XIII - Peluang
Freya pikir sejak kedatangan Cindy, rencana makan malam yang dikatakan Yudhsitira akan batal. Tetapi ternyata pria itu tetap pada rencana awalnya. Freya tak tahu apa yang terjadi antara Yudhistira dan Cindy. Tapi ketika gadis itu dan Arjuna turun ke lantai bawah, wanita bernama Cindy itu sudah tak terlihat. Dalam hati Freya merasa lega. Karena jujur saja ia tak sanggup berhadapan dengan wanita itu. Terlebih cara Cindy menatap Freya membuat gadis itu benar-benar tak nyaman.
Dan kini ketiganya tengah berada di mobil. Dalam perjalanan menjemput Mama Freya. Sejak awal perjalanan, Arjuna begitu bersemangat. Terlebih saat dikatakan mereka akan menjemput ibunda Freya. Anak lelaki itu seolah merasa saat ini mereka akan makan malam keluarga. Dan perasaan excited bocah itu hanya membuat kedua orang dewasa yang bersamanya tersenyum. Anak-anak memang tak akan pernah bisa menutupi perasaannya. Dan itulah yang kini Freya lihat dalam diri Arjuna.
“Tante, mau jemput Mamanya ya?” tanya Arjuna kala mereka berhenti di depan sebuah rumah sederhana.
“Iya, Tante jemput Mama dulu. Nanti kita makan sama-sama.” Freya mengelus puncak kepala Arjuna.
Tapi belum lagi gadis itu keluar dari dalam mobil, kembali Yudhistira mengejutkannya. Pria itu bahkan menyarankan agar mereka masuk bersama. Sekalian berkenalan dengan keluarga Freya. Jelas saja Freya gelagapan seketika. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Selain kembali pasrah saat melihat Yudhistira dan Arjuna sudah mensejajari langkahnya.
Belum sempat Freya mengetuk pintu, seseorang sudah membukanya. Mama dan Freya sama-sama terkejut saat berhadapan. Tapi gadis itu lebih bisa menormalkan ekspresinya. Sedang Mamanya makin terperangah kala mendapati Freya tak datang sendiri.
“Ma, ini Pak Yudhistira. Atasan Fey di kantor. Dan ini... siapa?” Freya bertanya pada Arjuna yang langsung maju melangkah dan menarik punggung tangan Mama untuk dicium. Membuat si empunya sempat tersentak.
“Arjuna, Nek.” Arjuna menampilkan cengiran lebarnya.
Mau tak mau menularkan senyum di wajah Mama Freya. Tak menyangka anak kecil ini mampu bersikap berani terhadap orang yang baru dikenalnya.
“Halo, Arjuna,” sapa Mama pada bocah itu. Dan kini tatapannya beralih pada ayah si anak. “Halo, Pak...”
“Yudhistira saja, Bu,” potong Yudhistira yang diangguki Mama.
“Pak Yudshitira mau ajak kita makan malam.”
Mama menatap Freya penuh selidik. Namun gadis itu memberi isyarat dengan gelengan kecil. Membuat Mama akhirnya tak lagi bertanya lewat tatapannya.
“Fey punya janji mau makan bersama lagi dengan Arjuna. Dan Pak Yudhistira menwarkan untuk mengajak Mama sekalian karena Fey bilang harus jemput Mama di sini,” jelas Freya panjang lebar.
“Oh, kalau gitu kita pamitan sama Tante kamu dulu ya.”
Kedua ibu dan anak tersebut masuk ke dalam rumah untuk berpamitan dengan sang pemilik. Sedang Yudhistira dan putranya menunggu di kursi kayu yang tersedia di tera rumah. Tak lama Freya dan Mamanya kembali bersama seorang wanita seusia Mama Freya. Yudhistira menebak bahwa wanita paruh baya tersebut adalah sang pemilik rumah yang merupakan Tante Freya.
“Kita pamit ya, Tante. Makasih sudah mau bantu jaga Mama.”
Kalimat Freya sontak saja membuat Mama kesal. Memangnya beliau anak balita yang dititipkan?
“Kamu kayak sama siapa aja. Lain kali mainnya yang lamaan di sini ya.” Tante Freya memberi isyarat dengan mata ke arah Yudhistira.
Wajah Freya sudah memerah seperti tomat. Sedangkan Yudhistira hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Tantenya. Keempatnya lantas berpamitan pada pemilik rumah dan siap untuk menuju tempat makan.
