? Deniz makan malam di sini kan?” Mama Freya kembali bertanya pada pria itu.

Deniz melirik Freya sejenak. Saat tak mendapatkan ekspresi penolakan di wajah Freya, pria itu mengangguk bersemangat. Mungkin benar adanya Freya berusaha membuka dirinya pada Deniz. Atau mungkin siapa saja yang berpeluang menjadi calon menantu Mamanya.

“Fey, masak saja Ma. Dokter Rafkan kan sudah kasih menu sehat untuk Mama.” Freya menjawab santai.

“Oh iya, Fey, dokter Rafkan nggak menghubungi kamu?” Mama menggoda Freya hingga gadis itu memutar mata jengkel.

“Jangan mulai deh, Ma.”

Freya berusaha tak mengindahkan ledekan Mamanya dan memilih sibuk melihat-lihat isi kulkas untuk menu makan malam. Mama hanya tertawa karena jawaban skeptis Freya. Sejak keberanian Mama yang menawarkan Freya untuk dicarikan jodoh yang dibalas dengan sikap berani dokter Rafkan juga, Freya memilih tak ambil pusing.

Berbeda dengan Deniz yang kini otaknya berusaha mencerna isi pembicaraan ibu dan anak tersebut. Kala menyebut nama dokter Rafkan, Mama Freya tampak begitu girang. Mungkinkah dokter Rafkan ini sosok yang akan menjadi kandidat suami untuk Freya? Jika begitu adanya, artinya Deniz memiliki saingan yang cukup berat. Mengingat kelihatannya Mama Freya dan dokter Rafkan ini cukup dekat.

Saat tengah berpikir-pikir begitu, Deniz dikejutkan dengan suara Mama Freya yang memintanya untuk duduk menemani di depan televisi. Sembari mereka menikmati camilan buatan sendiri. Membiarkan Freya yang berkutat di dapur dengan masakannya.

“Enak ya kue buatan kita.” Mama Freya membuka obrolan.

“Iya, Tante. Cocok nih kalau Tante buka usaha bakery,” jawab Deniz jujur.

“Tapi sekarang Tante nggak boleh kerja berat lagi. Dokter Rafkan bilang Tante harus istirahat, olahraga dan mulai pola hidup sehat. Enggak boleh stres juga.”

Deniz bingung hendak menjawab apa. Pria itu memilih memasukkan sepotong kue ke dalam mulutnya. Sementara Mama Freya memerhatikan raut wajah Deniz yang terlihat bingung.

“Kamu penasaran siapa dokter Rafkan?” tanya Mama Freya tiba-tiba.

“Hah?” gumam Deniz.

“Dokter Rafkan itu dokter yang menangani masalah jantung, Tante.”

“Tante kena sakit jantung?” Deniz berseru tak percaya.

“Aritmia. Bahasa gampangnya gangguan irama atau detak jantung. Jantung Tante sudah nggak sesehat dulu. Makanya harus lebih dijaga.”

Deniz bungkam. Ia benar-benar tak tahu harus berkata apa. Selama dirinya tak muncul di hadapan Freya, ternyata banyak hal telah terjadi. Terlalu banyak yang pria ini lewatkan. Bagaimana mungkin ia bisa mencoba mendapatkan hati Freya jika banyak hal yang tak ia ketahui tentang gadis itu.

“Fey sudah cerita hubungan dia sama kamu. Eh, apa bisa disebut hubungan ya kalau kalian enggak ada apa-apa.”

Baik Deniz dan Mama Freya sama-sama tertawa. Memang benar apa yang dikatakan Mama Freya. Mereka tak memiliki hubungan apapun.

“Fey juga lagi bingung. Tante ngotot mau Freya cepat-cepat menikah. Mau cepat-cepat nimang cucu. Makanya itu anak mau saja coba dijodohkan dengan siapapun.”

Deniz mengangguk. Ia sudah pernah mendengar Freya bercerita hal ini. Tapi ia tak ingin menyela dan mendegarkan kembali dari bibir Mama Freya.

“Tante sebenarnya merasa bersalah juga desak Fey begini. Tapi Tante hanya ingin Fey segera memiliki pendamping biar dia ada yang jaga. Fey itu kalau boleh dibilang, kurang kasih sayang Papanya. Terlalu cepat Papanya pergi, jadi dia itu kayak nggak punya sosok penopang selain Tante. Mau Tante sekuat apa, yang namanya perempuan nggak akan pernah bisa jadi sekuat laki-laki kan dalam melindungi. Karena itu, Tante pengin sekali lihat Fey sudah ada seseorang di hidupnya. Jadi Tante bisa tenang kalau ada apa-apa sama Tante atau Fey sendiri.”

Deniz berusaha memahami kekhawatiran Mama Freya. Dan kini ia pun bisa menarik satu kesimpulan. Kedua wanita beda generasi ini hanya ingin saling melindungi dan membahagiakan. Freya dengan kekhawatirannya terhadap sang Mama. Pun begitu dengan Mama Freya terhadap putri semata wayangnya. Deniz juga akhirnya memahami logika Freya saat mengatakan gadis itu tak masalah menikah dengan siapapun tanpa cinta. Semua itu demi Mamanya. Semua agar Mamanya tak khawatir lagi terhadapnya.

...

Selama jam kantor Freya tak bisa fokus pada pekerjaanya. Akibatnya gadis itu ditegur Mira karena beberapa kelalaian Freya dalam menuliskan laporan. Semua itu tak lepas dari pembicaraan yang tak sengaja Freya dengarkan antara Mamanya dan Deniz. Gadis itu tak menyangka Mamanya akan seterbuka itu terhadap Deniz. Terlebih satu yang menjadi beban pikiran Freya adalah perihal dirinya yang belum menemukan jodoh.

Freya sadar dirinya masih terlalu pasif dan banyak berpikir. Padahal bukannya Freya sendiri yang mengatakan bahwa ia tak akan menolak tawaran apapun. Dan setelah mendapat lampu hijau dari Mama akan calon lelaki yang bisa menjadi pendampingnya, mengapa Freya tak mengalami pergerakan apapun. Gadis itu seolah jalan di tempat akan rencananya sendiri.

Karena itu, siang itu juga Freya memutuskan mulai saat ini ia sendiri yang akan bergerak aktif. Dimulai dari menghubungi kandidat yang kemarin tersedia. Gadis itu menghubungi Deniz, Bayu, Raikan, bahkan dokter Rafkan. Siapapun yang memiliki peluang baginya. Namun sayangnya tak ada satupun dari empat lelaki tersebut yang memiliki waktu luang siang ini. Akhirnya Freya hanya duduk dengan lesu menikmati makan siangnya di warung makan luar kantor.

Sepanjang siang hingga jam kerja berakhir Freya masih terus memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan. Jika menuruti keinginan pribadi, jelas ia ingin selektif dalam menemukan pendamping hidupnya. Tapi selektif pun belum tentu akan menjadi yang terbaik. Berapa banyak contoh rumah tangga di Indonesia ini yang berakhir meski pasangan mereka didapatkan dengan selektif. Pada akhirnya semua menjadi pilihan Tuhan yang akan memberikan sosok seperti apa untuk menjadi teman hidup Freya.

Satu pesan masuk dari Mama yang menanyakan keberadaan Freya membuat gadis itu menepikan mobilnya. Ia langsung menghubungi sang Mama yang mengangkat pada dering pertama.

Fey, sudah di mana?” tanya Mama lagi.

“Masih di jalan. Kenapa Ma?”

Bisa cepat pulang?

Nada suara Mama agak sedikit berbeda. Membuat Freya berasumsi ada sesuatu yang sedang terjadi di rumah. Gadis itu menjawab akan mengusahakan untuk segera tiba di rumah. Setelah mengucap salam, Freya menutup sambungan dan memacu kembali kendaraanya.

Ketika tiba di rumah, Freya melihat sebuah mobil mewah terparkir di depan rumahnya. Batin Freya bertanya-tanya siapa gerangan pemilik mobil ini. Keluarganya bukanlah dari keluarga kaya raya yang akan mampu memiliki kendaraan mewah sejenis mobil tersebut. Setelah memarkirkan mobilnya di carport, Freya bergegas masuk ke rumahnya.

Pemandangan pertama yang ditemukan Freya adalah dua orang yang mungkin adalah pasangan suami-istri tengah berbincang santai dengan Mama. Gadis itu langsung mengucap salam dan mencium tangan para orang tua tersebut. Mama langsung menyambut Freya dengan senyum semringahnya.