“Mau makan apa?” tanya Yudhistira pada mereka ketika pria itu sudah melajukan mobilnya.
“Eh...” si kecil tampak berpikir.
“Makanan jepang mau? Juna suka sushi nggak?” Freya bertanya pada Arjuna yang duduk di kursi belakang bersama Mamanya.
Bukan tanpa alasan ia memilih restoran jepang. Semua karena Freya masih harus menjaga pola makan sang Mama. Sejujurnya Freya juga tak tahu apa Arjuna menyukai makanan Jepang atau tidak. Gadis itu hanya bertaruh dengan pilihannya.
“Mau.. Juna mau makan sushi!”
Freya mengembuskan napas lega kala jawaban bersemangat Arjuna terlontar. Perempuan itupun menyebutkan nama salah satu restoran Jepang favoritnya pada Yudhistira. Agar pria itu mengarahkan mobilnya ke tempat tujuan mereka.
Selama perjalanan, kembali Arjuna bercerita. Kali ini yang jadi teman berceritanya tak lain adalah Mama Freya. Meski terlihat kewalahan mengimbangi ocehan anak lelaki tersebut, namun Mama Freya tampak nyaman bercengkerama dengan Arjuna. Freya dan Yudhistira yang duduk di bangku depan hanya bisa saling pandang sambil sesekali menggeleng kecil karena kelakuan anak lelaki itu.
“Nenek suka sushi juga?” tanya Arjuna kala makanan sudah terhidang di meja mereka. Anak itu dengan lahap memakan hidangan yang tersedia.
“Suka. Tapi sekarang Nenek makannya harus dijaga,” jawab Mama Freya.
“Kenapa?”
“Jantung Nenek sedang nggak sehat. Jadi makannya juga nggak boleh sembarangan dan berlebihan.”
“Jantungnya nggak sehat?” Arjuna mengalihkan tatapan pada Papanya.
“Seperti kamu yang kalau sedang sakit, kan nggak boleh makan sembarangan. Nanti susah sembuhnya.” Yudhistira menjawab dengan bahasa yang mudah dipahami anaknya.
“Oh, jadi jantung Nenek harus disembuhkan dulu baru boleh makan bebas lagi?”
Ketiga orang dewasa itu hanya tertawa menanggapi ucapan Arjuna. Terlebih Mama Freya yang sejak tadi tak bisa berhenti tersenyum dibuat anak lelaki itu. Seolah mereka bukan saja baru mengenal, tapi sudah kenal sangat lama. Meski Yudhistira tak banyak bicara padanya. Tapi putranya yang super aktif ini sudah membuat Mama Freya bisa melihat betapa pria itu sangat baik dalam mendidik dan mengurus putranya.
Perhatian Mama Freya beralih pada sepasang manusia yang makan dengan tenang. Tak ada pembicaraan apapun yang terjadi antara Yudhistira dan Freya sejak tadi. Keduanya buka suara jika berkaitan dengan Arjuna. Selebihnya interaksi mereka begitu canggung. Entah ada apa antara Freya dan pria itu. Hingga Mama berinisiatif untuk mencari tahu seperti apa Yudhistira secara pribadi.
“Kamu sudah lama bekerja di perusahaan Freya?” tanya Mama tiba-tiba.
Yudhistira menghentikan suapannya untuk memberi fokus pada Mama Freya sebelum menjawab. “Belum Bu. Saya baru menjabat selama satu tahun di perusahaan.”
“Jangan panggil Ibu, formal sekali. Yang bekerja di kantor kamu kan Fey, bukan Tante.”
Yudhistira mengangguk sembari tersenyum. Membuat Mama Freya terpana sejenak. Pantas saja banyak wanita yang tertarik pada Yudhistira. Selain sopan meski terkesan canggung, tapi pria ini punya kharisma seorang pria yang tak dapat ditampik perempuan manapun. Walau dengan status duda sekalipun, tak akan membuat Yudhistira kehilangan pesonanya. Terlebih putranya begitu pintar dan santun. Wanita mana yang tak akan terjerat dengan Yudhistira. Bahkan Freya sempat bertanya perihal status pria ini pada sang Mama. Meski Freya tak mengakui terang-terangan, tapi Mamanya dapat melihat bahwa Freya memiliki pengandaian ke arah Yudhistira.
“Maaf kalau Tante lancang, tapi... apa Mama Arjuna tidak keberatan kalian makan malam dengan Tante dan Freya?”
Detik itu juga Freya tersedak makanannya. Si kecil Arjuna dengan sigap memberikan segelas air pada Freya. Sementara gadis itu menatap Mamanya dengan pandangan memperingatkan. Tapi Mama tetaplah Mama. Beliau tak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya.
Yudhistira sendiri tak merasa terganggu dengan pertanyaan Mama Freya. Pria itu menganggap apa yang ditanyakan Mama Freya adalah sesuatu yang wajar. Tentu saja seorang ibu dari gadis seperti Freya tak akan mungkin mengizinkan putrinya didekati oleh pria yang tak jelas statusnya. Karena itu dengan santai Yudhistira menjawab bahwa ia sudah berpisah dengan ibunya Arjuna.
“Apa Arjuna sering bertemu Mamanya?”
Rasanya Freya ingin tenggelam saja karena keberanian Mamanya. Gadis itu mencoba membaca ekspresi Yudhistira. Namun tak ada jawaban yang bisa gadis itu dapatkan dari wajah super biasa pria itu.
“Arjuna tidak sering bertemu Mamanya. Dia kenal Mamanya, tentu. Tapi bertemu sebulan sekali juga belum tentu. Karena Mamanya memutuskan pindah ke luar kota.”
Mama Freya mendadak merasa marah mendapatkan jawaban Yudhistira. “Ibu macam apa yang tidak mau meluangkan waktu bersama anaknya. Meski kalian sudah berpisah bukan berarti dia harus mengabaikan anaknya. Bagaimanapun Arjuna harus tumbuh dengan kasih sayang yang utuh meski orangtuanya bercerai. Mau pindah ke luar kota atau luar negeri, harusnya sebagai seorang Ibu dia sadar dengan tanggung jawabnya.”
Freya meringis mendengar cecaran sang Mama. Bahkan Arjuna yang tadinya lahap menikmati makanannya seketika terhenti. Begitupun Yudhistira yang tak bisa berkata apapun karena ucapan Mama Freya.
“Nenek marah?” tanya Arjuna dengan nada takut.
Sadar akan emosinya yang tak terkontrol, Mama Freya mengulas senyum untuk menenangkan anak lelaki tersebut.
“Enggak. Nenek nggak marah. Cuma nasehatin Papa kamu dan Tante Freya.”
“Papa dan Tante Freya nakal?”
Baik Freya dan Yudhistira tampak terkejut dengan kalimat Arjuna. Sedangkan Mama Freya terlihat santai sembari mengulum senyumnya.
“Iya. Makanya Arjuna harus jadi anak yang baik ya. Jangan nakal seperti orang-orang dewasa.”
Arjuna mengangguk, lalu anak itu kembali melanjutkan makannya. Freya melirik ke arah Yudhistira yang sudah kembali memasang ekspresi biasa saja. Kemudian gadis itu mengarahkan pandangannya pada sang Mama. Freya menatap gemas perempuan yang melahirkannya tersebut yang dibalas seringai kecil Mamanya.
...
Sore ini Freya menyelesaikan jam kantornya lebih awal. Semua pekerjaan yang masih tertunda akan gadis itu kerjakan di rumah. Sejak pagi Freya sudah meminta izin pada Mira, sang Manajer untuk bisa keluar kantor lebih cepat. Karena Freya harus bertemu dengan dokter Rafkan untuk pembacaan hasil pemeriksaan sang Mama.
Beruntung di jalan Freya tak terjebak macet jadi dia bisa tiba di rumah sakit tepat waktu. Mama Freya sendiri sudah berada di rumah sakit lebih awal. Beliau mengatakan akan menunggu Freya di sana daripada Freya harus menjemput bolak-balik dari kantor ke rumah.
“Dokter Rafkan sudah datang?” tanya Freya pada petugas di meja informasi.
“Sudah Ibu.”
Freya mengucapkan terima kasih kemudian bergegas menuju ruangan dokter Rafkan. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, baru Freya masuk ke ruangan tersebut. Di sana sudah duduk dokter Rafkan dan Mamanya. Kedua orang tersebut tengah berbincang santai.
“Mama sudah lama tiba?” tanya Freya ketika sudah duduk di sebelah Mamanya.
“Baru sepuluh menitan yang lalu kok. Ya kan, dok?” Mama mengalihkan tatapan pada dokter Rafkan yang dibalas dengan senyum simpul.