“Ini loh Freya, anakku,” ucap Mama kala menarik Freya untuk duduk bersama mereka.

Sepasang suami-istri itu pun menyambut Freya dengan senyuman tak kalah semringah. Membuat Freya merasa pasti ada sesuatu yang berkaitan dengannya. Namun tak ia ketahui.

“Ini Om Ramdan dan Tante Zulfa, teman almarhum Papa kamu.”

Freya hanya mengulas senyum pada keduanya. “Apa kabar Om, Tante?”

“Alhamdulilllah, baik.” pria bernama Om Ramdan yang menjawab.

“Kamu tahu Fey, ternyata Om Ramdan dan Tante Zulfa ini orangtuanya dokter Rafkan.”

Freya membelalak tak percaya. Takdir macam apa ini? Siang tadi saat Freya menjatuhkan harga dirinya sebagai perempuan dengan menghubungi dokter Rafkan, pria itu tak punya waktu untuk sekedar makan siang. Padahal Rafkan sendiri yang berujar tak menolak jika menjadi suami Freya. Dan kejutan lainnya Freya dapatkan sore ini dengan kehadiran kedua orangtua sang dokter.

“Gimana bisa?” tanya Freya tak percaya.

“Rafkan yang cerita, katanya ada pasiennya yang lucu. Mama si pasien katanya pusing carikan jodoh untuk putrinya. Jadi Rafkan menawarkan diri untuk jadi calon suami kamu, katanya. Tante sama Om yang dengar awalnya ya cuma mikir kalau Rafkan itu hanya bercanda. Sampai kita penasaran siapa orangnya. Eh nggak tahunya saat kita kebetulan ketemu tadi di rumah sakit, yang diceritain Rafkan itu putrinya almarhum Hilman.”

Freya meringis mendengar cerita ibu dokter Rafkan. Dalam hati merutuki betapa lancipnya lidah Rafkan karena begitu mudah bercerita hal itu pada kedua orangtuanya. Tapi dari cerita tersebut, Freya menemukan satu informasi yang tak ia ketahui.

“Mama ke rumah sakit?” tanya Freya menyelidik.

“Oh, iya tadi. Mama cuma mau konsultasi sama dokter Rafkan,” jawab Mamanya enteng. Padahal Freya sudah khawatir setengah mati.

“Mama nggak sembunyikan apapun kan? Atau Fey cari tahu sendiri dari dokter Rafkan?”

Ketiga orangtua di hadapan Freya hanya tersenyum. Mereka tampak senang ketika Freya membawa-bawa nama Rafkan dalam pembicaraannya. Meski hal itu hanya sebatas putri pasien dan dokternya. Tapi orangtua Rafkan dapat melihat bahwa Freya tampak tak menutup diri terhadap sang dokter.

“Kondisi Mama baik, Fey. Kalau nggak percaya tanya sama Om dan Tante. Tadi kita ketemu di ruangan dokter Rafkan.”

Freya menghela napas lega. Kemudian fokusnya kembali lagi akan kedatangan kedua tamu yang baru dikenalnya ini.

“Jadi, kunjungan Om dan Tante karena nggak sengaja ketemu Mama di rumah sakit?” tanya Freya akhirnya.

Kedua orangtua Rafkan kembali mengulas senyum. Senyuman yang membuat hati Freya merasa was-was. Ditambah lagi rona bahagia yang tercetak jelas di wajah sang Mama. Membuat Freya makin yakin jika kunjungan kedua tamu tersebut, tak hanya sebatas pertemuan teman lama.

...

Note : cukup ya, heheh. Sengaja di cut biar sok-sok misterius. Padahal mah kalian pasti bisa nebak ya. kalau nggak bisa nebak, duh masa sih? ini cerita amat sangat biasa sekali. Enggak ada konflik berarti kecuali konflik batin Freya yang bingung gimana caranya dapat calon suami. Duh.. duh.. kayaknya mungkin gak bakal sampai 20 chapter ini kalau secepat ini penyelesaiannya, hahaha. Gimana nasib para lelaki lainnya? stay terus di lapak neng Freya ya.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 20/19/01

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top