“Siap mendengar hasil pemeriksaan yang lalu?” tanya Rafkan pada keduanya. Baik Freya dan Mamanya mengangguk bersamaan.
“Baik, sesuai dengan hasilnya, Ibu Rubi mengalami aritmia atau bahasa mudahnya ada gangguan pada detak atau irama jantung. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya seperti tidak seimbangnya kadar elektrolit dalam tubuh, efek samping obat-obatan, hipertensi, atau terlalu banyak mengonsumsi kafein. Tapi untuk kondisi Ibu Rubi saat ini masih bisa dikategorikan tidak mengkhawatirkan. Belum perlu ada pengobatan intens. Hanya saja mungkin saya akan memberi resep obat-obatan untuk menjaga denyut jantung agar tetap normal.”
Penjelasan dokter Rafkan yang mudah dipahami membuat Freya dan Mama mengangguk lega. Dalam hati Freya bersyukur Mamanya tidak menderita penyakit jantung yang lebih berbahaya misalnya saja jantung koroner. Tapi meski begitu tetap saja, yang namanya penyakit yang berhubungan dengan jantung tetaplah mengkhawatirkan.
“Mulai sekarang Ibu Rubi dijaga pola makan dan mulai hidup sehat ya. Jangan bekerja terlalu berat. Berolah raga boleh. Tapi tetap dibatasi geraknya. Dan satu lagi, jangan terlalu stres...”
Belum lagi dokter Rafkan menyelesaikan kalimatnya, Mama sudah menyela. “Gimana nggak stres, dokter. Anak semata wayang belum juga ketemu jodohnya.”
“Mama...” protes Freya. Ia malu bukan main dengan pernyataan Mamanya. Sedang dokter Rafkan yang mendengar hanya mampu mengulas senyum.
“Jadi, Ibu curhat ini?” ledek dokter Rafkan.
“Ya anggap saja begitu dok. Saya ini janda, cuma punya satu anak. Pengin nimang cucu. Tapi anaknya belum nikah-nikah juga.”
Sungguh, Freya ingin menarik Mama keluar dari ruangan dokter Rafkan sekarang juga. Entah mengapa Freya merasa Mama makin agresif perihal jodoh Freya. Jika dulu Mama hanya meminta tanpa desakan. Sekarang ini Mama makin terang-terangan. Seolah sedang mengobral putrinya pada pria mana saja yang berpotensi menjadi calon menantu.
“Mama ngomong apa sih. Jangan bikin Fey malu dong,” lirih Freya.
“Kalau Ibu Rubi mau saya bisa bantu Freya untuk cari calon suami.” Rafkan malah ikut menimpali permainan Mama Freya. Membuat gadis itu mendelik kesal pada sang dokter.
“Kalau ada dok, boleh.” Mama Freya makin bersemangat. “Lumayan kan kalau calon mantu saya dokter.”
Freya dan Rafkan mendadak terkesiap. Kalimat ambigu sang Mama membuat Freya dan dokter Rafkan salah mengartikan.
“Tapi status saya duda loh, Bu.”
Giliran Mama dan Freya yang terkesiap. “Hah?” desah mereka bersamaan.
Ketiganya lalu tertawa karena pembicaraan yang semakin rancu. Meski dalam hati Freya masih merutuki keberanian Mama yang bicara seenaknya. Setelah memberi arahan yang diperlukan, dokter Rafkan pun memberikan secarik kertas resep obat-obatan yang harus ditebus Freya. Kedua ibu dan anak tersebut pun berpamitan pada dokter Rafkan. Namun sebelum mencapai pintu keluar, ucapan dokter Rafkan menghentikan mereka.
“Kalau Ibu dan Freya serius, saya bersedia kok jadi calon menantu Bu Rubi.”
Freya membeku seketika. Sedang Mama mengulas senyumnya.
“Coba dokter Rafkan dekatin Fey-nya saja. Kalau cocok saya nggak menolak kok.”
Freya meringis dalam hati, tapi tak menanggapi ucapan Mamanya. Gadis itu berpamitan sekali lagi pada dokter Rafkan tanpa berani menatap wajahnya berlama-lama. Kemudian menarik sang Mama untuk segera meninggalkan ruangan tersebut.
...
Note : dah ada clue tak siapa yang bakal jadi suaminya Freya? belum? Sip hahaha. Enggak ada yang kangen Deniz ini?
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Rumah, 19/19/01
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top